Pages

July 11, 2016

[Cerpen] Rabu Kelabu #4



Waktuku habis. Aku harus pergi bekerja. Mungkin, belum waktunya bertemu dengan ayah. Aku meninggalkan makanan yang kubawa untuknya, dan secarik kertas penanda kehadiranku.

“Kau ingin pergi, Mili?” tanya Lili ketika mendatangiku di kamar ayah. Aku mengangguk.

“Bolehkah aku meminta tolong pada kau, Lili?” pintaku.

“Tentu. Aku akan senang membantu kau, Mili.” balasnya sumringah.

“Kabari keadaan ayahku setelah pemeriksaan nanti. Ini nomor ponselku. Bisakah?” pintaku sambil memberikan kertas berisi nomor ponselku. Dia mengangguk paham

“Dia akan baik-baik saja, Mili.” ucapnya sebelum aku meninggalkannya. Aku tahu, ayahku pasti akan baik-baik saja, dan kuharap memang seperti itu adanya.


Untukmu ayah, laki-laki terbaik yang kupunya
Hari ini, aku datang lagi mengunjungimu. Sayangnya, kita tidak bertemu. Mungkin, esok-esok akan kutemui ayah lebih awal. Aku merindukanmu, ayah. Kuharap kau baik-baik saja.

Mili

###
Aku tiba di rumah susun pukul 10 malam. Aku melihat ke arah parkiran dan kudapati tidak adanya mobil ataupun sepeda yang biasa dikendarai oleh Vero. Sepertinya dia masih di luar. Aku membatin. Walaupun dia sering bercerita banyak hal padaku, tetapi apa yang dilakukannya di luar sana, aku tidak pernah tahu. Aku menaiki tangga menuju kamarku—bukan lebih tepatnya aku ingin ke atap. Entahlah, setiap selesai mengunjungi ayah perasaanku menjadi tidak baik. Ponselku bergetar, dan kulihat nomor tak dikenal mengirimiku suatu pesan.


Mili, ayah kau baik-baik saja. Setelah pemeriksaan dia makan sup yang kau buatkan. Makanannya lahap. Dia bilang, pasti anaknya yang mengirimkan ini padanya. Dia sangat senang. Aku akan merawatnya dengan baik, Mili. Jangan khawatir.


Aku menghela napas menahan tangis. Pesan ini terlihat biasa, tetapi mengetahui kabar ayah adalah kekuatan tersendiri untukku. Jika bukan karenanya, aku tidak tahu lagi... untuk apa aku hidup. Aku merebahkan tubuhku di atas kursi panjang yang terletak di rooftop. Ponselku kembali bergetar.


Jangan terlalu lama di rooftop. Kau bisa sakit.


Seketika aku terduduk dan melihat ke arah pintu. Tidak ada seorangpun di sana. Lalu, bagaimana dia bisa tahu aku sedang berada di sini. Ah, aku kan memang setiap malam ke sini. Batinku. Setelah membaca pesan darinya, aku turun ke bawah menuju kamarku. Aku melihat handukku telah tergantung di engsel pintu. Aku mengambil handuk tersebut dan kulihat kamar di depanku, lampu di dalam masih padam—pertanda dia belum kembali.


Aku sudah pulang. Kau juga harus segera pulang.

###

Kau sudah tidur?


Jika saja bukan dia yang mengirimkan pesan padaku, mungkin aku memilih tidur. Aku melihat jam dinding kamarku, pukul 2 dini hari.


Maaf menganggu kau, Mili. Selamat malam.


Aku menerima pesan darinya sekali lagi sebelum aku sempat membalasnya. Aku mengambil selimut cadangan di lemari dan mengenakan sweater yang terletak di balik pintu. Aku menaiki tangga menuju rooftop. Benar dugaanku, dia berada di sana. Dia masih mengenakan baju yang sama ketika mengantarku ke rumah sakit. Aku berjalan mendekatinya dan menyampirkan selimut ke pundaknya.

“Sepertinya kau yang akan sakit, bukan aku.” ucapku membuka percakapan. Dia terkejut dengan kehadiranku. Tiba-tiba mataku membesar ketika tangan kanannya memegang sesuatu yang tidak kusukai. Refleks dia menyembunyikan tangannya, jelas sekali dia tertangkap basah.

“Kau...” lirihku tercekat.

“Aku belum membakarnya... aku sedang banyak pikiran.” balasnya sambil memberikan sebatang rokok yang utuh ke tanganku.

Aku duduk di sampingnya. Dia memberikan secarik foto padaku. Aku menerimanya dengan bingung.

“Kau tahu itu dimana?” tanyanya. Tentu saja aku mengangguk. Foto itu adalah potret kincir angin yang berada di Belanda saat musim semi.

“Ayah menyuruhku berhenti kuliah, dan berangkat ke Belanda.” lirihnya.

Aku selalu lupa, bahwa laki-laki yang berada di sampingku bukanlah orang biasa. Kasta kami berbeda. Sekilas dia lebih terlihat seperti mahasiswa pada umumnya. Pergi kuliah di jurusan ternama, calon dokter masa depan, mengendarai sepeda setiap hari, dan tinggal di rumah susun yang teramat sederhana. Tetapi, tahukah dia berasal dari keluarga yang disegani di negara ini? Aku tidak pernah menyangka akan berteman dengan orang sepertinya, terlebih kesederhanaan yang ditunjukkan padaku.

Dia adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan elektronik nomor satu di negara ini. Ayahnya adalah orang terkaya nomor 3 di sini. Tidak banyak yang tahu dengan keluarganya, karena ayahnya menjaga privasi keluarganya dengan baik. Sebenarnya aku salut dengan keluarganya. Sesekali dia bercerita tentang ayahnya dan prinsip hidup yang terus melekat dengannya. Dia tidak jauh berbeda dengan ayahnya—kesederhanaan. Sesekali aku melihat beliau di televisi, wajahnya teduh, bicaranya lugas, dan begitu bersahaja. Tentu saja semua itu turun kepada anaknya. Tanpa kita sadari, didikan dari keluarga adalah hal terpenting berdirinya kepribadian anak-anak. Walaupun mereka bersekolah, mununtut ilmu dengan baik, tetapi pembentukan karakter memang berasal dari rumah—keluarga. Sehingga, ketika keluarga telah menjadikan karakternya terbentuk, maka tidak peduli seberapa mengerikannya kehidupan di luar sana.

“Ayah sekarang sedang sakit, Mili.” tambahnya. “Kau tahu kan, ayah tidak pernah menyetujuiku menjadi seorang dokter. Tetapi, dia tidak pernah melarangku mengambil pilihanku sendiri. Dia menginginkan aku belajar bisnis, tetapi minatku tidak di sana. Dia merestui setiap pilihanku. Ayah mengatakan bahwa jangan pernah mengambil keputusan karena orang lain, tetapi ambillah karena itu adalah pilihanku sendiri. Sehingga ketika aku gagal, aku takkan menyalahkan siapapun. Karena itulah... aku memutuskan menjadi dokter. Tetapi, ketika melihatnya sakit... perlahan hatiku luluh. Dia memintaku, memohon padaku agar aku mau belajar bisnis. Aku harus bagaimana?” ucapnya frustasi.

“Vero... kau pernah mendengar kalimat ini, sesuatu yang teramat kau sukai belum tentu baik untukmu, begitu juga sebaliknya... sesuatu yang teramat kau benci belum tentu buruk untukmu. Kau masih beruntung diberikan pilihan, setidaknya kau masih bisa memilih jalan terbaik. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki pilihan? Apakah dia menolaknya karena tidak suka? Tidak, mereka harus menjalaninya meskipun terpaksa.” ucapku hati-hati.

“Keputusan selalu berada di tangan kita, Vero. Tetapi kau akan memutuskan dengan pertimbangan yang matang, lakukan itu untuk diri kau, Vero. Kadangkala untuk mendapatkan yang kita inginkan, kita juga butuh pengorbanan. Semakin sulit kau meraihnya, maka semakin nikmatlah rasanya, dan bahagia mendapatkannya kuyakini takkan terbayar oleh apapun. Anggaplah ini bagian pertimbangan kau, Vero... jika kau memilih tetap melanjutkan studi kedokteran kau, tidak masalah. Kau akan menjadi dokter dan dapat merawat beliau kelak. Namun jika kau memilih berhenti dan melanjutkan studi ke Belanda—menjadi seorang bussinessman, pilihan itu juga tidak buruk. Kau telah menjalankan tugas sebagai anak yang berbakti. Aku yakin ayah kau pasti senang, dan bisa jadi sakitnya sembuh. Bukankah membalas kebaikan orangtua tidak harus dengan harta? Tindakan-tindakan yang menyenangi hatinya adalah bentuk balasan kita kepada mereka. Ah yaa... aku tahu kau punya otak yang jenius, kalau kau masih ngotot... ambil kedokteran sekali lagi. Tidak ada kata terlambat, bukan? Selagi bisa, kejarlah.” Aku menepuk pundaknya, memberi kekuatan padanya.

“Dan... pastikan kau tidak memegang rokok lagi betapapun peliknya masalah yang kau hadapi. Merokok tidak dapat membantu masalah kau, Vero. Ingat itu baik-baik.” Dia melihat ke arahku, dan selalu... ketika menyelesaikan masalah rumit darinya, dia selalu menampakkan wajah teduh dan aku ingat pernah melihat wajah itu di televisi—keteduhan yang serupa dengan ayahnya.

“Mili, aku tertolong.” ujarnya. “Kau mau ikut denganku ke Belanda?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersedak, padahal tidak ada makanan yang kumakan. Apa aku tidak salah dengar? Dia pasti tengah bergurau.

“Aku serius.” Lihatlah, dia dapat membaca pikiranku. Aku hanya diam, dan mataku menerawang. Jika aku benar-benar telah hidup sendiri, mungkin aku ingin pergi dari kota ini. Di sini... terlalu banyak luka. Aku menggeleng.

“Aku senang tinggal di sini.”

“Aku berangkat dua minggu lagi. Berbahagialah kau selama tidak ada teman yang menemani kau di rooftop ini.” ucapnya. Aku menyikut lengannya.

“Kau terlalu percaya diri, tentu saja aku akan berbahagia.” balasku sambil menyembunyikan ketakutanku.

“Syukurlah... empat tahun akan berlalu dengan cepat, Mili.”

Ya... empat tahun. Dan... selama empat tahun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.

 

No comments:

Post a Comment