Pages

January 27, 2016

[Cerpen] Love Triangle #1

Aku turun dari bus yang kunaiki siang ini. Aku menyeberangi jalan menuju taman Imam Bonjol tempat aku dan dia membuat janji. Aku melihat ke atas tribun, dan seseorang melambaikan tangan kepadaku. Itu dia dan seorang gadis mungil di sampingnya. Aku tersenyum, dan melangkahkan kaki ke arah mereka. Aku baik-baik saja karena tiga tahun yang lalu, aku memutuskan untuk melepaskan.

“Sudah lama menunggu, Thariq, Kirana?” ucapku tersenyum penuh arti.
###

Aku Hana. Apabila diartikan dalam bahasa Jepang, namaku berarti bunga. Tidak ada yang istimewa dengan namaku, begitu juga dengan kepribadianku. Aku sama seperti gadis yang lainnya, belajar, bermain, dan melakukan hal-hal sesuai umurku, termasuk menyukai seseorang. Namun, untuk masalah yang terakhir aku tidak ingin mengalaminya sekarang, karena ada hal lain yang harus kulakukan sebelum itu terjadi—meraih mimpiku.

“Hana!” teriak laki-laki dari atas gedung berlantai dua. Aku sudah tahu hanya dengan mendengar suaranya. Dia Thariq. Aku bersahabat dengannya. Hubungan kami tidak lagi seperti orang-orang yang berkenalan satu atau dua tahun. Aku telah mengenalnya sejak aku berumur lima tahun—ketika aku masih bermain perosotan, petak umpet, dan balapan sepeda, aku telah mengenalnya. Aku tidak mengerti, takdir seperti apa untukku dan dia. Kami bersama-sama hingga detik ini—bersekolah di tempat yang sama.

Tetapi, dia berbeda. Apabila di sekolah ini aku tak terlihat, dia sangat terlihat. Aku mengakui dia mempunyai wajah yang rupawan, tinggi yang atletis, dan cerdas. Dia tidak pintar, tetapi cerdas. Aku mengatakan itu, karena aku mengenalnya.

“Mau coklat, Han?” tawarnya.

“Sejak kapan kamu di sana?” jawabku kaget.

“Dari tadi. Makanya berhenti ngelamun. Emangnya ngelamun bakalan keluar di soal ujian ya?” Aku menggigit bibirku, dan menimpuknya dengan buku setebal Harry Potter. Dia meringis kesakitan.

“Dasar kejam! Namamu Hana—yang jika aku membayangkannya itu, lembut, anggun.”

“Biarin.” ujarku dengan menjulurkan lidah kepadanya. Aku merampas coklat yang ditawarinya tadi kepadaku. Dia selalu ingat hal kecil ini, jika akan ujian aku butuh coklat untuk menghilangkan stres yang kumiliki.

“Sekarang ujian terakhir kita, Han. Ada rencana setelah ini?” tanyanya tenang. Aku tahu, pertanyaannya bukan berarti “setelah ujian ini kita mau hangout kemana”, tetapi lebih tepatnya kemana kita setelah melepas seragam putih abu-abu ini, ke arah mana perjuangan kita selanjutnya.

Aku menepuk pundaknya.

“Aku sudah memikirkannya, Thariq. Jangan khawatir.” ucapku mantap.
###
Pertanyaan Thariq dua hari yang lalu masih terngiang-ngiang di otakku. Aku mengerti, dia selalu khawatir terhadapku. Dia tahu bahwa aku belum mempunyai mimpi besar yang ingin kuraih. Bukan aku tidak memilikinya, hanya saja...aku tidak yakin dapat meraihnya. Aku masih ragu untuk melangkah.

Persahabatan kami terbilang aneh. Orang-orang beranggapan kami menjalin suatu hubungan. Tetapi, bagiku itu hanya omong kosong. Kami bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Aku jarang menghabiskan waktu bersamanya untuk melakukan hal-hal tidak berarti, seperti jalan-jalan, mononton film terbaru, atau mengunjungi tempat terkenal sekedar untuk berfoto. Kami jarang melakukannya. Jarang bukan berarti tidak pernah, bukan? Terakhir kali kami melakukannya sebelum memasuki bangku sekolah menengah atas. Kami menghabiskan waktu setengah hari di pantai, menikmati angin yang menerpa, dan bercerita tentang masa depan.

“Aku ingin menjadi dosen, Han.” ujarnya sebelum sunset. Aku memutar kepala ke arahnya. Hanya senyuman yang dapat kuberikan membalas ucapannya. Aku hanya... merasa sedikit sesak mengetahui dia telah memiliki sesuatu yang hendak di raihnya. Aku menghela napas.

“Itu bagus.” jawabku sambil melihat matahari yang tinggal beberapa detik lagi hilang sempurna.

“Bagaimana denganmu, Han?” tanyanya balik. Aku tertawa dan menggeleng. Aku mengerti tawa itu bukan tak sengaja, tepatnya aku tak tahu harus menjawab apa. Maka aku memutuskan untuk tertawa. Aku melihat ke arahnya, dan terlihat sorot cemas dari wajahnya. Aku menyikut lengannya.

“Jangan gitu ah. Aku baik-baik saja. Aku pasti menemukannya nanti—tetapi bukan sekarang.” ucapku tenang. Dia tidak tahu, bahwa sebenarnya langkah hidupnya semakin jauh dariku. Sedangkan aku? Aku masih stuck di sini, di posisi yang tidak jelas.

“Berjanjilah, kamu harus menemukannya sebelum ujian perguruan tinggi dimulai.” pintanya. Aku mengangguk, dan hari itu aku pun berjanji akan mengejarnya.
###
Hari ini aku ada janji dengan Thariq—mengunjungi suatu tempat. Bukan tempat yang baru, hanya saja di sana ada memori yang baik di antara kami. Aku tahu pembicaraan seperti apa yang akan di bahas—tentang masa depan kami. Ponselku berdering dan segera kuangkat.

“Dimana?”tanyanya di seberang sana. Aku cengengesan.

“Masih di rumah, Rik. Sori.” jawabku pelan. Aku mendengar dengusannya, dan memutus telpon begitu saja. Keanehan kami yang lain, walaupun kami tinggal bertetangga dia tidak pernah menjemputku. Apabila kami ingin bertemu di luar sekolah, kami cukup membuat janji dan mendatangi tempat yang dijanjikan. Kami jarang berjalan beriringan apabila di luar sekolah. Walaupun duduk bersama sering kami lakukan, tetapi saat pulang dia selalu menyuruhku pulang duluan, dan dia menyusul dengan motornya.

Aku memasuki kawasan taman Melati setengah jam kemudian. Seseorang telah menungguku sambil memegangi dua tiket masuk dengan kesal. Aku mengatupkan kedua tanganku, mengisyaratkan maaf padanya.

Kami duduk di atas ayunan, terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku mengerti, lambat laun janjiku harus segera kutepati. Aku menghela napas, berniat untuk memberitahunya—mimpi yang belum jelas aku bisa meraihnya atau tidak.

“Aku...akan ke Jerman, Han.”

Aku terdiam. Mulutku tiba-tiba terkatup, tidak ingin mengatakan sesuatu kepadanya hari ini. Aku berdiri dari ayunan dan berdiri di depannya.

“Hana....” Dia terlihat khawatir kepadaku. Aku menggeleng dan mengulurkan tangan kepadanya.

“Selamat. Mari kita rayakan hari ini.” ucapku.

“Hana....janji kita?” tanyanya masih menjabat tanganku. Aku tetap menggeleng.

“Kita bicarakan ini nanti, oke?” pintaku. Akhirnya, dia mengangguk dan kami berjalan keluar taman untuk menyusuri pantai—lagi dalam diam.
###
Minggu depan, Thariq berangkat ke Jerman. Aku sadar, lambat laun kami pasti berpisah. Tetapi, aku tidak menyadari dengan cepat saat dia memasukkan fortofolionya untuk mendapatkan beasiswa ke Jerman. Saat itu, aku hanya mendukungnya tanpa mengetahui akibat jika dia diterima—perpisahan.

Hingga detik ini, akupun belum memberitahunya perihal rencanaku ke depannya. Ditambah intensitas pertemuanku dengannya berkurang sejak hari itu. Dia sibuk mengurus berkas keberangkatannya—hingga melupakan sesuatu tentangku. Tetapi aku tidak mempermasalahkan hal itu.

Aku tidak mengerti, perasaan seperti apa sekarang. Aku sedih, mengetahui dia akan jauh dariku. Mungkin karena kami tidak pernah berjauhan satu sama lain—bahkan bertengkarpun cuma sehari. Aku menghela napas menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang mulai menggelayut di otakku.

“Hana. Thariq di luar.” ucap ibu saat memasuki kamarku. Aku sontak kaget. Kehadirannya di rumahku dapat dihitung. Jika tidak darurat atau disuruh orangtuanya, dia enggan datang ke rumahku. Dia lebih memilih tempat di luar rumah. Katanya agar lebih leluasa bicara.

Aku keluar kamar dan menemuinya di teras rumah. Suasana menjadi canggung, dan aku mengerti karena apa. Thariq sekarang telah berlari menuju mimpinya, sedangkan aku masih jalan di tempat. Kami memiliki perbedaan yang begitu jelas sekarang.

“Hana...” ujarnya membuka pembicaraan.

“Udah selesai persiapannya?” tanyaku tak membiarkannya menanyakan tentangku.

“Sedikit lagi selesai. Aku...minta maaf.” Entahlah, mendengar permintaan maafnya untuk pertama kali membuatku merinding.

“Maaf untuk apa?”

“Meninggalkanmu.”
###
Aku mengantarnya ke bandara bersama ayah dan ibuku. Hari ini, aku berusaha tersenyum menyembunyikan luapan kesedihanku. Bayangkan, 13 tahun setiap saat bersamanya dan tiba-tiba berpisah. Bisa dikatakan pertalian darah yang tak kami miliki—kami sudah seperti saudara.

Ibu dan Ayahnya memeluknya sebelum check in begitu juga dengan orangtuaku. Mereka juga menganggap Thariq adalah anaknya. Kami terlahir sebagai anak tunggal berdua. Makanya baik orangtuaku atau Thariq sama-sama menyayangi kami.

Terakhir... giliranku. Dia menatapku. Dia berusaha tersenyum, walaupun raut wajahnya terlihat sulit berpisah denganku.

“Hah Hana... kamu membuatku frustasi.” Dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku.

“Aku akan baik-baik saya, Rik. Tenang saja.” ujarku tenang.

“Benarkah?” tanyanya ragu. Aku menyikut perutnya, dia tidak mengaduh justru memberikan pelukan hangat—sebagai sahabat yang akan pergi.

“Hati-hati di sini. Aku akan segera kembali. Ketika aku kembali, berjanjilah kamu telah meraih mimpimu, paling kurang dalam proses meraihnya.” bisiknya. Pertahananku tumbang seketika. Aku menangis, membayangkan setiap hari tanpanya dan kekuatan yang selalu diberikannya padaku, membuatku tanpa sadar terlalu banyak bergantung padanya. Aku mengusap air mataku, mengangguk mantap padanya.

“Aku berjanji.”

Setelah dia pergi dari hidupku, perasaan itu muncul. Aku perlahan menyadari kehadirannya,  tetapi bukan sebagai sahabat. Sayangnya, perasaan itulah yang menjadi kekeliruan untukku.
###

Nb : Semoga beberapa hari setelah ini dapat melanjutkan kisah yang satu ini -_-. Takutnya, sama seperti cerita-cerita sebelumnya, terputus begitu saja, walaupun berharap suatu nanti bisa melanjutkannya lagi :')


4 comments:

  1. Fan, kayak novel betulan...Brp lama bikinnya, Fan? Serius, terbawa Nadia. Ah, Fani berhasil menjiwai sosok Hana. Mencurigakan!

    ReplyDelete
  2. Haha, sayangnya setelah ini pikiran fani buntu mau nulis kayak gimana tentang mereka nad :( *selalu kayak gitu.

    hmm, setengah hari nad -_-

    eh? apa yang mencurigakan nad? haha, imajinasi doang nad hoho

    ReplyDelete
  3. Keren fan, kakak suka ceritanya ���� ringan tapi ngena.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ada kak uci :D makasih kak udah dibaca hehe
      jadi malu ^^

      Delete