Pages

February 24, 2016

[Cerpen] Sepenggal Rindu

“Tidak bisakah kau menjadikanku sebagai alasan untuk hidup?”

“Tidak. Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena... suatu hari nanti, kau juga akan pergi dari hidupku.”

February 14, 2016

[Cerpen] The Night Radio

Kadangkala kita terlalu sibuk dengan persepsi diri sendiri, tanpa memberi ruang untuk orang lain berasumsi.
Kadangkala kita terlalu sibuk bagaimana sakitnya, tanpa ada celah untuk orang lain memberi penjelasan.
Kadangkala kita juga terlalu egois karena telah menghakimi diri sendiri, menganggap hanya diri ini yang tersakiti, tanpa melihat bahwa di ujung sana, ada yang lebih tersakiti.
Ah, betapa mengerikannya asumsi.
Ah, betapa menakutkannya ketika perasaan telah menjadi tiangnya, sedangkan logika telah terbawa entah kemana.
Ah, betapa menyakitkannya ketika asumsi menjadi berbeda dengan realita sesungguhnya.
###
“Assalamu’alaikum. Selamat malam semuanya. Wah, tidak terasa seminggu cepat berlalu dan kembali bertemu dengan saya Kusma Melati di Night Radio. Seperti biasa edisi malam jumat di sini adalah “curhatan” hati. Haha, bahasanya sedikit lebay. Baiklah, selama satu jam ke depan saya akan menemani kalian untuk berbagi kisah tentang hati. Oke, stay here....”

Take me to your heart
Take me to your soul
Give me your hand before I am old
Show me what love is haven’t got a clue
Show me that wonders can be true

“Baiklah bagi yang ingin bercerita di sini, silahkan hubungi 0812xxxxxxx atau bagi yang ingin me-request lagu, juga bisa. Caranya mudah, kirim sms ke no 0813xxxxxxx. Nah, tapi khusus malam ini, saya hanya menerima request lagu slow. No metal, no rock. Haha. Jadi, para penggemar Linkin Park dan sejenisnya mari ubah haluan hari ini...”

They say nothing lasts forever
We are only here today
Love is now or never
Bring me far away

“Halo... halo... halo... Sepertinya belum ada penelpon. Mari kita tunggu, mungkin masih mempersiapkan bahan untuk bercerita. We are only here today... sepertinya lagu lawas MLTR sangat mendukung malam ini. Halo... halo...”

“Hmm... halo.” ucap seseorang di ujung telpon.

“Yak, akhirnya kita dapatkan satu orang penelpon. Halo, dengan siapa? Dimana?” tanyaku segera.

“Agi di Belimbing.” jawabnya singkat.

“Oke. Agi di Belimbing. Wah, sepertinya Agi sedang galau berat.”

“Yah, begitulah.” ucapnya singkat—lagi.

“Jadi, ada cerita apa tentangmu, Agi?” tanyaku mulai menurunkan nada suara. Sepertinya laki-laki yang satu ini sedang patah hati.

“Aku... punya seorang teman. Setahun lalu dia diputuskan oleh kekasihnya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan temanku itu.” ucapnya.

“Maaf, aku potong. Temanmu laki-laki atau perempuan?” tanyaku.

“Laki-laki.” jawabnya. “Aku tidak mengerti, kenapa temanku diputuskan begitu saja. Dia baik, dan hubungan mereka sudah lama, tiga tahun. Apa yang salah? Atau perempuan itu menemukan orang yang lebih baik dibandingkan temanku?” lanjutnya.

“Aku... harus bagaimana?” ungkapnya.

Aku terdiam. Aku yakin, ceritanya bukanlah tentang temannya melainkan tentangnya. Mungkin dia terlalu malu untuk bercerita. Aku berpikir, mencari solusi samampuku. Keputusan kru di sini memutar lagu-lagu MLTR sangat membantu. Aku membutuhkan mood yang baik jika ingin menyarankan sesuatu kepada orang lain.

“Mungkin, hal pertama yang kau lakukan adalah tanyakan pada temanmu, apakah dia melakukan kesalahan atau tidak...”

“Dia tidak melakukan kesalahan... dan sudah ditanyakannya pada perempuan itu.”

“Anggaplah temanmu itu adalah kau, Agi. Maka, aku akan mencoba memberi saran untuk kau.” ucapku. Agi hanya menanggapiku dengan kalimat ‘oke’ semata. Lihatlah, betapa benar prediksiku jika masalah ini tentangnya.

“Kadangkala kita terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu. Kau menganggap bahwa dia telah menemukan orang yang lebih baik dibandingkan kau. Jangan terlalu terburu-buru. Mungkin dia punya alasan yang tak dapat disampaikannya. Berilah ruang untuknya. Biarkan dia sendiri. Tugas kau, lihatlah apa yang terjadi dengannya. Apakah dia menemukan pengganti kau atau tidak. Jika dia telah menemukan sebelum berpisah dengan kau, maka satu atau dua bulan ke depan telah terganti posisi kau, Agi. Tapi, jika dia tetap sendiri... berarti bukan itu alasannya.”

“Aku tahu, kau tersakiti olehnya. Tetapi, jangan terburu-buru untuk memutuskan siapa yang lebih tersakiti. Semakin kau memikirkan tentang itu, maka bertambah sakitlah rasanya. Padahal, belum tentu kau yang lebih tersakiti. Bagaimana jika dia? Apa yang akan kau lakukan, Agi?”

“Aku yakin, setiap orang punya alasan untuk mengambil keputusan. Kau harus menghargainya dan jangan membencinya. Suatu saat kau akan melihat alasan dia melakukan itu. Jangan terlalu sibuk dengan asumsi kau seorang, Agi. Asumsi juga bisa menjadi bumerang untuk kau kelak, Agi.”

“Maka, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Jika sekarang terasa sakit, maka terimalah rasa sakit itu. Karena itu... risikonya. Ketika kau bertemu dengan seseorang, ada masanya kau akan berpisah. Percayalah, waktu adalah obat terbaiknya. Apakah dengan waktu membuat perasaan kau semakin besar padanya, atau sebaliknya.” ucapku.

“Jika jawabannya tak kunjung kudapatkan?” tanyanya.

“Bersabarlah. Jawaban itu tidak datang dengan mudah, Agi. Ada orang yang mendapatkan jawabannnya seminggu setelah itu, atau berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Bersabarlah. Mungkin, perasaan kau sedang diuji.”

“Sebenarnya, perempuan itu tengah berhijrah.” ucapnya. Deg...Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

“Hingga detik ini... temanku masih menyimpan perasaannya dengan baik. Walaupun ke depannya dia tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah melakukan yang kau sarankan. Dia sedang menunggu jawabannya.” ucapnya. Deg... sekali lagi, jantungku berdegup tak karuan.

“Dan... sudah dia dapatkan jawabannya?” tanyaku hati-hati.

“Setengah bagiannya sudah, namun sisanya belum. Dia sedang menunggu.” lirihnya. Desir kata ‘menunggu’ membuatku merinding. Aku tidak dapat melihat ekspresi laki-laki itu mengungkapkan perasaannya. Namun, hanya dengan suaranya dapat kulihat betapa dalam harapnya.

“Awalnya, dia membenci perempuan itu. Tetapi lambat laun, dia memperhatikan kehidupan perempuan itu berbulan-bulan, dan didapatkannya bahwa perempuan itu masih menyimpan perasaannya dengan baik. Hanya saja, kondisinya sekarang berbeda. Dia menyimpannya dalam doa.”

“Bagaimana dia tahu?” tanyaku penasaran.

“Dia menanyakan pada sahabat perempuan itu.” ungkapnya.

“Ini sedikit rumit. Ketika dia melihat kondisi perempuan itu sekarang, dia tersentuh. Dan, temanku dalam proses berhijrah sama sepertinya.” ucapnya. “Karena itu, bagian sisa yang belum terjawab itu adalah apakah perempuan itu akan menjadi pendampingnya kelak.” Sungguh, tanganku mulai gemetar mendengar ceritanya.

“Terimakasih atas sarannya. Semua ini sangat membantu.” ucap Agi. Sambungan telpon terputus dan hanya bunyi tut...tut... yang kudengar. Lengang. Tiba-tiba pikiranku tak terkendali. Seorang kru di luar sana memberi isyarat untuk jeda. Aku mengangguk.

“Baiklah, sepertinya Agi sudah selesai dengan ceritanya. Astaga, tiba-tiba kita semua terbawa suasana. Untuk itu, saya akan memutarkan sebuah lagu dari MLTR—I’m Gonna be around.”

It’s been so long since we took the time
To share words from deep inside us
We’re in our own world spinning our wheels
But you know how I feel

Aku keluar dari ruang penyiaran. Aku mengambil air mineral yang terletak di atas meja. Aku meminumnya sekali teguk. Cerita laki-laki itu menguras perasaanku. Aku duduk dan mengambil napas berkali-kali.

“Kau baik-baik saja, Mela?” tanya Tia penyiar yang lain. Aku mengangguk. Waktu siaranku hanya tinggal 15 menit. Aku memasuki ruang siaran dan mengambil posisi lagi.

“Yak, ternyata hari ini cuma bisa satu penelpon. Dan... selanjutnya saya akan mengecek sms request lagu. Wah, cukup banyak sms yang datang.”

Aku membaca isi request  satu persatu. Dan sesuatu mengangguku. Aku mendapati pesan terakhir yang aneh. Isinya bukan tentang permintaan lagu. Tetapi... menyangkut tentangku. Apa ini? Jantungku kembali berdegup kencang.

“Waktunya sudah habis. Baiklah, saya Kusma Melati pamit. Jangan lupa dengarkan edisi “curhatan” hati setiap malam jumat jam 8-9 malam. Hanya di Night Radio. Sampai jumpa minggu depan. Assalamu’alaikum.”

Tugasku selesai. Namun perasaanku belum usai.

Bisakah kau menugguku sedikit lagi? Karena aku sedang berbenah, sama seperti kau, Mela. Aku tidak membenci kau, Mela. Bahkan aku bersalah pada kau. Jadi, maukah kau melakukannya? Sedikit lagi, berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya. –Haryanto Damagian.
###


February 12, 2016

[Cerpen] Separuh Hati

Seorang penulis pernah menuliskan kalimat seperti ini, ada orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu. Dulunya, kupikir memang seperti itu adanya. Saat rasa kehilangan itu begitu dalam, maka seolah-olah segalanya mati rasa. Hingga tak merasakan apa-apa lagi, karena begitu kuatnya perasaan memiliki dan kehilangan. Namun, waktu perlahan mengobatinya. Separuh hati yang tadinya luruh seketika, perlahan menampakkan wujudnya lagi, membentuk kembali separuhnya. Ini bukan tentang hati yang terobati tetapi berkaitan dengan makna berdamai.

February 8, 2016

[Cerpen] Kutunggu Waktu, Maka Kan Kuceritakan




Hujan kembali membasahi kota ini untuk kesekian kalinya. Padahal, jika dirujuk berdasarkan perputaran musim, bulan ini bukanlah jadwal turunnya hujan. Aku duduk di balik kemudi taksi sambil melihat jalanan yang basah. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku mempunyai janji. Dan, janji itu harus kupenuhi setiap harinya. Dulu, mungkin aku menyebut ini sebuah janji yang harus kutepati. Tetapi, lambat laun aku mengubah persepsi itu. Ini tidak lagi tentang janji, melainkan rutinitas yang harus kujalani.

“Sudah sampai, Dik.” ucap sopir taksi itu. Aku ber-eh tidak menyangka perjalanannya akan menjadi singkat. Aku mengeluarkan dompet dan membayar ongkos taksi segera.

“Makasih, Pak.” ucapku sambil keluar dari taksi. Aku lupa membawa payung. Aku tidak berangkat dari rumah, melainkan dari kampus. Cuaca sekarang ini sungguh tidak terduga. Tadi pagi, matahari sungguh terik. Tetapi mulai pukul tiga sore, langit mulai terlihat mendung, dan sekarang turun hujan. Aku berlari-lari kecil menuju kafe tempat pertemuan kami. Kami? Ya, aku mempunyai rutinitas wajib bersama seseorang. Aku mendorong pintu kafe dan melihat semua kursi yang ada di sana. Aku kesulitan menemukannya, karena kacamataku basah karena hujan. Seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum, senyum yang sama setiap harinya. Aku berjalan ke arahnya.

“Sudah lama menunggu, David?” tanyaku. Dia menggeleng. Aku mengambil posisi dudukku. Di meja itu, telah terhidang dua mug coffee latte. Ternyata, hari ini dia mengingat sesuatu—mungkin menurutku.

“Boleh aku minum?” tanyaku sumringah. Ini bukan karena kopi yang dipesankannya untukku, terlebih ada cerita di balik kopi itu.
“Ki..ta.. ce..ri..ta..apa..ha..ri..ini, Gi..ta?” tanyanya terbata-bata. Aku meletakkan kopi itu di atas meja setelah meminumnya beberapa teguk.

February 7, 2016

[Cerpen] Akankah Bertemu Lagi?

“Assalamu’alaikum.” sahut seseorang di luar sana. Suaranya terdengar tak asing untukku. Aku menjawab salamnya, dan ayah mengisyaratkan kepadaku untuk membuka pintu. Aku berjalan ke arah pintu. Langkahku ringan sekaligus jantungku berdegup kencang. Apakah dia kembali? Itulah pertanyaan awal yang muncul di benakku. Aku menarik engsel pintu dan seseorang yang kukenali berdiri di depanku. Dia mengenakan pakaian seragamnya—hijau, lengkap dengan baret di kepalanya.

“Ayahmu ada, Kuntum?” tanyanya.
###

Dika. Namanya Dika. Aku dan dia adalah orang asing yang bertemu oleh kejadian tak terduga. Sebelumnya aku tidak mengenalnya, begitu juga dengannya. Takdir sungguh tak terduga. Kadangkala aku menyangkal bahwa itu adalah takdir, dan menganggap hanyalah kebetulan belaka. Namun, lambat laun aku meyakini bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Kebetulan-kebetulan tak terduga itu sebenarnya takdir.

Hari itu... mungkin Tuhan punya rencana lain mempertemukanku dengannya. Aku ingat, kejadian itu telah terjadi sekitar tujuh tahun lalu—masa ketika aku masih menyelesaikan studi kependidikanku.

Aku selalu pulang sendirian. Bukan karena aku tidak ingin bergaul dengan yang lain, atau sekedar pulang beriringan bersama. Hanya saja, tidak seorangpun mempunyai rute yang sama denganku—sejauh yang aku kenal. Oleh karena itu, seringnya aku berjalan sendiri dan menikmati pikiran-pikiran yang lalu lalang di otakku.

Hari itu... aku pulang terlambat. Biasanya sebelum azan magrib berkumandang, aku sudah menanti bus di depan halte. Tetapi, hari itu aku justru pulang setelah menunaikan sholat magrib di mesjid dekat kampus. Bukan kehendakku berlama-lama di kampus, namun ada tugas yang harus kuselesaikan bersama dengan teman yang lain. Aku berjalan di sekitar trotoar, lalu melangkah perlahan ke arah rel kereta api dan melakukan kebiasaan konyolku—menghitung jumlah besi yang terpasang di sana.

Tiba-tiba seseorang berjalan beriringan di sampingku—tepat di sampingku. Aku menoleh ke kanan, melihat sosoknya. Aku nyaris terjatuh sebab dia juga menoleh ke arahku. Aku memalingkan wajah—malu, dan menunduk—sibuk menghitung kembali—walaupun sebenarnya bukan itulah yang kulakukan.

Otakku sibuk bertanya-tanya, siapa laki-laki di sampingku ini? Aku tidak mengenalnya, bahkan pernah melihatnya saja tidak. Apa dia berniat buruk kepadaku? Bukan aku hendak berprasangka buruk, tetapi sikap berhati-hati juga diperlukan ditambah kondisi jalanan yang gelap. Aku mempercepat langkahku, memastikan laki-laki itu berniat menguntitku atau tidak. Sayangnya, dia justru kembali mengimbangi langkahku. Aku mulai gelisah, dan takut.

“Jalan saja seperti biasa. Seseorang mengikutimu di belakang.” Dia angkat bicara. Sepertinya dia tahu kegelisahanku.

“Eh?” Aku menoleh kepadanya tak mengerti. Tetapi, ucapannya barusan membuatku lega.

“Pertama, aku tidak berniat buruk padamu, jadi jangan curiga. Kedua, kamu sedang diikuti dari tadi sejak keluar mesjid. Ketiga, mari kita seolah-olah saling kenal. Setidaknya dia tidak akan macam-macam kepadamu.” Aku menggigit bibir bawahku, takut kemungkinan yang terjadi setelah ini. Sekali lagi, seperti dia dapat membaca pikiranku.

“Kamu pulang naik apa? Naik bus?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Halte sudah dekat. Kebetulan ada bus yang berhenti sekarang. Kedepankan tasmu dan segera naik ke sana. Duduk dekat supirnya kalau bisa.” Aku mengangguk lagi tidak tahu harus berkata apa.

Penasaran, sebelum memasuki bus aku menoleh ke belakang. Aku melihat sosok laki-laki mengenakan topi zebo, kaus oblong dengan jins robek-robek  ala punk. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Namun, penampilannya seperti itu sudah cukup membuatku takut. Aku memasuki bus dan duduk di dekat supir seperti yang disarankan laki-laki tadi.

Satu menit... dua menit... bus tetap menunggu penumpang. Lima menit setelah itu, bus menutup pintu dan melaju dengan pelan. Aku menepuk jidatku, melupakan sesuatu. Aku melihat ke bangku—tempat laki-laki biasanya diizinkan duduk di bus ini. Dia tidak ada—maksudku laki-laki yang membantuku tidak ada, dia tidak menaiki bus bersama denganku.

Aku lupa... berterimakasih padanya.
###
Beberapa hari belakangan ini, aku sibuk mencari keberadaan laki-laki itu. Aku hanya tidak enak karena belum berterimakasih padanya. Entahlah, mungkin karena terbiasa mengucapkan kalimat klise itu apabila ditolong seseorang, menyebabkan pikiranku terganggu.

Akankah bertemu lagi? Pertanyaan itu semakin hari semakin kuat di benakku.
Apakah itu cuma kebetulan, sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?

“Kuntum, buatkan tamu ayah teh.” suara ayah membuyarkan lamunanku. Aku menyahut dan segera bergegas ke dapur.

“Siapa tamu ayah, Bu?” tanyaku iseng.

“Itu... anaknya Pak Hafiz.” jawab ibuku sekenanya.

“Eh? Kok anaknya yang bertemu ayah?” tanyaku lagi, terlebih penasaran.

“Ya ampun, Kuntum. Sejak kapan kamu banyak bertanya? Ada sesuatu yang menganggu pikiranmu belakangan ini?” tanya ibu. Aku... kena telak. Aku menggeleng cepat dan segera mengantarkan minuman yang disuruh ayah. Aku meletakkan minuman di atas meja sekaligus mencuri pandang tamu ayah. Ayah selalu melarang melihat tamunya. Kalaupun diizinkan, hanya orang-orang tertentu. Aku lupa untuk menunduk. Aku tahu ayah akan memarahiku setelah ini. Ayah melarangku menatap tamu ayah—karena tamu ayah tentunya laki-laki, kecuali yang diizinkannya.

Akankah bertemu lagi?
Apakah itu cuma kebetulan, sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?

Dia... di sini. Sebagai tamu ayahku.

Aku segera menunduk, karena ayah sudah melihatku dan akan menceramahiku setelah ini. Namun, siapa sangka kebetulan itu terjadi lagi. Pertanyaan terbesarku, apakah ini sekedar kebetulan?
###
“Dia datang bersilaturrahmi, Kuntum.” ucap ayah tiba-tiba. Sendok yang tadinya hendak kumasukkan ke mulut tertahan di udara. Aku tidak bertanya dan juga tidak membicarakan hal ini dengan ayah. Walaupun selepas dia pergi, ayah memarahiku. Sama seperti sebelumnya, kalimatnya selalu sama, “Jaga pandanganmu, Kuntum. Tak baik menatap seperti itu.”

“Kamu mengenalnya?” Selanjutnya, aku tersedak. Ibu menepuk-nepuk punggungku pelan.

“Pak, nanti saja ditanya. Setelah makan.” ucap ibu. Aku pikir, ayah lupa. Tidak biasanya kami makan dengan percakapan.

Setelah makan... aku berpikir akan terbebas dari pertanyaan ayah, nyatanya ayah justru mengajakku duduk dengannya. Aku menghela napas.

“Kamu mengenalnya?” tanya ayah dengan pertanyaan yang sama.

Aku tidak punya pilihan. Aku menceritakan semuanya tanpa kurang sedikitpun. Ayah hanya menghela napas setelah aku bercerita. Lalu, ayah tertawa. Tidakkah ini aneh? Aku sudah takut setengah mati akan dimarahi lagi, ayah justru menanggapiku dengan tawa.

“Ayah keduluan dengan takdir, Kuntum. Haha.” ujar ayah ringan. Ayah menepuk pundakku dan masuk ke kamar untuk tidur. Aku bingung, apa maksudnya?
###
Aku Dika. Ayahmu takkan mengizinkan kita bersua, berbincang hangat apalagi. Bisa-bisa ayahku justru memarahiku. Tapi, aku menyukai cara ini. Ayahmu mengizinkanku mengirim surat padamu. Entahlah, mungkin karena aku terbiasa dilatih menulis oleh ayahku sejak kecil, aku malah menyukai cara ini. Terdengar kuno memang. Terlebih, saat orang-orang sibuk bertukar kabar melalui handphone dan sejenisnya, aku justru mengirimimu surat. Aku harus mulai dari mana? Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir.

Aku tersenyum. Itu adalah surat pertama yang kuterima darinya. Ibu memberikan surat itu padaku sambil tersenyum penuh arti.

“Banyak-banyak berdoa, Kuntum.” ucap ibuku setelah memberikan surat itu. Sekali lagi, aku tak mengerti maksudnya.
###
Aku selalu percaya, bahwa gembok takkan pernah tertukar oleh kuncinya, Kuntum. Aku lulus akademi kemiliteran, Kuntum. Kurang lebih empat tahun pendidikanku di Magelang. Aku tidak tahu ini berita baik untukmu atau tidak. Aku sudah membicarakan ini pada ayahmu, dan dia setuju untuk melepaskanku. Aku tidak ingin mengikatmu, Kuntum. Kalau selama empat tahun itu, kamu bertemu dengan orang yang lebih baik, maka terimalah setelah berkonsultasi denganNya. Pilihanmu juga berada di tanganNya. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali?

Aku menangis. Untuk pertama kalinya aku menangis karena masalah ini. Ayah mengajarkanku dengan baik, termasuk menata hati sedimikian rupanya. Namun, untuk sekarang ini aku tidak cukup mampu menata hatiku dengan baik. Ibu memasuki kamarku. Dia memelukku dan aku menangis di pelukannya.

“Kuntum, percayalah umur, jodoh, rezeki sudah diaturNya dengan baik. Jangan sedih, ambil hikmahnya. Berdoalah dan semoga Allah memberikan jawaban terbaiknya kelak.” ucap ibu. Dia melepaskan pelukannya dariku dan menghapus air mataku.

“Empat tahun bukan waktu yang singkat, Kuntum. Pikirkan dengan baik, Nak.” Ibu menguatkanku dan meninggalkanku sendiri di kamar.

“Tapi, selama itu... membaikkan diri, adalah cara terbaik menemukan jawabannya, Kuntum.” saran ibu sebelum menutup pintu kamarku.
###
“Ayahmu ada, Kuntum?” tanyanya kedua kalinya. Lamunanku buyar. Aku mengangguk dan mempersilahkannya masuk. Setelah itu, hanya ada ayah dan ibu bersamanya di luar. Aku hanya mengintip dari balik tirai ruang tengah. Aku hanya mendengar percakapan mereka sedikit, terlebih tentang Dika yang telah lulus akademi.

Perasaanku campur aduk. Enam tahun, bukan empat tahun... dan dia kembali.  Jika bertanya, apakah ada yang mendatangi ayahku selama itu, jawabannya tidak ada. Apa ini kebetulan?

“Dika titip surat, Kuntum.”

Ibu memberikanku surat—seperti biasa selepas dia pergi. Aku tersenyum.

Apa kabar? Itulah pertanyaan pertama yang ingin kuutarakan, Kuntum. Maaf, ini sudah memasuki enam tahun, bukan empat tahun. Aku tidak perlu menjelaskannya di sini, bukan? Mari kita bicarakan nanti, ketika kita sudah dengan bebas berbincang. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali? Aku ingat kalimat ini. Sebenarnya, aku takut mendatangi rumahmu. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, Kuntum. Lalu, aku memberanikan diri bertanya pada ayahku. Dia memelukku dan mengucapkan “Allah ridha denganmu, Dika. Temuilah ayahnya lagi.”
 Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir. Kedua, akankah kita bertemu lagi?Jawabannya Ya. Aku kembali, walaupun terlambat dan terimakasih telah menungguku, Kuntum. Ketiga, esok lusa InsyaAllah akan kudatangi ayahmu bersama keluargaku, Kuntum. Terakhir, apakah ini juga kebetulan? Sekali lagi, aku tidak menyebut ini kebetulan. Tetapi, takdir.

Aku melipat surat itu dengan baik. Perlahan, hatiku menghangat.
Selalu, pertanyaan terbesar di otakku selama ini “Akankah bertemu lagi?”. Dan... kutemukan jawabannya dalam doaku.

Terimakasih telah kembali Kuntum.

###

February 2, 2016

[Cerpen] Pulanglah, Nak. Ibu Rindu

“Pulanglah, Nak. Ibu Rindu.”

Percakapan itu telah kudengarkan seminggu yang lalu. Sebelum semuanya terjadi, aku menganggap bahwa kalimat itu bukanlah apa-apa. Kalimat itu hanya serasa kewajiban yang seharusnya disampaikan seorang ibu kepada anaknya. Namun, aku melakukan kekeliruan yang besar dan berujung penyesalan tak terkira.

Aku tidak tahu, kenapa waktu begitu kejamnya untukku. Bukan, bukan waktu yang kejam. Aku salah memahaminya. Kenyataannya, akulah yang kejam terhadap diriku sendiri dan membiarkan waktu mempermainkanku.

Ibu kembali kepadaNya. Seminggu tepat setelah kudengarkan kalimat “rindunya”. Aku menyesal, ketika menolak pulang karena ada urusan studi yang harus kuselesaikan. Sungguh, aku menyesal tak membiarkan waktu untuk ibuku sendiri—bertemu denganku sejenak. Tapi, apalah gunanya ratapan sesal ini sekarang? Bukankah ia takkan kembali di sisiku? Ia pergi untuk selama-lamanya.