Waktuku
habis. Aku harus pergi bekerja. Mungkin, belum waktunya bertemu dengan ayah.
Aku meninggalkan makanan yang kubawa untuknya, dan secarik kertas penanda
kehadiranku.
“Kau
ingin pergi, Mili?” tanya Lili ketika mendatangiku di kamar ayah. Aku
mengangguk.
“Bolehkah
aku meminta tolong pada kau, Lili?” pintaku.
“Tentu.
Aku akan senang membantu kau, Mili.” balasnya sumringah.
“Kabari
keadaan ayahku setelah pemeriksaan nanti. Ini nomor ponselku. Bisakah?” pintaku
sambil memberikan kertas berisi nomor ponselku. Dia mengangguk paham
“Dia
akan baik-baik saja, Mili.” ucapnya sebelum aku meninggalkannya. Aku tahu,
ayahku pasti akan baik-baik saja, dan kuharap memang seperti itu adanya.
Untukmu ayah, laki-laki terbaik yang kupunyaHari ini, aku datang lagi mengunjungimu. Sayangnya, kita tidak bertemu. Mungkin, esok-esok akan kutemui ayah lebih awal. Aku merindukanmu, ayah. Kuharap kau baik-baik saja.Mili
###
Aku
tiba di rumah susun pukul 10 malam. Aku melihat ke arah parkiran dan kudapati
tidak adanya mobil ataupun sepeda yang biasa dikendarai oleh Vero. Sepertinya dia masih di luar. Aku
membatin. Walaupun dia sering bercerita banyak hal padaku, tetapi apa yang
dilakukannya di luar sana, aku tidak pernah tahu. Aku menaiki tangga menuju
kamarku—bukan lebih tepatnya aku ingin ke atap. Entahlah, setiap selesai
mengunjungi ayah perasaanku menjadi tidak baik. Ponselku bergetar, dan kulihat
nomor tak dikenal mengirimiku suatu pesan.
Mili, ayah kau baik-baik saja. Setelah pemeriksaan dia makan sup yang kau buatkan. Makanannya lahap. Dia bilang, pasti anaknya yang mengirimkan ini padanya. Dia sangat senang. Aku akan merawatnya dengan baik, Mili. Jangan khawatir.
Aku
menghela napas menahan tangis. Pesan ini terlihat biasa, tetapi mengetahui
kabar ayah adalah kekuatan tersendiri untukku. Jika bukan karenanya, aku tidak
tahu lagi... untuk apa aku hidup. Aku merebahkan tubuhku di atas kursi panjang
yang terletak di rooftop. Ponselku
kembali bergetar.
Jangan terlalu lama di rooftop. Kau bisa sakit.
Seketika
aku terduduk dan melihat ke arah pintu. Tidak ada seorangpun di sana. Lalu,
bagaimana dia bisa tahu aku sedang berada di sini. Ah, aku kan memang setiap malam ke sini. Batinku. Setelah membaca
pesan darinya, aku turun ke bawah menuju kamarku. Aku melihat handukku telah
tergantung di engsel pintu. Aku mengambil handuk tersebut dan kulihat kamar di
depanku, lampu di dalam masih padam—pertanda dia belum kembali.
Aku sudah pulang. Kau juga harus segera pulang.
###
Kau sudah tidur?
Jika
saja bukan dia yang mengirimkan pesan padaku, mungkin aku memilih tidur. Aku
melihat jam dinding kamarku, pukul 2 dini hari.
Maaf menganggu kau, Mili. Selamat malam.
Aku
menerima pesan darinya sekali lagi sebelum aku sempat membalasnya. Aku
mengambil selimut cadangan di lemari dan mengenakan sweater yang terletak di
balik pintu. Aku menaiki tangga menuju rooftop.
Benar dugaanku, dia berada di sana. Dia masih mengenakan baju yang sama ketika
mengantarku ke rumah sakit. Aku berjalan mendekatinya dan menyampirkan selimut
ke pundaknya.
“Sepertinya
kau yang akan sakit, bukan aku.” ucapku membuka percakapan. Dia terkejut dengan
kehadiranku. Tiba-tiba mataku membesar ketika tangan kanannya memegang sesuatu
yang tidak kusukai. Refleks dia menyembunyikan tangannya, jelas sekali dia
tertangkap basah.
“Kau...”
lirihku tercekat.
“Aku
belum membakarnya... aku sedang banyak pikiran.” balasnya sambil memberikan
sebatang rokok yang utuh ke tanganku.
Aku
duduk di sampingnya. Dia memberikan secarik foto padaku. Aku menerimanya dengan
bingung.
“Kau
tahu itu dimana?” tanyanya. Tentu saja aku mengangguk. Foto itu adalah potret
kincir angin yang berada di Belanda saat musim semi.
“Ayah
menyuruhku berhenti kuliah, dan berangkat ke Belanda.” lirihnya.
Aku
selalu lupa, bahwa laki-laki yang berada di sampingku bukanlah orang biasa.
Kasta kami berbeda. Sekilas dia lebih terlihat seperti mahasiswa pada umumnya.
Pergi kuliah di jurusan ternama, calon dokter masa depan, mengendarai sepeda setiap
hari, dan tinggal di rumah susun yang teramat sederhana. Tetapi, tahukah dia
berasal dari keluarga yang disegani di negara ini? Aku tidak pernah menyangka
akan berteman dengan orang sepertinya, terlebih kesederhanaan yang ditunjukkan
padaku.
Dia
adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan elektronik nomor satu di negara
ini. Ayahnya adalah orang terkaya nomor 3 di sini. Tidak banyak yang tahu
dengan keluarganya, karena ayahnya menjaga privasi keluarganya dengan baik.
Sebenarnya aku salut dengan keluarganya. Sesekali dia bercerita tentang ayahnya
dan prinsip hidup yang terus melekat dengannya. Dia tidak jauh berbeda dengan
ayahnya—kesederhanaan. Sesekali aku melihat beliau di televisi, wajahnya teduh,
bicaranya lugas, dan begitu bersahaja. Tentu saja semua itu turun kepada
anaknya. Tanpa kita sadari, didikan dari keluarga adalah hal terpenting
berdirinya kepribadian anak-anak. Walaupun mereka bersekolah, mununtut ilmu
dengan baik, tetapi pembentukan karakter memang berasal dari rumah—keluarga.
Sehingga, ketika keluarga telah menjadikan karakternya terbentuk, maka tidak
peduli seberapa mengerikannya kehidupan di luar sana.
“Ayah
sekarang sedang sakit, Mili.” tambahnya. “Kau tahu kan, ayah tidak pernah
menyetujuiku menjadi seorang dokter. Tetapi, dia tidak pernah melarangku
mengambil pilihanku sendiri. Dia menginginkan aku belajar bisnis, tetapi
minatku tidak di sana. Dia merestui setiap pilihanku. Ayah mengatakan bahwa
jangan pernah mengambil keputusan karena orang lain, tetapi ambillah karena itu
adalah pilihanku sendiri. Sehingga ketika aku gagal, aku takkan menyalahkan
siapapun. Karena itulah... aku memutuskan menjadi dokter. Tetapi, ketika
melihatnya sakit... perlahan hatiku luluh. Dia memintaku, memohon padaku agar
aku mau belajar bisnis. Aku harus bagaimana?” ucapnya frustasi.
“Vero...
kau pernah mendengar kalimat ini, sesuatu
yang teramat kau sukai belum tentu baik untukmu, begitu juga sebaliknya...
sesuatu yang teramat kau benci belum tentu buruk untukmu. Kau masih
beruntung diberikan pilihan, setidaknya kau masih bisa memilih jalan terbaik.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki pilihan? Apakah dia menolaknya
karena tidak suka? Tidak, mereka harus menjalaninya meskipun terpaksa.” ucapku
hati-hati.
“Keputusan
selalu berada di tangan kita, Vero. Tetapi kau akan memutuskan dengan
pertimbangan yang matang, lakukan itu untuk diri kau, Vero. Kadangkala untuk
mendapatkan yang kita inginkan, kita juga butuh pengorbanan. Semakin sulit kau
meraihnya, maka semakin nikmatlah rasanya, dan bahagia mendapatkannya kuyakini
takkan terbayar oleh apapun. Anggaplah ini bagian pertimbangan kau, Vero...
jika kau memilih tetap melanjutkan studi kedokteran kau, tidak masalah. Kau
akan menjadi dokter dan dapat merawat beliau kelak. Namun jika kau memilih
berhenti dan melanjutkan studi ke Belanda—menjadi seorang bussinessman, pilihan itu juga tidak buruk. Kau telah menjalankan
tugas sebagai anak yang berbakti. Aku yakin ayah kau pasti senang, dan bisa jadi
sakitnya sembuh. Bukankah membalas kebaikan orangtua tidak harus dengan harta?
Tindakan-tindakan yang menyenangi hatinya adalah bentuk balasan kita kepada
mereka. Ah yaa... aku tahu kau punya otak yang jenius, kalau kau masih
ngotot... ambil kedokteran sekali lagi. Tidak ada kata terlambat, bukan? Selagi
bisa, kejarlah.” Aku menepuk pundaknya, memberi kekuatan padanya.
“Dan...
pastikan kau tidak memegang rokok lagi betapapun peliknya masalah yang kau hadapi.
Merokok tidak dapat membantu masalah kau, Vero. Ingat itu baik-baik.” Dia
melihat ke arahku, dan selalu... ketika menyelesaikan masalah rumit darinya,
dia selalu menampakkan wajah teduh dan aku ingat pernah melihat wajah itu di
televisi—keteduhan yang serupa dengan ayahnya.
“Mili,
aku tertolong.” ujarnya. “Kau mau ikut denganku ke Belanda?” tanyanya
tiba-tiba. Aku tersedak, padahal tidak ada makanan yang kumakan. Apa aku tidak
salah dengar? Dia pasti tengah bergurau.
“Aku
serius.” Lihatlah, dia dapat membaca pikiranku. Aku hanya diam, dan mataku menerawang.
Jika aku benar-benar telah hidup sendiri, mungkin aku ingin pergi dari kota
ini. Di sini... terlalu banyak luka. Aku menggeleng.
“Aku
senang tinggal di sini.”
“Aku
berangkat dua minggu lagi. Berbahagialah kau selama tidak ada teman yang menemani
kau di rooftop ini.” ucapnya. Aku
menyikut lengannya.
“Kau
terlalu percaya diri, tentu saja aku akan berbahagia.” balasku sambil
menyembunyikan ketakutanku.
“Syukurlah...
empat tahun akan berlalu dengan cepat, Mili.”
Ya... empat tahun. Dan... selama
empat tahun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.
No comments:
Post a Comment