Pages

January 10, 2015

[Jurnal] Ya Rabb, Muliakanlah dan Izinkanlah



Telah lama aku ingin menuliskan kisah tentang mereka.
Mereka—malaikat terbaik yang dititipkan Sang Kuasa untukku.
Mereka—pelipur lara tiada henti untukku.
Mereka—setidaknya memberiku kesempatan untuk membalas, dan mengabdikan hidupku untuk mereka.

Siapa mereka? Manusia-manusia tangguh yang Allah berikan padaku.
Bismillah, semoga Allah selalu menjaga mereka dalam keadaan apapun, bahkan saat aku tak lagi bersama mereka nantinya. Jaga mereka, sebagaimana mereka menjagaku selama ini. Dan, tinggikan derajat mereka akan amanah yang telah mereka pikul sedari dulu untuk mendidikku dan saudara-saudaraku. Amiin Ya Allah.

Siapa mereka?
Bayangkan, saat mereka tidak ada di sisi, mungkin perlahan akan mulai merasa goyah.
Bayangkan, saat mereka tiba-tiba saja menghilang, mungkin separuh hati ini juga akan ikut terbawa.
Berlebihan memang, tetapi memang begitu adanya.
Karena mereka memang begitu berharga.


Tidak dapat dipungkiri betapa berharganya mereka. Saat Sang Rabb memberi kesempatan untuk sebuah nyawa, siapa yang Allah kenalkan untuk kita, agar kita tak merasa sendiri di dunia? Mereka.
Hanya ada mereka saat itu. Lalu, masih ragukah jikalau mereka begitu berharga?
Perlahan, waktu terus berputar dan mengharuskan mereka akan suatu pengorbanan. Berkorban perasaan, kesehatan, dan banyak hal. Apakah cuma itu? Tidak. Bahkan berlembar-lembar kertas takkan mampu menuliskan segala bentuk pengorbanan yang telah mereka lakukan.

Pernahkah terpikir akan hal ini?
Ketika semua orang perlahan menghianati, ketika semua orang tak lagi mempercayai, apakah mereka tetap tinggal? Iya. Mereka selalu di samping walaupun tak pernah diminta. Masih ragukah mereka sangat berharga?

Saat beban masalah tak sanggup dipikul, seakan dunia akan runtuh seketika, siapapun tak lagi peduli, apakah mereka tetap tinggal? Iya.

Lalu, saat kebahagiaan menyelimuti, apa yang mereka lakukan? Mereka tetap di samping, walaupun kadang kala kita lupa akan hal ini. Betapa bahagianya mereka melihat kita bahagia, bahkan wajah mereka nan perlahan keriputpun akan terlihat berseri-seri. Dan, terpenting adalah pelukan mereka.

Petuah mereka seakan baterai yang sebelumnya habis kembali terisi.
Di setiap sujud dan helaan napas mereka, terselip doa-doa yang tak pernah disadari bahwa itu bukan untuk dirinya.
Jangan jadikan mereka tak berharga, tetapi muliakan mereka.
Jangan lupakan mereka. Baik buruk di dalam diri mereka, kita tidak dapat mengelak kodrat Sang Illahi atas kedudukan mereka.

Jadikan mereka yang utama ketika suka dan duka perlahan mendatangi. Jangan biarkan mereka meminta, memohon agar kita melakukan suatu hal yang mereka kehendaki. Tapi biarkan kita dengan sendirinya paham apa yang mereka inginkan. Jangan biarkan rasa sedih hadir untuk mereka. Jangan biarkan air mata pilu membasahi pipi mereka. Karena kenapa?

Karena mereka selalu berusaha menghapus rasa sedih yang kita alami, dan penghapus air mata pedih yang kita rasakan. Percayalah. Tanpa kita katakan, mereka tahu kita menyimpan masalah. Tanpa kita minta mereka untuk mendengarkan, mereka akan duduk manis mendengarkan kita. Bukankah mereka tidak meminta?

Perlahan, mulailah sebelum semuanya terlambat. Waktu itu kejam—ia tidak akan kembali berputar dengan masa-masa yang kita inginkan.

Mulailah, mengubah niat. Jikalau sebelumnya tak pernah terselip untuk mereka. Membahagiakan mereka segenap yang kita mampu. Mendoakan mereka disetiap ibadah yang kita lakukan, dan berusaha membuat mereka tetap tersenyum hingga hari tua mereka.

Dan, memang sekaranglah giliran kita. Bagaimana pengabdian yang dapat kita berikan untuk mereka.

Jika tidak dapat memberi mereka apa-apa, setidaknya pastikan hidup dalam jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Jika semua itu belum terlaksana, tidak apa-apa. 

Bukankah semua orang mempunyai banyak jalan berliku, sebelum mereka menemukan jalan lurus menghadap Sang Pencipta? Selalu banyak hal yang kita temui sebelum menemukan kebenaran, bukankah begitu? Tidak apa-apa, Sang Kuasa mengetahui segalanya. Memperbaiki diri, dan Allah menyukainya. Tidak pernah ada terlambat untuk melakukan perbaikan diri, setidaknya dengan napas yang masih melekat ini, menandakan Sang Rabb memberikan kesempatan untuk pembenahan diri. Bukankah begitu?

Mulailah, karena takkan pernah terbayang jika Sang Kuasa tiba-tiba mengambil mereka, dan kita belum melakukan apa-apa untuk mereka. Jangan biarkan penyesalanlah yang nantinya memberi hukuman kepada kita.

Mulailah, dan Allah ridha akan hal ini. Percayalah.

(Izinkan aku membahagiakan mereka, dan panjangkan umur mereka, agar mereka dapat melihat bagaimana aku membahagiakan mereka. Amiin Ya Allah.

Untuk mereka, terimakasih tetap tinggal di sini—di hati, di kehidupan anak-anakmu. Semoga Allah senantiasa memuliakanmu, meninggikan derajatmu, dan memberikanmu tempat terbaik di akhirat nantinya. Amiin Ya Allah. Terimakasih, tiada tindakan paling berharga saat pelukan dikala suka dan duka. Sekali lagi, terimakasih)

January 7, 2015

[Jurnal] Ambil Manisnya Buang Pahitnya

Banyak hal yang telah terjadi dalam rentang enam bulan terakhir ini. Suka duka, pahit manis, tawa dan tangis benar-benar luar biasa enam bulan terakhir ini. Kemarin  antara lega dan cemas, antara takut dan sedih. Entahlah, semuanya terasa membingungkan.

Manusia memang diciptakan mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, cukuplah Sang Rabb sebagai zat nan sempurna.

Ambil manisnya, jangan ambil pahitnya. Setiap orang terlahir dengan sifat yang berbeda-beda, dan dari sana banyak hal yang dapat dipelajari sisi baik dan buruk seseorang. Jangan marah saat seseorang menunjukkan sisi buruknya, karena mungkin ia belum mampu menutupinya dengan segala kelebihannya. Dan... jangan terlalu terbuai,bangga saat seseorang menunjukkan sisi baiknya, karena di dalam sana, masih ada sisi buruk yang dimilikinya tetapi mampu ditutupinya dengan kelebihannya.

Bukankah itu gunanya belajar? Jangan selalu mengasumsikan belajar dengan aljabar atau hafalan yang menggunung. Apapun yang dilihat, didengar, dibaca, dan dilakukan, bukankah itu adalah proses pembelajaran diri? Bukankah dari sana kita dapat memaknai hidup, berpikir bagaimana hidup itu sesungguhnya?

Saat kata-kata dari seseorang begitu menyakitkan, apa yang harus dilakukan? Bersedih? Marah? Tidak terima?

Jika kata-kata yang menyakitkan itu benar adanya, lalu bagaimana?

Setidaknya bersyukur masih ada orang yang berani mengatakan segala kekurangan yang dimiliki. Karena dengan begitu,kita akan tahu  bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk berbenah diri.

Tersenyumlah. Sebuah kritikan tidak akan membuat kita merasa begitu lemah. Jika itu kritik yang baik,ambillah. Jika tidak maka biarkan angin yang membawanya. Jangan sulitkan diri sendiri, hidup ini telah terlalu berat, untuk memikirkan hal-hal yang sia-sia.

Lalu, jangan terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak menyalahkan orang lain. Bukankah ini hidup yang harus dijalani? Susahnya,sulitnya. Satu hal yang diingat, bahwa kesulitan ini akan membawa kita berpikir, betapa berharga hidup ini. Betapa bernilainya waktu yang kita punya. Cobalah. Saat sulit, jangan putus asa. Ingat, Sang Kuasa tengah melihat seberapa sabar kita akan  menanggungnya. Tetap kuat, tetap berdoa, dan akhirnya penyerahan diri kepadaNya. Percayalah, jalan keluar akan datang disaat yang tepat dan waktu yang tepat.

Hidup memang seperti itu. Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.

Dan, janganlah menganggap beberapa masalah itu sepele, tidak penting. Membeda-bedakan keadaan mana yang harus dilakukan terbaik. Jangan dipilih-pilih, karena sebenarnya  apapun itu, mari lakukan untuk yang terbaik. Sempurna tidak, tetapi berusaha untuk mendekatinya. Masalah itu sama, keadaannya sama, bahkan kadarnya--jika kita memposisikannya begitu. Perbedaannya hanya satu prioritas. Mana hal yang harus dilakukan dahulu. Pada dasarnya perlakuan untuk menyelesaikannya sebaik mungkin takarannya harus sama. Karena kenapa?

Karena jikalau nantinya tidak sesuai yang diharapkan, kita tidak akan menyesal. Kita tidak akan bersedih terlalu dalam. Kita tidak akan mengeluh, menyalahkan orang lain. 

Karena apapun telah dilakukan sebaik mungkin.

Saat itulah kita akan berpikir.

Itulah kehendak Sang Kuasa.

Selalu ada hikmah dari setiap masalah.

Jadikan itu sebagai penguat diri.

Dan terus melakukan yang terbaik.

Hidup akan terus berlanjut. Suka atau tidak, itulah hidup. Jalanilah. Hadapilah.

Semoga Allah selalu menjaga kita dan meridhai segala yang kita lakukan. Amiin Ya Rabb ~

(6 Januari 2015. Aku belajar banyak, walaupun menyakitkan. Semua itu benar, dan aku tidak menyangkalnya. Terima kasih. Semoga Allah senantiasa bersamamu.)





































January 4, 2015

[Review] Priceless Moment #PriscaPrimasari

Pernahkah berpikir bahwa waktu dengan orang-orang tercinta teramat sempit?
Pernahkah berpikir bahwa terkadang hidup itu memang demikian singkatnya?
Pernahkah sejenak berpikir, bahwa rasa sesal itu selalu datang terlambat?
Iya, begitulah hidup adanya.

Priceless Moment – Novel karangan Prisca Primasari sukses meracik indahnya kehidupan antara Ayah dan Anak.

Priceless Moment adalah novel kelima dari Prisca Primasari yang berhasil kubaca setelah : Éclair: Pagi Terakhir di Rusia, Paris: Aline, Evegreen, dan Kastil dan Air Mancur yang Berdansa. Sejak membaca novel Éclair: Pagi Terakhir di Rusia, aku menyukai novel-novel Prisca. Setiap novel yang disuguhkan olehnya, seolah-olah mempunyai daya magis tersendiri.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, novel ini menceritakan kisah antara ayah dan anak. Dalam novel ini, diceritakan seorang laki-laki dengan profesi yang sangat menjanjikan bernama Yanuar. Dalam penggambarannya, ia adalah lelaki dengan kegigihan yang tinggi, sangat pekerja keras. Yanuar, dengan kesibukan pekerjaannya tanpa ia sadari telah kehilangan satu-persatu moment terbaik antara ia dengan istri, dan kedua anaknya.

Begitulah hidup, setelah kehilangan barulah menyadari betapa berharganya orang yang dicintai.

Itulah yang dirasakan Yanuar. Ia kehilangan orang yang teramat dicintainya—istrinya, dan harus memupuk rasa sesal yang teramat dalam. Ia tidak sempat menghabiskan waktu lebih banyak dengannya, membahagiakannya bukan dengan materi, tetapi dengan waktu dan kasih sayang.

Kehidupan Yanuar perlahan berubah sepeninggal istrinya. Membesarkan dua orang anaknya—Hafsha dan Feru, dan perlahan ada perasaaan ia ingin memperbaiki waktu terbaik yang terbuang dahulunya. Waktu terbaik untuk membesarkan anak-anaknya.

Secara keseluruhan novel ini banyak memberikan pembelajaran yang berarti. Bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada materi. Kebahagian itu terletak pada waktu. Bagaimana waktu dapat membuat kasih sayang itu semakin erat. Hakikatnya, seorang anak hanya perlu orangtuanya tetap berada di sisinya, membesarkannya dengan baik, meluangkan setiap waktu untuknya. Setidaknya sebagai tameng untuknya dikala suka dan duka. Bukankah itu hakikat yang sesungguhnya? Seperti itulah novel ini menyuguhkan kisahnya. Manis dan mengharukan.

Walaupun menceritakan tentang ayah dan anak, novel ini tidaklah membosankan. Penulis mampu membangun alur yang baik, pemilihan kata-kata yang teramat rapi, dan seperti biasa, Prisca selalu menyisipkan tentang cerita-cerita klasik yang menjadi ciri khasnya.

Setting tempat yang digunakan oleh penulis juga berbeda dari novel-novel sebelumnya yang selalu mengambil tempat di luar Indonesia. Tetapi kali ini, penulis mengambil dengan latar Indonesia dan Jerman.

Adakah kisah romantisme dalam novel ini? Tentu ada. Tetapi secara keseluruhan, romantisme ini hanya pelengkap dari novel ini. Penulis lebih memfokuskan cerita antara ayah dan anak, bukan dengan gadis bernama Lieselotte—karyawan baru di kantornya.

Pada akhirnya, aku sangat menyukai novel ini dengan 4/5 bintang untuk novel ini.

Klik di sini untuk rating goodreads.