Kenapa harus menunggu?
Kenapa harus menggantung harap
begitu besar?
Kenapa harus?
Jika suatu masa nanti, akan
bertemu jurang yang begitu lebar... untuk memutus semuanya.
“Bu,
ada yang mencari ibu.” ucap Indah salah seorang siswaku. Mataku menunjukkan ekspresi
bertanya “siapa”.
“Aku
tidak tahu, Bu. Tadi, ketika aku ke meja piket... Ibu Salsa menyuruhku
menyampaikan pesan itu. Katanya, ibu ada tamu. Hehe.” jelasnya sambil tertawa.
Aku terheran. Kenapa siswaku justru tertawa ketika menjelaskan semua itu.
“Pergilah,
Bu. Sebentar saja, kan? Kami akan diskusi tentang pelajaran hari ini... kalau
perlu kami akan kerjakan latihan di buku, Bu. Hehe.” sambungnya. Aku tetap tak
habis pikir, tamu seperti apa yang menemuiku, hingga siswaku sendiri membujukku
untuk pergi. Kira-kira lima menit berlalu, dan aku tetap memutuskan untuk
mengajar. Aku tidak begitu suka menemui tamu yang datang ketika aku mengajar.
Jika itu tidak begitu mendesak, aku akan menemuinya setelah mengajar. Namun,
sepertinya dugaanku salah. Tamu itu teramat penting, hingga temanku—Salsa harus
menjemputku ke kelas.
“Permisi.
Ada yang mencari Ibu Vana di luar.” ucapnya. Aku terpaksa menghentikan tugasku,
dan menyerahkan sisa pembelajaran kepada Salsa, minimal memantau siswa-siswaku
selama aku menemui tamu—yang penting menurut mereka.
Kenapa harus terus menunggu?
Kenapa harus menanti setiap saat, jika pertemuan menjadikan penantian itu tak
berarti....
Aku
melangkahkan kaki ke ruang kepala sekolah, karena informasi yang kudengar tamu
untukku sedang berbincang dengan beliau. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, dan
kulihat beliau berbincang hangat dengan laki-laki yang posisinya
membelakangiku.
“Akhirnya
kau datang juga, Vana. Ini... ada tamu jauh untukmu. Tidak mungkin kau
membiarkannya menunggu terlalu lama, bukan?”
Detik
selanjutnya... aku terpaku.
###
Kepala
sekolah meninggalkan kami berdua dalam ruangan itu. Tujuannya cuma satu, agar
kami dapat leluasa bertukar kabar. Sudah lima belas menit beliau meninggalkan
kami, dan tidak ada seorangpun yang berani memulai percakapan. Kami duduk
berhadapan dengan canggung. Aku melihatnya memainkan jemarinya, dan akupun
melakukan hal yang sama dengannya.
“Bagaimana
kabar kau, Vana?” Akhirnya, dia memulainya... Aku menengadahkan kepala, dan
kulihat wajah teduhnya. Ah, sudah sangat lama sekali. Aku menghela napas, dan
tersenyum.
“Kabarku
baik, dan semakin baik ketika melihat kau akhirnya menemuiku... setelah
bertahun-tahun tak pernah lagi kudengar kabar tentang kau.” ucapku jujur. Aku
tidak tahu perasaan apa ini, antara bahagia, sedih, dan semuanya. Dia
termenung. Dia menatapku, dan pandangan kami bertemu. Aku tidak pernah tahu,
bagaimana mata dapat menjelaskan sesuatu. Sekarang, giliranku termenung.
Jantungku berdegup kencang. Ini bukan karena bahagia... tetapi ada sesuatu di
matanya yang membuatku... takkan bertemu dengannya lagi.
“Maafkan
aku... aku datang begitu terlambat. Ini sudah memasuki delapan tahun, Vana.”
lirihnya. Dia mengambil jeda sejenak. Dia benar... ini sudah delapan tahun
setelah janji yang diucapkannya padaku dan hingga detik ini belum ditepatinya.
“Kau...
masih menungguku?” tanyanya pelan, karena kuyakin dia takut aku akan terluka. Mataku
tiba-tiba menerawang, karena bukan ini yang kuharapkan. Seharusnya yang kami
bincangkan adalah, bagaimana kabar orangtuaku? Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana
kondisiku selama dia tak pernah ada di sini? Seharusnya dia bertanya itu, bukan
bertanya apakah aku masih menunggunya. Pertanyaan itu seolah lelucon bagiku.
Ketika seseorang memintaku untuk menunggu, bagaimana mungkin aku menolaknya?
Dan... sekarang dia seolah akan melepas semua janji itu.
“Maafkan
aku, Vana.” Aku belum menjawab pertanyaannya, namun aku sudah mendengar
berulang kali kalimat maaf darinya. Aku menghela napas.
“Apa
yang ingin kau sampaikan, Davi? Katakanlah, aku akan dengarkan. Ini sudah
delapan tahun, aku bisa apa?” ucapku. Aku tidak ingin perbincangan ini tak
terarah entah kemana. Semakin cepat aku mengetahui, maka semakin baik bagiku.
“Maafkan
aku. Aku... tidak bisa menepati janjiku, Vana.” lirihnya sendu. Aku dapat
mendengar suaranya bergetar. Dia menunduk, tak berani lagi menatapku. Tanganku
gemetar, ketika kalimat itu terdengar di telingaku. Aku menghela napas—lagi.
“Ucapkan
sekali lagi, agar aku tersadar, Davi.” pintaku. Aku melihatnya menghela napas,
dan kulihat tangisnya yang tertahan. Dia terluka... tetapi kenapa melepasku?
“Berhentilah
untuk menungguku mulai saat ini, karena aku tidak bisa menepati janjiku, Vana.”
ucapnya dengan wajah sendu. Aku seketika diam membisu, lebih tepatnya tidak
tahu harus menjawab apa.
“Kenapa?”
Aku memberanikan diri untuk bertanya. Setidaknya, aku harus tau alasannya.
Walaupun, itu akan menyakitkan... aku memilih untuk mengetahuinya dibandingkan
tidak tahu apa-apa.
“Aku
melukai seorang gadis ketika menjalankan tugas. Dia kehilangan kakinya karena
ulahku. Dan... aku berjanji akan bertanggung jawab, dan orangtuanya memintaku
untuk mendampingi gadis itu. Dia kehilangan banyak hal karenaku, masa depannya
dan kebahagiaannya, Vana. Maafkan aku. Aku sungguh tidak ingin melukaimu, Vana.
Maafkan aku.” Untuk pertama kalinya... aku melihatnya menangis di hadapanku.
Aku menghela napas, tidak tahu harus bagaimana. Dia begitu terluka, dan aku
menjadi penghambat untuknya.
“Davi...
aku akan baik-baik saja. Percayalah. Kau harus bertanggung jawab untuknya.”
ucapku tenang.
“Vana....”
“Kau
terluka, dan akupun terluka. Lalu, kita harus bagaimana? Kau sudah punya
keputusan, sedangkan aku? Aku hanya akan menerimanya. Kau tahu, Davi... delapan
tahun bukanlah waktu yang singkat untukku... bertemu dengan kau hari ini,
kupikir aku akan berhenti menunggu kau... dan ternyata benar, tetapi dengan
akhir yang berbeda... aku akan pergi, dan hari ini kita akan saling melepaskan,
bukan?” jelasku sekuat tenaga menahan tangis.
“Vana....”
lirihnya kehilangan kata-kata untuk berucap. Matanya begitu sendu, dan hal yang
bisa kulakukan adalah membalas kesenduan di wajahnya dengan tersenyum.
“Aku
akan baik-baik saja. Selama delapan tahun, aku sudah meletakkan hatiku
kepadaNya. Jadi, jika simpul itu dilepaskan, dan ujungnya berakhir padaku...
maka kita akan bersama. Tetapi, jika simpul itu justru tidak berakhir padaku,
bisa jadi rusak di tengah sebelum mencapai ujungnya, maka Sang Kuasa
berkehendak lain kepada kita.” ucapku.
“Bagaimana
mungkin kau begitu lapang atas perkara ini, Vana?” tanyanya yang perlahan
tenang. Aku tertawa, itulah pertanyaan aneh yang selalu kudengar dari banyak
orang.
“Karena
satu-satunya yang bisa kulakukan adalah, melepaskan dengan lapang, Davi. Aku
harus melakukannya. Bagaimana mungkin aku melawan takdir, Davi. Terima saja,
karena semakin kita bersikukuh untuk membenarkan takdir, sesuai dengan versi
manusia, maka semakin sakitlah rasanya. Maka, aku berusaha untuk menerima dan
biarkan waktu mengobati rasa pedihnya.
“Davi,
bisakah kau menemui ayahku untuk menjelaskan semua ini?” pintaku. Dia
mengangguk. Aku berdiri karena tidak sanggup berlama-lama dalam situasi ini.
“Aku
harus mengajar, mungkin kita bisa bertemu dalam kondisi yang berbeda nantinya.
Kapan kau kembali ke Kalimantan?” tanyaku.
“Minggu
depan...” kalimatnya menggantung, dan segera kusambung.
“Aku
tidak yakin bisa mengantarmu ke bandara saat itu...” Dia mengangguk paham.
“Berbahagialah,
Davi...” ucapku terakhir kali dan meninggalkan ruangan kepala sekolah.
###
Lepaskanlah, karena boleh
jadi... ketika dilepas maka semakin kuatlah rasanya dengan pemahaman yang lebih
baik.
Lepaskanlah,
karena boleh jadi... Tuhan tengah mempersiapkan skenario yang menakjubkan.
Aku di kampus kau, Vana.
Aku
membaca pesan singkat itu berulang kali. Seseorang menyikut lenganku untuk
memberi isyarat kepadaku agar segera menyimpan ponselku, jika tidak ingin
diusir keluar kelas. Aku nyaris lupa, jika dosen mata kuliah ini melarang kami
memegang ponsel, berbicara, dan hal-hal lainnya. Beliau bisa saja mengusir kami
keluar kelas tanpa ampun.
Aku sedang kuliah, Davi.
Aku
membalas pesannya tepat setelah dosen di kelasku meninggalkan ruangan. Davi.
Laki-laki itu tiba-tiba mencul di kehidupanku. Kami tidak pernah mengenal
dengan baik. Aku hanya tahu, bahwa kami satu sekolah saat duduk di bangku SMA.
Hanya itu. Tetapi, entah kenapa dua tahun terakhir ini tiba-tiba kami
berkomunikasi dengan baik. Walaupun bisa dikatakan hanya bertukar kabar dua
kali dalam setahun. Tetapi, penjelasan itu datang bukan dari intensnya
komunikasi, bukan? Kadangkala membiarkan Sang Kuasa mengutak-atik skenario di
antara kami, itu lebih baik. Dibandingkan memulai kisah dengan alur ciptaan
manusia, bukankah itu terdengar kurang istimewa?
Aku akan menunggu.
###
“Kapan
kau datang?” tanyaku.
“Empat
hari yang lalu. Kebetulan sedang libur satu minggu, jadi aku memanfaatkannya.”
ucapnya santai. Aku memutuskan untuk menemuinya. Sebenarnya, aku tidak ingin
melakukannya karena terasa aneh.
“Bagaimana
kabar kau, Davi?” tanyaku. Setelah itu, kami sibuk bertanya tentang
masing-masing. Kami terlalu sibuk bertukar kabar, bertukar kejadian selama dua
tahun tak pernah bertemu.
“Vana...”
panggilnya.” Tatapannya tiba-tiba serius.
“Aku
telah menemui ayahmu, kemarin lusa.” Mataku membulat karena terkejut pernyataan
yang diutarakannya padaku. Bagaimana bisa dia mengetahui alamatku, terutama
menemui ayahku. Dia tertawa, karena menyadari kebingunganku.
“Kau
pasti lupa, Vana. Bukankah ayah kau mempunyai banyak anak didik? Dan salah satu
anak didiknya mengajakku datang ke rumah kau, Vana. Disitulah aku tahu... foto
keluarga yang terpajang di rumah kau, Vana.” ucapnya memberi penjelasan.
“Tetapi...
ini akan butuh waktu yang lama. Studiku belum selesai, dan ada beberapa hal
yang tak bisa kusampaikan. Intinya, apa kau mau menungguku hingga semua
urusanku selesai di sana?” pintanya.
Aku
terdiam cukup lama, karena kabar ini begitu mendadak. Namun, entah bagaimana
akhirnya aku mengangguk, dan memutuskan untuk menunggu hingga dia datang
menemuiku lagi—yang aku tidak tahu itu kapan terjadi.
###
Kau ingin memutar waktu sekali
lagi? Katakan tidak ingin. Karena bisa jadi Tuhan tengah mengajarkan kau apa
arti kehilangan. Agar esok lusa, kau akan berhati-hati menggantung harap... dan
menjaga sesuatu yang seharusnya kau jaga.
Kau pernah mengatakan, bahwa
kita akan bertemu suatu hari nanti dengan kondisi yang berbeda. Hari ini, aku
tiba di Padang—bersamanya. Kau mau menemuinya?
Aku
membaca pesan itu lamat-lamat, karena takut kekeliruan dalam membaca. Deg! Bersamanya. Meskipun sudah satu
tahun, keadaanku tetap seperti ini. Berusaha untuk baik-baik saja dengan menata
kehidupanku sebaik mungkin, walaupun luka itu tetap menganga. Tetapi, waktu
akan menjelaskannya, bukan? Aku menghela napas, dan membalas pesan darinya.
Tentu. Datanglah ke rumah, aku
sedang libur sekarang.
###
Melepaskan tak selalu
menyakitkan, bukan? Kadangkala ketika kita terlalu berharap, kita justru
mendapatkan sebaliknya. Kenapa? Karena berharap juga ada batasnya, harus
ditakar dengan baik... agar tetap terkendali dengan baik.
Melepaskan tak selalu
menyakitkan, bukan? Karena boleh jadi, melepaskan menyadarkan bahwa perasaan
tertinggi adalah ketika melepaskan. Karena bisa jadi, dengan melepaskan
perasaan itu akan semakin besar.
Melepaskan tak selalu
menyakitkan, bukan? Karena dengan melepaskan memberikan ruang bagi kita untuk
berdamai dengan diri sendiri.
Aku
membuka pintu dan kulihat dia datang bersama gadis yang duduk di kursi roda.
Aku memberikan senyum terbaik untuk menyambutnya. Hatiku luluh dan tiba-tiba
perasaan iba menggelayut di hatiku. Bagaimana mungkin aku memperdebatkan
hatiku, sedang gadis di depanku begitu butuh pertolongan dari laki-laki bernama
Davi.
“Vana...
kemarilah. Aku ingin memelukmu.” pintanya. Aku tidak tau apa niatnya, namun aku
mengikuti kemauannya. Dan... aku memeluknya. Spontan... aku menangis. Aku
terisak-isak, sungguh aku tidak tahu kenapa ini terjadi begitu cepat. Aku mohon, aku butuh waktu lebih lama untuk
bisa melepas sekaligus menerima dengan sempurna. Rasa sakit itu masih
berbekas, dan penantian itu... meskipun sudah terhenti...aku masih menunggu
bagaimana Sang Kuasa memberikan skenario terbaikNya untukku.
“Vana...
maafkan aku.”ujarnya. Sekarang gilirannya menangis tersedu-sedu. Aku mengusap
punggungnya, menjelaskan dengan isyarat bahwa ini bukanlah salahnya.
“Vana...
aku tidak bisa. Sungguh. Bagaimana mungkin aku menghancurkan hati seseorang
yang telah menunggu dengan baik selama delapan tahun? Bagaimana mungkin aku
merusaknya, Vana? Maafkan aku. Aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bersama
seseorang yang hingga detik ini masih menggantung harap dan doa untuk kau,
Vana. Aku tidak bisa. Maafkan aku, sungguh.” ujarnya. Aku melepas pelukannya
dan menatap laki-laki yang memegangi kursi rodanya. Sekali lagi, bagaimana
mungkin mata dapat menjelaskan segalanya? Bulir air mata itu keluar.... ini
bukan tentang luka yang kualami, tapi ini tentang menjemput janji.
“Maafkan
aku, Vana. Hari ini, aku datang untuk menemuimu ayahmu lagi sekaligus menjemput
janji yang belum kupenuhi.” ucapnya mantap. Dan... hari ini aku membiarkan air
mata dengan sesukanya membasahi wajahku.
###
No comments:
Post a Comment