“Hai” Sapaan itu tak pernah
sekalipun terucap di mulutku. Lidahku kelu, dan keinginan itu hanya tersimpan
dalam hatiku. Aku tidak tahu keberuntungan seperti apa yang datang padaku. Hari
ini—untuk kedua kalinya, setelah bertahun-tahun aku tak melihatmu, aku bertemu
denganmu. Masih dengan cerita yang sama, kau menaiki bus yang sama denganku.
Aku tersenyum. Sungguh senyum itu bukan sengaja kubuat,
tetapi saraf sensorikku tiba-tiba merespon seperti itu. Aku melihatmu
mengenakan baju kemeja biru muda, dengan rok hitam panjang, disertai kerudungmu
yang terjulur rapi senada dengan warna kemejamu. Kau duduk di ujung dekat sopir
bus berada. Pandanganmu lurus ke depan, tak sekalipun kau melihatku. Aku tidak
tahu apa yang kau pikirkan, karena raut wajahmu begitu serius. Aku menghela
napas, mengalihkan pandanganku darimu. Ada sesuatu yang mengusik di dadaku,
hasrat ingin bertanya, dan berharap kau akan melihatku, walau hanya sekali.
Bus berhenti. Aku harus keluar, tetapi kakiku tertahan. Aku
ingin melihatmu keluar. Kau berdiri dari bangkumu, berjalan ke arahku—tepatnya
ke arah pintu bus. Walaupun begitu, kau tetap tak melihat ke arahku. Aku
berjalan di belakangmu, melihat punggungmu yang semakin menjauh dariku. Apa aku
terlihat gila? Entahlah, ini hanya hasrat yang belum tersampaikan selama
bertahun-tahu. Lalu, aku menyerah untuk mengikutimu. Aku juga masih sedikit
waras, karena kau berada di fakultas yang berbeda denganku.
###
No comments:
Post a Comment