Aku
duduk di depan kelas yang pernah kurasakan kenangan pahit. Kenangan pahit yang sulit untuk kuhapus
sampai saat ini. Ini adalah sekolah yang pernah membuatku mengeluarkan air mata
karena kehilangannya. Dia tidak pergi untuk selamanya. Dia hanya pergi untuk
sementara ketika itu. Hari ini adalah reunianku bersama
teman-teman seangkatan denganku 2008/2009 SMA 10 Padang. Hari ini tanggal 1
Juni. Bertepatan dengan tanggal itu, hatiku galau karenanya. Sungguh aku masih
berharap dia akan ada untukku.
”Sin,
kok kamu ngelamun di sini?”tanya Popy sahabatku semenjak SMA.
”Nggak, aku cuma ingin duduk di sini!
“Aku ngerti perasaanmu Sin! Aku tahu, kamu belum bisa lupain itu semua!”ucapnya sambil merangkulku.
”Nggak, aku cuma ingin duduk di sini!
“Aku ngerti perasaanmu Sin! Aku tahu, kamu belum bisa lupain itu semua!”ucapnya sambil merangkulku.
Ingin rasanya aku menangis dalam pangkuan
Popy. Aku ingin mengeluarkan
rasa sedihku, rasa sesak batinku. Tapi, hatiku semakin sulit untuk menangis.
Entah mengapa, aku pun juga tak tahu. Yang kutahu hanyalah, dia membuat hatiku
beku untuk menangis.
**
Awal Februari aku mengenalnya. Hanya mengenalnya
untuk sekedar nama, tak lebih dari itu. Aku adalah cewek cupu, kurang pergaulan
dan tidak begitu dekat dengan teman-teman cowokku. Makanya saat mengenalnya,
aku hanya ingin tahu namanya. Tidak lebih dari itu.Pagi itu, Ibu Anita seorang
guru biologi yang mengajar di kelasku mengadakan diskusi kelompok. Aku satu
kelompok dengannya serta Popy. Sejak itulah aku mengenalnya.
Diskusi
kelompok selalu diadakan Ibu Anita setiap pelajaran biologi. Kelompok kami
permanen, dan tidak berubah hingga kenaikan kelas. Aku semakin mengenalnya dan
mulai bisa untuk menilainya. Dia baik, berbeda dengan teman cowokku yang
kebanyakan membuatku takut berhadapan dengannya. Jujur, aku sangat takut dengan
cowok. Entah kenapa aku pun juga tak tahu. Aku hanya menganggap kalau cowok itu
kasar, semena-mena pada cewek.
Awal
Maret aku semakin dekat dengannya, dan sesuatu terjadi dalam hatiku. Aku
menghabiskan waktu sekolah bersamanya ataupun kadang dengan Popy. Dia
melindungiku, ketika aku dikejar segerombolan preman yang hendak melahapku
sebagai makanannya.
”Kamu
nggak pa-pa?”tanya Hifdzi padaku.
Aku
tak sanggup berkata. Dadaku sesak karena lari menghindar dari gerombolan itu.
Mataku berkaca-kaca. Aku bersyukur dia datang menyelamatkanku. Kalau tidak,
entahlah. Aku tak bisa membayangkannya. Aku menghela napas dalam-dalam dan
mengeluarkannya.
”Terima
kasih. Aku berutang padamu.”
”Nggak
masalah, itu gunanya teman, bukan?”
Aku
tersenyum padanya. Hifdzi mengantarku pulang. Katanya, dia takut sesuatu terjadi lagi padaku. Aku
senang melihatnya. Andaikan semua laki-laki sepertinya, mungkin kaum hawa akan
bebas dari kasus pemerkosaan. Aku ingin cowok itu melindungi dan menyayangi
bukan sebaliknya. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Aku mempersilakannya
mampir ke rumahku. Tapi dia menolak.
”Aku
akan jemput kamu sebelum pergi sekolah besok!”ucapnya tiba-tiba.
”Maksudnya?”ucapku
membulatkan mata.
”Aku
tak ingin hal itu terjadi lagi padamu. Aku ingin melindungimu”
Aku termenung mendengar ucapannya. Segitu
pedulikah dia padaku? Aku mengangguk, dan dalam sekejab dia hilang dari
penglihatanku.
Pagi
sekali Hifdzi telah datang menjemputku. Padahal, aku baru saja selesai mandi. Terpaksa Ibu yang mengajaknya untuk
berbasa-basi di teras rumah. Aku pergi sekolah bersamanya. Pulang bersamanya.
Itu telah kulakukan kurang lebih satu bulan.
”Terima
kasih atas semua kepedulianmu. Aku berutang banyak padamu. Izinkan aku membalas kebaikanmu.”ucapku.
”Nggak,
aku ikhlas menolongmu!” bantahnya.
”Aku
mohon, temuilah aku tanggal 1 Juni di koridor sekolah!”ucapku.
”Baiklah!”ucapnya
sambil meninggalkan rumahku.
Setiap malam aku memikirkannya. Entah perasaan apa yang tengah melandaku. Perasaan yang membuatku gelisah tak
menentu. Apa ini namanya jatuh cinta? Aku menepis rasa itu.
”Tidak
mungkin aku jatuh cinta padanya.”
Aku keluar kamar dan menceritakan perasaan
yang tengah melandaku pada Ibu.
”Bu,
aku ingin cerita.”
”Duduklah!”suruh
Ibuku.
”Aku
tidak tahu apa yang terjadi dalam hatiku. Aku memikirkan Hifdzi setiap saat. Aku gelisah
karna memikirkannya. Perasaan itu namanya apa, Bu?”
Ibuku
tersenyum. Apa maksud senyumnya padaku? Senyum yang membuatku semakin
penasaran. Ibu mengelus rambutku dengan kasih sayangnya.
”Ternyata kamu sudah besar. Ibu sangka
kamu masih kecil.”ucapnya tersenyum lagi.
”Maksud Ibu apa? Dari tadi aku lihat Ibu
tersenyum terus.”
“Kamu jatuh cinta pada Hifdzi!”
”Maksud
Ibu?”
”Ya,
kamu menyukainya. Orang yang
sedang jatuh cinta memang seperti itu. Ada gejala-gejala yang timbul. Contohnya
seperti kamu tadi.”
Aku
mengerti dengan penjelasan Ibu. Pipiku memerah. Berarti aku memang jatuh cinta
padanya.
”Terima
kasih, Bu!”ucapku sambil memeluknya.
Aku
pergi meninggalkan Ibu dan masuk ke kamar. Aku tersenyum sendiri di kamar. Besok tanggal 1
Juni, hari ulang tahunku. Aku ingin memberikan hadiah pada Hifdzi sebagai
ucapan terima kasihku padanya. Aku menghirup napas dan beranjak ke kasur teman
malamku merajut mimpi.
Hari
ini tanggal 1 Juni. Hari ulang tahunku. Ibu mengucapkan selamat ulang tahun
padaku, sambil mencium pipiku. Ibu memberikan kotak yang sangat mungil padaku.
“Apa
ini, Bu?”tanyaku.
“Bukalah!”
Aku membuka kotak mungil itu. Sebuah kalung yang sangat indah. Aku
tersenyum pada Ibu.
”Itu
kalung yang dibeli almarhumah Ayah untukmu.”
”Aku
memeluk Ibu, penuh tanda terima kasih. Air mata berlinang di pipiku karena
perasaan haru.
”Terima
kasih!”
Aku
pergi sekolah dengan hati bahagia. Namun, sesuatu mengganjal dalam batinku.
Hifdzi tidak menjemputku hari ini. Kemanakah dia? Dia juga absen di sekolah.
Apa dia sakit?
”Pop,
tumben Hifdzi nggak datang!”
”Aku
juga nggak tahu! Tapi, kata Agung dia pindah sekolah.”
”Maksud
kamu?” ucapku kaget.
”Kalau
nggak salah dia bilang begitu.”
”Kok
mendadak gitu Pop?”
”Ya...
mana aku tau!”
Apa Hifdzi pergi begitu saja? Tinggalkan
aku yang tengah membutuhkannya. Tinggalkan aku yang baru menyadari perasaanku.
Hatiku galau, dan aku merasakan kehilangan dirinya. Aku sangat merindukannya.
Aku percaya, dia hanya pergi untuk sementara bukan untuk selamanya.
Awal
April 2008, aku sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian
penentu bagiku untuk melanjutkan tingkat yang lebih tinggi. Universitas. Ujian
berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Pikiranku hanya fokus pada kertas
putih yang harus kulahap bagaimanapun caranya.
”Huh,
akhirnya ujian selesai juga!”ucap Popy bahagia.
”Soalnya
susah.”
”Palingan kamu dapat 5 besar tertinggi nantinya.”
Pikiranku
kembali padanya. Hifdzi. Kapan dia datang lagi padaku? Aku merindukannya, dan hingga saat ini perasaanku
masih sama seperti yang dulu. Aku berharap dia datang saat hari ulang tahunku.
1 Juni.
Akhir
Mei, aku bermimpi. Hifdzi datang ke rumahku dan mengucapkan selamat ulang tahun
padaku. Apa mimpi itu benar? Apa dia datang pada hari itu? Aku berharap mimpi
itu jadi kenyataan. Amin!
Tanggal 1 Juni yang kutunggu itu pun
datang. Aku tidak sabar menanti kejutan-kejutan dari orang yang kusayangi.
Seperti biasa, Ibu mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku bahagia sekali.
Kira-kira pukul 10 pagi, Popy datang ke rumahku dengan wajah pucat. Kenapa
Popy?
”Ada
apa? Kok wajah kamu pucat begitu.”
”Ikut
aku sekarang juga!”
”Kemana?”
”Suatu
tempat!”
Aku
pergi bersama Popy. Aku hanya mengikuti Popy, karena aku tak tau kemana dia
membawaku. Popy mengajakku
untuk masuk ke rumah sakit. Kenapa rumah sakit? Ada apa ini?
”Masuklah!”ucapnya
tenang.
Aku masuk ke kamar itu. Kenapa aku disuruh
masuk? Apa hubungannya diriku dengan pasien yang terbujur di kasur itu? Aku
mendapat jawabannya ketika aku melihat wajahnya yang damai. Hifdzi. Air mataku
berlinang. Tak kuasa aku melihat dirinya terbujur kaku di atas ranjang rumah
sakit. Apa yang terjadi dengannya?
”Sinta!”
ucapnya ketika sadar.
Air
mataku semakin deras berlinang. Aku menginginkan dia kembali. Tapi bukan
seperti ini.
”Selamat
ulang tahun! Ambillah buket bunga itu di meja, itu hadiah ulang tahunmu!” Aku
mengambil mawar putih yg masih rapi namun ternoda oleh darah dengan bungkus
bening yang tergeletak di meja dekat Hifdzi terbaring.
”Aku
ingin menepati janjiku padamu. Menunggumu di koridor sekolah tanggal 1 Juni. Aku
minta maaf. Aku kecelakaan saat perjalanan menuju sekolah. Maafkan aku, karena aku menghilang begitu saja tanpa
pamit padamu. Aku pergi sangat mendadak dan tidak sempat pamit padamu. Aku
pindah ke Samarinda, ayahku pindah tugas. Maafkan aku, tapi sekarang aku di
sini. Kembali padamu, dan menepati janji berada di sini!”
Aku hanya menangis dan menangis. Aku tak tau apa yang harus kukatakan.
Mulutku kaku dan shock melihat
keadaannya sekarang.
”Aku
mohon, hapuslah air matamu! Tiada
guna kamu menangisi aku yang akan segera pergi. Ada pendarahan di kepalaku.
Mungkin beberapa saat lagi, aku akan tinggalkan dunia fana ini.”
Aku mengusap ait mataku. Aku hanya ingin
menuruti permintaan Hifdzi. Permintaan terakhirnya.
”Jangan menangis untuk orang yang akan
pergi dan yang telah pergi. Tersenyumlah dan tertawalah, karena itu akan
membuat orang yang kamu sayangi bahagia!”
Aku
duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya lalu ku tersenyum padanya.
Walau sesungguhnya batinku tengah bercucuran air mata kepedihan. Aku akan
tersenyum untukmu. Ia mengusap air mataku dan menggenggam tanganku semakin
erat, seakan ia tak ingin melepaskanku.
”Aku
mencintaimu!”
Itulah
kata terakhir yang terucap di mulutnya. Dia pergi tinggalkan dunia fana ini. Tinggalkan kehidupanku untuk selamanya
bukan untuk sementara. Tangisku pecah. Aku tersungkur ke lantai. Kenapa
sekarang baru diucapkannya? Kenapa sekarang? Kenapa? Hatiku berkecamuk dalam
tanya. Popy merangkulku dan kulepaskan kepedihanku di punggungnya. Ini adalah
hadiah ulang tahunku.
Beberapa
minggu setelah kematiannya, aku belum siap untuk menerimanya. Aku belum siap
melepaskannya. Tiap malam aku menangis, hingga aku jatuh sakit. Namun, lambat
laun ternyata aku mampu untuk mereda semua gundah gulana hatiku. Berkat Popy
dan Ibu yang selalu ada untukku, membuatku menjadi lebih bisa menerima
kepergiannya. Untuk selamanya.
**
“Pop, aku akan tertawa untuk orang yang
telah pergi. Agar dia
bahagia.”ucapku pada Popy.
“Aku
senang kamu seperti ini.”ucap Popy sambil memberikan hadiah padaku saat
reunian.
**
No comments:
Post a Comment