Pages

May 10, 2016

[Cerpen] Menjemput Janji


Kenapa harus menunggu?
Kenapa harus menggantung harap begitu besar?
Kenapa harus?
Jika suatu masa nanti, akan bertemu jurang yang begitu lebar... untuk memutus semuanya.

“Bu, ada yang mencari ibu.” ucap Indah salah seorang siswaku. Mataku menunjukkan ekspresi bertanya “siapa”.

“Aku tidak tahu, Bu. Tadi, ketika aku ke meja piket... Ibu Salsa menyuruhku menyampaikan pesan itu. Katanya, ibu ada tamu. Hehe.” jelasnya sambil tertawa. Aku terheran. Kenapa siswaku justru tertawa ketika menjelaskan semua itu.

“Pergilah, Bu. Sebentar saja, kan? Kami akan diskusi tentang pelajaran hari ini... kalau perlu kami akan kerjakan latihan di buku, Bu. Hehe.” sambungnya. Aku tetap tak habis pikir, tamu seperti apa yang menemuiku, hingga siswaku sendiri membujukku untuk pergi. Kira-kira lima menit berlalu, dan aku tetap memutuskan untuk mengajar. Aku tidak begitu suka menemui tamu yang datang ketika aku mengajar. Jika itu tidak begitu mendesak, aku akan menemuinya setelah mengajar. Namun, sepertinya dugaanku salah. Tamu itu teramat penting, hingga temanku—Salsa harus menjemputku ke kelas.

“Permisi. Ada yang mencari Ibu Vana di luar.” ucapnya. Aku terpaksa menghentikan tugasku, dan menyerahkan sisa pembelajaran kepada Salsa, minimal memantau siswa-siswaku selama aku menemui tamu—yang penting menurut mereka.

Kenapa harus terus menunggu? Kenapa harus menanti setiap saat, jika pertemuan menjadikan penantian itu tak berarti....

Aku melangkahkan kaki ke ruang kepala sekolah, karena informasi yang kudengar tamu untukku sedang berbincang dengan beliau. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, dan kulihat beliau berbincang hangat dengan laki-laki yang posisinya membelakangiku.

“Akhirnya kau datang juga, Vana. Ini... ada tamu jauh untukmu. Tidak mungkin kau membiarkannya menunggu terlalu lama, bukan?”

Detik selanjutnya... aku terpaku.
###
Kepala sekolah meninggalkan kami berdua dalam ruangan itu. Tujuannya cuma satu, agar kami dapat leluasa bertukar kabar. Sudah lima belas menit beliau meninggalkan kami, dan tidak ada seorangpun yang berani memulai percakapan. Kami duduk berhadapan dengan canggung. Aku melihatnya memainkan jemarinya, dan akupun melakukan hal yang sama dengannya.

“Bagaimana kabar kau, Vana?” Akhirnya, dia memulainya... Aku menengadahkan kepala, dan kulihat wajah teduhnya. Ah, sudah sangat lama sekali. Aku menghela napas, dan tersenyum.

“Kabarku baik, dan semakin baik ketika melihat kau akhirnya menemuiku... setelah bertahun-tahun tak pernah lagi kudengar kabar tentang kau.” ucapku jujur. Aku tidak tahu perasaan apa ini, antara bahagia, sedih, dan semuanya. Dia termenung. Dia menatapku, dan pandangan kami bertemu. Aku tidak pernah tahu, bagaimana mata dapat menjelaskan sesuatu. Sekarang, giliranku termenung. Jantungku berdegup kencang. Ini bukan karena bahagia... tetapi ada sesuatu di matanya yang membuatku... takkan bertemu dengannya lagi.

“Maafkan aku... aku datang begitu terlambat. Ini sudah memasuki delapan tahun, Vana.” lirihnya. Dia mengambil jeda sejenak. Dia benar... ini sudah delapan tahun setelah janji yang diucapkannya padaku dan hingga detik ini belum ditepatinya.

“Kau... masih menungguku?” tanyanya pelan, karena kuyakin dia takut aku akan terluka. Mataku tiba-tiba menerawang, karena bukan ini yang kuharapkan. Seharusnya yang kami bincangkan adalah, bagaimana kabar orangtuaku? Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana kondisiku selama dia tak pernah ada di sini? Seharusnya dia bertanya itu, bukan bertanya apakah aku masih menunggunya. Pertanyaan itu seolah lelucon bagiku. Ketika seseorang memintaku untuk menunggu, bagaimana mungkin aku menolaknya? Dan... sekarang dia seolah akan melepas semua janji itu.

“Maafkan aku, Vana.” Aku belum menjawab pertanyaannya, namun aku sudah mendengar berulang kali kalimat maaf darinya. Aku menghela napas.

“Apa yang ingin kau sampaikan, Davi? Katakanlah, aku akan dengarkan. Ini sudah delapan tahun, aku bisa apa?” ucapku. Aku tidak ingin perbincangan ini tak terarah entah kemana. Semakin cepat aku mengetahui, maka semakin baik bagiku.

“Maafkan aku. Aku... tidak bisa menepati janjiku, Vana.” lirihnya sendu. Aku dapat mendengar suaranya bergetar. Dia menunduk, tak berani lagi menatapku. Tanganku gemetar, ketika kalimat itu terdengar di telingaku. Aku menghela napas—lagi.

“Ucapkan sekali lagi, agar aku tersadar, Davi.” pintaku. Aku melihatnya menghela napas, dan kulihat tangisnya yang tertahan. Dia terluka... tetapi kenapa melepasku?

“Berhentilah untuk menungguku mulai saat ini, karena aku tidak bisa menepati janjiku, Vana.” ucapnya dengan wajah sendu. Aku seketika diam membisu, lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Setidaknya, aku harus tau alasannya. Walaupun, itu akan menyakitkan... aku memilih untuk mengetahuinya dibandingkan tidak tahu apa-apa.

“Aku melukai seorang gadis ketika menjalankan tugas. Dia kehilangan kakinya karena ulahku. Dan... aku berjanji akan bertanggung jawab, dan orangtuanya memintaku untuk mendampingi gadis itu. Dia kehilangan banyak hal karenaku, masa depannya dan kebahagiaannya, Vana. Maafkan aku. Aku sungguh tidak ingin melukaimu, Vana. Maafkan aku.” Untuk pertama kalinya... aku melihatnya menangis di hadapanku. Aku menghela napas, tidak tahu harus bagaimana. Dia begitu terluka, dan aku menjadi penghambat untuknya.

“Davi... aku akan baik-baik saja. Percayalah. Kau harus bertanggung jawab untuknya.” ucapku tenang.

“Vana....”

“Kau terluka, dan akupun terluka. Lalu, kita harus bagaimana? Kau sudah punya keputusan, sedangkan aku? Aku hanya akan menerimanya. Kau tahu, Davi... delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untukku... bertemu dengan kau hari ini, kupikir aku akan berhenti menunggu kau... dan ternyata benar, tetapi dengan akhir yang berbeda... aku akan pergi, dan hari ini kita akan saling melepaskan, bukan?” jelasku sekuat tenaga menahan tangis.

“Vana....” lirihnya kehilangan kata-kata untuk berucap. Matanya begitu sendu, dan hal yang bisa kulakukan adalah membalas kesenduan di wajahnya dengan tersenyum.

“Aku akan baik-baik saja. Selama delapan tahun, aku sudah meletakkan hatiku kepadaNya. Jadi, jika simpul itu dilepaskan, dan ujungnya berakhir padaku... maka kita akan bersama. Tetapi, jika simpul itu justru tidak berakhir padaku, bisa jadi rusak di tengah sebelum mencapai ujungnya, maka Sang Kuasa berkehendak lain kepada kita.” ucapku.

“Bagaimana mungkin kau begitu lapang atas perkara ini, Vana?” tanyanya yang perlahan tenang. Aku tertawa, itulah pertanyaan aneh yang selalu kudengar dari banyak orang.

“Karena satu-satunya yang bisa kulakukan adalah, melepaskan dengan lapang, Davi. Aku harus melakukannya. Bagaimana mungkin aku melawan takdir, Davi. Terima saja, karena semakin kita bersikukuh untuk membenarkan takdir, sesuai dengan versi manusia, maka semakin sakitlah rasanya. Maka, aku berusaha untuk menerima dan biarkan waktu mengobati rasa pedihnya.

“Davi, bisakah kau menemui ayahku untuk menjelaskan semua ini?” pintaku. Dia mengangguk. Aku berdiri karena tidak sanggup berlama-lama dalam situasi ini.

“Aku harus mengajar, mungkin kita bisa bertemu dalam kondisi yang berbeda nantinya. Kapan kau kembali ke Kalimantan?” tanyaku.

“Minggu depan...” kalimatnya menggantung, dan segera kusambung.

“Aku tidak yakin bisa mengantarmu ke bandara saat itu...” Dia mengangguk paham.

“Berbahagialah, Davi...” ucapku terakhir kali dan meninggalkan ruangan kepala sekolah.
###
Lepaskanlah, karena boleh jadi... ketika dilepas maka semakin kuatlah rasanya dengan pemahaman yang lebih baik.

Lepaskanlah, karena boleh jadi... Tuhan tengah mempersiapkan skenario yang menakjubkan.

Aku di kampus kau, Vana.

Aku membaca pesan singkat itu berulang kali. Seseorang menyikut lenganku untuk memberi isyarat kepadaku agar segera menyimpan ponselku, jika tidak ingin diusir keluar kelas. Aku nyaris lupa, jika dosen mata kuliah ini melarang kami memegang ponsel, berbicara, dan hal-hal lainnya. Beliau bisa saja mengusir kami keluar kelas tanpa ampun.

Aku sedang kuliah, Davi.

Aku membalas pesannya tepat setelah dosen di kelasku meninggalkan ruangan. Davi. Laki-laki itu tiba-tiba mencul di kehidupanku. Kami tidak pernah mengenal dengan baik. Aku hanya tahu, bahwa kami satu sekolah saat duduk di bangku SMA. Hanya itu. Tetapi, entah kenapa dua tahun terakhir ini tiba-tiba kami berkomunikasi dengan baik. Walaupun bisa dikatakan hanya bertukar kabar dua kali dalam setahun. Tetapi, penjelasan itu datang bukan dari intensnya komunikasi, bukan? Kadangkala membiarkan Sang Kuasa mengutak-atik skenario di antara kami, itu lebih baik. Dibandingkan memulai kisah dengan alur ciptaan manusia, bukankah itu terdengar kurang istimewa?

Aku akan menunggu.
###
“Kapan kau datang?” tanyaku.

“Empat hari yang lalu. Kebetulan sedang libur satu minggu, jadi aku memanfaatkannya.” ucapnya santai. Aku memutuskan untuk menemuinya. Sebenarnya, aku tidak ingin melakukannya karena terasa aneh.

“Bagaimana kabar kau, Davi?” tanyaku. Setelah itu, kami sibuk bertanya tentang masing-masing. Kami terlalu sibuk bertukar kabar, bertukar kejadian selama dua tahun tak pernah bertemu.

“Vana...” panggilnya.” Tatapannya tiba-tiba serius.

“Aku telah menemui ayahmu, kemarin lusa.” Mataku membulat karena terkejut pernyataan yang diutarakannya padaku. Bagaimana bisa dia mengetahui alamatku, terutama menemui ayahku. Dia tertawa, karena menyadari kebingunganku.

“Kau pasti lupa, Vana. Bukankah ayah kau mempunyai banyak anak didik? Dan salah satu anak didiknya mengajakku datang ke rumah kau, Vana. Disitulah aku tahu... foto keluarga yang terpajang di rumah kau, Vana.” ucapnya memberi penjelasan.

“Tetapi... ini akan butuh waktu yang lama. Studiku belum selesai, dan ada beberapa hal yang tak bisa kusampaikan. Intinya, apa kau mau menungguku hingga semua urusanku selesai di sana?” pintanya.

Aku terdiam cukup lama, karena kabar ini begitu mendadak. Namun, entah bagaimana akhirnya aku mengangguk, dan memutuskan untuk menunggu hingga dia datang menemuiku lagi—yang aku tidak tahu itu kapan terjadi.
###
Kau ingin memutar waktu sekali lagi? Katakan tidak ingin. Karena bisa jadi Tuhan tengah mengajarkan kau apa arti kehilangan. Agar esok lusa, kau akan berhati-hati menggantung harap... dan menjaga sesuatu yang seharusnya kau jaga.

Kau pernah mengatakan, bahwa kita akan bertemu suatu hari nanti dengan kondisi yang berbeda. Hari ini, aku tiba di Padang—bersamanya. Kau mau menemuinya?

Aku membaca pesan itu lamat-lamat, karena takut kekeliruan dalam membaca. Deg! Bersamanya. Meskipun sudah satu tahun, keadaanku tetap seperti ini. Berusaha untuk baik-baik saja dengan menata kehidupanku sebaik mungkin, walaupun luka itu tetap menganga. Tetapi, waktu akan menjelaskannya, bukan? Aku menghela napas, dan membalas pesan darinya.

Tentu. Datanglah ke rumah, aku sedang libur sekarang.
###
Melepaskan tak selalu menyakitkan, bukan? Kadangkala ketika kita terlalu berharap, kita justru mendapatkan sebaliknya. Kenapa? Karena berharap juga ada batasnya, harus ditakar dengan baik... agar tetap terkendali dengan baik.

Melepaskan tak selalu menyakitkan, bukan? Karena boleh jadi, melepaskan menyadarkan bahwa perasaan tertinggi adalah ketika melepaskan. Karena bisa jadi, dengan melepaskan perasaan itu akan semakin besar.

Melepaskan tak selalu menyakitkan, bukan? Karena dengan melepaskan memberikan ruang bagi kita untuk berdamai dengan diri sendiri.

Aku membuka pintu dan kulihat dia datang bersama gadis yang duduk di kursi roda. Aku memberikan senyum terbaik untuk menyambutnya. Hatiku luluh dan tiba-tiba perasaan iba menggelayut di hatiku. Bagaimana mungkin aku memperdebatkan hatiku, sedang gadis di depanku begitu butuh pertolongan dari laki-laki bernama Davi.

“Vana... kemarilah. Aku ingin memelukmu.” pintanya. Aku tidak tau apa niatnya, namun aku mengikuti kemauannya. Dan... aku memeluknya. Spontan... aku menangis. Aku terisak-isak, sungguh aku tidak tahu kenapa ini terjadi begitu cepat. Aku mohon, aku butuh waktu lebih lama untuk bisa melepas sekaligus menerima dengan sempurna. Rasa sakit itu masih berbekas, dan penantian itu... meskipun sudah terhenti...aku masih menunggu bagaimana Sang Kuasa memberikan skenario terbaikNya untukku.

“Vana... maafkan aku.”ujarnya. Sekarang gilirannya menangis tersedu-sedu. Aku mengusap punggungnya, menjelaskan dengan isyarat bahwa ini bukanlah salahnya.

“Vana... aku tidak bisa. Sungguh. Bagaimana mungkin aku menghancurkan hati seseorang yang telah menunggu dengan baik selama delapan tahun? Bagaimana mungkin aku merusaknya, Vana? Maafkan aku. Aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bersama seseorang yang hingga detik ini masih menggantung harap dan doa untuk kau, Vana. Aku tidak bisa. Maafkan aku, sungguh.” ujarnya. Aku melepas pelukannya dan menatap laki-laki yang memegangi kursi rodanya. Sekali lagi, bagaimana mungkin mata dapat menjelaskan segalanya? Bulir air mata itu keluar.... ini bukan tentang luka yang kualami, tapi ini tentang menjemput janji.

“Maafkan aku, Vana. Hari ini, aku datang untuk menemuimu ayahmu lagi sekaligus menjemput janji yang belum kupenuhi.” ucapnya mantap. Dan... hari ini aku membiarkan air mata dengan sesukanya membasahi wajahku.
###

No comments:

Post a Comment