Senja semakin menepi ke ujung peredaran bumi. Semilir
angin pun semakin mempererat naluri, bahwa gelap akan segera hadir di antara
lalu lalang manusia. Aku hanya duduk termangu, menyaksikan satu persatu anak –anak
seumuranku dengan bebas lari ke sana kemari. Bermain pasir, bermain ombak,
bahkan dengan girangnya berbasah-basah dengan ombak. Ombak pun dengan senang
hati mengikuti langkah kebahagiaan mereka, ikut membasahi pakaian-pakaian indah
mereka. Aku tetap termangu, duduk di antara deretan kursi plastik berwarna
merah yang tampak memudar. Sesekali aku melihat ke arah bebatuan yang ramai dikunjungi oleh muda mudi yang asyik
bermadu kasih, sekaligus menyaksikan senja yang indah. Lalu, aku tetap
termangu, sekaligus iri. Karena aku, tidak bisa. Aku tidak bisa melakukan hal
yang sama seperti apa yang dilakukan banyak orang.
Aku menyeruput jus jeruk yang sengaja dipesan oleh
sahabatku—Aline. Aku sangat beruntung memilikinya, ia teman sekaligus saudara
terbaik yang kumiliki. Beberapa hari yang lalu, ia baru pulang dari Yogyakarta
mengurus beasiswa untuk studi magister
di UGM. Sehari setelah kepulangannya, ia dengan raut wajah bahagia mengajakku
keluar dari ruangan berbau yang sampai sekarang tak kusukai. Walaupun Ibu, dan
Ayahku sempat mencegahku untuk pergi bersamanya, namun Aline mampu meyakinkan
kedua orangtuaku, bahwa aku akan baik-baik saja bersamanya. Akhirnya, di
sinilah aku menunggunya setelah beberapa jam dibiarkan sendiri sambil
menyaksikan ombak berdebur, dan senja yang semakin mendekat.
Tiba-tiba pandanganku terarah pada sosok gadis dibalut
kemeja kotak-kotak, yang kontras dengan kemeja Jokowi berjalan mendekatiku. Ia
Aline—sahabatku. Namun, pandanganku segera terusik ketika seorang laki-laki
berambut ikal juga berjalan mendekatiku bersama Aline. Ia mengenakan kaus hitam
dengan tulisan Dream Theater di
bajunya, dan celana jins hitam selutut. Aku tidak mengenalnya bahkan tidak
pernah berjumpa dengannya, walaupun Aline sering mengenalkan beberapa temannya
padaku. Aline menepuk pundakku sambil menyunggingkan senyumnya, dan menyuruh
laki-laki itu untuk duduk.
“Maaf lama, aku tidak tahu jalanan sungguh macet di
sekitar pantai.” ucap Aline padaku tanpa memberi penjelasan siapa laki-laki
yang tengah duduk tepat berhadapan denganku.
“Aduh, aku lupa. Kenalkan ini Davin. Ia sepupuku.” ujar
Aline lagi yang sontak menaikkan sebelah alisku. Sejak kapan Aline memiliki
sepupu yang tidak kuketahui. Meskipun aku bukan saudara sedarah dengannya, tetapi
aku mengenal semua keluarganya, termasuk kakek, nenek, sampai sepupunya.
“Davin ini jarang pulang ke Padang, makanya nggak pernah
ketemu kamu.” ucapnya—lagi memecah keherananku. Lalu, detik berikutnya Davin
mengulurkan tangan padaku untuk berkenalan. Aku menerima tangannya dengan ragu,
dan tersenyum untuk menunjukkan keramahan padanya.
“Nah Davin, ini Edelweis yang sering kuceritakan padamu.”
ujarnya sambil memegang bahuku seolah ia sangat bahagia menyebut namaku. Aku
melihat Davin mengerjapkan mata dengan ekspresi tak percaya.
“Benarkah?”
Dan pertemuan itulah, yang melahirkan harapan baru
sekaligus rasa kehidupan yang selama ini kunantikan. Aku.. memulai warna hidup
baruku.
***
“Edel!! Edel!! Lihat aku bawa apa?” teriak seseorang yang
sangat kukenal suaranya. Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suaranya di balik
lemari pakaian, yang semenjak tiga tahun lalu telah resmi menjadi milikku. Aku
masih mendengar suaranya berteriak memanggil namaku—mencari keberadaanku. Aku
hanya mendengar, karena lidahku cukup kelu untuk berucap sepatah katapun. Bukan
karena aku malas, tetapi kondisiku yang sangat memprihatinkan.
“Edel! Astaga, kamu mimisan lagi? Kenapa tidak memanggil
dokter?” ucapnya ketika berhasil menemukanku di balik lemari. Ia dengan sigap
menggendongku ke atas kasur putih berbau medis. Ia mengeluarkan saputangan handuk
dari saku celananya, sambil mencari kapas yang sudah tersedia di laci meja. Ia
menahan darah yang tak kunjung berhenti dari hidungku dengan saputangannya. Ia
kesulitan mencari kapas, karena kondisi laci yang berserakan dengan
obat-obatan, dan kain-kain putih. Ia memencet tombol darurat untuk memanggil
perawat ataupun dokter ke ruangan ini. Ia masih terlihat panik—tetapi sangat
panik. Sejenak aku melihat dirinya bermandi peluh, entah karena paniknya, atau
karena lelahnya ia menjagaku setiap saat. Beberapa celah waktu setelah itu, aku
tak lagi merasakan apa yang mampu kurasa. Semuanya mati rasa, dan mengabur.
***
Davin. Sosok laki-laki yang tiba-tiba saja menggantikan
keberadaan seorang Aline. Aku tidak tahu pasti apa alasan Davin mau menungguiku
di rumah sakit ketika keduaorangtuaku pamit untuk pulang. Aku juga tidak tahu,
kenapa ia ingin bersusah-susah menghabiskan waktu untukku—yang jelas-jelas
tidak memberi manfaat untuknya. Sampai saat ini, aku tidak menemukan alasan
yang cukup untuk menjelaskan apa tujuannya berada di sampingku.
Semenjak pertemuanku di pantai menjelang senja dengan
Aline, ia seolah berusaha mengenalku, dan tentunya berusaha untuk tetap berada
di sampingku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi tingkahnya menjadi serba
aneh sejak kepergian Aline ke Yogyakarta
untuk studinya. Sejak itulah, aku intens bertemu dengannya. Sejak itulah, ia
terlihat mengorbankan banyak hal. Waktunya, masa mudanya, dan kebahagiaannya
untuk mengecap keindahan aktivitas di luar sana.
Awalnya aku cukup heran melihatnya setiap saat muncul di
hadapanku. Namun, kelamaan aku menjadi terbiasa akan situasi tersebut. Setiap
pagi ia selalu muncul sambil membawakan bubur ayam kesukaanku. Aku bahkan tidak
tahu kalau ia tahu apa yang kusuka. Lalu, siang hari ia muncul kembali
dengan membawa sekantong buah
kesukaanku—jeruk. Hanya saja, setiap sore ia tidak pernah muncul di dekatku.
Entah karena keberadaan orangtuaku, atau karena ia memiliki kesibukan di luar
sana. Tetapi, hal tersebut tak kurisaukan, karena ia datang menjengukku, itu
sudah lebih dari cukup.
Suatu hari, aku pernah bertanya padanya tentang
keberadaannya dan kesibukannya setiap sore. Ketika itu ia sedang mengupas kulit
jeruk yang ia bawakan untukku. Ia hanya tersenyum, dan menyuapiku satu persatu
dari jeruk yang ia kupas.
“Jangan tanya soal keberadaanku di sini. Anggap saja ini
sebuah takdir aku berada di sini. Aku tidak pernah merasa keberatan menjagamu,
atau merasa bersusah-susah untukmu. Aku senang di sini—di sampingmu. Cukup lama
aku tidak merasa sesemangat ini, dan itu karena aku di sini.” ucapnya yang
membuatku terdiam cukup lama. Aku mencoba memahami setiap kata yang terucap di
bibir manisnya. Namun, semakin aku memahaminya, semakin aku tak mengerti apa
maksudnya.
“Setiap sore, aku berkerja di perusahaan percetakan milik
keluargaku. Namun, setiap Minggu aku ada pertemuan untuk komunitas Pencinta
Alam.” ujarnya lagi sekaligus menjawab kebingunganku. Aku mengangguk sambil
menelan jeruk-jeruk yang tiba-tiba terasa hambar di lidahku. Aku tau akan ucapannya,
tetapi aku tak paham akan niatnya.
***
Sudah seminggu ini, aku mengalami mimisan setiap hari.
Entah karena kondisiku yang tak tertolong lagi, atau karena Tuhan perlahan
ingin merenggutku—dengan cara seperti ini. Selama seminggu ini juga aku kehilangan
berat tubuhku secara berkala, dari setengah kilo, hingga satu atau dua kilo
setiap tiga hari. Tubuhku menjadi semakin kurus, dan terlalu banyak
benjolan-benjolan biru di setiap urat sarafku. Selama seminggu ini juga,
tubuhku tak mampu lagi menopang dengan sendirinya. Aku terpaksa harus
bergantung pada kursi roda, karena tulang-tulangku juga ikut melemah. Semua
organ tubuhku seolah ikut merasakan sakit yang kurasa semenjak tujuh tahun yang
lalu—sejak aku divonis kanker darah.
Setiap malam aku selalu berdoa agar Tuhan memberikan
nyawa yang cukup untukku—untuk memberi waktu yang cukup pada orangtuaku, dan
orang –orang disekitarku, yang merasa keberadaanku penting. Doaku pun terkabul,
aku mampu bertahan lebih tujuh tahun atas penyakit mematikan yang kuderita.
Padahal, waktu itu dokter telah memvonisku hanya akan hidup lima tahun. Namun,
umur manusia siapa yang tahu, buktinya aku tetap bertahan, walaupun kondisi
yang semakin melemah.
***
Suatu hari ada hal yang membuat hari-hariku berubah.
Bukan untuk selamanya, tetapi hanya sementara. Sementara tidak ada yang
membawakan bubur ayam setiap pagi, dan jeruk setiap sore. Sementara waktu pula
tidak ada yang menyuapiku jeruk hasil kupasannya, dan tidak ada saputangan yang
siap menahan mimisanku. Sementara, katanya hanya sementara—hanya sementara.
Beberapa hari yang lalu, Davin datang padaku untuk pamit.
Bukan pamit untuk pergi ke suatu tempat yang entah kapan kembali, tetapi ia
pergi untuk memenuhi event komunitas
Pencinta Alamnya. Selama seminggu ia akan pergi mendaki puncak Gunung Rinjani.
Ia berjanji padaku, bahwa ia akan kembali seminggu lagi, dan aku harus
menunggunya—pintanya padaku. Saat itu, sebuah anggukan cukup membuatnya
bahagia, dan dengan hati yang lapang meninggalkanku—yang aku ragu aku mampu
atau tidak menunggunya.
Sudah hampir seminggu ia pergi meninggalkanku, dan hampir
seminggu itulah tubuhku semakin tak karuan. Jika seminggu yang lalu aku hanya
mimisan setiap hari, sekarang aku malah sekali beberapa jam mimisan. Jika
seminggu yang lalu aku masih mampu bercerita dengan gelak tawa pada orangtuaku,
tetapi sekarang berbicara saja terlalu sakit untukku. Aku masih bisa berbicara
namun, hanya sesekali dengan lirih yang takkan mungkin didengar orang berjarak
radius satu meter.
Aku mendorong kursi rodaku menuju jendela ruangan
tersebut. Kamarku terletak di lantai tiga jenjang rumah sakit. Dari jendela,
aku mampu melihat hiruk pikuk kendaraan, dan orang-orang yang dengan santainya
berlalu lalang. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan mencoba merasakan bau medis
rumah sakit yang sudah menemaniku bertahun-tahun. Tanpa terasa, mataku sudah
berkaca-kaca ketika melihat sosok yang turun dari mobil sambil berlari-lari
kecil memasuki rumah sakit. Ia kembali—dan aku memenuhi permintaannya.
***
“Kita kemana sekarang?” tanyanya ketika tiba di
ruanganku. Aku menatapnya tak percaya—bahwa ia akan kembali. Ia tersenyum
melihatku terbengong-bengong akan kehadirannya. Ia mendorong kursi rodaku
keluar kamar, dan membawaku mengelilingi lorong-lorong rumah sakit yang sarat akan
diriku. Ia tetap berceloteh panjang lebar tentang pendakiannya. Ia juga
sesekali mengelus rambutku—sambil berucap ia merindukanku.
Ia dengan bangga membawaku keluar rumah sakit. Setelah
berusaha meyakinkan beberapa pihak rumah sakit, dan kedua orangtuaku, akhirnya
ia membawaku masuk ke dalam mobilnya. Ini adalah kedua kalinya aku keluar rumah
sakit bersama orang penting di hidupku.
“Kita kemana, Edel?” tanyanya sekali lagi. Lamunanku
terhenti, lalu menatap matanya yang penuh binar. Tiba-tiba memori otakku
menginginkan langkah kakiku pergi bersamanya ke pantai, sekaligus melihat
senja—pertanda pertemuan pertamaku dengannya.
Ia memutar kemudi ke arah pantai. Ia menggendongku keluar
mobil, dan meletakkanku bersama dengan kursi roda yang ia letakkan di bagasi
mobil. Ia memakaikan selimut bali di pahaku, karena angin sore semakin kencang.
Ia takut jika aku kedinginan. Ia mendorong kursi rodaku ke arah bibir pantai.
Ia tetap berceloteh tentang hal yang sama—tentang pendakian. Tidak ada satu
katapun yang mampu kubalas, karena aku sudah sangat susah berbicara. Ia tahu
kondisiku, ia tahu keadaanku.
“Tiga hari yang lalu, aku bermimpi bertemu denganmu.
Dalam mimpi itu, aku melihatmu tersenyum bahagia. Aku tidak tau apa maksud
mimpi itu, namun mimpi itu mengisyaratkan padaku, bahwa aku harus segera turun
dari pendakian. Makanya, aku lebih cepat pulang dari jadwal yang direncanakan.
Mimpi itu aku melihatmu, Edel. Kamu pergi Edel.” ucapnya nelangsa. Aku
merasakan ada getar di setiap helaan napasnya. Ia berjalan mendekatiku, dan
berjongkok di depanku. Aku melihat binar matanya yang perlahan memudar. Ia
mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Ia membawakanku seikat Bunga
Edelweis, dan memberikannya padaku. Aku menerima bunga tersebut dengan nanar.
Aku menghirup harumnya bunga yang sama dengan namaku. Ia berdiri, dan kembali
mendorong kursi rodaku mendekati ombak pantai. Aku melihat matahari beberapa
saat lagi akan bertemu dengan peraduannya. Aku mengenggam bunga tersebut dengan
kuat, dengan hati tak terucap. Bulir-bulir air matapun telah menandakan, bahwa
inilah akhir dari segalanya. Senja—memberi satu harapan, dan mengakhiri satu
harapanku.
“Edelweis,
kuharap namamu akan sama dengan dirimu. Keabadian.” lirihnya putus asa.
***
(*Rifani Magrissa)
aku suka awalnya, bagus...
ReplyDeleteSenja ingatkan aku pada dia.. yg hilang ketika senja tiba. itu senja terakhirku dgnya.
Terimaka kasih sudah membaca cerpen ini yaa
ReplyDelete:))