Pages

July 9, 2013

[Cerpen] Give Me Once Chance

Jika aku bisa kembali pada keadaan normalku, aku akan lakukan. Jika aku bisa memutar waktu yang sempat kubuang sia-sia, aku akan lakukan. Jika aku mampu memperbaiki semua hal yang kurusak, aku akan lakukan. Namun saat ini, aku hanya bisa bersabar menghadapi kenyataan yang melandaku. Aku hanya menanti, secercah kesempatan yang mungkin Tuhan ingin berikan padaku. Walaupun hanya secuil, aku berjanji akan membuat hidup ini lebih berarti.
*
Aku membuang puntung rokok dan melenggang menuju kelas yang kutinggal lima jam yang lalu. Aku mengesampingkan tas sekaligus menyembunyikan korek api yang kubawa dari rumah. Aku melenggang masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan guru bidang studi yang mengajar di kelasku.
“Hi you!! Stop!!” teriak guruku dengan suara yang menggema seisi kelas.
“Ya? Are you talking with me?”balasku dengan bahasa inggris yang lancar. Mrs. Tina mendekati dengan wajah hendak menerkamku. Aku masih melihatnya dengan sikap acuh dan bisa dinilai tidak sopan.
“Stephanie!! Apa kamu punya attitude yang baik?” ucapnya keras hingga membuat hening sekelas.
“Entahlah miss, aku ragu. Sudahlah miss, jangan marah- marah. Miss nggak mau cepat tua kan? Haa, kalau nggak mau cepat tua,mending diem, duduk, trus ngajar lagi miss. Sip kan miss?” ucapku santai. Mrs. Tina membanting bukunya di depanku. Aku kebingungan melihat responnya yang menurutku sedikit lebai.
“Apa aku salah bicara, miss?” tanyaku dengan sikap polos.
Mrs. Tina menghela napas sambil mengusap dadanya perlahan. Dia mengambil buku yang tadi dilemparnya, lalu kembali duduk di mejanya. Aku sejenak melihatnya lalu berjalan menuju bangku paling belakang.
*
            “Aku pulang.” Ucapku pelan. Hening sangat hening. Aku tidak terlalu mempedulikan keadaan rumah yang sangat hening seolah tidak berpenghuni. Aku menaiki anak tangga dan segera membanting tubuhku ke springbed yang beralaskan motif zebra. Suasana rumah ini seolah kuburan,bahkan tidak ada kebisingan yang membuatku cukup tertarik menikmati megahnya rumah ini.
            Aku bermalas-malasan di kasur empukku, lalu menyetel mp3 di ponselku dengan volume maksimal. “Kau tahu, aku tidak begitu menikmati indahnya hidup sejak saat itu. Aku tidak memiliki hasrat untuk hidup. Tidak ada lagi alasan untuk membuatku bertahan dan melangkah lebih jauh di hidupku. Semuanya sudah sirna dari benakku, dan hanya tinggal bayang-bayang yang ikut serta merta perlahan musnah tanpa bekas.”ucapku dalam hati.
            Dinginnya malam mulai menghantui kesendirian hidupku. Aku menatap jalanan yang penuh kerlap kerlip lampu. Di luar sana aku melihat beberapa orang lalu lalang melintasi jalan yang sedikit basah oleh hujan beberapa jam yang lalu. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada seorang bocah yang kira-kira berumur lima tahun. Aku tersenyum kecut. Di samping kiri dan kanannya berdiri kokoh dua orang yang begitu menyayanginya. Orangtua.
            Aku membalikkan badan dan menatap lurus bingkai foto yang masih setia tergantung di dinding kamarku. Walaupun berdebu, foto itu masih memiliki nilai yang luar biasa untuk hidupku  kedepannya. “Aku kehilangan segalanya.”
            Kira- kira sudah satu jam, aku hanya memandangi bingkai foto tersebut. Lamunanku terusik oleh klason mobil yang sangat kukenal. Aku menghela napas dan bersiap segera pergi dari rumah ini. Aku mendengar jerit pintu terbuka, dan perlahan langkah kaki dengan high heels berukuran lima sentimeter hampir mendekati anak tangga. Selang langkah kaki tersebut, aku juga mendengar suara sepatu yang sangat kurindukan hangatnya kasih darinya. Entah bagaimana, buliran air mata menggenang di pelupuk mataku. “Semuanya perlahan hancur dan aku tidak lagi mempedulikan bagaimana kasih itu bisa hilang karna hal kecil.”
            “Aku sudah bilang aku ingin beli saham itu sekarang, Pa! Tapi, kenapa papa melarang mama? Uangnya kan bukan uang papa. Uangnya mama.”ucap mama di ruang tamu
            “Ma, sudahlah! Jangan urus perusahaan lagi. Biar papa yang urus perusahaan lagi. Mama di rumah saja. Jagain Stephanie, didik dia baik-baik. Mama mau kehilangan satu anggota di keluarga ini lagi?”
            “Papa melarang mama? Apa hak papa melarang mama? Mama berhak membeli saham itu, dan urusan Stephanie, dia sudah besar,Pa. Dia sudah bisa mengurus dirinya. Kenapa perlu mama? Dia tidak butuh. Meninggalnya Rendra itu takdir, Pa. Jangan diungkit-ungkit lagi.“ ucap mama dengan tegas hingga aku merasa hati ini tercabik sangat.
            Tanganku terkepal hebat mendengar perselisihan yang semakin lama membuatku muak. Aku hanya berusaha untuk menahan emosi yang sedari tadi sudah menculut di batinku. Aku tidak terima semua pernyataan mama. Dia egois sangat. “Dia tidak butuh.” Kalimat itu masih menggema di telingaku. Apa dia bergurau? Aku masih butuh mereka. Setidaknya sedikit perhatian dan kasih masih kudapatkan harusnya. Sayangnya, aku tidak mendapatkan itu untuk saat ini. Menyedihkan.
            Aku mengambil jaket hitam yang tergantung di balik pintu kamarku, lalu mengesampingkan tas ransel kecil. Aku membuka pintu kamar dan segera menuruni anak tangga dengan kilatnya. Aku tidak menghiraukan keberadaan mereka yang tetap berselisih paham. Bahkan, mereka tidak mempedulikanku sekarang ini. Aku ingin menangis rasanya.
            “Lanjutin aja, aku mau pergi sebentar. Aku takut kalian terganggu.” ucapku sebelum meninggalkan rumah sambil tersenyum sinis pada mereka berdua. Aku tidak menghiraukan mereka. Mereka terlalu mengutamakan harta di atas segalanya dan melupakan aku yang hanya butuh sedikit waktu bersama mereka.
            Aku membuka pintu sedan hitam milikku, lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi hingga nyaris menghantam pohon jati yang besar. Pikiranku kacau dan tak berarah. Aku menghentikan kemudi di dekat jembatan Siti Nurbaya dan meletakkan kepala di depan stir. Emosi yang terlalu kuat ini tidak mampu kutahan lagi. Aku menangis, dan hanya itu yang bisa kulakukan setidaknya. Aku butuh mereka, aku rindu kasih mereka. “Aku tidak memiliki kehidupan lagi. Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Semuanya hilang dan musnah seketika. Aku hanya butuh satu hal, berikan aku sedikit waktu bersama kalian. Aku takut nantinya aku tidak bisa bersama kalian lagi.” ucapku lirih.
*
Waktu baru menunjukkan kira-kira pukul 3 pagi. Aku terbangun dan melihat disekelilingku penuh kabut hitam. Suasana pagi di dekat pantai sungguh mengerikan. Aku mengambil ponsel yang terdapat di dalam saku celana jinsku. Aku mengetik pesan singkat pada teman baikku, lalu mengemudikan mobil menuju rumahnya.
Aku membuka pintu mobil dan melihatnya sudah menunggu di depan pintu. Dia terlihat sangat khawatir melihat kondisiku yang kacau. Aku memberikan seulas senyum sambil memeluknya erat.
“Gue baik-baik aja kok. Nggak usah cemas.” ucapku menyakinkannya.
“Masuklah dulu. Di luar dingin.”ucapnya lembut.
Dia teman terbaik yang kukenal semenjak kekacauan mulai menghantuiku. Aida, itulah namanya. Gadis manis dengan jilbab terulur panjang di dadanya. Terkadang aku heran, kenapa dia ingin berteman denganku yang notabene adalah seorang preman.
“Mau minum apa?” ucapnya sambil membukakan pintu kamar, agar aku bisa berbaring di ranjangnya.
“Gue nggak haus. Gue ingin tenang aja di sini. Bisa?” ucapku tersenyum padanya . “Duduklah di sini. Gue nggak mau ngerepotin lo. Maaf gue udah datang sepagi ini.”
“Baiklah. Nggak apa-apa. Kamu nggak ganggu kok. Aku tadi juga kebetulan bangun untuk solat.” Aida menutup pintu kamar dan melepaskan jilbab putih yang tadinya dia kenakan.
“Makasih banyak. Gue nggak tau harus kemana sekarang.” ucapku seolah frustasi.
“Kenapa nggak pulang aja?” usulnya polos. Aku menghela napas penuh beban yang sesungguhnya tidak sanggup untuk kutanggung sendiri.
“Di rumah kacau. Mama papa berantem lagi.” ucapku pelan sambil menahan butiran air mata yang perlahan membasahi kelopak mataku.
“Nggak usah ditahan. Kalau kamu mau nangis, nangis aja. Nggak usah malu sama aku.” ucapnya sambil beringsut merangkulku. Bagaimanapun premannya sikapku, kodratku sebagai seorang wanita tetap ada. Aku menangis.
**
            Jika aku bisa bermimpi mendapatkan suatu kedamaian keluarga, aku berharap akan bermimpi hal itu setiap saat. Jika kebersamaan dan kasih sayang keluarga mampu datang padaku, akan kubiarkan hal itu tetap ada selamanya. Namun ketika semua itu hanya angan-angan, aku hanya mampu tersenyum penuh kesabaran hingga nanti hal itu datang padaku. 
            “Lo mau berhenti atau nggak? Gue nggak nyangka lo kayak gini. Gue kira lo bisa gue jadiin contoh keluarga. Ternyata? Lo sama aja. Sok suci lo.” Amarahku meledak malam itu. Pertengkaran hebat terjadi antara aku dan kakakku satu-satunya—Rendra.
            “Eh, lo nggak usah sok ngatur gue. Gue mau minum-minum, gue mau pake narkoba, itu hak gue. Mama papa aja nggak ada yang peduli. Kenapa lo yang harus sewot?” ucapnya setengah sadar. Malam itu Rendra pulang dengan kondisi mabuk sambil menghisap serbuk putih yang kurasa salah satu jenis narkoba.
            “Plaaaaaaaaak!!”
            “Lo apa-apaan? Lo masih kecil, nggak tau apa-apa.” ucapnya mengangkat kerah bajuku.
            “Gue bukan anak kecil lagi. Gue emang masih SMA, tapi gue lebih dewasa dari lo. Brengsek lo, lepasin gue.” ucapku sambil melepaskan cegatannya dengan paksa.
            “Oke, lakuin sesuka lo. Gue nggak akan ikut campur, mau mati atau gimana terserah lo. GUE NGGAK PEDULI. Muak gue liat lo.” ucapku pergi meninggalkannya sendirian di rumah.
*
            Aku terduduk sembilu di kursi putih rumah sakit. Sudah satu jam lebih aku hanya menunggu dan menunggu berita baik dari dokter. Keringat dingin sedari tadi sudah mengalir deras di tubuhku. Sesekali aku mencoba menghubungi ponsel mama dan papa. Namun sayang, mereka terlalu sibuk hingga harus mengalihkan panggilan dariku. Beberapa jam setelah itu, seorang berjas putih keluar dari kamar Rendra diperiksa.
            “Bagaimana dok?” ucapku cemas. Aku hanya berharap hal baik terjadi padanya. Seburuk-buruk apapun yang dia lakukan, aku sangat menyayanginya.
            “Banyak berdo’a saja, Nak. Kakakmu kritis. Dia overdosis. Sampai sekarang belum sadarkan diri.” ucapnya sambil menepuk pundakku memberikan kekuatan padaku. Aku terduduk lesu kembali. Pikiranku tak menentu. Aku hanya butuh mereka berdua sekarang. Tanpa pikir panjang aku keluar dari rumah sakit dan pergi ke tempat yang harusnya kutuju saat ini.
            Kira-kira setengah jam aku telah tiba dibangunan tinggi nan mewah. Tanpa melalui sekretaris perusahaan, aku langsung menerobos ruangan papa.
            “Stephanie? Ngapain kamu ke sini?” ucap papa kaget dan segera memberi kode pada karyawan stafnya untuk pergi.
            “Papa mau nunggu Rendra mati dulu baru angkat telpon aku. Orangtua macam apa kalian? Anak kalian kritis, kalian tetap asik dengan kepentingan sendiri.” ucapku dengan amarah yang tak tertahankan lagi.
            “Rendra? Apa maksud kamu? Emang Rendra sakit apa?” ucap papa lemah.
            “Hahaha, aku baru tau ada orangtua yang nggak tau tentang anaknya sendiri. Urusin aja harta terus. Hahaha. Rendra pemakai. Dia overdosis. Kaget? Tidak percaya? Hahaha.”
            “Ree.. ren.. dra.. pemakai?” ucap papa terlihat shock dan sedikit merasa bersalah.
            “Nggak usah kaget. Semuanya udah terjadi. Mending sekarang papa ikut aku ke rumah sakit. Kak Rendra kritis.” ucapku mulai melunak.
            “Baiklah, di jalan nanti kita hubungi mama. Maafkan papa.” ucapnya mengenggam tanganku dan keluar dari kantor.
*
            Begitulah, ketika Tuhan tidak lagi memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Maka seperti itulah Tuhan merenggutnya. Keesokan harinya Tuhan mengambil Rendra dengan keadaan tanpa menyapa papa, mama, dan diriku sebelum pergi. Saat itulah aku mengerti betapa aku harus kuat dan tegar. Setetespun  air mata tidak berhasil mengalir saat pemakaman berlangsung. Kepedihanku akan kepergiannya telah terganti oleh amarah yang setiap saat mengalir pada orangtuaku.
            “Sekarang mama papa udah puas?” ucapku membuka pertengkaran ketika tiba di rumah.
            “Apa maksud kamu Stephanie?” balas mama dengan nada tak kalah tinggi dariku.
            “Haah, mama terlalu naif. Mama bersikap seolah nggak ada yang terjadi. Mama pikir semua ini murni salah kak Rendra? Aah, semua itu salah kalian. Kalian nggak pernah meluangkan waktu untuk  kak Rendra dan aku.”
            “Kamu dan kak Rendra sudah besar. Sudah bisa jaga diri masing-masing. Nggak perlu lagi kami perhatiin. Untuk apa? Toh, cuma buang waktu.”  ucap mama.
            “Mama sadar apa yang sudah mama katakan?” ucapku dengan mata berkaca-kaca. “ Apa mama benar-benar udah diperbudak oleh harta. Hingga naluri keibuan mama udah sirna semuanya untuk anak-anak mama?” ucapku menangis pedih. Aku tidak mampu menahannya lagi.” Apa aku harus berlutut agar mama memberikan perhatian dan kasih sayang padaku lagi?” Aku menghela napas dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku.     
            “Sayang, maafkan papa dan mama.” ucap papa yang sedari tadi hanya diam mendengar pertengkaran kami.
            “Sudahlah Pa. Stephanie capek. Aku mau istirahat.” ucapku sambil mengibaskan tangan pada mereka dan berlalu ke kamar yang terletak di lantai dua.
*
            “Darimana aja kamu semalam? Keluyuran nggak jelas.” ucap mama saat membuka pintu.
            “Aku tidur di rumah Aida semalam. Ada perlu.” ucapku singkat.
            “Kenapa nggak hubungi mama papa dulu.” ucap mama mulai meninggi.
            “Apa penting beritahu kalian? Kalian kan sibuk dengan urusan kalian.” Aku mulai terpancing dengan suasana yang memanas.
            “Jaga ucapan kamu!” ucap mama sambil mengarahkan telunjuknya padaku.
            “Sudahlah ma, aku malas berdebat dengan mama. Aku bersikap seperti ini juga karena mama. Jangan salahkan aku kalau bersikap seperti ini.” ucapku menurunkan telunjuk yang tadinya mengarah padaku. “ Aku mau pergi ke sekolah.” Aku pergi meninggalkan mama dan berlalu ke kamar.
*
            “Kenapa lo? Bad mood banget lo kayaknya.” ucap Indra teman satu tongkronganku. Aku hanya menghisap tembakau rokok tanpa mengacuhkan pertanyaannya. Aku benar sedang kacau, dan tidak ingin dikerubungi oleh beribu pertanyaan.
            “Hayolah, santai sob. Kalau sama kita-kita lo harus ceria dong. Kenapa sumpek gitu. Eh, gue ada sesuatu untuk lo. Mana tau ini bisa ngobatin bad mood lo itu.” ucap Sandi—teman satu tongkronganku yang lain sambil memberikan sebuah pil yang menurutku sudah sering kulihat. Tiba-tiba saja Indra melihat garang pada Sandi. Aku terheran-heran pada Indra yang tiba-tiba saja menatap Sandi sinis.
“Nggak ah, gue nggak apa-apa kali. Kalian aja yang terlalu berlebihan liat gue. Ah,bosan gue di sini.” usulku sambil memberikan kembali pil putih itu pada Sandi. Bagaimanapun, aku tau pil itu adalah obat terlarang.
            “Kemana kita? Ke studio band Indra aja gimana? Gue juga lagi bosan sekarang.” ucap Deni—temanku yang lainnya. Di tempat tongkronganku biasanya terdapat kira- kira lima hingga delapan orang yang semuanya adalah cowok. Hanya aku yang berbeda jenis dari mereka. Walaupun begitu, mereka sangat menghargaiku sebagai seorang wanita.
            “Boleh juga, tapi gue ada ulangan jam terakhir ntar. Gimana dong?”  ucap Andre polos. Diantara teman-temanku, hanya Andre yang cukup peduli dengan nilai di sekolahnya.
            “Ah, kan bisa susulan besok- besok. Bilang aja lo lagi sakit, makanya nggak bisa ikut ujian sekarang.” usul Sandi sambil menggempulkan asap rokoknya.
            “Nggah ah, guru gue killer. Gue ntar aja nyusul kalau udah siap ulangan ya.” ucapnya menolak.
            “Cemen lo, Ndre. Baru guru killer aja lo udah kacun gitu.” ucap Deni memanas-manaskan suasana.
            “Haha, udah biarin ajalah Andre. Itu kan hak dia. Yuk lah, sebelum gue mati bosan di sini mendingan kita cabut.” ucapku memecah adu pendapat teman-temanku yang lain.
            “Yaudah, sampai ketemu nanti plen-plen tercintaku. Miss you. Muaah” ucap Andre melambaikan tangannya lalu berlari meninggalkan aku dan teman-temanku yang jijik melihat tingkah jahilnya.
            “Ogah gue, amit-amit cabang bayi gue dicium itu anak.” ucap Indra mengeliat dengan tingkahnya yang sontak membuatku tertawa terbahak-bahak.
            “Kenapa lo Step? Aman?” ucap Indra heran melihat tawaku yang lepas. Melihat gaya Indra memperhatikanku aku jadi salah tingkah sendiri.
            “Hehehe,aman kok. Gue cuma lucu aja liat tingkah lo. Radar gimanaaaa gituuu.” ucapku memecah kekakuan yang tiba-tiba saja menyergapku.
            “Aduuh aduuuh kok jadi melankolis gini ya kalian?” ucap Deni sambil mengedipkan mata pada Indra.
            “Whaaaaaaaaaat!!!! Apa-apaaan ini kalian ngedipin mata berdua? Nafsu lo berdua?” ucapku pura-pura histeris. Indra segera membungkam mulutku, dan menyeretku ke dalam mobil.
            “Nona Stephanie, lebih baik kita pergi sekarang.” ucap Indra sambil menutup pintu mobil dan mengambil alih kemudi.
            “Loh? Kok cuma kita berdua? Sandi sama Deni gimana?” ucapku kebingungan.
            “Mereka pake mobil gue, daripada ditinggal di sekolah mending mereka bawa. Sip kan?” ucap Indra cepat. “Udah ah, pake sabuk lo. Kita pergi makan dulu bentar ya.” suruhnya. Aku hanya mengangguk karena terlalu heran melihat tingkah Indra yang berubah begitu cepat. Indra menjadi seolah sangat lembut dengannku hari ini. Jantungku berdegup kencang saat Indra membantuku memasangkan sabuk pengaman.
            “Kelamaan lo. Kenapa lo? Lo ngelamun aja. Gue suruh pasang sabuk, lo malah asik ngelamun. Punya hobi baru lo?” ucapnya ngerocos tanpa henti.
            “Enak aja lo.”ucapku memukul lengannya. Kurang lebih sudah tiga tahun aku mengenalnya. Namun untuk pertama kalinya aku merasa nyaman di dekatnya. Ada satu kebahagiaan yang mulai muncul di hidupku perlahan.
*
            Aku terbangun ketika matahari masih enggan menampakkan sinarnya di pagi hari. Aku mengerjap-ngerjap melihat keselilingku. Ini masih kamarku dengan corak penuh hitam dan di sudut dinding masih terpatri figura foto keluarga yang sangat kusayangi. Aku meraih ponsel yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kuberada. Ada satu pesan dari Indra. “Hari ini sibuk? Pergi ke Pariaman yuk, naik kereta api.”
            Sudah beberapa bulan ini kedekatanku dengan Indra berbeda. Dia lebih sering memperlakukanku sebagai seorang wanita, bukan teman satu tongkrongannya. Aku tersenyum sambil membalas pesan singkat darinya. Kebetulan sekarang hari Minggu jadi aku bisa pergi tanpa ada beban karena sekolah. “Boleh, gue nggak sibuk hari ini. Jam berapa?”
            Aku meletakkan ponsel di atas meja belajarku lalu turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaan orangtuaku. Aku terkejut ketika menyaksikan guci-guci dan beberapa pernak-pernik pigura di rumah pecah berkeping-keping. Mataku membulat ketika melihat figura foto keluarga yang sangat kujaga pecah retak tergeletak di lantai. Aku segera berlari sambil menangis putus asa melihat keluarga yang menunggu puncak kehancuran. Aku memeluk foto tersebut dan terduduk pilu tanpa menyadari serpihan kaca menyentuh kulit kakiku. Darah mengalir deras keluar dari kakiku yang tergores oleh serpihan kaca. Aku berdiri sambil menjinjing figura foto tersebut ke kamar. Aku duduk di lantai kamar dan mengambil beberapa kapas untuk membersihkan darah yang semakin deras keluar. Aku mencabut beberapa serpihan kaca yang masih melekat di kulit kakiku. Aku mendengar ponselku berdering tak henti-hentinya. Aku membiarkan ponsel itu bernyanyi ria tanpa mempedulikan semuanya.
            Setelah yakin dengan kondisiku, aku mengenakan sweater biru dengan gambar band Guns’ Roses dipadu dengan jins hitam yang kukenakan dengan sangat hati-hati. Aku mengunci pintu rumah dan masuk ke dalam mobil. Aku mengemudikan mobil tanpa arah. Aku hanya ingin mengalihkan suasana batinku yang kacau. Aku membelokkan stir mobil ke jalan Rasuna Said. Aku membuka pintu mobil dan segera duduk di pondok kecil depan rumahnya.
            “Eh, ngapain lo ke sini?” tanya Sandi kaget karena melihatku duduk di depannya begitu saja. Aku mengambil satu batang rokok yang dia sodorkan begitu saja.
            “Suntuk gue. Rumah kayak hutan sekarang.” ucapku ngasal.
            “Hahaha, Stephanie lo kayak orang depresi berat. Hahaha.” ucapnya tertawa lepas.
            “Deni, Andre, sama Indra mana?” ucapku bingung karena aku hanya melihat keberadaan Sandi di sini. Tempat ini adalah kafe milik Sandi. Aku dan yang lainnya biasa nongkrong di sini jika sekolah sedang libur. Aku baru menyadari telah melupakan janjiku dengan Indra untuk pergi ke Pariaman hari ini.
            “Nih, coba aja ini lagi. Gue janji kalau pake ini masalah lo bakalan terasa lebih mudah.Gue nggak tau mereka kemana. Seharian ini mereka nggak ke sini. Sibuk kali di rumah” ucapnya menyodorkan sebungkus plastik kecil yang berisi serbuk putih. Aku mengambil barang itu dari tangannya.
            “Gue ke dalam dulu bentar. Mau ngambil minum.” ucapnya sambil meninggalkanku. Aku memperhatikan plastik putih yang diberikan Sandi padaku beberapa menit yang lalu. Aku tau barang ini akan menghancurkan kehidupanku. Namun… aku terlalu frustasi memikirkan mereka. Entah setan dari mana, aku segera membuka plastik tersebut dan menghisapnya sekali isap.
            “Enak?” kata Sandi sambil memberikan segelas sirup melon padaku. Dia duduk di sampingku.
            “Lumayan, gue ngerasa lebih baik. Ada lagi” ucapku tanpa takut dengan risiko yang harus kutanggung.
            “Ada, tapi bayar. Gue juga beli mahal itu barang. Gimana?” ucap Sandi menawarkan padaku.
            “Iya, gue beli. Lo ada bir nggak? Kacau gue.” ucapku seolah kehilangan akal sehat.
            “Oke. Ada gue ambil di kamar sebentar.” ucapnya pergi sambil berlari ke dalam.
            Beberapa jam setelah itu aku sudah tergeletak dengan keadaan setengah sadar. Tiba-tiba saja ponselku bordering di saku celana jinsku. Aku segera mengambilnya.
            “Halo? Siapa” ucapku dengan suara serak dan kacau.
            “Kenapa lo Step? Ini Gue Indra. Lo dimana?”
            “Haa. Guueee.. guee nggak apa- apa. Uhuk uhuk…. Guuu..eee.. di kaaa… feee.. Saann.. diii… sekarang.”
            “Lo mabuk Step? Gue ke sana sekarang.”
            Sambungan telpon terputus begitu saja. Aku mengernyitkan kening tidak mengerti dengan apa yang kukatakan tadi pada Indra.
*
            “Brengseek lo!!! Lo apain dia?” ucap Indra sambil mengangkat krah baju Sandi. Samar-samar itulah yang kulihat. Aku tetap tidak bisa fokus melihat ke arah mereka.
            “Eh, lo jangan seenaknya marah sama gue. Lo tanya dulu sama Stephanie. Dia minta ‘barang’ sama bir ke gue. Otomatis yaa gue kasih aja. Trus, itu salah gue. Brengsek lo nuduh gue sembarangan.”ucap Sandi melepaskan tangan Indra dari krah bajunya. Bruuuk!!!!! Aku mendengar pukulan hebat mengenai salah satu di antara mereka. Sesaat setelah itu, Indra membantuku berdiri lalu membawaku ke mobilnya. Tidak cukup lima menit dari itu, dia memelukku dengan hangat.
            “Gue sayang sama lo Step! Jangan hancurin diri lo kayak gini.” ucapnya pelan sambil mempererat pelukannya padaku. Tanpa sadar, aku menangis di pelukannya. Semua beban ini tidak sanggup kutanggung sendiri.
*
            Perlahan aku membuka mata, dan menyadari kondisiku yang begitu lemah terasa. Aku berusaha membuka sepenuhnya mata dan pikiranku. Aku memegangi kepala yang terasa begitu sakit. “Apa yang terjadi?”batinku. Aku seolah amnesia sesaat karena tidak ada satupun kejadian yang berhasil kuingat.
            Aku melihat kondisi kamar yang jauh berbeda dengan kamarku. “Dimana aku?”batinku. Cat biru muda dengan tirai putih sutra terpampang di kamar ini. Kesan yang lembut dan sangat jauh berbeda dengan kamarku—Hitam yang melambangkan suatu kekacauan. Pikiranku berhenti berpikir ketika seseorang membuka pintu kamar. Aku melihatnya membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas susu.
            “Udah lebih baik?” ucap Indra lembut padaku. Dia meletakkan nampan tersebut di atas meja, dan membuka tirai jendela yang menghalangi cahaya matahari menyinari se isi kamar. Dia duduk di kasur, sambil memegangi keningku.
            “Hmm, panas lo udah turun.” ucapnya tersenyum lebar. Aku hanya kebingungan dan terpaksa mengangguk.
            “Gue di rumah lo sekarang? Trus, gue kenapa kok bisa di sini?” ucapku bingung.
            “Haah, lo kemarin mabuk di rumah Sandi. Karena gue nggak tau rumah lo dimana, gue bawa lo ke sini. Maaf.” ucapnya jujur.
            “Oo, makasih ya Indra.” ucapku sambil menepuk punggung tangannya.
            Indra mengambil piring yang berisi nasi goreng, lalu menyuapiku dengan lembut. Aku mengunyah makanan tersebut dengan lembut sambil menatapnya dengan senyuman. Entah sejak kapan aku merasa mulai memiliki rasa kepadanya.
            “Enak?” ucapnya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan menelan semua makanan.
            “Ternyata gue mahir juga masak, hehe.” ucapnya sambil menyuapiku kembali.
            Aku merasa lebih baik berada di dekatnya saat ini. Mungkin terlalu lama bagiku tidak memperoleh perhatian yang cukup, hingga membuatku begitu bahagia ketika seseorang peduli padaku.
*
“Lo nggak mau masuk dulu?” ucapku menawarkan pada Indra ketika mengantarkanku pulang.
“Udah malam, Step. Lain kali aja.” balasnya dengan senyuman. Aku membuka pintu mobil, lalu menutupnya dengan pelan.
“Lo istirahat aja ntar di kamar. Gue jalan dulu.” ucapnya sambil menutup kaca mobil. Aku melihat kepergiannya, hingga Jazz silver milik Indra menghilang dari penglihatanku. Aku membuka pagar dan menutupnya dengan amat hati-hati. Aku melihat pintu rumah terbuka lebar. “Apa mama papa sudah pulang?” pikirku. Aku memasuki rumah, dan melihat mama berjalan ke arahku dengan wajah hendak melahapku. Plaak!! Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“Kemana aja kamu semalam? Mau dibilang kamu cewek nggak bener? Trus tadi siapa yang nganterin kamu? Cowok yang mana lagi? Dasar!!” ucap mama menjudge pikiran-pikiran negatif tentangku. Hatiku terlalu sakit mendengar ucapan mama. Aku mengepal tangan kiriku sedangkan tangan kananku masih memegangi pipiku yang memerah. Mataku berkaca-kaca, karena rasa sakit yang tak berperi oleh ucapan yang dilontarkan mama. Aku menghela napas dan melepas kepalan tanganku. Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar tanpa mengucap sepatah katapun padanya. Aku mengambil tas ransel sekolahku dan mengemasi beberapa barang-barang yang kuanggap perlu. Tidak lupa aku mengambil foto keluarga yang terpampang indah di atas meja belajarku. Lalu, aku menuruni tangga dan pergi dari rumah ini. Rumah ini seolah neraka bagiku sekarang.
“Mau kemana kamu Stephanie?” ucap mama ketika melihatku membawa ransel. Aku hanya diam, karena mulut ini terlalu kaku untuk bicara. Aku tidak mengacuhkan pertanyaannya dan tetap pergi meninggalkan rumah. Aku menghidupkan mesin mobil sedan  hitam milikku dan melaju kencang meninggalkan rumah kelahiranku. “Aku pergi jika kalian bahagia.” ucapku sambil menangis dengan hebat sambil mengemudi.
Aku mematikan mesin mobil ketika sampai di depan pagar rumah berwarna merah yang sedikit sudah pudar. Aku membuka pagar, dan mengetuk pintu rumah dengan sopan. Aku mendengar langkah kaki yang semakin dekat untuk membukakan pintu untukku.
“Stephanie?” ucapnya kaget ketika membuka pintu. Spontan aku menghambur ke dalam pelukannya. Aida mengelus pundakku memberi sedikit kekuatan padaku. Aku menangis dan tetap menangis, karena semua rasa sakit seolah sudah memuncak.
“Kamu kenapa, Step?” tanya Aida ketika aku melepaskan pelukan darinya. Aku hanya diam. Aida menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke rumahnya. Dia membuka pintu kamar, dan mengizinkanku untuk duduk di sana.
“Aku ambil minum dulu.” ucapnya meninggalkanku di kamarnya sendiri.
Beberapa menit setelah itu,  Aida telah duduk di dekatku sambil menyuguhi segelas teh panas dan biskuit. Aku mendengar desahan napasnya yang seolah kasihan melihat keadaanku. Dia menepuk pundakku lagi, perlakuan yang terlalu sering dilakukannya padaku saat kekacauan menghampiriku.
“Minumlah dulu, setidaknya bisa membuatmu sedikit lebih baik.” ucapnya memberikan segelas teh panas padaku. Aku menyuruput teh tersebut denga pelan.
“Aku cuma mau kamu cerita ke aku. Aku nggak mau kamu nyimpan masalah ini sendiri. Setidaknya, dengan kamu cerita beban kamu berkurang. Walaupun aku nggak bisa bantu terlalu jauh, tapi aku bisa bantu untuk menguatkan kamu. Percayalah padaku.” ucapnya tulus. Ketulusan yang terlalu mahal kuperoleh saat ini. Aku memeluknya dengan hangat sambil mengucapkan terima kasih padanya.
“Gue ditampar mama tadi.”ucapku langsung. Sejenak Aida hanya diam, kulihat raut wajahnya berubah keruh menunjukkan amarah yang terpendam. Aku menceritakan semuanya pada Aida secara detail tanpa melupakan bagian apapun, termasuk aku yang digotong oleh Indra dalam keadaan mabuk. Aku melihat mata Aida berkaca-kaca.
“Lo kenapa?” ucapku heran.
“Aku sedih dengan kondisi kamu seperti. Tanpa kasih sayang dari orangtua. Mungkin mereka lupa bahwa kamu adalah titipan Tuhan. Tidak seharusnya mereka membiarkan kamu hidup tanpa kasih sayang dari orangtua.
“Yah, gue kira kenapa. Udah biasa gue kayak gitu.” ucapku mencoba tegar. Berada di dekatnya dengan segala ketulusan yang diberikannya padaku membuat beban yang kualami perlahan hilang. Aku menghela napas, namun tiba-tiba saja rangsangan aneh menyergapku. Perlahan semua tanganku gemetar dan seolah mati rasa. Aku kehilangan kendali dan aku melihat Aida secara spontan menjaga jarak padaku.
“Kamu kenapa Step?” tanyanya penuh ketakutan.
Aku kehilangan kendali, mataku terasa panas. Aku berteriak dan meminta ‘barang’ yang kubutuhkan. Aku meminum teh panas yang dibuat Aida, lalu melempar gelas tersebut kearah lemari. Sontak Aida berteriak dan kebingungan mencari bantuan.
“AKU BUTUH BARANG ITU! BERIKAN PADAKU!” teriakku dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Aku menjambak rambutku dan menariknya sekuat yang aku bisa.
“Aaaaaarghhh!!!!”teriakku lagi. Aku terduduk lemas, dan bertopang pada kedua lututku. Lalu, aku menangis sejadi-jadinya. Bayang-bayang keluarga dan segala kehancuran berkelebat dalam benakku. Aku menangis lagi. Sesaat setelah itu, aku merasakan pelukan hangat darinya.
“Aku nggak tau harus berbuat apa. Mungkin kita harus ke dokter.” ucap Aida dengan wajah penuh sisa-sisa air mata.
*
            Kira-kira sudah enam bulan aku berada di panti rehabilitasi. Keadaan yang lebih baik dan semua kekacauan yang kurasa perlahan hilang. Aku berada di sekitar orang-orang yang peduli denganku, dan teman-teman yang memiliki nasib yang sama. Di sinilah aku merasa, bahwa aku tidak sendiri. Masih ada yang serupa denganku.
            Siang nanti aku akan bebas dari panti rehabilitasi. Aku benar-benar bisa menikmati hidup bebas dengan kondisi yang lebih baik. Seorang petugas memasuki kamarku, dan menyuruhku untuk berkemas. Aku mengemasi semua barang-barang yang kubawa ke tempat ini. Aku keluar kamar dan menyalami satu persatu teman-teman yang dulunya pernah berada di sekitarku. Seusai menyalami mereka satu persatu aku berjalan ke ruang depan. Aku menunggu surat izinku keluar sambil duduk di depan ruangan tersebut. Di sela itu, aku berharap akan ada kebahagiaan yang datang padaku.
            “Stephaniiieeee!!” seseorang meneriaki namaku. Aku melihat ke arah sumber suara. Mataku membulat ketika Aida berlari dan memelukku hangat. Aku membalasnya sambil tersenyum penuh bahagia. Tidak jauh dari tempat Aida meneriakiku tadi, muncul Indra dengan kemeja kotak biru hitam dengan levis hitam tersenyum dengan tangan kanan tersembunyi di balik tubuhnya. Aku melepaskan pelukan Aida dan berjalan ke tempat Indra dengan semangat. Aku memeluknya. Aku rindu padanya. Sungguh.
            “I miss you so much. I love you Stephanie. Would you be my girl?”ucapnya sambil memberikan seikat mawar merah ketika aku melepaskan pelukan. Aku kaget bukan kepalang.
            “Ha? Pardon me?” aku tertawa.
            “I LOVE YOU. WOULD YOU BE MY GIRL?”ucapnya berteriak. Aku segera membukam mulutnya karena teriakannya membuat perhatian beberapa petugas di sekitarku. Aku tersenyum, dan mengambil seikat mawar darinya. Aku memeluknya lagi, aku menangis karena terlalu bahagia.
            “I love you too.” ucapku sambil mempererat pelukan padanya. Aku melepaskan pelukan darinya.
            “Gue punya hadiah lebih berharga dari ini?” ucapnya semangat.
            “Apa?” tanyaku penasaran.
            “Orangtuamu.” ucapnya lembut yang membuat sekujur tubuhku menegang. “Sungguh mereka datang melihatku?” batinku. Enam bulan tanpa mereka, tanpa kabar dari mereka. Bahkan aku berpikir mereka tidak lagi peduli setelah aku keluar dari rumah. Papa dan mama berjalan semakin dekat ke arahku. Mataku berkaca-kaca karena tidak percaya dengan semua ini.
            “Maafkan papa dan mama sayang.” ucap papa tulus. Aku memeluk papa sambil menangis. Aku begitu menyayangi mereka hingga takut kehilangan satu di antara mereka.
            “Mama sudah berhenti mengurus perusahaan. Mama akan di rumah selamanya.” ucap mama.
            “Sungguh?” ucapku penuh bahagia. Aku berganti memeluk mama dan segala perlakuan mama terhadapku dahulunya luruh seketika. “Terima kasih Tuhan.” batinku masih dalam pelukan mama.
*
“Lo mau ngajak gue kemana?” tanyaku di dalam mobil jazz silver miliknya.
“Udah ah, lo bawel amat. Turutin aja gue kemana yaa sayangku. Hahaha.” ucapnya jahil. Aku geli sekaligus bahagia ketika dia memanggilku dengan panggilan sayangnya.
“Loh? Kok ke stasiun kereta api?” tanyaku kaget.
“Lo masih punya janji dengan gue.” ucapnya sambil tersenyum penuh arti padaku.
***

2 comments:

  1. keren bgt cerpennya, sumpah.... menyentuh bgt.....klimaks bgt ceritanya..... good joob faniii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah baca ^^
      Tapi ngomong2 jgn pake anonim, jd gak tau ini siapa :D

      Delete