Pages

July 9, 2013

[Cerpen] Cinta di Tanggal Satu Juni


Aku duduk di depan kelas yang pernah kurasakan kenangan pahit. Kenangan pahit yang sulit untuk kuhapus sampai saat ini. Ini adalah sekolah yang pernah membuatku mengeluarkan air mata karena kehilangannya. Dia tidak pergi untuk selamanya. Dia hanya pergi untuk sementara ketika itu. Hari ini adalah reunianku bersama teman-teman seangkatan denganku 2008/2009 SMA 10 Padang. Hari ini tanggal 1 Juni. Bertepatan dengan tanggal itu, hatiku galau karenanya. Sungguh aku masih berharap dia akan ada untukku.
 ”Sin, kok kamu ngelamun di sini?”tanya Popy sahabatku semenjak SMA. 
 ”Nggak, aku cuma ingin duduk di sini!
“Aku ngerti perasaanmu Sin! Aku tahu, kamu belum bisa lupain itu semua!”ucapnya sambil merangkulku.
Ingin rasanya aku menangis dalam pangkuan Popy. Aku ingin mengeluarkan rasa sedihku, rasa sesak batinku. Tapi, hatiku semakin sulit untuk menangis. Entah mengapa, aku pun juga tak tahu. Yang kutahu hanyalah, dia membuat hatiku beku untuk menangis.
**

            Awal Februari aku mengenalnya. Hanya mengenalnya untuk sekedar nama, tak lebih dari itu. Aku adalah cewek cupu, kurang pergaulan dan tidak begitu dekat dengan teman-teman cowokku. Makanya saat mengenalnya, aku hanya ingin tahu namanya. Tidak lebih dari itu.Pagi itu, Ibu Anita seorang guru biologi yang mengajar di kelasku mengadakan diskusi kelompok. Aku satu kelompok dengannya serta Popy. Sejak itulah aku mengenalnya.
            Diskusi kelompok selalu diadakan Ibu Anita setiap pelajaran biologi. Kelompok kami permanen, dan tidak berubah hingga kenaikan kelas. Aku semakin mengenalnya dan mulai bisa untuk menilainya. Dia baik, berbeda dengan teman cowokku yang kebanyakan membuatku takut berhadapan dengannya. Jujur, aku sangat takut dengan cowok. Entah kenapa aku pun juga tak tahu. Aku hanya menganggap kalau cowok itu kasar, semena-mena pada cewek.
            Awal Maret aku semakin dekat dengannya, dan sesuatu terjadi dalam hatiku. Aku menghabiskan waktu sekolah bersamanya ataupun kadang dengan Popy. Dia melindungiku, ketika aku dikejar segerombolan preman yang hendak melahapku sebagai makanannya.
            ”Kamu nggak pa-pa?”tanya Hifdzi padaku.
            Aku tak sanggup berkata. Dadaku sesak karena lari menghindar dari gerombolan itu. Mataku berkaca-kaca. Aku bersyukur dia datang menyelamatkanku. Kalau tidak, entahlah. Aku tak bisa membayangkannya. Aku menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.
            ”Terima kasih. Aku berutang padamu.”
            ”Nggak masalah, itu gunanya teman, bukan?”
            Aku tersenyum padanya. Hifdzi mengantarku pulang. Katanya, dia takut sesuatu terjadi lagi padaku. Aku senang melihatnya. Andaikan semua laki-laki sepertinya, mungkin kaum hawa akan bebas dari kasus pemerkosaan. Aku ingin cowok itu melindungi dan menyayangi bukan sebaliknya. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Aku mempersilakannya mampir ke rumahku. Tapi dia menolak.
            ”Aku akan jemput kamu sebelum pergi sekolah besok!”ucapnya tiba-tiba.
            ”Maksudnya?”ucapku membulatkan mata.
            ”Aku tak ingin hal itu terjadi lagi padamu. Aku ingin melindungimu”
            Aku termenung mendengar ucapannya. Segitu pedulikah dia padaku? Aku mengangguk, dan dalam sekejab dia hilang dari penglihatanku.
            Pagi sekali Hifdzi telah datang menjemputku. Padahal, aku baru saja selesai mandi. Terpaksa Ibu yang mengajaknya untuk berbasa-basi di teras rumah. Aku pergi sekolah bersamanya. Pulang bersamanya. Itu telah kulakukan kurang lebih satu bulan.
            ”Terima kasih atas semua kepedulianmu. Aku berutang banyak padamu. Izinkan aku membalas kebaikanmu.”ucapku.
            ”Nggak, aku ikhlas menolongmu!” bantahnya.
            ”Aku mohon, temuilah aku tanggal 1 Juni di koridor sekolah!”ucapku.
            ”Baiklah!”ucapnya sambil meninggalkan rumahku.
            Setiap malam aku memikirkannya. Entah perasaan apa yang tengah melandaku. Perasaan yang membuatku gelisah tak menentu. Apa ini namanya jatuh cinta? Aku menepis rasa itu.
            ”Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya.”
            Aku keluar kamar dan menceritakan perasaan yang tengah melandaku pada Ibu.
            ”Bu, aku ingin cerita.”
            ”Duduklah!”suruh Ibuku.
            ”Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam hatiku. Aku memikirkan Hifdzi setiap saat. Aku gelisah karna memikirkannya. Perasaan itu namanya apa, Bu?”
            Ibuku tersenyum. Apa maksud senyumnya padaku? Senyum yang membuatku semakin penasaran. Ibu mengelus rambutku dengan kasih sayangnya.
            ”Ternyata kamu sudah besar. Ibu sangka kamu masih kecil.”ucapnya tersenyum lagi.
            ”Maksud Ibu apa? Dari tadi aku lihat Ibu tersenyum terus.”
            “Kamu jatuh cinta pada Hifdzi!”
            ”Maksud Ibu?”
            ”Ya, kamu menyukainya. Orang yang sedang jatuh cinta memang seperti itu. Ada gejala-gejala yang timbul. Contohnya seperti kamu tadi.”
            Aku mengerti dengan penjelasan Ibu. Pipiku memerah. Berarti aku memang jatuh cinta padanya.
            ”Terima kasih, Bu!”ucapku sambil memeluknya.
            Aku pergi meninggalkan Ibu dan masuk ke kamar. Aku tersenyum sendiri di kamar. Besok tanggal 1 Juni, hari ulang tahunku. Aku ingin memberikan hadiah pada Hifdzi sebagai ucapan terima kasihku padanya. Aku menghirup napas dan beranjak ke kasur teman malamku merajut mimpi.
            Hari ini tanggal 1 Juni. Hari ulang tahunku. Ibu mengucapkan selamat ulang tahun padaku, sambil mencium pipiku. Ibu memberikan kotak yang sangat mungil padaku.
            “Apa ini, Bu?”tanyaku.
            “Bukalah!”
            Aku membuka kotak mungil itu. Sebuah kalung yang sangat indah. Aku tersenyum pada Ibu.
            ”Itu kalung yang dibeli almarhumah Ayah untukmu.”
            ”Aku memeluk Ibu, penuh tanda terima kasih. Air mata berlinang di pipiku karena perasaan haru.
            ”Terima kasih!”
            Aku pergi sekolah dengan hati bahagia. Namun, sesuatu mengganjal dalam batinku. Hifdzi tidak menjemputku hari ini. Kemanakah dia? Dia juga absen di sekolah. Apa dia sakit?
            ”Pop, tumben Hifdzi nggak datang!”
            ”Aku juga nggak tahu! Tapi, kata Agung dia pindah sekolah.”
            ”Maksud kamu?” ucapku kaget.
            ”Kalau nggak salah dia bilang begitu.”
            ”Kok mendadak gitu Pop?”
            ”Ya... mana aku tau!”
            Apa Hifdzi pergi begitu saja? Tinggalkan aku yang tengah membutuhkannya. Tinggalkan aku yang baru menyadari perasaanku. Hatiku galau, dan aku merasakan kehilangan dirinya. Aku sangat merindukannya. Aku percaya, dia hanya pergi untuk sementara bukan untuk selamanya.
            Awal April 2008, aku sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian penentu bagiku untuk melanjutkan tingkat yang lebih tinggi. Universitas. Ujian berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Pikiranku hanya fokus pada kertas putih yang harus kulahap bagaimanapun caranya.
            ”Huh, akhirnya ujian selesai juga!”ucap Popy bahagia.
            ”Soalnya susah.”
            ”Palingan  kamu dapat 5 besar tertinggi nantinya.”
            Pikiranku kembali padanya. Hifdzi. Kapan dia datang lagi padaku? Aku merindukannya, dan hingga saat ini perasaanku masih sama seperti yang dulu. Aku berharap dia datang saat hari ulang tahunku. 1 Juni.
            Akhir Mei, aku bermimpi. Hifdzi datang ke rumahku dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Apa mimpi itu benar? Apa dia datang pada hari itu? Aku berharap mimpi itu jadi kenyataan. Amin!
            Tanggal 1 Juni yang kutunggu itu pun datang. Aku tidak sabar menanti kejutan-kejutan dari orang yang kusayangi. Seperti biasa, Ibu mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku bahagia sekali. Kira-kira pukul 10 pagi, Popy datang ke rumahku dengan wajah pucat. Kenapa Popy?
            ”Ada apa? Kok wajah kamu pucat begitu.”
            ”Ikut aku sekarang juga!”
            ”Kemana?”
            ”Suatu tempat!”
            Aku pergi bersama Popy. Aku hanya mengikuti Popy, karena aku tak tau kemana dia membawaku. Popy mengajakku untuk masuk ke rumah sakit. Kenapa rumah sakit? Ada apa ini?
            ”Masuklah!”ucapnya tenang.
            Aku masuk ke kamar itu. Kenapa aku disuruh masuk? Apa hubungannya diriku dengan pasien yang terbujur di kasur itu? Aku mendapat jawabannya ketika aku melihat wajahnya yang damai. Hifdzi. Air mataku berlinang. Tak kuasa aku melihat dirinya terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Apa yang terjadi dengannya?
            ”Sinta!” ucapnya ketika sadar.
            Air mataku semakin deras berlinang. Aku menginginkan dia kembali. Tapi bukan seperti ini.
            ”Selamat ulang tahun! Ambillah buket bunga itu di meja, itu hadiah ulang tahunmu!” Aku mengambil mawar putih yg masih rapi namun ternoda oleh darah dengan bungkus bening yang tergeletak di meja dekat Hifdzi terbaring.
            ”Aku ingin menepati janjiku padamu. Menunggumu di koridor sekolah tanggal 1 Juni. Aku minta maaf. Aku kecelakaan saat perjalanan menuju sekolah. Maafkan aku, karena aku menghilang begitu saja tanpa pamit padamu. Aku pergi sangat mendadak dan tidak sempat pamit padamu. Aku pindah ke Samarinda, ayahku pindah tugas. Maafkan aku, tapi sekarang aku di sini. Kembali padamu, dan menepati janji berada di sini!”
            Aku hanya menangis dan menangis. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. Mulutku kaku dan shock melihat keadaannya sekarang.
            ”Aku mohon, hapuslah air matamu! Tiada guna kamu menangisi aku yang akan segera pergi. Ada pendarahan di kepalaku. Mungkin beberapa saat lagi, aku akan tinggalkan dunia fana ini.”
            Aku mengusap ait mataku. Aku hanya ingin menuruti permintaan Hifdzi. Permintaan terakhirnya.
            ”Jangan menangis untuk orang yang akan pergi dan yang telah pergi. Tersenyumlah dan tertawalah, karena itu akan membuat orang yang kamu sayangi bahagia!”
            Aku duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya lalu ku tersenyum padanya. Walau sesungguhnya batinku tengah bercucuran air mata kepedihan. Aku akan tersenyum untukmu. Ia mengusap air mataku dan menggenggam tanganku semakin erat, seakan ia tak ingin melepaskanku.
            ”Aku mencintaimu!”
            Itulah kata terakhir yang terucap di mulutnya. Dia pergi tinggalkan dunia fana ini. Tinggalkan kehidupanku untuk selamanya bukan untuk sementara. Tangisku pecah. Aku tersungkur ke lantai. Kenapa sekarang baru diucapkannya? Kenapa sekarang? Kenapa? Hatiku berkecamuk dalam tanya. Popy merangkulku dan kulepaskan kepedihanku di punggungnya. Ini adalah hadiah ulang tahunku.
            Beberapa minggu setelah kematiannya, aku belum siap untuk menerimanya. Aku belum siap melepaskannya. Tiap malam aku menangis, hingga aku jatuh sakit. Namun, lambat laun ternyata aku mampu untuk mereda semua gundah gulana hatiku. Berkat Popy dan Ibu yang selalu ada untukku, membuatku menjadi lebih bisa menerima kepergiannya. Untuk selamanya.
**
“Pop, aku akan tertawa untuk orang yang telah pergi. Agar dia bahagia.”ucapku pada Popy.
            “Aku senang kamu seperti ini.”ucap Popy sambil memberikan hadiah padaku saat reunian.
**

No comments:

Post a Comment