Aku
turun dari bus yang kunaiki siang ini. Aku menyeberangi jalan menuju taman Imam
Bonjol tempat aku dan dia membuat janji. Aku melihat ke atas tribun, dan
seseorang melambaikan tangan kepadaku. Itu dia dan seorang gadis mungil di
sampingnya. Aku tersenyum, dan melangkahkan kaki ke arah mereka. Aku baik-baik
saja karena tiga tahun yang lalu, aku memutuskan untuk melepaskan.
“Sudah
lama menunggu, Thariq, Kirana?” ucapku tersenyum penuh arti.
###
Aku Hana. Apabila diartikan dalam bahasa
Jepang, namaku berarti bunga. Tidak ada yang istimewa dengan namaku, begitu
juga dengan kepribadianku. Aku sama seperti gadis yang lainnya, belajar,
bermain, dan melakukan hal-hal sesuai umurku, termasuk menyukai seseorang. Namun,
untuk masalah yang terakhir aku tidak ingin mengalaminya sekarang, karena ada
hal lain yang harus kulakukan sebelum itu terjadi—meraih mimpiku.
“Hana!” teriak laki-laki dari atas gedung
berlantai dua. Aku sudah tahu hanya dengan mendengar suaranya. Dia Thariq. Aku
bersahabat dengannya. Hubungan kami tidak lagi seperti orang-orang yang
berkenalan satu atau dua tahun. Aku telah mengenalnya sejak aku berumur lima
tahun—ketika aku masih bermain perosotan, petak umpet, dan balapan sepeda, aku
telah mengenalnya. Aku tidak mengerti, takdir seperti apa untukku dan dia. Kami
bersama-sama hingga detik ini—bersekolah di tempat yang sama.
Tetapi, dia berbeda. Apabila di sekolah ini aku
tak terlihat, dia sangat terlihat. Aku mengakui dia mempunyai wajah yang
rupawan, tinggi yang atletis, dan cerdas. Dia tidak pintar, tetapi cerdas. Aku
mengatakan itu, karena aku mengenalnya.
“Mau coklat, Han?” tawarnya.
“Sejak kapan kamu di sana?” jawabku kaget.
“Dari tadi. Makanya berhenti ngelamun. Emangnya
ngelamun bakalan keluar di soal ujian ya?” Aku menggigit bibirku, dan
menimpuknya dengan buku setebal Harry Potter. Dia meringis kesakitan.
“Dasar kejam! Namamu Hana—yang jika aku
membayangkannya itu, lembut, anggun.”
“Biarin.” ujarku dengan menjulurkan lidah
kepadanya. Aku merampas coklat yang ditawarinya tadi kepadaku. Dia selalu ingat
hal kecil ini, jika akan ujian aku butuh coklat untuk menghilangkan stres yang
kumiliki.
“Sekarang ujian terakhir kita, Han. Ada rencana
setelah ini?” tanyanya tenang. Aku tahu, pertanyaannya bukan berarti “setelah
ujian ini kita mau hangout kemana”,
tetapi lebih tepatnya kemana kita setelah melepas seragam putih abu-abu ini, ke
arah mana perjuangan kita selanjutnya.
Aku menepuk pundaknya.
“Aku sudah memikirkannya, Thariq. Jangan
khawatir.” ucapku mantap.
###
Pertanyaan Thariq dua hari yang lalu masih
terngiang-ngiang di otakku. Aku mengerti, dia selalu khawatir terhadapku. Dia
tahu bahwa aku belum mempunyai mimpi besar yang ingin kuraih. Bukan aku tidak
memilikinya, hanya saja...aku tidak yakin dapat meraihnya. Aku masih ragu untuk
melangkah.
Persahabatan kami terbilang aneh. Orang-orang
beranggapan kami menjalin suatu hubungan. Tetapi, bagiku itu hanya omong
kosong. Kami bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Aku jarang
menghabiskan waktu bersamanya untuk melakukan hal-hal tidak berarti, seperti
jalan-jalan, mononton film terbaru, atau mengunjungi tempat terkenal sekedar
untuk berfoto. Kami jarang melakukannya. Jarang bukan berarti tidak pernah,
bukan? Terakhir kali kami melakukannya sebelum memasuki bangku sekolah menengah
atas. Kami menghabiskan waktu setengah hari di pantai, menikmati angin yang
menerpa, dan bercerita tentang masa depan.
“Aku
ingin menjadi dosen, Han.” ujarnya sebelum sunset. Aku memutar kepala ke
arahnya. Hanya senyuman yang dapat kuberikan membalas ucapannya. Aku hanya...
merasa sedikit sesak mengetahui dia telah memiliki sesuatu yang hendak di
raihnya. Aku menghela napas.
“Itu
bagus.” jawabku sambil melihat matahari yang tinggal beberapa detik lagi hilang
sempurna.
“Bagaimana
denganmu, Han?” tanyanya balik. Aku tertawa dan menggeleng. Aku mengerti tawa
itu bukan tak sengaja, tepatnya aku tak tahu harus menjawab apa. Maka aku
memutuskan untuk tertawa. Aku melihat ke arahnya, dan terlihat sorot cemas dari
wajahnya. Aku menyikut lengannya.
“Jangan
gitu ah. Aku baik-baik saja. Aku pasti menemukannya nanti—tetapi bukan
sekarang.” ucapku tenang. Dia tidak tahu, bahwa sebenarnya langkah hidupnya
semakin jauh dariku. Sedangkan aku? Aku masih stuck di sini, di posisi yang
tidak jelas.
“Berjanjilah,
kamu harus menemukannya sebelum ujian perguruan tinggi dimulai.” pintanya. Aku
mengangguk, dan hari itu aku pun berjanji akan mengejarnya.
###
Hari ini aku ada janji dengan
Thariq—mengunjungi suatu tempat. Bukan tempat yang baru, hanya saja di sana ada
memori yang baik di antara kami. Aku tahu pembicaraan seperti apa yang akan di
bahas—tentang masa depan kami. Ponselku berdering dan segera kuangkat.
“Dimana?”tanyanya di seberang sana. Aku
cengengesan.
“Masih di rumah, Rik. Sori.” jawabku pelan. Aku
mendengar dengusannya, dan memutus telpon begitu saja. Keanehan kami yang lain,
walaupun kami tinggal bertetangga dia tidak pernah menjemputku. Apabila kami
ingin bertemu di luar sekolah, kami cukup membuat janji dan mendatangi tempat
yang dijanjikan. Kami jarang berjalan beriringan apabila di luar sekolah.
Walaupun duduk bersama sering kami lakukan, tetapi saat pulang dia selalu
menyuruhku pulang duluan, dan dia menyusul dengan motornya.
Aku memasuki kawasan taman Melati setengah jam
kemudian. Seseorang telah menungguku sambil memegangi dua tiket masuk dengan
kesal. Aku mengatupkan kedua tanganku, mengisyaratkan maaf padanya.
Kami duduk di atas ayunan, terdiam dengan
pikiran masing-masing. Aku mengerti, lambat laun janjiku harus segera kutepati.
Aku menghela napas, berniat untuk memberitahunya—mimpi yang belum jelas aku
bisa meraihnya atau tidak.
“Aku...akan ke Jerman, Han.”
Aku terdiam. Mulutku tiba-tiba terkatup, tidak
ingin mengatakan sesuatu kepadanya hari ini. Aku berdiri dari ayunan dan
berdiri di depannya.
“Hana....” Dia terlihat khawatir kepadaku. Aku menggeleng
dan mengulurkan tangan kepadanya.
“Selamat. Mari kita rayakan hari ini.” ucapku.
“Hana....janji kita?” tanyanya masih menjabat
tanganku. Aku tetap menggeleng.
“Kita bicarakan ini nanti, oke?” pintaku. Akhirnya,
dia mengangguk dan kami berjalan keluar taman untuk menyusuri pantai—lagi dalam
diam.
###
Minggu depan, Thariq berangkat ke Jerman. Aku sadar,
lambat laun kami pasti berpisah. Tetapi, aku tidak menyadari dengan cepat saat
dia memasukkan fortofolionya untuk
mendapatkan beasiswa ke Jerman. Saat itu, aku hanya mendukungnya tanpa
mengetahui akibat jika dia diterima—perpisahan.
Hingga detik ini, akupun belum memberitahunya
perihal rencanaku ke depannya. Ditambah intensitas pertemuanku dengannya
berkurang sejak hari itu. Dia sibuk mengurus berkas keberangkatannya—hingga melupakan
sesuatu tentangku. Tetapi aku tidak mempermasalahkan hal itu.
Aku tidak mengerti, perasaan seperti apa
sekarang. Aku sedih, mengetahui dia akan jauh dariku. Mungkin karena kami tidak
pernah berjauhan satu sama lain—bahkan bertengkarpun cuma sehari. Aku menghela
napas menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang mulai menggelayut di otakku.
“Hana. Thariq di luar.” ucap ibu saat memasuki
kamarku. Aku sontak kaget. Kehadirannya di rumahku dapat dihitung. Jika tidak
darurat atau disuruh orangtuanya, dia enggan datang ke rumahku. Dia lebih
memilih tempat di luar rumah. Katanya agar lebih leluasa bicara.
Aku keluar kamar dan menemuinya di teras rumah.
Suasana menjadi canggung, dan aku mengerti karena apa. Thariq sekarang telah
berlari menuju mimpinya, sedangkan aku masih jalan di tempat. Kami memiliki
perbedaan yang begitu jelas sekarang.
“Hana...” ujarnya membuka pembicaraan.
“Udah selesai persiapannya?” tanyaku tak
membiarkannya menanyakan tentangku.
“Sedikit lagi selesai. Aku...minta maaf.” Entahlah,
mendengar permintaan maafnya untuk pertama kali membuatku merinding.
“Maaf untuk apa?”
“Meninggalkanmu.”
###
Aku mengantarnya ke bandara bersama ayah dan
ibuku. Hari ini, aku berusaha tersenyum menyembunyikan luapan kesedihanku.
Bayangkan, 13 tahun setiap saat bersamanya dan tiba-tiba berpisah. Bisa
dikatakan pertalian darah yang tak kami miliki—kami sudah seperti saudara.
Ibu dan Ayahnya memeluknya sebelum check in begitu juga dengan orangtuaku.
Mereka juga menganggap Thariq adalah anaknya. Kami terlahir sebagai anak
tunggal berdua. Makanya baik orangtuaku atau Thariq sama-sama menyayangi kami.
Terakhir... giliranku. Dia menatapku. Dia
berusaha tersenyum, walaupun raut wajahnya terlihat sulit berpisah denganku.
“Hah Hana... kamu membuatku frustasi.” Dia
merangkulku dan mengacak-acak rambutku.
“Aku akan baik-baik saya, Rik. Tenang saja.” ujarku
tenang.
“Benarkah?” tanyanya ragu. Aku menyikut
perutnya, dia tidak mengaduh justru memberikan pelukan hangat—sebagai sahabat
yang akan pergi.
“Hati-hati di sini. Aku akan segera kembali. Ketika
aku kembali, berjanjilah kamu telah meraih mimpimu, paling kurang dalam proses
meraihnya.” bisiknya. Pertahananku tumbang seketika. Aku menangis, membayangkan
setiap hari tanpanya dan kekuatan yang selalu diberikannya padaku, membuatku
tanpa sadar terlalu banyak bergantung padanya. Aku mengusap air mataku,
mengangguk mantap padanya.
“Aku berjanji.”
Setelah
dia pergi dari hidupku, perasaan itu muncul. Aku perlahan menyadari kehadirannya, tetapi bukan sebagai sahabat. Sayangnya,
perasaan itulah yang menjadi kekeliruan untukku.
###
Nb : Semoga beberapa hari setelah ini dapat melanjutkan kisah yang satu ini -_-. Takutnya, sama seperti cerita-cerita sebelumnya, terputus begitu saja, walaupun berharap suatu nanti bisa melanjutkannya lagi :')