Pages

December 31, 2016

[Jurnal] Karena Hidup adalah Memberi dan Menerima

Seorang Mario Teguh pernah mengatakan bahwa saat kondisi yang benar-benar tertekan, salah satu bentuk perlindungan dari diri sendiri adalah menganggap bahwa dirilah yang paling menderita. Saya tidak mengingat kapan tepatnya kalimat itu diutarakan oleh beliau, tetapi kalimat itu cukup menjadi pertimbangan bagi saya untuk bersikap. Saya akui, bahwa seringkali kita menganggap bahwa kitalah yang paling menderita, bahkan beranggapan orang lain punya kehidupan yang lebih baik. Bagi saya, pemikiran itu adalah naluriah, hanya saja jika terlalu berkelanjutan akan berdampak sesuatu yang tidak baik. 

Kehidupan seseorang itu sungguh relatif. Di sisi lain, kita dapat melihat betapa indahnya kehidupan seseorang, namun di sisi yang berbeda betapa jatuh bangunnya orang tersebut menjalani kehidupannya. Seringkali kita berspekulasi sepihak, memberi kesimpulan tanpa memikirkan dua sisi yang seharusnya juga dilibatkan. Akibatnya, kita hanya akan mengetahui, melihat sekilas, tanpa benar-benar memahami kehidupan seperti apa yang dijalani oleh orang tersebut.

December 12, 2016

[Jurnal] Surat Untukmu, Wahai Waktu!



Aku mengawali tulisanku di bulan ini dengan sungguh-sungguh. Aku tau, belakangan ini tidak pernah sekalipun menulis sepenuh hati, hanya untuk melampiaskan apa yang kurasa tanpa memikirkan apa yang terlihat, dan apa yang terasa. Aku berusaha untuk mengetikkan sederet kalimat dengan istilah ‘menulislah dengan apa yang kau pikirkan’. Sebelum menulis tulisan ini, aku telah menyetel petikan gitar dari Depapepe yang berjudul ‘Time’. Ada apa dengan melodi itu? Sederhana, karena malam ini aku ingin menceritakan tentang waktu.

Untukmu waktu, yang takkan pernah kugenggam dengan erat. Bagaimanapun kau adalah senjata paling mematikan bagi hidupku. Sekali aku lengah, maka kau akan menjadi bom bagiku. Haruskah aku meminta maaf atas kelalaian yang tanpa henti kulakukan? Ada banyak hal yang telah terjadi, termasuk perasaan lelah yang menggelayut mesra saat ini. Sungguh, namun apalah dayaku karena bagaimanapun, perasaan itu terlarang untukku. Lelah? Coba bayangkan mana yang lebih lelah ketimbang mereka? Coba pikirkan sekali lagi, mana yang lebih panjang perasaan lelah mereka dibandingkan diriku? Maka, perlahan aku butuh rehat agar kelelahan itu tidak menjadi bumerang untukku.