Judul
: Rindu
Pengarang
: Tere Liye
Tahun
terbit : Oktober 2014
Penerbit
: Republika
Jumlah
halaman : 544 halaman
Sinopsis
“Apalah arti memiliki, ketika
diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika
kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan
banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami
menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami
tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa
pun?
Wahai, bukankah banyak
kerinduan saat kemi hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan
saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang
saja.”
Ini adalah kisah tentang masa
lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya di
sayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang
kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
Selamat membaca..
Rindu—itulah
judul novel yang ditulis oleh penulis terkemuka di tanah air saat ini—Tere
Liye. Seketika kita akan berasumsi bahwa dari judul saja akan tertebak kemana
arah ceritanya. Tentang romantisme belaka. Sayangnya, pembaca akan sedikit
kecewa karena novel ini tidak mutlak membicarakan romansa cinta sepasang
kekasih. Rindu—judul ini bermakna dalam—setelah saya menyelesaikan membacanya.
Novel
ini berkisah tentang perjalanan panjang yang suci —perjalanan yang dinantikan
seumur hidup—menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan panjang itu, tersaji lima
kisah memilukan, berbagai kisah hidup yang dahulunya belum terjawab. Melalui
perjalanan panjang itu, perlahan seorang ulama besar di negeri itu menjawabnya,
memberikan pembelajaran hidup, menghidupkan cahaya kehidupan yang dahulunya
redup. Dengan perjalanan panjang itu banyak hal terjadi yang tak pernah
disadari.
Marilah
kita menyusuri si tokoh utama dalam novel ini. Ialah seorang ulama besar dari
Makassar bernama Ahmad Karaeng atau lebih disapa Gurutta. Pada suatu kesempatan ia dapat menunaikan ibadah haji,
setelah melewati serentetan izin dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sosoknya
sungguh jelas tercermin, bahwa ia adalah pemimpin yang disegani, terhormat, dan
siapapun yang bertemu dengannya ingin sekali menjabat tangannya.
Dari
novel ini, kita diajak menelusuri kisah lampau, tentang sejarah dahulunya.
Tidak ada mobil-mobil canggih, pesawat terbang atau kemudahan yang dirasakan
saat sekarang ini. Ini tentang masa dahulu—saat Indonesia masih dijajah oleh
Belanda—dan berusaha sekuat tenaga untuk merdeka.
Novel
ini sangat kental dengan unsur agama yang dibawa—dengan gurutta menjadi gurunya. Adanya pengajian sehabis sholat, menyuruh
anak-anak belajar mengaji selama perjalanan di kapal, dan mengendalikan segala
aktivitas yang bermanfaat sebelum tiba di tempat tujuan. Ia adalah kakek tua
yang luar biasa—apapun pertanyaan yang dilontarkan, akan dengan bijak
dijawabnya. Melalui dirinyalah, satu persatu lima kisah hidup masa lalu
terkuak—di dalam kapal milik Belanda.
Kisah
pertama adalah tentang masa lalu yang memilukan. Ia adalah seorang wanita keturunan
Tionghoa muslim yang dahulunya adalah mantan seorangcabo. Luka masa lalu membuatnya ragu menghadapi masa depan, tidak
percaya diri, dan menutup diri dari banyak orang. Ia merasa begitu nista hingga
tak layak mendapatkan kebahagiaan. Namun, seseorang dengan kalimat bijaknya
memberikan sedikit cahaya di mata wanita itu.
“... Cara terbaik menghadapi
masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima
masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita.
Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara
terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar
sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”
“... tentang penilaian orang
lain, tentang cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka
ketahuilah,Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa
itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh
kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya
kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita
sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka
tidak relevan penilaian orang lain.” (dalam Rindu, hal: 312).
“Kita tidak perlu menjelaskan
panjang lebar itu. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk
dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan.
Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau
tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan
hebat menurut versi manusia sedunia. Kita
hanya perlu merengkuh rasa damai hati kita sendiri.”
“Kita tidak perlu membuktikaan
apapun kepada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu.
Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh,
kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang
sebaik itu.” (dalam Rindu, hal: 313).
Kisah
kedua, kita diajak menelusuri kehidupan seorang Andipati—laki-laki rupawan
dengan segala kecukupan yang dimilikinya—harta yang berlimpah, perusahaan yang
berjalan lancar, istri yang cantik, dan anak-anak yang menggemaskan. Namun,
segala yang terlihat tidaklah menunjukkan seperti apa sebenarnya kehidupan yang
kita jalani. Orang-orang hanya melihat luarnya, tanpa mengerti betapa sulitnya
kehidupan yang dijalaninya—dulu. Ini tentang seorang anak yang memendam
kebencian yang teramat dalam kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Namun,
sekali lagi, kakek tua itu mampu meredakan kebencian yang telah tertanam
bertahun-tahun lamanya.
“... kita sebenarnya sedang
membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat
kerusakan di muka bumi, misalanya, apakah Allah langsung mengirimkan petir
untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus,
orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka
lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya?
Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan
Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.”
(dalam Rindu, hal: 373).
“... Ketahuilah, Nak, saat kita
memutuskan memaafkan seseorang itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan
kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan
memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
“... kesalahan itu ibarat
halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa
memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa,
dengan penghapus canggih, dengan apa pun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak
akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya,
bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.” ( dalam Rindu, hal: 375
).
Kisah
ketiga, kita diajak belajar tentang pasangan sepuh yang begitu luar biasa. Mbah
Kakung dan Mbah Putri. Diusianya yang tidak lagi muda—mereka mampu
memperlihatkan betapa besarnya cinta mereka setelah 60 tahun bersama, melewati
segala suka dan duka kehidupan. Walaupun indera mereka tak lagi setajam
dahulunya, tetapi mereka tetap saling berkasih sayang, tetap saling berbicara
dengan penuh cinta. Namun, perjalanan nan suci itu harus merenggut kebahagiaan
pasangan sepuh itu.
Kita
tidak pernah tahu kapan ajal datang menjemput, tidak pernah tahu bagaimana
perasaan kita saat itu. Ajal datang begitu saja, tanpa menunda sedetik saja.
Mba Putri pergi untuk selama-lamanya. Dan dapat terlihat bahwa kepergian
kekasih hati seolah membawa separuh hatinya—Mbah Kakung. Tapi, dengan sangat
apik Gurutta kembali memberikan
pemahaman yang dibutuhkan oleh Mbah Kakung.
“... biarkan waktu mengobati
seluruh kesedihan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi,
ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya
untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus
selembar demi lembar kesedihan. Minggu demi minggu akn melepas sepapan demi
sepapan kegelisahan. Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di
dalam hati. Biarkan waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati
menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.” (dalam
Rindu, hal: 472).
Kisah
keempat, inilah kisah yang mungkin sedikit menyangkut romansa masa muda. Masa
dimana benih-benih cinta itu mulai tumbuh dan subur seiring berjalannya waktu.
Ini adalah kisah tentang pelaut sejati bernama Ambo Uleng. Ia adalah laki-laki
berkulit hitam legam dengan tubuh kekar. Ia memutuskan untuk meninggalkan kota
Pare-pare, menumpang dengan kapal yang mengangkut jemaah haji, dan meminta
untuk dipekerjakan apa saja di kapal itu.
Suatu
malam tiba-tiba ia bertanya kepada Gurutta
apakah kakek tua itu pernah jatuh cinta-apakah pernah mencintai seorang wanita.
Perlahan, pertanyaan demi pertanyaan dalam benak Ambo Uleng terjawab oleh Gurutta.
“... cinta sejati adalah
melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya.
Persis seperti anak kecil yang menghayutkan botol tertutup di lautan, dilepas
dengan rasa suka cita. Aku tahu kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang
itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik
yang tidak pernah dipahami para pencinta. Mereka tidak pernah mau mencoba
memahami penjelasannya, tidak bersedia.” (dalam Rindu, hal: 492).
Kisah
terakhir. Tentang kemunafikan. Saya ingat sebuah kutipan dari sebuah novel
kalau tidak salah, penulis menyebutkan,”terkadang
kita terlalu sibuk untuk menolong orang lain, melakukan banyak hal untuk orang
lain yang tanpa disadari bahwa kitalah yang sebenarnya butuh pertolongan.”
Gurutta
adalah ulama besar yang dengan kepiawaiannya mampu menjawab setiap pertanyaan
yang dilontarkan, dan menjadi pemberi nasihat terbaik. Namun tanpa diketahui,
dirinya sendiri tidak pernah mampu menjawab pertanyaan besar yang ada di
benaknya.
Namun
siapa sangka pertanyaan besar itu justru terjawab oleh laki-laki yang dangkal
ilmu agamanya—Ambo Uleng.
“... kita tidak akan pernah
bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan.
Dengan air mata dan darah.”
“... Melawan lewat kalimat
lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki
kita dengan itu... Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi
harus dilakukan.”
Dan
semua kisah itu berakhir bahagia. Penerimaan dan kerelaan membuat kisah-kisah
itu berakhir indah.
Sama
seperti tulisan-tulisan Tere Liye sebelumnya, kita selalu diajak untuk
berpikir, lalu memahami setiap kejadian hidup ini. Penulis selalu mengajak kita
untuk berpikir realistis. Membuka mata, dan berhenti untuk melihat kehidupan
dari kaca mata drama yang acapkali
dijumpai dalam dunia maya. Saya mengakui
bahwa untuk menyelesaikan novel ini dibutuhkan waktu yang panjang. Novel ini
tergolong bacaan yang berat, karena tidak semua orang mampu memahami
kalimat-kalimat yang dijabarkan dengan sekali baca. Butuh berkali-kali hingga
untaian kalimat itu meresap di otak, lalu mengubah sedikit pemahaman hidup.
Selain
itu, setting yang diangkat oleh
penulis adalah masa dulu—saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Mungkin
bagi pembaca kisaran 17-an tidak begitu menyenangi novel ini, disebabkan karena
tidak akan ditemukan kata-kata puitis yang membuat hati terenyuh. Kita hanya
akan bertemu dengan kalimat-kalimat bijak.
Setting
dengan waktu masa dulu menurut saya memberi kesan bahwa penulis ingin
menyampaikan bagaimana dahulunya itu sangat berbeda dengan sekarang. Baik dalam
segi kemerdekaan bangsa, teknologi, maupun pergaulan. Secara tersirat penulis
ingin mengajak pembaca untuk menghargai para pejuang kita, memahami agama
dengan baik, dan selektif dalam menerima budaya yang ada saat ini.
Terakhir,
saya tidak ingin menyebutkan novel ini sempurna, karena kesempurnaan hanyalah
milik Sang Pencipta. Novel ini nyaris sempurna dengan kalimat-kalimat membangun
dan menginspirasi. Seolah-olah novel ini tak mempunyai cela. Ada mungkin, tetapi
semua itu tertutupi dengan pembelajaran pemahaman yang disajikan.
Saya
memberikan 5/5 untuk rating novel ini ^^
Selamat
membaca.
No comments:
Post a Comment