Welcome to my world, guys
^^
Entahlah, aku hanya ingin
memperkenalkan sedikit dunia bisu yang kubangun sendiri. Kenapa kukatakan dunia
bisu, karena di sana hanya akulah yang akan menciptakan interaksi, sedangkan
lawan bicaraku, dia akan tetap diam, tak berkata sepatah katapun. Apakah dia
benda mati? Iya, dia adalah benda mati, yang tanpa kusadari, aku mempunyai
duniaku sendiri dengannya.
Perkenalkan, inilah dia.
Duniaku—aku dengan buku-bukuku.
Aku hanya merasa perlu
menceritakannya, karena sama seperti manusia yang ada di sekitarku, dia juga
telah menjadi bagian dari hidupku. Walaupun dia tak bernyawa, tetapi aku merasa
dia mempunyai nyawa. Nyawa yang diberikannya dengan makna yang ada dalam
buku-buku tersebut.
Dari mana ini bermula?
Jujur kukatakan, aku mempunyai keinginan yang rendah dalam membaca. Itu
jauh—jauh sebelum aku memasuki jenjang SMP. Aku masih ingat saat aku duduk di
bangku SD, aku keseringan dimarahi karena malas membaca, karena aku selalu
bertanya pada orangtuaku, saudaraku, atau kerabat dekatku tentang isi
pertanyaan yang ada dalam tugas sekolahku. Padahal, semua isi tersebut
jelas-jelas ada dalam buku tersebut. Lucukah? Itulah efek karena aku malas
membaca.
Lalu, aku menyadari bahwa
waktu membuat semuanya berubah. Saat aku memasuki jenjang SMP, perlahan aku
mempunyai kesukaan dalam membaca. Salah satu faktor yang mendukungku adalah,
lingkungan sekolahku, yang tak perlu kusebutkan dimana—penuh dengan otak-otak
encer nan kutu buku (positif). Di sana, aku dikelilingi orang-orang yang
menjadikan hobinya adalah membaca. Dan, tanpa kusadari akupun ikut hanyut dalam
situasi tersebut. Walaupun batas bacaanku masih sekedar komik dan novel belum
merambah ke buku pelajaran—hingga sekarangpun masih seperti itu (parah
-__-), menurutku itu sudah jauh lebih baik.
Benar apa yang dikatakan
banyak orang. Berteman dengan orang yang rajin, minimal rajinnya akan terbawa.
Berteman dengan orang yang malas, minimal malasnya juga akan terbawa, dan
begitu juga denganku, berteman dengan orang yang rajin membaca, minimal aku
juga akan suka membaca. Sederhana
itukah? Aku sangat menikmati masa-masa itu.
Masa- masa saat aku harus
berburu novel, meminjam ke sana sini (nostalgia SMP), dan yang terpenting
adalah, aku menjadi penghuni perpustakaan yang salah satu petugasnya—aku masih
ingat memanggilku dengan sebutan, ehem *sensor*. Sedikit cerita, aku ingat saat
beliau menyuruhku mengetikkan sesuatu, dan ujung-ujungnya aku dibelikan sate,
dan diizinkan membuka facebook kala itu. Suatu hal yang luar biasakah?
Menurutku, iya. Jarang-jarang hal itu terjadi. Masa itu facebook sedang
boomingnya, dan di perpustakaan dilarang membuka situs-situs media sosial.
Sedangkan aku? Aku diizinkan saat itu. Nah, aku baru merasa ini sedikit
berlebihan -_- Maafkan aku—lagi. (Sepertinya aku mulai ngelantur dari topik
awalnya, dan berimbas pada nostalgia saat aku SMP. Maafkan aku, saudara-saudara
^_^)
Aku merindukan masa-masa
itu, mengingat aku telah jauh dari masa-masa itu. Hm, kurang lebih 5 tahun
semua itu telah berlalu :’)
Oke, kembali ke topik
semula, sebelum benar-benar ngelantur ke arah yang lebih aneh :O
Tanpa aku sadari, di tahun
2008, tepatnya tanggal 13 April, aku berhasil membeli satu novel. Saat kuliah
inilah aku baru menyadari, bahwa novel pertama yang kubeli justeru adalah novel
terjemahan—Frankie, Peaches and Me #1
karya Karen McCombie. Pernah terbayangkan, saat seseorang baru memulai
untuk menyukai membaca, tetapi bacaan yang ditemukan adalah sesuatu yang
membosankan? Apa yang akan terjadi? Aku mengabaikan novel tersebut. Ironisnya.
Aku menimbunnya, karena aku hanya sanggup membacanya 5-10 halaman sekali
baca—itupun saat aku dalam keadaan mood yang baik. Tetapi, bukankah saat kita
telah memulainya, kita harus menyelesaikannya? Walaupun dengan susah payah, aku
pun menyelesaikan membaca novel tersebut.
Dan, aku tak menyangka
setelah itu. Aku mulai terbiasa membaca beberapa novel terjemahan, dan imbasnya
aku keseringan meminjam novel-novel karya Meg Gabot.
Dan, begitulah semuanya
berawal.
Aku bahkan mencantumkan
dalam buku rencanaku, bahwa setiap bulan aku harus membeli satu buah novel,
yang tentunya dari usahaku menabung. Perlahan, semua itu telah menjadi
kebiasaan dan kebutuhan untukku.
Pernah kurasakan suatu
kala, saat aku harus berjuang mati-matian (lebay -_-) untuk menahan
hasrat membeli novel. Kenapa? Karena saat itu aku berada di bangku akhir, dan
telah berkomitmen (ceilee) dengan diriku untuk tidak membeli novel
hingga Ujian Nasional berakhir. Tanyakanlah, apakah itu berhasil? Syukurnya itu
berhasil. Tetapi, apa yang terjadi setelah itu? Aku memburu banyak novel
SETELAH ITU.
Hingga aku duduk di bangku
SMA, kebiasaan itu tetap menjadi bagian dari diriku. Hanya saja, aku kehilangan
teman-teman untuk hobi yang sama dengan itu. Tapi, saat kita kehilangan, bukankah
kita menemukan hal baru? Ya, aku menemukan banyak hal baru di sana. Perasaan
yang aku tidak ingin mengungkapkannya di sini :D
Aku tetap membaca, tetap
sibuk dengan duniaku sendiri, dan walaupun jarak antara sekolahku dengan toko
buku amat sangat jauh, setidaknya aku masih menyempatkan pergi ke sana, tiga
atau lima bulan sekali (bertolak belakang saat SMP, saat aku bisa setiap hari
ke sana) .
Nah, aku baru menyadari ini
kembali keluar dari topik masalah tulisan ini. Astaga :O
Satu hal yang tidak kusadari
hingga saat ini, bahwa aku telah banyak menyimpan buku. Bahkan, aku membutuhkan
sebuah tempat untuk meletakkan buku-bukuku yang lain—buku kuliah terutama
(siapapun yang menyumbangkan, aku dengan senang hati menerimanya, hihi ^^).
Karena dengan buku, aku
dapat menemukan hal-hal yang tidak bisa kutemukan lewat interaksi keseharianku.
Banyak hal kutemukan lewat tulisan. Hal-hal yang sebenarnya amatlah dalam
dibandingkan jika kita hanya mendengarkannya secara verbal. Aku menemukan
duniaku. Lewat buku, tidak akan ada yang membantah, saat aku mengutarakan ini
dan itu tentang buku tersebut. Aku dapat berekspresi, tanpa harus di cela. Dan,
aku mengakuinya bahwa dia adalah teman dikala senggang, dikala putus asa,
dikala kita membutuhkan jawaban yang membuat hati damai, dan menurutku dia
adalah teman terbaik untuk sebuah benda mati. Bukankah begitu? Kita tidak tahu,
jika kita tidak mencobanya, dan aku telah mencoba melakukannya.
(Sadar atau tidak, aku
kembali menulis dengan tutur kata yang serius, padahal kalimat sebelumnya, aku
masih *ngaco tak karuan*). Aku mohon maklum, saudara-saudara J
Dan, dengan buku aku
menemukan kebahagiaan yang lain. Inilah novel dan komik yang tanpa kusadari
telah terkumpul semenjak aku duduk di bangku SMP hingga sekarang.
Aku hanya ingin mengatakan,
buku apapun itu, menurutku setiap buku selalu mempunyai ilmu yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Baik buruk yang ingin disampaikannya, benar atau
tidaknya, lurus atau bengkoknya ilmu tersebut, dia tetaplah buku yang bertindak
sebagai perantara ilmu. Di sanalah kita sebagai pembaca diajak untuk berpikir.
Mengambilnya untuk sebuah pembelajaran, untuk sebuah wawasan, atau
mengabaikannya karena dirasa tak cocok dengan jalan hidup yang kita anut?
Bukankah dia bisu, kitalah yang akan menentukan ke arah mana, apa yang ingin disampaikan
sebuah buku akan berlabuh.
Oleh sebab itu kukatakan,
dia tidak pernah membantah. Dia hanya mengikuti alur pikiran si pembaca.
Positifnya, dengan membaca
kita akan membuat otak berpikir, dan tentunya membuat kita menemukan hal-hal
baru.
Menyenangkan? Tentu. Siapa
yang tidak menyukai hal baru?
Dan, begitulah duniaku
dengannya.
Saat buku telah menjadi
bagian dari hidupku.
Catatan :
- Sepertinya aku harus membeli lebih banyak buku agama mulai sekarang. Aku merasa tidak adil karena di dalam rak bukuku, dia termasuk minoritas.
- Aku telah berhenti membeli novel dengan label *teenlit*. Pengaruh usia menurutku mempengaruhi.
- Walaupun aku dulu menyukai novel terjemahan, kuakui aku mempunyai wawasan yang minim dengan novel-novel terjemahan. Saat kuliah inilah, aku kembali membrowsing dan sharing novel terjemahan yang bagus untuk dibaca.
- Aku masih mempunyai ‘kegilaan’ yang lumrah akan novel—terutama novel yang ingin kukoleksi. Tapi jangan salah, ‘kegilaan’ ini masih dalam taraf normal.
- Ayahku mengatakan, “Ingin membuat perpustakaan?”. Aku menjawabnya, “Tentu saja, doakan saja. Huaa!!” Salah satu mimpiku.
- Bersangkutan
dengan buku, entah dari mana sifat itu berasal, tingkat sensitivitasku
meningkat. Orang-orang yang pernah
berhubungan denganmeminjam bukuku, mungkin mengerti ke arah mana pembicaraan ini. Bahkan, adikku sendiri akan paham :D
Terakhir, aku ingin
mengatakan. Membacalah. Apapun itu, tetapi yang positif. Bacalah. Menurutku,
tidak ada ruginya untuk meluangkan sedikit waktu hanya untuk membaca.
Mau membandingkan?
Apa yang ingin
dibandingkan?
Pikirkanlah.
Ya ampun kekem.... Itu koleksi buku novel punya kamu semua? Banyak bangeettt. Kalo dikumpulin tuh, disusun di rak-rak buku kamarku, bakalan kayak perpustakaan mini kali ya. haha
ReplyDeletehaha, iyaa keem :D
ReplyDeletenah makanya kem, sekarang aku lagi krisis rak buku wkwk
belikan satu hoho
ambil aja noh rak-rak yg ada d GM sama sarang. haha Atau tebengin aja buku2 kamu di sana, mereka pasti akan terima dg senang hati, haha
ReplyDeleteHeeeeh, sama aja keeem -_- kamu ajalah yang bawain rak gm itu ke rumahku kem haha
ReplyDelete