Jika
aku bisa kembali pada keadaan normalku, aku akan lakukan. Jika aku bisa memutar
waktu yang sempat kubuang sia-sia, aku akan lakukan. Jika aku mampu memperbaiki
semua hal yang kurusak, aku akan lakukan. Namun saat ini, aku hanya bisa
bersabar menghadapi kenyataan yang melandaku. Aku hanya menanti, secercah
kesempatan yang mungkin Tuhan ingin berikan padaku. Walaupun hanya secuil, aku
berjanji akan membuat hidup ini lebih berarti.
*
Aku
membuang puntung rokok dan melenggang menuju kelas yang kutinggal lima jam yang
lalu. Aku mengesampingkan tas sekaligus menyembunyikan korek api yang kubawa
dari rumah. Aku melenggang masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan guru
bidang studi yang mengajar di kelasku.
“Hi
you!! Stop!!” teriak guruku dengan suara yang menggema seisi kelas.
“Ya?
Are you talking with me?”balasku dengan bahasa inggris yang lancar. Mrs. Tina
mendekati dengan wajah hendak menerkamku. Aku masih melihatnya dengan sikap
acuh dan bisa dinilai tidak sopan.
“Stephanie!!
Apa kamu punya attitude yang baik?”
ucapnya keras hingga membuat hening sekelas.
“Entahlah
miss, aku ragu. Sudahlah miss, jangan marah- marah. Miss nggak mau cepat tua
kan? Haa, kalau nggak mau cepat tua,mending diem, duduk, trus ngajar lagi miss.
Sip kan miss?” ucapku santai. Mrs. Tina membanting bukunya di depanku. Aku
kebingungan melihat responnya yang menurutku sedikit lebai.
“Apa
aku salah bicara, miss?” tanyaku dengan sikap polos.
Mrs. Tina menghela napas sambil
mengusap dadanya perlahan. Dia mengambil buku yang tadi dilemparnya, lalu
kembali duduk di mejanya. Aku sejenak melihatnya lalu berjalan menuju bangku
paling belakang.
*
“Aku pulang.” Ucapku pelan. Hening sangat hening. Aku
tidak terlalu mempedulikan keadaan rumah yang sangat hening seolah tidak
berpenghuni. Aku menaiki anak tangga dan segera membanting tubuhku ke springbed yang beralaskan motif zebra.
Suasana rumah ini seolah kuburan,bahkan tidak ada kebisingan yang membuatku
cukup tertarik menikmati megahnya rumah ini.
Aku bermalas-malasan di kasur empukku, lalu menyetel mp3
di ponselku dengan volume maksimal. “Kau
tahu, aku tidak begitu menikmati indahnya hidup sejak saat itu. Aku tidak
memiliki hasrat untuk hidup. Tidak ada lagi alasan untuk membuatku bertahan dan
melangkah lebih jauh di hidupku. Semuanya sudah sirna dari benakku, dan hanya
tinggal bayang-bayang yang ikut serta merta perlahan musnah tanpa bekas.”ucapku
dalam hati.
Dinginnya malam mulai menghantui kesendirian hidupku. Aku
menatap jalanan yang penuh kerlap kerlip lampu. Di luar sana aku melihat
beberapa orang lalu lalang melintasi jalan yang sedikit basah oleh hujan
beberapa jam yang lalu. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada seorang bocah yang
kira-kira berumur lima tahun. Aku tersenyum kecut. Di samping kiri dan kanannya
berdiri kokoh dua orang yang begitu menyayanginya. Orangtua.
Aku membalikkan badan dan menatap lurus bingkai foto yang
masih setia tergantung di dinding kamarku. Walaupun berdebu, foto itu masih
memiliki nilai yang luar biasa untuk hidupku
kedepannya. “Aku kehilangan
segalanya.”
Kira- kira sudah satu jam, aku hanya memandangi bingkai
foto tersebut. Lamunanku terusik oleh klason mobil yang sangat kukenal. Aku
menghela napas dan bersiap segera pergi dari rumah ini. Aku mendengar jerit
pintu terbuka, dan perlahan langkah kaki dengan high heels berukuran lima
sentimeter hampir mendekati anak tangga. Selang langkah kaki tersebut, aku juga
mendengar suara sepatu yang sangat kurindukan hangatnya kasih darinya. Entah
bagaimana, buliran air mata menggenang di pelupuk mataku. “Semuanya perlahan hancur dan aku tidak lagi mempedulikan bagaimana
kasih itu bisa hilang karna hal kecil.”
“Aku sudah bilang aku ingin beli saham itu sekarang, Pa!
Tapi, kenapa papa melarang mama? Uangnya kan bukan uang papa. Uangnya
mama.”ucap mama di ruang tamu
“Ma, sudahlah!
Jangan urus perusahaan lagi. Biar papa yang urus perusahaan lagi. Mama di rumah
saja. Jagain Stephanie, didik dia baik-baik. Mama mau kehilangan satu anggota
di keluarga ini lagi?”
“Papa melarang mama? Apa hak papa melarang mama? Mama
berhak membeli saham itu, dan urusan Stephanie, dia sudah besar,Pa. Dia sudah
bisa mengurus dirinya. Kenapa perlu mama? Dia tidak butuh. Meninggalnya Rendra
itu takdir, Pa. Jangan diungkit-ungkit lagi.“ ucap mama dengan tegas hingga aku
merasa hati ini tercabik sangat.
Tanganku terkepal hebat mendengar perselisihan yang semakin
lama membuatku muak. Aku hanya berusaha untuk menahan emosi yang sedari tadi
sudah menculut di batinku. Aku tidak terima semua pernyataan mama. Dia egois
sangat. “Dia tidak butuh.” Kalimat
itu masih menggema di telingaku. Apa dia bergurau? Aku masih butuh mereka.
Setidaknya sedikit perhatian dan kasih masih kudapatkan harusnya. Sayangnya,
aku tidak mendapatkan itu untuk saat ini. Menyedihkan.
Aku mengambil jaket hitam yang tergantung di balik pintu
kamarku, lalu mengesampingkan tas ransel kecil. Aku membuka pintu kamar dan
segera menuruni anak tangga dengan kilatnya. Aku tidak menghiraukan keberadaan
mereka yang tetap berselisih paham.
Bahkan, mereka tidak mempedulikanku sekarang ini. Aku ingin menangis rasanya.
“Lanjutin aja, aku mau pergi sebentar. Aku takut kalian
terganggu.” ucapku
sebelum meninggalkan rumah sambil tersenyum sinis pada mereka berdua. Aku tidak
menghiraukan mereka. Mereka terlalu mengutamakan harta di atas segalanya dan
melupakan aku yang hanya butuh sedikit waktu bersama mereka.
Aku membuka pintu sedan hitam milikku, lalu mengemudikan
mobil dengan kecepatan tinggi hingga nyaris menghantam pohon jati yang besar.
Pikiranku kacau dan tak berarah. Aku menghentikan kemudi di dekat jembatan Siti
Nurbaya dan meletakkan kepala di depan stir. Emosi yang terlalu kuat ini tidak
mampu kutahan lagi. Aku menangis, dan hanya itu yang bisa kulakukan setidaknya.
Aku butuh mereka, aku rindu kasih mereka. “Aku
tidak memiliki kehidupan lagi. Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Semuanya hilang
dan musnah seketika. Aku hanya butuh satu hal, berikan aku sedikit waktu
bersama kalian. Aku takut nantinya aku tidak bisa bersama kalian lagi.” ucapku
lirih.
*
Waktu
baru menunjukkan kira-kira pukul 3 pagi. Aku terbangun dan melihat
disekelilingku penuh kabut hitam. Suasana pagi di dekat pantai sungguh
mengerikan. Aku mengambil ponsel yang terdapat di dalam saku celana jinsku. Aku
mengetik pesan singkat pada teman baikku, lalu mengemudikan mobil menuju
rumahnya.
Aku
membuka pintu mobil dan melihatnya sudah menunggu di depan pintu. Dia terlihat
sangat khawatir melihat kondisiku yang kacau. Aku memberikan seulas senyum
sambil memeluknya erat.
“Gue
baik-baik aja kok. Nggak usah cemas.” ucapku
menyakinkannya.
“Masuklah
dulu. Di luar dingin.”ucapnya lembut.
Dia
teman terbaik yang kukenal semenjak kekacauan mulai menghantuiku. Aida, itulah
namanya. Gadis manis dengan jilbab terulur panjang di dadanya. Terkadang aku
heran, kenapa dia ingin berteman denganku yang notabene
adalah seorang preman.
“Mau
minum apa?” ucapnya sambil membukakan pintu kamar, agar aku bisa berbaring di
ranjangnya.
“Gue
nggak haus. Gue
ingin tenang aja di sini. Bisa?” ucapku tersenyum padanya . “Duduklah di sini.
Gue nggak mau ngerepotin lo. Maaf gue udah datang sepagi ini.”
“Baiklah.
Nggak apa-apa. Kamu nggak ganggu kok. Aku tadi juga kebetulan bangun untuk
solat.” Aida menutup pintu kamar dan melepaskan jilbab putih yang tadinya dia
kenakan.
“Makasih
banyak. Gue nggak tau harus kemana sekarang.” ucapku seolah frustasi.
“Kenapa
nggak pulang aja?” usulnya polos. Aku menghela napas penuh beban yang
sesungguhnya tidak sanggup untuk kutanggung sendiri.
“Di
rumah kacau. Mama papa berantem lagi.” ucapku
pelan sambil menahan butiran air mata yang perlahan membasahi kelopak mataku.
“Nggak
usah ditahan. Kalau kamu mau nangis, nangis aja. Nggak usah malu sama aku.” ucapnya sambil beringsut merangkulku.
Bagaimanapun premannya sikapku, kodratku sebagai seorang wanita tetap ada. Aku
menangis.
**
Jika aku bisa bermimpi mendapatkan suatu kedamaian
keluarga, aku berharap akan bermimpi hal itu setiap saat. Jika kebersamaan dan
kasih sayang keluarga mampu datang padaku, akan kubiarkan hal itu tetap ada
selamanya. Namun ketika semua itu hanya angan-angan, aku hanya mampu tersenyum
penuh kesabaran hingga nanti hal itu datang padaku.
“Lo mau berhenti atau nggak? Gue nggak nyangka lo kayak
gini. Gue kira lo bisa gue jadiin contoh keluarga. Ternyata? Lo sama aja. Sok
suci lo.” Amarahku meledak malam itu. Pertengkaran hebat terjadi antara aku dan
kakakku satu-satunya—Rendra.
“Eh, lo nggak usah sok ngatur gue. Gue mau minum-minum,
gue mau pake narkoba, itu hak gue. Mama papa aja nggak ada yang peduli. Kenapa
lo yang harus sewot?” ucapnya setengah sadar. Malam itu Rendra pulang dengan
kondisi mabuk sambil menghisap serbuk putih yang kurasa salah satu jenis
narkoba.
“Plaaaaaaaaak!!”
“Lo apa-apaan? Lo masih kecil, nggak tau apa-apa.” ucapnya mengangkat kerah bajuku.
“Gue bukan anak kecil lagi. Gue emang masih SMA, tapi gue
lebih dewasa dari lo. Brengsek lo, lepasin gue.” ucapku sambil melepaskan cegatannya dengan paksa.
“Oke, lakuin
sesuka lo. Gue nggak akan ikut campur, mau mati atau gimana terserah lo. GUE
NGGAK PEDULI. Muak gue liat lo.” ucapku
pergi meninggalkannya sendirian di rumah.
*
Aku terduduk sembilu di kursi putih rumah sakit. Sudah
satu jam lebih aku hanya menunggu dan menunggu berita baik dari dokter.
Keringat dingin sedari tadi sudah mengalir deras di tubuhku. Sesekali aku mencoba
menghubungi ponsel mama dan papa. Namun sayang, mereka terlalu sibuk hingga
harus mengalihkan panggilan dariku. Beberapa jam setelah itu, seorang berjas
putih keluar dari kamar Rendra diperiksa.
“Bagaimana dok?” ucapku cemas. Aku hanya berharap hal baik
terjadi padanya. Seburuk-buruk apapun yang dia lakukan, aku sangat
menyayanginya.
“Banyak berdo’a saja, Nak. Kakakmu kritis. Dia overdosis.
Sampai sekarang belum sadarkan diri.” ucapnya
sambil menepuk pundakku memberikan kekuatan padaku. Aku terduduk lesu kembali.
Pikiranku tak menentu. Aku hanya butuh mereka berdua sekarang. Tanpa pikir
panjang aku keluar dari rumah sakit dan pergi ke tempat yang harusnya kutuju
saat ini.
Kira-kira setengah jam aku telah tiba dibangunan tinggi
nan mewah. Tanpa melalui sekretaris perusahaan, aku langsung menerobos ruangan
papa.
“Stephanie? Ngapain kamu ke sini?” ucap papa kaget dan
segera memberi kode
pada karyawan stafnya untuk pergi.
“Papa mau nunggu Rendra mati dulu baru angkat telpon aku.
Orangtua macam apa kalian? Anak kalian kritis, kalian tetap asik dengan
kepentingan sendiri.” ucapku
dengan amarah yang tak tertahankan lagi.
“Rendra? Apa maksud kamu? Emang Rendra sakit apa?” ucap papa lemah.
“Hahaha, aku baru tau ada orangtua yang nggak tau tentang
anaknya sendiri. Urusin aja harta terus. Hahaha. Rendra pemakai. Dia overdosis.
Kaget? Tidak percaya? Hahaha.”
“Ree.. ren.. dra.. pemakai?” ucap papa terlihat shock dan
sedikit merasa bersalah.
“Nggak usah kaget. Semuanya udah terjadi. Mending
sekarang papa ikut aku ke rumah sakit. Kak Rendra kritis.” ucapku mulai melunak.
“Baiklah, di jalan nanti kita hubungi mama. Maafkan
papa.” ucapnya
mengenggam tanganku dan keluar dari kantor.
*
Begitulah, ketika Tuhan tidak lagi memberikan kesempatan
untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Maka seperti itulah Tuhan merenggutnya.
Keesokan harinya Tuhan mengambil Rendra dengan keadaan tanpa menyapa papa,
mama, dan diriku sebelum pergi. Saat itulah aku mengerti betapa aku harus kuat
dan tegar. Setetespun air mata tidak
berhasil mengalir saat pemakaman berlangsung. Kepedihanku akan kepergiannya
telah terganti oleh amarah yang setiap saat mengalir pada orangtuaku.
“Sekarang mama papa udah puas?” ucapku membuka pertengkaran ketika tiba di
rumah.
“Apa maksud kamu Stephanie?” balas mama dengan nada tak
kalah tinggi dariku.
“Haah, mama terlalu naif. Mama bersikap seolah nggak ada
yang terjadi. Mama pikir semua ini murni salah kak Rendra? Aah, semua itu salah
kalian. Kalian nggak pernah meluangkan waktu untuk kak Rendra dan aku.”
“Kamu dan kak Rendra sudah besar. Sudah bisa jaga diri
masing-masing. Nggak perlu lagi kami perhatiin. Untuk apa? Toh, cuma buang
waktu.” ucap mama.
“Mama sadar apa yang sudah mama katakan?” ucapku dengan
mata berkaca-kaca. “ Apa mama benar-benar udah diperbudak oleh harta. Hingga
naluri keibuan mama udah sirna semuanya untuk anak-anak mama?” ucapku menangis
pedih. Aku tidak mampu menahannya lagi.” Apa aku harus berlutut agar mama
memberikan perhatian dan kasih sayang padaku lagi?” Aku menghela napas dan
menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
“Sayang, maafkan
papa dan mama.” ucap
papa yang sedari tadi hanya diam mendengar pertengkaran kami.
“Sudahlah Pa. Stephanie capek. Aku mau istirahat.” ucapku sambil mengibaskan tangan pada mereka dan
berlalu ke kamar yang terletak di lantai dua.
*
“Darimana aja kamu semalam? Keluyuran nggak jelas.” ucap mama saat membuka pintu.
“Aku tidur di rumah Aida semalam. Ada perlu.” ucapku singkat.
“Kenapa nggak hubungi mama papa dulu.” ucap mama mulai meninggi.
“Apa penting beritahu kalian? Kalian kan sibuk dengan
urusan kalian.” Aku
mulai terpancing dengan suasana yang memanas.
“Jaga ucapan kamu!” ucap
mama sambil mengarahkan telunjuknya padaku.
“Sudahlah ma, aku malas berdebat dengan mama. Aku
bersikap seperti ini juga karena mama. Jangan salahkan aku kalau bersikap
seperti ini.” ucapku
menurunkan telunjuk yang tadinya mengarah padaku. “ Aku mau pergi ke sekolah.”
Aku pergi meninggalkan mama dan berlalu ke kamar.
*
“Kenapa lo? Bad mood banget lo kayaknya.” ucap Indra teman satu tongkronganku. Aku hanya
menghisap tembakau rokok tanpa mengacuhkan pertanyaannya. Aku benar sedang
kacau, dan tidak ingin dikerubungi oleh beribu pertanyaan.
“Hayolah, santai sob. Kalau sama kita-kita lo harus ceria
dong. Kenapa sumpek gitu. Eh, gue ada sesuatu untuk lo. Mana tau ini bisa
ngobatin bad mood lo itu.” ucap
Sandi—teman satu tongkronganku yang lain sambil memberikan sebuah pil yang
menurutku sudah sering kulihat. Tiba-tiba saja Indra melihat garang pada Sandi.
Aku terheran-heran pada Indra yang tiba-tiba saja menatap Sandi sinis.
“Nggak
ah, gue nggak apa-apa kali. Kalian aja yang terlalu berlebihan liat gue.
Ah,bosan gue di sini.” usulku
sambil memberikan kembali pil putih itu pada Sandi. Bagaimanapun, aku tau pil
itu adalah obat terlarang.
“Kemana kita? Ke studio band Indra aja gimana? Gue juga
lagi bosan sekarang.” ucap
Deni—temanku yang lainnya. Di tempat tongkronganku biasanya terdapat kira- kira
lima hingga delapan orang yang semuanya adalah cowok. Hanya aku yang berbeda
jenis dari mereka. Walaupun begitu, mereka sangat menghargaiku sebagai seorang
wanita.
“Boleh juga, tapi gue ada ulangan jam terakhir ntar.
Gimana dong?” ucap Andre polos. Diantara teman-temanku,
hanya Andre yang cukup peduli dengan nilai di sekolahnya.
“Ah, kan bisa susulan besok- besok. Bilang aja lo lagi
sakit, makanya nggak bisa ikut ujian sekarang.” usul Sandi sambil menggempulkan asap rokoknya.
“Nggah ah, guru gue killer. Gue ntar aja nyusul kalau
udah siap ulangan ya.” ucapnya
menolak.
“Cemen lo, Ndre. Baru guru killer aja lo udah kacun
gitu.” ucap
Deni memanas-manaskan suasana.
“Haha, udah biarin ajalah Andre. Itu kan hak dia. Yuk
lah, sebelum gue mati bosan di sini mendingan kita
cabut.” ucapku memecah adu pendapat teman-temanku yang
lain.
“Yaudah, sampai ketemu nanti plen-plen tercintaku. Miss
you. Muaah” ucap Andre melambaikan tangannya lalu berlari meninggalkan aku dan
teman-temanku yang jijik melihat tingkah jahilnya.
“Ogah gue, amit-amit cabang bayi gue dicium itu anak.” ucap Indra mengeliat dengan tingkahnya yang
sontak membuatku tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa lo Step? Aman?” ucap Indra heran melihat tawaku
yang lepas. Melihat gaya Indra memperhatikanku aku jadi salah tingkah sendiri.
“Hehehe,aman kok. Gue cuma lucu aja liat tingkah lo. Radar gimanaaaa
gituuu.” ucapku
memecah kekakuan yang tiba-tiba saja menyergapku.
“Aduuh aduuuh kok jadi melankolis gini ya kalian?” ucap Deni sambil mengedipkan mata pada Indra.
“Whaaaaaaaaaat!!!! Apa-apaaan ini kalian ngedipin mata
berdua? Nafsu lo berdua?” ucapku
pura-pura histeris. Indra segera membungkam mulutku, dan menyeretku ke dalam
mobil.
“Nona Stephanie, lebih baik kita pergi sekarang.” ucap Indra sambil menutup pintu mobil dan
mengambil alih kemudi.
“Loh? Kok cuma kita berdua? Sandi sama Deni gimana?” ucapku kebingungan.
“Mereka pake mobil gue, daripada ditinggal di sekolah
mending mereka bawa. Sip kan?” ucap Indra cepat. “Udah ah, pake sabuk lo. Kita
pergi makan dulu bentar ya.” suruhnya.
Aku hanya mengangguk karena terlalu heran melihat tingkah Indra yang berubah
begitu cepat. Indra menjadi seolah sangat lembut dengannku hari ini. Jantungku
berdegup kencang saat Indra membantuku memasangkan sabuk pengaman.
“Kelamaan lo. Kenapa lo? Lo ngelamun aja. Gue suruh
pasang sabuk, lo malah asik ngelamun. Punya hobi baru lo?” ucapnya ngerocos
tanpa henti.
“Enak aja lo.”ucapku memukul lengannya. Kurang lebih
sudah tiga tahun aku mengenalnya. Namun untuk pertama kalinya aku merasa nyaman
di dekatnya. Ada satu kebahagiaan yang mulai muncul di hidupku perlahan.
*
Aku terbangun ketika matahari masih enggan menampakkan
sinarnya di pagi hari. Aku mengerjap-ngerjap melihat keselilingku. Ini masih
kamarku dengan corak penuh hitam dan di sudut dinding masih terpatri figura
foto keluarga yang sangat kusayangi. Aku meraih ponsel yang jaraknya tidak
begitu jauh dari tempat kuberada. Ada satu pesan dari Indra. “Hari ini sibuk? Pergi ke Pariaman yuk, naik kereta api.”
Sudah beberapa bulan ini kedekatanku dengan Indra
berbeda. Dia lebih sering memperlakukanku sebagai seorang wanita, bukan teman
satu tongkrongannya. Aku tersenyum sambil membalas pesan singkat darinya.
Kebetulan sekarang hari Minggu jadi aku bisa pergi tanpa ada beban karena
sekolah. “Boleh, gue nggak sibuk hari
ini. Jam berapa?”
Aku meletakkan ponsel di atas meja belajarku lalu turun
ke lantai bawah untuk mencari keberadaan orangtuaku. Aku terkejut ketika
menyaksikan guci-guci dan beberapa pernak-pernik pigura di rumah pecah
berkeping-keping. Mataku membulat ketika melihat figura foto keluarga yang
sangat kujaga pecah retak tergeletak di lantai. Aku segera berlari sambil
menangis putus asa melihat keluarga yang menunggu puncak kehancuran. Aku
memeluk foto tersebut dan terduduk pilu tanpa menyadari serpihan kaca menyentuh
kulit kakiku. Darah mengalir deras keluar dari kakiku yang tergores oleh
serpihan kaca. Aku berdiri sambil menjinjing figura foto tersebut ke kamar. Aku
duduk di lantai kamar dan mengambil beberapa kapas untuk membersihkan darah
yang semakin deras keluar. Aku mencabut beberapa serpihan kaca yang masih
melekat di kulit kakiku. Aku mendengar ponselku berdering tak henti-hentinya.
Aku membiarkan ponsel itu bernyanyi ria tanpa mempedulikan semuanya.
Setelah yakin dengan kondisiku, aku mengenakan sweater biru
dengan gambar band Guns’ Roses dipadu dengan jins hitam yang kukenakan
dengan sangat hati-hati. Aku mengunci pintu rumah dan masuk ke dalam mobil. Aku
mengemudikan mobil tanpa arah. Aku hanya ingin mengalihkan suasana batinku yang
kacau. Aku membelokkan stir mobil ke jalan Rasuna Said. Aku membuka pintu mobil
dan segera duduk di pondok kecil depan rumahnya.
“Eh, ngapain
lo ke sini?” tanya
Sandi kaget karena melihatku duduk di depannya begitu saja. Aku mengambil satu
batang rokok yang dia sodorkan begitu saja.
“Suntuk gue. Rumah kayak hutan sekarang.” ucapku ngasal.
“Hahaha, Stephanie
lo kayak orang depresi berat. Hahaha.” ucapnya
tertawa lepas.
“Deni, Andre, sama Indra mana?” ucapku bingung karena aku hanya melihat
keberadaan Sandi di sini. Tempat ini adalah kafe milik Sandi. Aku dan yang
lainnya biasa nongkrong di sini jika sekolah sedang libur. Aku baru menyadari
telah melupakan janjiku dengan Indra untuk pergi ke Pariaman hari ini.
“Nih, coba aja ini lagi. Gue janji kalau pake ini masalah
lo bakalan terasa lebih mudah.Gue nggak tau mereka kemana. Seharian ini mereka
nggak ke sini. Sibuk kali di rumah” ucapnya
menyodorkan sebungkus plastik kecil yang berisi serbuk putih. Aku mengambil
barang itu dari tangannya.
“Gue ke dalam dulu bentar. Mau ngambil minum.” ucapnya sambil meninggalkanku. Aku memperhatikan
plastik putih yang diberikan Sandi padaku beberapa menit yang lalu. Aku tau
barang ini akan menghancurkan kehidupanku. Namun… aku terlalu frustasi memikirkan
mereka. Entah setan dari mana, aku segera membuka plastik tersebut dan
menghisapnya sekali isap.
“Enak?” kata
Sandi sambil memberikan segelas sirup melon padaku. Dia duduk di sampingku.
“Lumayan, gue ngerasa lebih baik. Ada lagi” ucapku tanpa
takut dengan risiko yang harus kutanggung.
“Ada, tapi bayar. Gue juga beli mahal itu barang.
Gimana?” ucap Sandi menawarkan padaku.
“Iya, gue beli. Lo ada bir nggak? Kacau gue.” ucapku seolah kehilangan akal sehat.
“Oke. Ada gue ambil di kamar sebentar.” ucapnya pergi sambil berlari ke dalam.
Beberapa jam setelah itu aku sudah tergeletak dengan
keadaan setengah sadar. Tiba-tiba saja ponselku bordering di saku celana
jinsku. Aku segera mengambilnya.
“Halo? Siapa” ucapku dengan suara serak dan kacau.
“Kenapa lo Step? Ini Gue Indra. Lo dimana?”
“Haa. Guueee.. guee nggak apa- apa. Uhuk uhuk….
Guuu..eee.. di kaaa… feee.. Saann.. diii… sekarang.”
“Lo mabuk Step? Gue ke sana sekarang.”
Sambungan telpon terputus begitu saja. Aku mengernyitkan
kening tidak mengerti dengan apa yang kukatakan tadi pada Indra.
*
“Brengseek lo!!! Lo apain dia?” ucap Indra sambil
mengangkat krah baju Sandi. Samar-samar itulah yang kulihat. Aku tetap tidak
bisa fokus melihat ke arah mereka.
“Eh, lo jangan seenaknya marah sama gue. Lo tanya dulu sama Stephanie. Dia minta ‘barang’
sama bir ke gue. Otomatis yaa gue kasih aja. Trus, itu salah gue. Brengsek lo
nuduh gue sembarangan.”ucap Sandi melepaskan tangan Indra dari krah bajunya.
Bruuuk!!!!! Aku mendengar pukulan hebat mengenai salah satu di antara mereka.
Sesaat setelah itu, Indra membantuku berdiri lalu membawaku ke mobilnya. Tidak
cukup lima menit dari itu, dia memelukku dengan hangat.
“Gue sayang sama lo Step! Jangan hancurin diri lo kayak
gini.” ucapnya pelan sambil mempererat pelukannya
padaku. Tanpa sadar, aku
menangis di pelukannya. Semua beban ini tidak sanggup kutanggung sendiri.
*
Perlahan aku membuka mata, dan menyadari kondisiku yang
begitu lemah terasa. Aku berusaha membuka sepenuhnya mata dan pikiranku. Aku
memegangi kepala yang terasa begitu sakit. “Apa
yang terjadi?”batinku. Aku seolah amnesia sesaat karena tidak ada satupun
kejadian yang berhasil kuingat.
Aku melihat kondisi kamar yang jauh berbeda dengan
kamarku. “Dimana aku?”batinku. Cat
biru muda dengan tirai putih sutra terpampang di kamar ini. Kesan yang lembut
dan sangat jauh berbeda dengan kamarku—Hitam yang melambangkan suatu kekacauan.
Pikiranku berhenti berpikir ketika seseorang membuka pintu kamar. Aku
melihatnya membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas susu.
“Udah lebih baik?” ucap
Indra lembut padaku. Dia meletakkan nampan tersebut di atas meja, dan membuka
tirai jendela yang menghalangi cahaya matahari menyinari se isi kamar. Dia
duduk di kasur, sambil memegangi keningku.
“Hmm, panas lo udah turun.” ucapnya
tersenyum lebar. Aku hanya kebingungan dan terpaksa mengangguk.
“Gue di rumah lo sekarang? Trus, gue kenapa kok bisa di sini?” ucapku bingung.
“Haah, lo kemarin mabuk di rumah Sandi. Karena gue nggak
tau rumah lo dimana, gue bawa lo ke sini. Maaf.” ucapnya
jujur.
“Oo, makasih ya Indra.” ucapku
sambil menepuk punggung tangannya.
Indra mengambil piring yang berisi nasi goreng, lalu menyuapiku dengan lembut. Aku mengunyah
makanan tersebut dengan lembut sambil menatapnya dengan senyuman. Entah sejak
kapan aku merasa mulai memiliki rasa kepadanya.
“Enak?” ucapnya
membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan menelan semua makanan.
“Ternyata gue mahir juga masak, hehe.” ucapnya sambil menyuapiku kembali.
Aku merasa lebih baik berada di dekatnya saat ini.
Mungkin terlalu lama bagiku tidak memperoleh perhatian yang cukup, hingga
membuatku begitu bahagia ketika seseorang peduli padaku.
*
“Lo
nggak mau masuk dulu?” ucapku
menawarkan pada Indra ketika mengantarkanku pulang.
“Udah
malam, Step. Lain kali aja.” balasnya
dengan senyuman. Aku membuka pintu mobil, lalu menutupnya dengan pelan.
“Lo
istirahat aja ntar di kamar. Gue jalan dulu.” ucapnya
sambil menutup kaca mobil. Aku melihat kepergiannya, hingga Jazz silver milik
Indra menghilang dari penglihatanku. Aku membuka pagar dan menutupnya dengan
amat hati-hati. Aku melihat pintu rumah terbuka lebar. “Apa mama papa sudah pulang?” pikirku. Aku memasuki rumah, dan melihat
mama berjalan ke arahku dengan wajah hendak melahapku. Plaak!! Sebuah tamparan
mendarat di pipiku.
“Kemana
aja kamu semalam? Mau dibilang kamu cewek nggak bener? Trus tadi siapa yang
nganterin kamu? Cowok yang mana lagi? Dasar!!” ucap
mama menjudge pikiran-pikiran negatif tentangku. Hatiku terlalu sakit mendengar
ucapan mama. Aku mengepal tangan kiriku sedangkan tangan kananku masih
memegangi pipiku yang memerah. Mataku berkaca-kaca, karena rasa sakit yang tak
berperi oleh ucapan yang dilontarkan mama. Aku menghela napas dan melepas
kepalan tanganku. Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar tanpa mengucap
sepatah katapun padanya. Aku mengambil tas ransel sekolahku dan mengemasi
beberapa barang-barang yang kuanggap perlu. Tidak lupa aku mengambil foto
keluarga yang terpampang indah di atas meja belajarku. Lalu, aku menuruni
tangga dan pergi dari rumah ini. Rumah ini seolah neraka bagiku sekarang.
“Mau
kemana kamu Stephanie?” ucap
mama ketika melihatku membawa ransel. Aku hanya diam, karena mulut ini terlalu
kaku untuk bicara. Aku tidak mengacuhkan pertanyaannya dan tetap pergi
meninggalkan rumah. Aku menghidupkan mesin mobil sedan hitam
milikku dan melaju kencang meninggalkan rumah kelahiranku. “Aku pergi jika kalian bahagia.” ucapku sambil menangis dengan hebat sambil
mengemudi.
Aku
mematikan mesin mobil ketika sampai di depan pagar rumah berwarna merah yang
sedikit sudah pudar. Aku membuka pagar, dan mengetuk pintu rumah dengan sopan.
Aku mendengar langkah kaki yang semakin dekat untuk membukakan pintu untukku.
“Stephanie?” ucapnya kaget ketika membuka pintu. Spontan aku
menghambur ke dalam pelukannya. Aida mengelus pundakku memberi sedikit kekuatan padaku. Aku menangis dan tetap
menangis, karena semua rasa sakit seolah sudah memuncak.
“Kamu
kenapa, Step?” tanya Aida ketika aku
melepaskan pelukan darinya. Aku hanya diam. Aida menggandeng tanganku dan
membawaku masuk ke rumahnya. Dia membuka pintu kamar, dan mengizinkanku untuk
duduk di sana.
“Aku
ambil minum dulu.” ucapnya
meninggalkanku di kamarnya sendiri.
Beberapa
menit setelah itu, Aida telah duduk di dekatku sambil menyuguhi
segelas teh panas dan biskuit. Aku mendengar desahan napasnya yang seolah
kasihan melihat keadaanku. Dia menepuk pundakku lagi, perlakuan yang terlalu
sering dilakukannya padaku saat kekacauan menghampiriku.
“Minumlah
dulu, setidaknya bisa membuatmu sedikit lebih baik.” ucapnya memberikan segelas teh panas padaku. Aku
menyuruput teh tersebut denga pelan.
“Aku
cuma mau kamu cerita ke aku. Aku nggak mau kamu nyimpan masalah ini sendiri.
Setidaknya, dengan kamu cerita beban kamu berkurang. Walaupun aku nggak bisa
bantu terlalu jauh, tapi aku bisa bantu untuk menguatkan kamu. Percayalah
padaku.” ucapnya tulus. Ketulusan yang terlalu mahal
kuperoleh saat ini. Aku memeluknya dengan hangat sambil mengucapkan terima
kasih padanya.
“Gue
ditampar mama tadi.”ucapku langsung. Sejenak Aida hanya diam, kulihat raut
wajahnya berubah keruh menunjukkan amarah yang terpendam. Aku menceritakan
semuanya pada Aida secara detail tanpa melupakan bagian apapun, termasuk aku
yang digotong oleh Indra dalam keadaan mabuk. Aku melihat mata Aida
berkaca-kaca.
“Lo
kenapa?” ucapku heran.
“Aku
sedih dengan kondisi kamu seperti. Tanpa kasih sayang dari orangtua. Mungkin
mereka lupa bahwa kamu adalah titipan Tuhan. Tidak seharusnya mereka membiarkan
kamu hidup tanpa kasih sayang dari orangtua.
“Yah, gue kira kenapa. Udah biasa gue kayak gitu.” ucapku mencoba tegar. Berada di dekatnya dengan
segala ketulusan yang diberikannya padaku membuat beban yang kualami perlahan
hilang. Aku menghela napas, namun tiba-tiba saja rangsangan aneh menyergapku.
Perlahan semua tanganku gemetar dan seolah mati rasa. Aku kehilangan kendali
dan aku melihat Aida secara spontan menjaga jarak padaku.
“Kamu
kenapa Step?” tanyanya penuh ketakutan.
Aku
kehilangan kendali, mataku terasa panas. Aku berteriak dan meminta ‘barang’
yang kubutuhkan. Aku meminum teh panas yang dibuat Aida, lalu melempar gelas
tersebut kearah lemari. Sontak Aida berteriak dan kebingungan mencari bantuan.
“AKU
BUTUH BARANG ITU! BERIKAN PADAKU!” teriakku
dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Aku menjambak rambutku dan
menariknya sekuat yang aku bisa.
“Aaaaaarghhh!!!!”teriakku
lagi. Aku terduduk lemas, dan bertopang pada kedua lututku. Lalu, aku menangis
sejadi-jadinya. Bayang-bayang keluarga dan segala kehancuran berkelebat dalam
benakku. Aku menangis lagi. Sesaat setelah itu, aku merasakan pelukan hangat
darinya.
“Aku
nggak tau harus berbuat apa. Mungkin kita harus ke dokter.” ucap Aida dengan wajah penuh sisa-sisa air mata.
*
Kira-kira sudah enam bulan aku berada di panti rehabilitasi.
Keadaan yang lebih baik dan
semua kekacauan yang kurasa perlahan hilang. Aku berada di sekitar orang-orang
yang peduli denganku, dan teman-teman yang memiliki nasib yang sama. Di sinilah
aku merasa, bahwa aku tidak sendiri. Masih ada yang serupa denganku.
Siang nanti aku akan bebas dari panti rehabilitasi. Aku
benar-benar bisa menikmati hidup bebas dengan kondisi yang lebih baik. Seorang
petugas memasuki kamarku, dan menyuruhku untuk berkemas. Aku mengemasi semua
barang-barang yang kubawa ke tempat ini. Aku keluar kamar dan menyalami satu
persatu teman-teman yang dulunya pernah berada di sekitarku. Seusai menyalami
mereka satu persatu aku berjalan ke ruang depan. Aku menunggu surat izinku
keluar sambil duduk di depan ruangan tersebut. Di sela itu, aku berharap akan
ada kebahagiaan yang datang padaku.
“Stephaniiieeee!!” seseorang
meneriaki namaku. Aku melihat ke arah sumber suara. Mataku membulat ketika Aida
berlari dan memelukku hangat. Aku membalasnya sambil tersenyum penuh bahagia.
Tidak jauh dari tempat Aida meneriakiku tadi, muncul Indra dengan kemeja kotak
biru hitam dengan levis hitam tersenyum dengan tangan kanan tersembunyi di
balik tubuhnya. Aku melepaskan pelukan Aida dan berjalan ke tempat Indra dengan
semangat. Aku memeluknya. Aku rindu padanya. Sungguh.
“I miss you so much. I love you Stephanie. Would you be
my girl?”ucapnya sambil memberikan seikat mawar merah ketika aku melepaskan
pelukan. Aku kaget bukan kepalang.
“Ha? Pardon me?” aku
tertawa.
“I LOVE YOU. WOULD YOU BE MY GIRL?”ucapnya berteriak. Aku
segera membukam mulutnya karena teriakannya membuat perhatian beberapa petugas
di sekitarku. Aku tersenyum, dan mengambil seikat mawar darinya. Aku memeluknya
lagi, aku menangis karena terlalu bahagia.
“I love you too.” ucapku
sambil mempererat pelukan padanya. Aku melepaskan pelukan darinya.
“Gue punya hadiah lebih berharga dari ini?” ucapnya semangat.
“Apa?” tanyaku
penasaran.
“Orangtuamu.” ucapnya
lembut yang membuat sekujur tubuhku menegang. “Sungguh mereka datang
melihatku?” batinku. Enam bulan tanpa
mereka, tanpa kabar dari mereka. Bahkan aku berpikir mereka tidak lagi peduli
setelah aku keluar dari rumah. Papa dan mama berjalan semakin dekat ke arahku.
Mataku berkaca-kaca karena tidak percaya dengan semua ini.
“Maafkan papa dan mama sayang.” ucap papa tulus. Aku memeluk papa sambil
menangis. Aku begitu menyayangi mereka hingga takut kehilangan satu di antara
mereka.
“Mama sudah berhenti mengurus perusahaan. Mama akan di
rumah selamanya.” ucap
mama.
“Sungguh?” ucapku
penuh bahagia. Aku berganti memeluk mama dan segala perlakuan mama terhadapku
dahulunya luruh seketika. “Terima kasih Tuhan.” batinku
masih dalam pelukan mama.
*
“Lo mau
ngajak gue kemana?” tanyaku
di dalam mobil jazz silver miliknya.
“Udah
ah, lo bawel amat. Turutin aja gue kemana yaa sayangku. Hahaha.” ucapnya jahil. Aku geli sekaligus bahagia ketika
dia memanggilku dengan panggilan sayangnya.
“Loh?
Kok ke stasiun kereta api?” tanyaku
kaget.
“Lo
masih punya janji dengan gue.” ucapnya
sambil tersenyum penuh arti padaku.
***
keren bgt cerpennya, sumpah.... menyentuh bgt.....klimaks bgt ceritanya..... good joob faniii
ReplyDeleteMakasih udah baca ^^
DeleteTapi ngomong2 jgn pake anonim, jd gak tau ini siapa :D