Pages

May 30, 2016

[Wish List] Purple Eyes #Prisca Primasari


Judul : Purple Eyes
Pengarang : Prisca Primasari
Terbit : April 2016
Jumlah Halaman : 144 Halaman
Penerbit : Inari

Sinopsis
"Karena terkadang,  tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi." Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin. Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh. Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

Catatan: Novel ini tipisnya begitu mirip dengan novel kak Prisca berjudul French Pink. Saya tidak tahu mana yang lebih kelam antara novel ini dengan "French Pink" karena sepertinya tema yang disuguhkan sama-sama berhubungan dengan kematian. Jika pada novel 'French Pink' kematian dan cerita lebih bersifat 'manis' tetapi di novel purple eyes saya tidak tahu ^^ Yak, mengumpulkan pundi-pundi lagi. Bayangkan, dalam tahun ini kak Prisca produktif menerbitkan buku.

[Wish List] Love Theft #2 #Prisca Primasari


Judul : Love Theft #2
Pengarang : Prisca Primasari
Terbit : Februari 2016
Jumlah Halaman : 242 halaman
Penerbit : Prisca Primasari

Sinopsis
Permasalahan yang dihadapi Frea, Liquor, dan Night semakin rumit saja. Ketiganya harus membenahi kekeliruan yang mereka lakukan, sekaligus bertarung dengan perasaan masing-masing.

Di lain sisi, Frea semakin mengenal Liquor, sedikit demi sedikit. Dia memahami luka pemuda itu, mengetahui masa lalunya, juga terus berusaha mengobati hatinya. Namun, tepat saat Frea menyadari betapa dia mencintai Liquor, sesuatu terjadi. Masalah baru yang luput dari perhitungannya.

Catatan: Saya tidak pernah mengira, bahwa kak Prisca akan menjadi deretan penulis yang saya tunggu-tunggu karyanya. Bermula dari Eclair Pagi Terakhir di Rusia saya mulai menyukai karyanya dan sampai sekarang menanti-nanti karya terbarunya, plus menyimpan pundi-pundi lebih banyak lagi Hehe. Entahlah, saya selalu menyebutnya sentuhan klasik di dalam diri penulis ini sungguh mengagumkan!!
Ah ya, buku pertama dari sekuel ini berjudul Love Theft #1 covernya cantik, bukan

May 28, 2016

[Cepen] Rabu Kelabu #1



Aku menyeret kakiku dengan gontai. Hari ini terasa panjang bagiku, karena begitu banyak urusan yang harus kutuntaskan, dan itu cukup membuatku lelah. Aku menghela napas, karena jarak antara rumahku cukup jauh dari persimpangan perhentian bus yang kunaiki. Seharusnya bau aspal sehabis hujan dapat menghangatkan perasaanku, walau hanya sedikit. Aku membatin. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, hampir kutandai bahwa setiap hari Rabu, hujan akan turun dengan deras di sore hari, dan berhenti ketika gelap hadir. Aku tersenyum, setidaknya kelabunya masa lalu, telah kuganti dengan kedamaian di hatiku. Jadi, meskipun terasa pilu, aku telah menerima dengan baik, dan telah kulalui sebagaimana mestinya. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku melihat benda mati itu berkedap-kedip sambil menunjukkan nama pengirim pesan singkat tersebut. Bibir bawahku terangkat membentuk seulas senyum, hanya seulas, dan perasaan hangat itu mengisi paru-paruku.

Kau sudah pulang? Mau berbincang malam ini? Di tempat biasa, oke?

Aku membalas pesannya seketika. Anehnya, pesan singkat itu dapat meleburkan kelelahan yang tadinya terasa hingga ke ubun-ubun. Aku mempercepat langkahku, tidak sabar untuk berjumpa, dan tentunya percakapan-percakapan sederhana yang selalu kunantikan.

Aku segera ke sana.
###
Setahun yang lalu, aku mendapatkan tempat tinggal yang lebih nyaman. Aku akui, hampir setiap tahun aku berpindah tempat tinggal. Alasannya hanya sederhana, karena aku tidak menemukan kenyamanan lagi di sana, maka kuputuskan untuk pindah. Dan... sekarang hunianku adalah seperti rumah susun yang terdiri atas lima lantai. Aku menyukai lokasi ini. Selain dekat dengan jalan utama, akses transportasi yang mudah, dan jarak dengan tempat aku bekerja juga tidak begitu jauh, ada satu tempat yang menjadi alasan bagiku tetap di sini. Bahkan, tak sekalipun terlintas di benakku untuk pindah. Aku nyaman di sini, karena ada yang memberikan kenyamanan di sini... di tempat ini.

Aku mendapatkan kamar di lantai empat dengan nomor kamar 414. Saat pertama kali menerima kunci kamar dan melihat nomor kamar yang tertera di sana, aku tersenyum. Kenapa? Orang-orang akan berpikir bahwa ada hal istimewa dari angka tersebut. Sebenarnya, aku memiliki kebiasaan menghitung suatu deret angka. Kadang-kadang untuk menghilangkan kebosanan saat berada di angkot atau bus, aku akan melihat plat mobil atau motor yang orang-orang kendarai, lalu akan kuhitung jumlah angka yang tertera di plat tersebut. Apabila jumlah tersebut menghasilkan angka yang kusukai, maka aku akan tersenyum. Entahlah, tindakan itu seolah-olah kepuasan tersendiri bagiku. Tahukah, terkadang kita melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Dan tujuannya cuma satu, untuk kepuasan batin. Maka, itulah salah satu bentuk kebahagiaan untukku.

Aku tahu, bahwa setiap orang punya alasan yang hanya mereka yang tahu, kenapa dan untuk apa melakukannya. Begitu juga denganku. Alasanku untuk tetap tinggal di sini, karena kenyamanan yang kudapatkan. Ada sebuah tempat yang kusukai di sini, yaitu atap dari rumah susun ini. Lantai lima dari tempat ini memiliki rooftop yang bisa kunaiki. Hampir setiap malam aku menghabiskan waktu sebelum larut. Tidak ada aktivitas berarti yang kulakukan di sana, hanya duduk, memandang kelamnya langit di malam hari, dan menyaksikan hiruk pikuk perkotaan dari atas sana. Hanya itu. Sungguh, aku terlihat menyedihkan dengan hal itu. Lalu, apa yang harus kulakukan?  

“Astaga! Kau mengagetkanku!” teriak seseorang yang kutahu sumber suaranya berasal dari belakangku. Aku melihat ke belakang. Ekspresinya lucu menurutku. Kulitnya kuning pucat dan semakin pucat ketika dia berteriak padaku. Aku menaikkan sebelah alisku, pertanda tidak mengerti. Kenapa aku mengagetkannya?  Dia berjalan ke arahku, dan tanpa izin duduk di ujung sisi bangku panjang yang kududuki. Dia merebahkan tubuhnya dan kulihat ada gurat-gurat lelah dilingkar matanya. Siapa dia? Sepertinya ini pertama kali aku bertemu dengannya, setelah 3 bulan dengan rutin ke sini. Selain pemandangan yang menakjubkan dari atas, di sini terdapat kursi panjang sekaligus lebar sehingga dapat digunakan untuk tidur—seperti yang dilakukan laki-laki itu. Dia diam sambil memicingkan matanya. Sepertinya dia lelah—sama sepertiku—tetapi dalam arti yang berbeda. Aku melirik arloji dan waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, serta hawa dingin perlahan terasa olehku. Aku hanya mengenakan kardigan dan itu tidak cukup menahan terpaan angin malam yang menusuk sel-sel tubuhku. Aku melirik ke arah laki-laki itu sekali lagi. Sepertinya dia tertidur, batinku. Aku tersenyum. Sepertinya, aku tidak lagi sendiri untuk malam selanjutnya. Aku meninggalkannya di atas, dan kembali ke kamar... dan tertidur dengan perasaan hangat.