Kawan,
ini sudah memasuki tahun keenam, dan nyaris memasuki tahun ketujuh, bukan?
Malam
ini, kuputuskan untuk kembali memanggil memori-memori masa lampau, yang telah
terkubur oleh waktu. Sudah lama sekali niat untuk menulis kisah ini, namun
seringkali hal-hal sepele mengalahkannya. Semoga saja malam ini aku dapat
menyelesaikannya dengan baik.
Siapa
dia? Aku tidak ingin memperkenalkannya dengan jelas, karena kuyakin—kemungkinan
besar dia akan ‘mencak-mencak’ kepadaku. Hahaha.
Baiklah,
dia gadis yang pertama kali kukenal, saat aku duduk di bangku delapan. Lucu
memang, karena pertemuan awal yang terkesan biasa, tak pernah terbayang bahwa
hingga detik ini aku masih berhubungan baik dengannya. Aku ingat, saat itu kita
duduk bertiga. Dengan urutan dari ujung: aku, temanku (teak, apa kabar sekarang
dia?), dan dia tepatnya paling pojok di dekat dinding. Anehnya, dia seolah tak acuh
terhadap kehadiranku. Ia sangat-sangat pendiam awalnya, hingga aku pun bingung
harus berkata apa. Haha. Tapi, siapa yang tahu, beberapa minggu setelah itu?
Yap, kita pun berteman baik sejak itu. Aku juga tidak mengerti, kenapa bisa
dekat dengannya, dan bercerita panjang lebar dengannya, haha. Padahal, tahulah
awalnya dia-sangat-pendiam-susah-diajak-ngomong-,wkwk.
Aku
ingat saat hari kelahiranku. Aku tidak menduga, bahwa di dalam tas akan
terdapat sebuah kado. Dia memasukkannya diam-diam tanpa sepengetahuanku. Sebuah
jam weker biru muda dan sebuah tulisan. Hei, aku masih menyimpan selembar
kertas itu dengan baik. Terimakasih, dan maaf atas segala yang tak pernah
terbalas dengan sepadan, hingga detik ini.
Kita
terus berteman, berbagi cerita, dan saling memotivasi. Hingga duduk di kelas
sembilan, kita tetap bersama. Parahnya, seringkali kita dikatakan
kembar—mungkin karena terlalu sering bersama, hmm.
Aku
ingat, saat waktu tertentu kita seringkali menghabiskan waktu pergi ke Gramedia
ataupun Sari Anggrek. Jika kita hanya berdua, sepanjang perjalanan—dari
sudirman menuju damar, kita sering berbalas argumen tentang topik yang tidak
disadari hadir begitu saja. Mungkin karena berteman denganku, dia juga
ketularan membeli novel saat itu. Haha.
Astaga,
aku kesulitan untuk menulis tentang ini :’)
Aku
ingat, beberapa jam sebelum gempa dahsyat melanda Kota Padang. Hari itu kita
pergi untuk meminjam buku di perpustakaan daerah. Perjalanan menuju pasar kita
habiskan kembali dengan cerita ringan, hingga suatu kata terlontar—yang aku
lupa itu dari mulut siapa, “Kalau terjadi
gempa di sini, bagaimana ya?”. Tak terduganya, sore hari kira-kira pukul lima—setengah
jam setelah aku tiba di rumah, gempa itu terjadi.
Aku
ingat, dia tak datang pada hari perpisahan. Padahal, momen itu begitu kunantikan
bersamanya.
Suatu
ketika kita harus berpisah karena keadaan tak mengizinkan. Aku memasuki sekolah
yang berbeda dengannya saat SMA. Kita sudah berusaha untuk mewujudkan keinginan
untuk terus bersama. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Jujur, saat itu aku memang
merasa jatuh, tidak terbayang bagaimana menyakitkannya saat itu. Namun, ada
satu momen yang hingga sekarang begitu melekat di ingatanku. Saat hari
pengumuman itu keluar, aku hanya terduduk lemas, tanpa ekspresi, dan berusaha
untuk berlapang dada. Anehnya, dia yang justru mengeluarkan ekspresi emosional
yang tertahan—yang seharusnya itu keluar dariku. Kenapa dia melakukannya?
Kalimatnya, kurang lebih seperti ini “Karena
etak gak lulus, kita pisah, kita gak bisa bareng-bareng lagi”. Aku terdiam.
Rasa-rasanya ingin... haha, lupakan. Semuanya sudah berlalu.
Aku
ingat, pernah menghabiskan waktu bersamanya, sebelum kita benar-benar berpisah
sekolah. Hari itu matahari begitu terik—dan dalam keadaan berpuasa. Aku
menemaninya ke pasar, dengan tujuan aku lupa untuk apa. Yang jelas, kita
mengitari pasar, berjalan hanya sekedar untuk melihat-lihat, dengan semboyan ‘nikmati hari ini’. Alhasil, aku
terkapar setelah tiba di rumah.
Setelah
itu, bisa dikatakan pertemuan kita tak se-intens dahulunya. Kita tetap bisa
bersua, namun hanya sesekali. Itupun kalau kita sama-sama punya waktu kosong.
Yah, inilah yang selalu salah dariku. Kadangkala aku mengabaikannya tanpa
kusadari. Namun, kadangkala aku pun begitu ingin bercerita panjang lebar
dengannya. Aneh memang.
Dia
sering ke rumah. Menghabiskan waktu hanya untuk sekedar cerita ringan. Bermain
komputer, makan, dan aku pernah mendapatinya ketiduran di rumahku. Kalau
dahulunya semua itu terlihat biasa, namun sekarang menjadi memori baik untukku.
Orangtuaku
bahkan sudah menganggap dia layaknya anak, mempercayainya untuk menjadi teman
dekatku. Aku ingat, saat tiba-tiba dia mengajakku pergi ke resepsi gurunya di
waktu SD. Tunggu, jangan mengira dia mengajakku di hari Minggu -__-. Kesannya
seperti pergi malam mingguan, haha. Dia mengajakku Sabtu malam sehabis magrib.
Ide itu cukup gila, dan sangat kuyakini tidak akan mendapat izin. Tetapi, siapa
sangka? Ayahku mengizinkannya. Jadilah kita pergi ke sana. Namun sebelumnya kita
harus membeli kado terlebih dahulu. Bayangkan, kado sudah ada, membungkus
kadonya pun bingung harus kemana. Syukurnya, ada toko dekat rumahku yang dapat
melakukannya. ^^
Ini bukan
tentang pernikahannya. Tetapi seperti sebagian kebahagiaan kurasakan malam itu.
Cukup ekstrem memang. Aku sungguh menikmatinya. Seperti yang kukatakan
sebelumnya, ini seperti malam mingguan. Hahaha. Hei, aku masih waras. Tahukah
aku sampai di rumah jam berapa? Rahasia. Yang aku khawatirkan adalah dirinya,
karena rumahnya sangat-sangat jauh, cendana mata air—dan saat itu malam hari.
Alhamdulillah, dia selamat, wkwk.
Saat
hari kelulusan SMA, kita lulus. Namun, saat pengumuman SNMPTN, SBMPTN, kita
memang seolah-olah putus kontak. Aku mengerti kenapa dia tak mau menghubungiku.
Aku paham perasaannya, dan kubiarkan agar nantinya dia yang akan menghubungiku.
Sebelum memasuki perguruan tinggi, aku sungguh melihatnya jatuh bangun. Dia mencoba
mengumpulkan harapan, dan berharap akan lulus di suatu tempat. Bayangkan,
SNMPTN tidak lulus, SBMPTN tidak lulus, SIMAK UI juga tidak. Tetapi, perjuangan
terakhir ini membuahkan hasil. Selalu ada hikmah atas segalanya, karena Tuhan
selalu tahu tempat terbaik untuknya. Dia lulus di STAN. Betapa mengagumkannya
^^
Dia
pergi, dengan jarak yang semakin jauh dariku.
Sehari
sebelum keberangkatannya ke Jakarta, dia mengirimiku pesan singkat untuk menemui guru les matematikanya. Aku baru saja
dalam perjalanan menuju rumah. Aku mengiyakannya. Perjalanan singkat untuk kedua
kalinya—sebelumnya aku diajak les gratis dengannya—sekedar menemaninya les.
Sekali lagi, orangtuaku mengizinkanku pulang malam dengannya. Malam itu,
sungguh aku menangis untuknya. Tak terbayang waktu begitu cepat berputar, dan
mengharuskan keadaan seperti ini. Aku
menyesal karena tidak banyak menghabiskan waktu bersamanya sejak duduk di
bangku SMA. Sungguh. Namun benar kata orang-orang bijak, kita baru menyadari kehadiran seseorang saat dia telah pergi.
Setelah
itu, mungkin karena kesibukan masing-masing, kita merenggang. Jarang berkirim
kabar, atau sekedar bercerita ringan. Syukurnya kita selalu bisa kembali
seperti semula. Lambat laun, kita mengerti kesibukan yang terjadi.
Hingga
detik ini, hubungan itu tetap terjalin dengan baik. Bahkan, kini justru lebih
banyak berkomunikasi, bercerita panjang lebar, dan saling menguatkan. Aku harap
itu akan tetap baik-baik saja.
Baiklah,
apalagi yang harus kuceritakan?
Satu
hal. Aku minta maaf atas novel yang tanpa sengaja kubasahkan. Hari itu hujan
turun begitu lebat, dan aku lupa bahwa aku membawa novel ke sekolah. Akibatnya,
novel itu basah kuyup. Namun begitu, novel itu dalam kondisi yang baik
sekarang. Walaupun yaa dengan kertas yang tak ‘cantik’ lagi. Janji itu belum
kupenuhi hingga detik ini. Katakan
padaku, apa yang diinginkan sekarang ini—dalam konteks terjangkau olehku—dan
jangan minta novel—karena sudah pasti aku akan tergiur untuk membacanya—katakan
saja, aku merasa bersalah :’(
Apalagi?
Dua
tahun di bangku SMP itu terlalu banyak kisah.
Tiga
tahun di bangku SMA terlalu sedikit kisah yang terjadi.
Memasuki
tahun ke-tiga di bangku perguruan tinggi, kisah yang terjadi hanya melalui
telepon genggam.
Aku
menyakini, bahwa dia-selalu-berusaha-untuk-selalu-meraihku.
Maafkan
aku.
Hanya
itu yang teringat olehku. Aku payah akan hal ini.
Maafkan
aku.
Dia
teman dekatku. Pribadi diluar terlihat ‘biasa-biasa saja’ tetapi di dalam
begitu luar biasa. Dia cerdas, tetapi sedikit pemalas—damai ^^. Dia
berhati lembut tetapi begitu sensitif, jangan coba-coba melukai perasaannya,
karena dia akan, hmm. Dia mempunyai tekad yang luar biasa. Namun seringkali
ragu akan potensi di dalam dirinya. Padahal, sejauh aku mengenalnya, dia
mempunyai banyak potensi yang belum terlihat. Percaya dirilah ^^ Aku yakin dia
bisa melakukannya.
Apalagi?
Terimakasih
telah menjadi teman baikku hingga tahun ke-tujuh ini.
Terimakasih
telah mau menerima segala kekuranganku.
Terimakasih
karena selalu memaafkanku.
Mirisnya,
hingga detik ini kita tak mempunyai foto bersama. Haha. Dahulu aku tidak begitu
peduli dengan ini. Tetapi lambat laun aku merasa membutuhkannya—setidaknya
menjadi penanda. Haha. Baiklah aku harus berhenti untuk ‘mele-mele’.
Apalagi?
Semoga
kita dapat bertemu suatu hari nanti, InsyaAllah.
Semoga
kita dapat mewujudkan mimpi-mimpi besar yang didambakan, Amiin Ya Rabb.
Semoga
hubungan ini akan terus terjalin, hingga masa yang tak memungkinkan lagi itu
terjadi^^
Terimakasih.
Salam
hangat, dari kota yang kau tinggalkan dua tahun silam.
No comments:
Post a Comment