Aku
menyeret kakiku dengan gontai. Hari ini terasa panjang bagiku, karena begitu
banyak urusan yang harus kutuntaskan, dan itu cukup membuatku lelah. Aku menghela
napas, karena jarak antara rumahku cukup jauh dari persimpangan perhentian bus
yang kunaiki. Seharusnya bau aspal
sehabis hujan dapat menghangatkan perasaanku, walau hanya sedikit. Aku
membatin. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, hampir kutandai bahwa setiap
hari Rabu, hujan akan turun dengan deras di sore hari, dan berhenti ketika
gelap hadir. Aku tersenyum, setidaknya
kelabunya masa lalu, telah kuganti dengan kedamaian di hatiku. Jadi, meskipun
terasa pilu, aku telah menerima dengan baik, dan telah kulalui sebagaimana
mestinya. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku melihat benda mati itu
berkedap-kedip sambil menunjukkan nama pengirim pesan singkat tersebut. Bibir
bawahku terangkat membentuk seulas senyum, hanya seulas, dan perasaan hangat
itu mengisi paru-paruku.
Kau sudah pulang? Mau berbincang
malam ini? Di tempat biasa, oke?
Aku
membalas pesannya seketika. Anehnya, pesan singkat itu dapat meleburkan
kelelahan yang tadinya terasa hingga ke ubun-ubun. Aku mempercepat langkahku,
tidak sabar untuk berjumpa, dan tentunya percakapan-percakapan sederhana yang
selalu kunantikan.
Aku segera ke sana.
###
Setahun
yang lalu, aku mendapatkan tempat tinggal yang lebih nyaman. Aku akui, hampir
setiap tahun aku berpindah tempat tinggal. Alasannya hanya sederhana, karena
aku tidak menemukan kenyamanan lagi di sana, maka kuputuskan untuk pindah. Dan...
sekarang hunianku adalah seperti rumah susun yang terdiri atas lima lantai. Aku
menyukai lokasi ini. Selain dekat dengan jalan utama, akses transportasi yang
mudah, dan jarak dengan tempat aku bekerja juga tidak begitu jauh, ada satu
tempat yang menjadi alasan bagiku tetap di sini. Bahkan, tak sekalipun
terlintas di benakku untuk pindah. Aku nyaman di sini, karena ada yang memberikan
kenyamanan di sini... di tempat ini.
Aku
mendapatkan kamar di lantai empat dengan nomor kamar 414. Saat pertama kali
menerima kunci kamar dan melihat nomor kamar yang tertera di sana, aku
tersenyum. Kenapa? Orang-orang akan berpikir bahwa ada hal istimewa dari angka
tersebut. Sebenarnya, aku memiliki kebiasaan menghitung suatu deret angka. Kadang-kadang
untuk menghilangkan kebosanan saat berada di angkot atau bus, aku akan melihat
plat mobil atau motor yang orang-orang kendarai, lalu akan kuhitung jumlah
angka yang tertera di plat tersebut. Apabila jumlah tersebut menghasilkan angka
yang kusukai, maka aku akan tersenyum. Entahlah, tindakan itu seolah-olah
kepuasan tersendiri bagiku. Tahukah, terkadang kita melakukan hal-hal yang tak
masuk akal. Dan tujuannya cuma satu, untuk kepuasan batin. Maka, itulah salah
satu bentuk kebahagiaan untukku.
Aku
tahu, bahwa setiap orang punya alasan yang hanya mereka yang tahu, kenapa dan
untuk apa melakukannya. Begitu juga denganku. Alasanku untuk tetap tinggal di
sini, karena kenyamanan yang kudapatkan. Ada sebuah tempat yang kusukai di
sini, yaitu atap dari rumah susun ini. Lantai lima dari tempat ini memiliki rooftop yang bisa kunaiki. Hampir setiap
malam aku menghabiskan waktu sebelum larut. Tidak ada aktivitas berarti yang
kulakukan di sana, hanya duduk, memandang kelamnya langit di malam hari, dan
menyaksikan hiruk pikuk perkotaan dari atas sana. Hanya itu. Sungguh, aku
terlihat menyedihkan dengan hal itu. Lalu, apa yang harus kulakukan?
“Astaga!
Kau mengagetkanku!” teriak seseorang yang kutahu sumber suaranya berasal dari
belakangku. Aku melihat ke belakang. Ekspresinya lucu menurutku. Kulitnya
kuning pucat dan semakin pucat ketika dia berteriak padaku. Aku menaikkan
sebelah alisku, pertanda tidak mengerti. Kenapa
aku mengagetkannya? Dia berjalan ke
arahku, dan tanpa izin duduk di ujung sisi bangku panjang yang kududuki. Dia
merebahkan tubuhnya dan kulihat ada gurat-gurat lelah dilingkar matanya. Siapa dia? Sepertinya ini pertama kali aku
bertemu dengannya, setelah 3 bulan dengan rutin ke sini. Selain pemandangan
yang menakjubkan dari atas, di sini terdapat kursi panjang sekaligus lebar
sehingga dapat digunakan untuk tidur—seperti yang dilakukan laki-laki itu. Dia
diam sambil memicingkan matanya. Sepertinya
dia lelah—sama sepertiku—tetapi dalam arti yang berbeda. Aku melirik arloji
dan waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, serta hawa dingin perlahan terasa
olehku. Aku hanya mengenakan kardigan dan itu tidak cukup menahan terpaan angin
malam yang menusuk sel-sel tubuhku. Aku melirik ke arah laki-laki itu sekali
lagi. Sepertinya dia tertidur, batinku.
Aku tersenyum. Sepertinya, aku tidak lagi
sendiri untuk malam selanjutnya. Aku meninggalkannya di atas, dan kembali
ke kamar... dan tertidur dengan perasaan hangat.
Kapan nih kelanjutan nya?
ReplyDeletePembukaan ya gan??? Kelanjutan nya kapan ya,,,semoga cepat,,thx
ReplyDeleteTerimakasih sudah membacanya, kelanjutannya semoga bisa secepatnya, hehe
ReplyDelete