Pages

February 3, 2015

[Jurnal] Duniaku [Welcome]

Welcome to my world, guys ^^




Entahlah, aku hanya ingin memperkenalkan sedikit dunia bisu yang kubangun sendiri. Kenapa kukatakan dunia bisu, karena di sana hanya akulah yang akan menciptakan interaksi, sedangkan lawan bicaraku, dia akan tetap diam, tak berkata sepatah katapun. Apakah dia benda mati? Iya, dia adalah benda mati, yang tanpa kusadari, aku mempunyai duniaku sendiri dengannya.
Perkenalkan, inilah dia. Duniaku—aku dengan buku-bukuku.

Aku hanya merasa perlu menceritakannya, karena sama seperti manusia yang ada di sekitarku, dia juga telah menjadi bagian dari hidupku. Walaupun dia tak bernyawa, tetapi aku merasa dia mempunyai nyawa. Nyawa yang diberikannya dengan makna yang ada dalam buku-buku tersebut.

Dari mana ini bermula? Jujur kukatakan, aku mempunyai keinginan yang rendah dalam membaca. Itu jauh—jauh sebelum aku memasuki jenjang SMP. Aku masih ingat saat aku duduk di bangku SD, aku keseringan dimarahi karena malas membaca, karena aku selalu bertanya pada orangtuaku, saudaraku, atau kerabat dekatku tentang isi pertanyaan yang ada dalam tugas sekolahku. Padahal, semua isi tersebut jelas-jelas ada dalam buku tersebut. Lucukah? Itulah efek karena aku malas membaca.

Lalu, aku menyadari bahwa waktu membuat semuanya berubah. Saat aku memasuki jenjang SMP, perlahan aku mempunyai kesukaan dalam membaca. Salah satu faktor yang mendukungku adalah, lingkungan sekolahku, yang tak perlu kusebutkan dimana—penuh dengan otak-otak encer nan kutu buku (positif). Di sana, aku dikelilingi orang-orang yang menjadikan hobinya adalah membaca. Dan, tanpa kusadari akupun ikut hanyut dalam situasi tersebut. Walaupun batas bacaanku masih sekedar komik dan novel belum merambah ke buku pelajaran—hingga sekarangpun masih seperti itu (parah -__-), menurutku itu sudah jauh lebih baik.



Benar apa yang dikatakan banyak orang. Berteman dengan orang yang rajin, minimal rajinnya akan terbawa. Berteman dengan orang yang malas, minimal malasnya juga akan terbawa, dan begitu juga denganku, berteman dengan orang yang rajin membaca, minimal aku juga  akan suka membaca. Sederhana itukah? Aku sangat menikmati masa-masa itu.

Masa- masa saat aku harus berburu novel, meminjam ke sana sini (nostalgia SMP), dan yang terpenting adalah, aku menjadi penghuni perpustakaan yang salah satu petugasnya—aku masih ingat memanggilku dengan sebutan, ehem *sensor*. Sedikit cerita, aku ingat saat beliau menyuruhku mengetikkan sesuatu, dan ujung-ujungnya aku dibelikan sate, dan diizinkan membuka facebook kala itu. Suatu hal yang luar biasakah? Menurutku, iya. Jarang-jarang hal itu terjadi. Masa itu facebook sedang boomingnya, dan di perpustakaan dilarang membuka situs-situs media sosial. Sedangkan aku? Aku diizinkan saat itu. Nah, aku baru merasa ini sedikit berlebihan -_- Maafkan aku—lagi.  (Sepertinya aku mulai ngelantur dari topik awalnya, dan berimbas pada nostalgia saat aku SMP. Maafkan aku, saudara-saudara ^_^)
Aku merindukan masa-masa itu, mengingat aku telah jauh dari masa-masa itu. Hm, kurang lebih 5 tahun semua itu telah berlalu :’)



Oke, kembali ke topik semula, sebelum benar-benar ngelantur ke arah yang lebih aneh :O
Tanpa aku sadari, di tahun 2008, tepatnya tanggal 13 April, aku berhasil membeli satu novel. Saat kuliah inilah aku baru menyadari, bahwa novel pertama yang kubeli justeru adalah novel terjemahan—Frankie, Peaches and Me #1 karya Karen McCombie. Pernah terbayangkan, saat seseorang baru memulai untuk menyukai membaca, tetapi bacaan yang ditemukan adalah sesuatu yang membosankan? Apa yang akan terjadi? Aku mengabaikan novel tersebut. Ironisnya. Aku menimbunnya, karena aku hanya sanggup membacanya 5-10 halaman sekali baca—itupun saat aku dalam keadaan mood yang baik. Tetapi, bukankah saat kita telah memulainya, kita harus menyelesaikannya? Walaupun dengan susah payah, aku pun menyelesaikan membaca novel tersebut.

Dan, aku tak menyangka setelah itu. Aku mulai terbiasa membaca beberapa novel terjemahan, dan imbasnya aku keseringan meminjam novel-novel karya Meg Gabot.



Dan, begitulah semuanya berawal.
Aku bahkan mencantumkan dalam buku rencanaku, bahwa setiap bulan aku harus membeli satu buah novel, yang tentunya dari usahaku menabung. Perlahan, semua itu telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan untukku.


Pernah kurasakan suatu kala, saat aku harus berjuang mati-matian (lebay -_-) untuk menahan hasrat membeli novel. Kenapa? Karena saat itu aku berada di bangku akhir, dan telah berkomitmen (ceilee) dengan diriku untuk tidak membeli novel hingga Ujian Nasional berakhir. Tanyakanlah, apakah itu berhasil? Syukurnya itu berhasil. Tetapi, apa yang terjadi setelah itu? Aku memburu banyak novel SETELAH ITU.

Hingga aku duduk di bangku SMA, kebiasaan itu tetap menjadi bagian dari diriku. Hanya saja, aku kehilangan teman-teman untuk hobi yang sama dengan itu. Tapi, saat kita kehilangan, bukankah kita menemukan hal baru? Ya, aku menemukan banyak hal baru di sana. Perasaan yang aku tidak ingin mengungkapkannya di sini :D

Aku tetap membaca, tetap sibuk dengan duniaku sendiri, dan walaupun jarak antara sekolahku dengan toko buku amat sangat jauh, setidaknya aku masih menyempatkan pergi ke sana, tiga atau lima bulan sekali (bertolak belakang saat SMP, saat aku bisa setiap hari ke sana) .

Nah, aku baru menyadari ini kembali keluar dari topik masalah tulisan ini. Astaga :O
Satu hal yang tidak kusadari hingga saat ini, bahwa aku telah banyak menyimpan buku. Bahkan, aku membutuhkan sebuah tempat untuk meletakkan buku-bukuku yang lain—buku kuliah terutama (siapapun yang menyumbangkan, aku dengan senang hati menerimanya, hihi ^^).

Kembali ke topik semula. Kenapa aku menjadikan buku adalah duniaku?



Karena dengan buku, aku dapat menemukan hal-hal yang tidak bisa kutemukan lewat interaksi keseharianku. Banyak hal kutemukan lewat tulisan. Hal-hal yang sebenarnya amatlah dalam dibandingkan jika kita hanya mendengarkannya secara verbal. Aku menemukan duniaku. Lewat buku, tidak akan ada yang membantah, saat aku mengutarakan ini dan itu tentang buku tersebut. Aku dapat berekspresi, tanpa harus di cela. Dan, aku mengakuinya bahwa dia adalah teman dikala senggang, dikala putus asa, dikala kita membutuhkan jawaban yang membuat hati damai, dan menurutku dia adalah teman terbaik untuk sebuah benda mati. Bukankah begitu? Kita tidak tahu, jika kita tidak mencobanya, dan aku telah mencoba melakukannya.

(Sadar atau tidak, aku kembali menulis dengan tutur kata yang serius, padahal kalimat sebelumnya, aku masih *ngaco tak karuan*). Aku mohon maklum, saudara-saudara J

Dan, dengan buku aku menemukan kebahagiaan yang lain. Inilah novel dan komik yang tanpa kusadari telah terkumpul semenjak aku duduk di bangku SMP hingga sekarang.

Aku hanya ingin mengatakan, buku apapun itu, menurutku setiap buku selalu mempunyai ilmu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Baik buruk yang ingin disampaikannya, benar atau tidaknya, lurus atau bengkoknya ilmu tersebut, dia tetaplah buku yang bertindak sebagai perantara ilmu. Di sanalah kita sebagai pembaca diajak untuk berpikir. Mengambilnya untuk sebuah pembelajaran, untuk sebuah wawasan, atau mengabaikannya karena dirasa tak cocok dengan jalan hidup yang kita anut? Bukankah dia bisu, kitalah yang akan menentukan ke arah mana, apa yang ingin disampaikan sebuah buku akan berlabuh.

Oleh sebab itu kukatakan, dia tidak pernah membantah. Dia hanya mengikuti alur pikiran si pembaca.
Positifnya, dengan membaca kita akan membuat otak berpikir, dan tentunya membuat kita menemukan hal-hal baru.

Menyenangkan? Tentu. Siapa yang tidak menyukai hal baru?
Dan, begitulah duniaku dengannya.
Saat buku telah menjadi bagian dari hidupku.


Catatan :

  • Sepertinya aku harus membeli lebih banyak buku agama mulai sekarang. Aku merasa tidak adil karena di dalam rak bukuku, dia termasuk minoritas.
  • Aku telah berhenti membeli novel dengan label *teenlit*. Pengaruh usia menurutku mempengaruhi.
  • Walaupun aku dulu menyukai novel terjemahan, kuakui aku mempunyai wawasan yang minim dengan novel-novel terjemahan. Saat kuliah inilah, aku kembali membrowsing dan sharing novel terjemahan yang bagus untuk dibaca.
  • Aku masih mempunyai ‘kegilaan’ yang lumrah akan novel—terutama novel yang ingin kukoleksi. Tapi jangan salah, ‘kegilaan’ ini masih dalam taraf normal.
  • Ayahku mengatakan, “Ingin membuat perpustakaan?”. Aku menjawabnya, “Tentu saja, doakan saja. Huaa!!” Salah satu mimpiku.
  • Bersangkutan dengan buku, entah dari mana sifat itu berasal, tingkat sensitivitasku meningkat. Orang-orang yang pernah berhubungan dengan meminjam bukuku, mungkin mengerti ke arah mana pembicaraan ini. Bahkan, adikku sendiri akan paham :D

Terakhir, aku ingin mengatakan. Membacalah. Apapun itu, tetapi yang positif. Bacalah. Menurutku, tidak ada ruginya untuk meluangkan sedikit waktu hanya untuk membaca.

Mau membandingkan?
Apa yang ingin dibandingkan?
Pikirkanlah.


4 comments:

  1. Ya ampun kekem.... Itu koleksi buku novel punya kamu semua? Banyak bangeettt. Kalo dikumpulin tuh, disusun di rak-rak buku kamarku, bakalan kayak perpustakaan mini kali ya. haha

    ReplyDelete
  2. haha, iyaa keem :D
    nah makanya kem, sekarang aku lagi krisis rak buku wkwk
    belikan satu hoho

    ReplyDelete
  3. ambil aja noh rak-rak yg ada d GM sama sarang. haha Atau tebengin aja buku2 kamu di sana, mereka pasti akan terima dg senang hati, haha

    ReplyDelete
  4. Heeeeh, sama aja keeem -_- kamu ajalah yang bawain rak gm itu ke rumahku kem haha

    ReplyDelete