Pages

August 1, 2013

[Cerpen] Senja Terakhir Edelweis

            Senja semakin menepi ke ujung peredaran bumi. Semilir angin pun semakin mempererat naluri, bahwa gelap akan segera hadir di antara lalu lalang manusia. Aku hanya duduk termangu, menyaksikan satu persatu anak –anak seumuranku dengan bebas lari ke sana kemari. Bermain pasir, bermain ombak, bahkan dengan girangnya berbasah-basah dengan ombak. Ombak pun dengan senang hati mengikuti langkah kebahagiaan mereka, ikut membasahi pakaian-pakaian indah mereka. Aku tetap termangu, duduk di antara deretan kursi plastik berwarna merah yang tampak memudar. Sesekali aku melihat ke arah bebatuan yang  ramai dikunjungi oleh muda mudi yang asyik bermadu kasih, sekaligus menyaksikan senja yang indah. Lalu, aku tetap termangu, sekaligus iri. Karena aku, tidak bisa. Aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan banyak orang.
            Aku menyeruput jus jeruk yang sengaja dipesan oleh sahabatku—Aline. Aku sangat beruntung memilikinya, ia teman sekaligus saudara terbaik yang kumiliki. Beberapa hari yang lalu, ia baru pulang dari Yogyakarta mengurus beasiswa untuk studi magister di UGM. Sehari setelah kepulangannya, ia dengan raut wajah bahagia mengajakku keluar dari ruangan berbau yang sampai sekarang tak kusukai. Walaupun Ibu, dan Ayahku sempat mencegahku untuk pergi bersamanya, namun Aline mampu meyakinkan kedua orangtuaku, bahwa aku akan baik-baik saja bersamanya. Akhirnya, di sinilah aku menunggunya setelah beberapa jam dibiarkan sendiri sambil menyaksikan ombak berdebur, dan senja yang semakin mendekat.
            Tiba-tiba pandanganku terarah pada sosok gadis dibalut kemeja kotak-kotak, yang kontras dengan kemeja Jokowi berjalan mendekatiku. Ia Aline—sahabatku. Namun, pandanganku segera terusik ketika seorang laki-laki berambut ikal juga berjalan mendekatiku bersama Aline. Ia mengenakan kaus hitam dengan tulisan Dream Theater di bajunya, dan celana jins hitam selutut. Aku tidak mengenalnya bahkan tidak pernah berjumpa dengannya, walaupun Aline sering mengenalkan beberapa temannya padaku. Aline menepuk pundakku sambil menyunggingkan senyumnya, dan menyuruh laki-laki itu untuk duduk.
            “Maaf lama, aku tidak tahu jalanan sungguh macet di sekitar pantai.” ucap Aline padaku tanpa memberi penjelasan siapa laki-laki yang tengah duduk tepat berhadapan denganku.
            “Aduh, aku lupa. Kenalkan ini Davin. Ia sepupuku.” ujar Aline lagi yang sontak menaikkan sebelah alisku. Sejak kapan Aline memiliki sepupu yang tidak kuketahui. Meskipun aku bukan saudara sedarah dengannya, tetapi aku mengenal semua keluarganya, termasuk kakek, nenek, sampai sepupunya.
            “Davin ini jarang pulang ke Padang, makanya nggak pernah ketemu kamu.” ucapnya—lagi memecah keherananku. Lalu, detik berikutnya Davin mengulurkan tangan padaku untuk berkenalan. Aku menerima tangannya dengan ragu, dan tersenyum untuk menunjukkan keramahan padanya.
            “Nah Davin, ini Edelweis yang sering kuceritakan padamu.” ujarnya sambil memegang bahuku seolah ia sangat bahagia menyebut namaku. Aku melihat Davin mengerjapkan mata dengan ekspresi tak percaya.
            “Benarkah?”
            Dan pertemuan itulah, yang melahirkan harapan baru sekaligus rasa kehidupan yang selama ini kunantikan. Aku.. memulai warna hidup baruku.
***

             “Edel!! Edel!! Lihat aku bawa apa?” teriak seseorang yang sangat kukenal suaranya. Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suaranya di balik lemari pakaian, yang semenjak tiga tahun lalu telah resmi menjadi milikku. Aku masih mendengar suaranya berteriak memanggil namaku—mencari keberadaanku. Aku hanya mendengar, karena lidahku cukup kelu untuk berucap sepatah katapun. Bukan karena aku malas, tetapi kondisiku yang sangat memprihatinkan.
            “Edel! Astaga, kamu mimisan lagi? Kenapa tidak memanggil dokter?” ucapnya ketika berhasil menemukanku di balik lemari. Ia dengan sigap menggendongku ke atas kasur putih berbau medis. Ia mengeluarkan saputangan handuk dari saku celananya, sambil mencari kapas yang sudah tersedia di laci meja. Ia menahan darah yang tak kunjung berhenti dari hidungku dengan saputangannya. Ia kesulitan mencari kapas, karena kondisi laci yang berserakan dengan obat-obatan, dan kain-kain putih. Ia memencet tombol darurat untuk memanggil perawat ataupun dokter ke ruangan ini. Ia masih terlihat panik—tetapi sangat panik. Sejenak aku melihat dirinya bermandi peluh, entah karena paniknya, atau karena lelahnya ia menjagaku setiap saat. Beberapa celah waktu setelah itu, aku tak lagi merasakan apa yang mampu kurasa. Semuanya mati rasa, dan mengabur.
***
Davin. Sosok laki-laki yang tiba-tiba saja menggantikan keberadaan seorang Aline. Aku tidak tahu pasti apa alasan Davin mau menungguiku di rumah sakit ketika keduaorangtuaku pamit untuk pulang. Aku juga tidak tahu, kenapa ia ingin bersusah-susah menghabiskan waktu untukku—yang jelas-jelas tidak memberi manfaat untuknya. Sampai saat ini, aku tidak menemukan alasan yang cukup untuk menjelaskan apa tujuannya berada di sampingku.
            Semenjak pertemuanku di pantai menjelang senja dengan Aline, ia seolah berusaha mengenalku, dan tentunya berusaha untuk tetap berada di sampingku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi tingkahnya menjadi serba aneh  sejak kepergian Aline ke Yogyakarta untuk studinya. Sejak itulah, aku intens bertemu dengannya. Sejak itulah, ia terlihat mengorbankan banyak hal. Waktunya, masa mudanya, dan kebahagiaannya untuk mengecap keindahan aktivitas di luar sana.
            Awalnya aku cukup heran melihatnya setiap saat muncul di hadapanku. Namun, kelamaan aku menjadi terbiasa akan situasi tersebut. Setiap pagi ia selalu muncul sambil membawakan bubur ayam kesukaanku. Aku bahkan tidak tahu kalau ia tahu apa yang kusuka. Lalu, siang hari ia muncul kembali dengan  membawa sekantong buah kesukaanku—jeruk. Hanya saja, setiap sore ia tidak pernah muncul di dekatku. Entah karena keberadaan orangtuaku, atau karena ia memiliki kesibukan di luar sana. Tetapi, hal tersebut tak kurisaukan, karena ia datang menjengukku, itu sudah lebih dari cukup.
            Suatu hari, aku pernah bertanya padanya tentang keberadaannya dan kesibukannya setiap sore. Ketika itu ia sedang mengupas kulit jeruk yang ia bawakan untukku. Ia hanya tersenyum, dan menyuapiku satu persatu dari jeruk yang ia kupas.
            “Jangan tanya soal keberadaanku di sini. Anggap saja ini sebuah takdir aku berada di sini. Aku tidak pernah merasa keberatan menjagamu, atau merasa bersusah-susah untukmu. Aku senang di sini—di sampingmu. Cukup lama aku tidak merasa sesemangat ini, dan itu karena aku di sini.” ucapnya yang membuatku terdiam cukup lama. Aku mencoba memahami setiap kata yang terucap di bibir manisnya. Namun, semakin aku memahaminya, semakin aku tak mengerti apa maksudnya.
            “Setiap sore, aku berkerja di perusahaan percetakan milik keluargaku. Namun, setiap Minggu aku ada pertemuan untuk komunitas Pencinta Alam.” ujarnya lagi sekaligus menjawab kebingunganku. Aku mengangguk sambil menelan jeruk-jeruk yang tiba-tiba terasa hambar di lidahku. Aku tau akan ucapannya, tetapi aku tak paham akan niatnya.
***
            Sudah seminggu ini, aku mengalami mimisan setiap hari. Entah karena kondisiku yang tak tertolong lagi, atau karena Tuhan perlahan ingin merenggutku—dengan cara seperti ini. Selama seminggu ini juga aku kehilangan berat tubuhku secara berkala, dari setengah kilo, hingga satu atau dua kilo setiap tiga hari. Tubuhku menjadi semakin kurus, dan terlalu banyak benjolan-benjolan biru di setiap urat sarafku. Selama seminggu ini juga, tubuhku tak mampu lagi menopang dengan sendirinya. Aku terpaksa harus bergantung pada kursi roda, karena tulang-tulangku juga ikut melemah. Semua organ tubuhku seolah ikut merasakan sakit yang kurasa semenjak tujuh tahun yang lalu—sejak aku divonis kanker darah.
            Setiap malam aku selalu berdoa agar Tuhan memberikan nyawa yang cukup untukku—untuk memberi waktu yang cukup pada orangtuaku, dan orang –orang disekitarku, yang merasa keberadaanku penting. Doaku pun terkabul, aku mampu bertahan lebih tujuh tahun atas penyakit mematikan yang kuderita. Padahal, waktu itu dokter telah memvonisku hanya akan hidup lima tahun. Namun, umur manusia siapa yang tahu, buktinya aku tetap bertahan, walaupun kondisi yang semakin melemah.
***
            Suatu hari ada hal yang membuat hari-hariku berubah. Bukan untuk selamanya, tetapi hanya sementara. Sementara tidak ada yang membawakan bubur ayam setiap pagi, dan jeruk setiap sore. Sementara waktu pula tidak ada yang menyuapiku jeruk hasil kupasannya, dan tidak ada saputangan yang siap menahan mimisanku. Sementara, katanya hanya sementara—hanya sementara.
            Beberapa hari yang lalu, Davin datang padaku untuk pamit. Bukan pamit untuk pergi ke suatu tempat yang entah kapan kembali, tetapi ia pergi untuk memenuhi event komunitas Pencinta Alamnya. Selama seminggu ia akan pergi mendaki puncak Gunung Rinjani. Ia berjanji padaku, bahwa ia akan kembali seminggu lagi, dan aku harus menunggunya—pintanya padaku. Saat itu, sebuah anggukan cukup membuatnya bahagia, dan dengan hati yang lapang meninggalkanku—yang aku ragu aku mampu atau tidak menunggunya.
            Sudah hampir seminggu ia pergi meninggalkanku, dan hampir seminggu itulah tubuhku semakin tak karuan. Jika seminggu yang lalu aku hanya mimisan setiap hari, sekarang aku malah sekali beberapa jam mimisan. Jika seminggu yang lalu aku masih mampu bercerita dengan gelak tawa pada orangtuaku, tetapi sekarang berbicara saja terlalu sakit untukku. Aku masih bisa berbicara namun, hanya sesekali dengan lirih yang takkan mungkin didengar orang berjarak radius satu meter.
            Aku mendorong kursi rodaku menuju jendela ruangan tersebut. Kamarku terletak di lantai tiga jenjang rumah sakit. Dari jendela, aku mampu melihat hiruk pikuk kendaraan, dan orang-orang yang dengan santainya berlalu lalang. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan mencoba merasakan bau medis rumah sakit yang sudah menemaniku bertahun-tahun. Tanpa terasa, mataku sudah berkaca-kaca ketika melihat sosok yang turun dari mobil sambil berlari-lari kecil memasuki rumah sakit. Ia kembali—dan aku memenuhi permintaannya.
***
            “Kita kemana sekarang?” tanyanya ketika tiba di ruanganku. Aku menatapnya tak percaya—bahwa ia akan kembali. Ia tersenyum melihatku terbengong-bengong akan kehadirannya. Ia mendorong kursi rodaku keluar kamar, dan membawaku mengelilingi lorong-lorong rumah sakit yang sarat akan diriku. Ia tetap berceloteh panjang lebar tentang pendakiannya. Ia juga sesekali mengelus rambutku—sambil berucap ia merindukanku.
            Ia dengan bangga membawaku keluar rumah sakit. Setelah berusaha meyakinkan beberapa pihak rumah sakit, dan kedua orangtuaku, akhirnya ia membawaku masuk ke dalam mobilnya. Ini adalah kedua kalinya aku keluar rumah sakit bersama orang penting di hidupku.
            “Kita kemana, Edel?” tanyanya sekali lagi. Lamunanku terhenti, lalu menatap matanya yang penuh binar. Tiba-tiba memori otakku menginginkan langkah kakiku pergi bersamanya ke pantai, sekaligus melihat senja—pertanda pertemuan pertamaku dengannya.
            Ia memutar kemudi ke arah pantai. Ia menggendongku keluar mobil, dan meletakkanku bersama dengan kursi roda yang ia letakkan di bagasi mobil. Ia memakaikan selimut bali di pahaku, karena angin sore semakin kencang. Ia takut jika aku kedinginan. Ia mendorong kursi rodaku ke arah bibir pantai. Ia tetap berceloteh tentang hal yang sama—tentang pendakian. Tidak ada satu katapun yang mampu kubalas, karena aku sudah sangat susah berbicara. Ia tahu kondisiku, ia tahu keadaanku.
            “Tiga hari yang lalu, aku bermimpi bertemu denganmu. Dalam mimpi itu, aku melihatmu tersenyum bahagia. Aku tidak tau apa maksud mimpi itu, namun mimpi itu mengisyaratkan padaku, bahwa aku harus segera turun dari pendakian. Makanya, aku lebih cepat pulang dari jadwal yang direncanakan. Mimpi itu aku melihatmu, Edel. Kamu pergi Edel.” ucapnya nelangsa. Aku merasakan ada getar di setiap helaan napasnya. Ia berjalan mendekatiku, dan berjongkok di depanku. Aku melihat binar matanya yang perlahan memudar. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Ia membawakanku seikat Bunga Edelweis, dan memberikannya padaku. Aku menerima bunga tersebut dengan nanar. Aku menghirup harumnya bunga yang sama dengan namaku. Ia berdiri, dan kembali mendorong kursi rodaku mendekati ombak pantai. Aku melihat matahari beberapa saat lagi akan bertemu dengan peraduannya. Aku mengenggam bunga tersebut dengan kuat, dengan hati tak terucap. Bulir-bulir air matapun telah menandakan, bahwa inilah akhir dari segalanya. Senja—memberi satu harapan, dan mengakhiri satu harapanku.
“Edelweis, kuharap namamu akan sama dengan dirimu. Keabadian.” lirihnya putus asa.
***
(*Rifani Magrissa)

     

2 comments:

  1. aku suka awalnya, bagus...
    Senja ingatkan aku pada dia.. yg hilang ketika senja tiba. itu senja terakhirku dgnya.

    ReplyDelete
  2. Terimaka kasih sudah membaca cerpen ini yaa
    :))

    ReplyDelete