Pages

May 28, 2016

[Cepen] Rabu Kelabu #1



Aku menyeret kakiku dengan gontai. Hari ini terasa panjang bagiku, karena begitu banyak urusan yang harus kutuntaskan, dan itu cukup membuatku lelah. Aku menghela napas, karena jarak antara rumahku cukup jauh dari persimpangan perhentian bus yang kunaiki. Seharusnya bau aspal sehabis hujan dapat menghangatkan perasaanku, walau hanya sedikit. Aku membatin. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, hampir kutandai bahwa setiap hari Rabu, hujan akan turun dengan deras di sore hari, dan berhenti ketika gelap hadir. Aku tersenyum, setidaknya kelabunya masa lalu, telah kuganti dengan kedamaian di hatiku. Jadi, meskipun terasa pilu, aku telah menerima dengan baik, dan telah kulalui sebagaimana mestinya. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku melihat benda mati itu berkedap-kedip sambil menunjukkan nama pengirim pesan singkat tersebut. Bibir bawahku terangkat membentuk seulas senyum, hanya seulas, dan perasaan hangat itu mengisi paru-paruku.

Kau sudah pulang? Mau berbincang malam ini? Di tempat biasa, oke?

Aku membalas pesannya seketika. Anehnya, pesan singkat itu dapat meleburkan kelelahan yang tadinya terasa hingga ke ubun-ubun. Aku mempercepat langkahku, tidak sabar untuk berjumpa, dan tentunya percakapan-percakapan sederhana yang selalu kunantikan.

Aku segera ke sana.
###
Setahun yang lalu, aku mendapatkan tempat tinggal yang lebih nyaman. Aku akui, hampir setiap tahun aku berpindah tempat tinggal. Alasannya hanya sederhana, karena aku tidak menemukan kenyamanan lagi di sana, maka kuputuskan untuk pindah. Dan... sekarang hunianku adalah seperti rumah susun yang terdiri atas lima lantai. Aku menyukai lokasi ini. Selain dekat dengan jalan utama, akses transportasi yang mudah, dan jarak dengan tempat aku bekerja juga tidak begitu jauh, ada satu tempat yang menjadi alasan bagiku tetap di sini. Bahkan, tak sekalipun terlintas di benakku untuk pindah. Aku nyaman di sini, karena ada yang memberikan kenyamanan di sini... di tempat ini.

Aku mendapatkan kamar di lantai empat dengan nomor kamar 414. Saat pertama kali menerima kunci kamar dan melihat nomor kamar yang tertera di sana, aku tersenyum. Kenapa? Orang-orang akan berpikir bahwa ada hal istimewa dari angka tersebut. Sebenarnya, aku memiliki kebiasaan menghitung suatu deret angka. Kadang-kadang untuk menghilangkan kebosanan saat berada di angkot atau bus, aku akan melihat plat mobil atau motor yang orang-orang kendarai, lalu akan kuhitung jumlah angka yang tertera di plat tersebut. Apabila jumlah tersebut menghasilkan angka yang kusukai, maka aku akan tersenyum. Entahlah, tindakan itu seolah-olah kepuasan tersendiri bagiku. Tahukah, terkadang kita melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Dan tujuannya cuma satu, untuk kepuasan batin. Maka, itulah salah satu bentuk kebahagiaan untukku.

Aku tahu, bahwa setiap orang punya alasan yang hanya mereka yang tahu, kenapa dan untuk apa melakukannya. Begitu juga denganku. Alasanku untuk tetap tinggal di sini, karena kenyamanan yang kudapatkan. Ada sebuah tempat yang kusukai di sini, yaitu atap dari rumah susun ini. Lantai lima dari tempat ini memiliki rooftop yang bisa kunaiki. Hampir setiap malam aku menghabiskan waktu sebelum larut. Tidak ada aktivitas berarti yang kulakukan di sana, hanya duduk, memandang kelamnya langit di malam hari, dan menyaksikan hiruk pikuk perkotaan dari atas sana. Hanya itu. Sungguh, aku terlihat menyedihkan dengan hal itu. Lalu, apa yang harus kulakukan?  

“Astaga! Kau mengagetkanku!” teriak seseorang yang kutahu sumber suaranya berasal dari belakangku. Aku melihat ke belakang. Ekspresinya lucu menurutku. Kulitnya kuning pucat dan semakin pucat ketika dia berteriak padaku. Aku menaikkan sebelah alisku, pertanda tidak mengerti. Kenapa aku mengagetkannya?  Dia berjalan ke arahku, dan tanpa izin duduk di ujung sisi bangku panjang yang kududuki. Dia merebahkan tubuhnya dan kulihat ada gurat-gurat lelah dilingkar matanya. Siapa dia? Sepertinya ini pertama kali aku bertemu dengannya, setelah 3 bulan dengan rutin ke sini. Selain pemandangan yang menakjubkan dari atas, di sini terdapat kursi panjang sekaligus lebar sehingga dapat digunakan untuk tidur—seperti yang dilakukan laki-laki itu. Dia diam sambil memicingkan matanya. Sepertinya dia lelah—sama sepertiku—tetapi dalam arti yang berbeda. Aku melirik arloji dan waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, serta hawa dingin perlahan terasa olehku. Aku hanya mengenakan kardigan dan itu tidak cukup menahan terpaan angin malam yang menusuk sel-sel tubuhku. Aku melirik ke arah laki-laki itu sekali lagi. Sepertinya dia tertidur, batinku. Aku tersenyum. Sepertinya, aku tidak lagi sendiri untuk malam selanjutnya. Aku meninggalkannya di atas, dan kembali ke kamar... dan tertidur dengan perasaan hangat.

  


3 comments:

  1. Kapan nih kelanjutan nya?

    ReplyDelete
  2. Pembukaan ya gan??? Kelanjutan nya kapan ya,,,semoga cepat,,thx

    ReplyDelete
  3. Terimakasih sudah membacanya, kelanjutannya semoga bisa secepatnya, hehe

    ReplyDelete