Aku
tidak pernah pergi dengan baik, beranjak dengan baik. Mungkin, itulah
kelemahanku. Kehidupanku masih berputar-putar dengan ketidakpastian. Aku masih
mengira-ngira, mengucapkan seandainya, lalu beranjak pada keinginan yang
mustahil terwujud. Aku tidak tahu ini apa. Apa ini namanya menggantung harap,
atau perasaan yang sepenuhnya belum berdamai? Entahlah. Aku berpikir bahwa
waktu akan mengobati segalanya. Tetapi hingga detik ini, itu belum terjadi.
Mungkin, waktu butuh bantuan dari yang lain, yaitu penjelasan.
Langkahku
terhenti. Pandanganku tertuju pada satu arah. Aku melihatnya sibuk mencari
keberadaan seseorang. Dia berbicara melalui ponselnya, sambil menunjuk arah
yang berlawanan denganku. Apa yang dilakukannya di sini? Aku masih berada di
posisiku, tanpa bergerak walau hanya selangkah. Aku tidak tahu, ini sudah
begitu lama. Tetapi, jantungku tetap berdegup untuknya. Aku menghela napas, dan
berniat tidak menghampirinya. Aku melihat ke arahnya lagi, dan pandangan kami
bertemu. Langkahnya terhenti. Dia terkejut melihatku, sama halnya denganku. Dia
menutup panggilannya dan pandangan kami masih bersitatap.
Aku
ingin pergi, namun langkahku begitu berat. Aku ingin beranjak, namun hatiku
terlalu bahagia bertemu dengannya. Aku melihatnya menghela napas...dan berjalan
ke arahku. Satu langkah, dua langkah, dan langkahnya semakin cepat...lalu dia
berlari.
“Hai.”
ucapnya mengawali kecanggungan yang terjadi. Aku hanya membalas sapaannya
dengan kata yang sama. Aku bingung, suasana menjadi sangat kaku, seolah-olah pertemuan
tak terduga membuat kami kehilangan skenario percakapan.
“Hmm...
bagaimana kabarmu?” tanyanya. Aku hendak menjawab dengan jawaban klise yang
biasa terdengar “baik”, namun dering ponselnya menghentikan niatku. Dia
mengucapkan maaf dan mengangkat panggilan telponnya. Aku mengamatinya dan
tersenyum. Pertemuan ini tidak terduga. Karena kurasa ini belum waktunya. Aku
menghampirinya.
“Aku
harus pergi.”
###
“Astaga,
Putih! Kau ingin menjual bunga di rumah ini?” tanya Sania sahabatku. Aku
membalas gurauannya dengan senyuman. Aku mempunyai kebiasaan membeli setangkai
mawar plastik setiap tanggal 1. Bagiku, satu adalah awal dari segalanya. Aku
berpikir bahwa setiap tanggal satu, aku harus menata segalanya lagi.
“Kau
masih menunggunya?” tanyanya. Aku tahu, pembicaraan ini mulai serius. Aku
selalu ingat, setiap tanggal satu pulalah kami membahas tentang ini. Aku
mengangguk. Dia menepuk pundakku, dan tersenyum. Lalu, dia meninggalkanku
sendiri di kamar.
“Aku
mau ngajar dulu.” ucapnya. Dia berbohong. Hari ini bukanlah jadwalnya mengajar.
Tetapi, dia hanya ingin aku sendiri—setiap tanggal 1. Karena bagaimanapun,
perpisahan itu terjadi di tanggal satu.
Aku
tidak menyadari sebelumnya, bahwa hakikat dari pertemuan adalah perpisahan.
Begitu juga perpisahan, akan adanya pertemuan setelah itu. Entah dengan orang
yang sama, atau orang yang berbeda. Seharusnya, aku menyadari filosofi ini
sedari dulu. Sehingga aku dapat mengerti dengan cepat, mempersiapkan
kemungkinan buruk yang terjadi. Sayangnya, aku terlalu hanyut, terlalu
menikmati pertemuan, hingga melupakan perpisahan yang menunggu di belakangnya.
Akibatnya, rasa sakitnya masih terasa walaupun sudah bertahun-tahun lamanya.
Mari kita jalani hidup
masing-masing sekarang, Putih. Mari, kita mengejar mimpi-mimpi kita sekarang
dan kesampingkan urusan kita berdua. Mari, kita akhiri pertemuan ini.
Aku
ingat kalimatnya, bahkan ekspresinya saat mengucapkan kalimat itu, aku masih
ingat. Aku tidak tahu bahwa itu adalah akhir dari pertemuan dan memulai suatu
perpisahan. Aku berpikir, bahwa itu hanyalah gurauan belaka yang esok hari,
esok lusa akan ada pertemuan yang tertunda. Sayangnya, dia telah memutuskan dan
beranjak dari hidupku.
Apabila
mengingat bagaimana kondisiku setelah itu, aku akan tertawa. Bagaimana mungkin
aku menjadi gadis yang lemah? Bagaimana hanya gara-gara perkara ini aku tidak
bisa melanjutkan hidup? Bukan salahnya, karena keputusannya adalah benar.
Akulah yang salah. Salah dalam memahami, salah dalam merasa. Kekeliruanku
adalah menggantungkan harap terlalu besar padanya. Hanya itu. Waktu membuatku
menerima dan melakukan hal yang sama dengannya, menggapai mimpi.
Putih. Kau marah padaku? Kau
membenciku? Ketahuilah, aku punya alasan melakukan ini. Jangan membenciku.
Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Jika kau tidak bisa mengerti, akan
kujelaskan. Tetapi, bukan sekarang waktunya. Tunggulah. Selagi kau menunggu
waktu yang tepat, maukah kau melanjutkan mimpi besar yang kau dambakan?
Lakukanlah sekarang, karena waktu yang tersisa semakin sempit. Dan... aku pun melakukan
hal yang sama.
Putih, mari bertemu lagi. Mari
bertemu, ketika kau telah resmi menyandang gelar sebagai seorang guru, dan aku
sebagai seorang dokter.
###
“Aku
harus pergi.” ucapku. Dia menahanku dengan isyarat tangannya. Aku tidak ingin
berlama-lama di dekatnya, karena belum waktunya. Aku telah siap memulai
pertemuan, karena janjiku telah terpenuhi. Tetapi... dia belum. Masih tersisa
beberapa tahun lagi baginya untuk memulai pertemuan itu. Dia mengakhiri
panggilan.
“Kau
ingin pergi setelah pertemuan tak terduga ini? Tidakkah kau ingin berterima
kasih pada takdir?” ujarnya. Dia terlihat gusar dan aku justru tertawa.
“Aku
berterima kasih akan pertemuan ini. Setidaknya, pertemuan ini menjelaskan
sesuatu.” balasku. Dia memandangku dengan mata menyelidik. Setelah percakapan
yang terjadi, kekakuan itu mencair.
“Ini
belum waktunya, El. Kau tahu itu kan?” ucapku. Dia seolah menyadari sesuatu.
Tatapannya menjadi serius.
Jangan mempercepatnya, karena
waktu yang tepat akan datang.
Jangan bertindak, seolah takdir
menuntun untuk mempercepat dan mengabaikan konsistensi diri.
Jangan salah kira, barangkali
takdir tengah berbaik hati untuk memberi penjelasan.
Jangan salah sangka, boleh jadi
takdir hanya memberikan ruang untuk berpikir, apakah tergoyahkan atau tidak?
Jangan mempercepatnya, karena
rasanya akan terasa hambar.
Karena hakikat pertemuan adalah
perpisahan.
Karena perpisahan mengajarkan
apa arti pertemuan.
Karena hakikat perpisahan adalah
pertemuan.
Karena pertemuan mengajarkan apa
arti perpisahan.
Dan...antara pertemuan dan
perpisahan adalah lingkaran untuk mengerti tentang hidup.
Mengerti bahwa tak selamanya
bahagia.
Mengerti bahwa tak selamanya
nelangsa.
“Baiklah.
Aku tahu. Sampai jumpa lagi, Putih.” ucapnya. Aku mengangguk.
“Sampai
jumpa lagi, El.” balasku.
Dan...
kami pun berjalan dengan arah yang berbeda dan berpisah lagi.
###
Seperti biasa, susah ditebak -_-. Keren!
ReplyDeleteHehe, maaf nad :D
ReplyDeletemakasih nad, semangat untuk terus nulis nad ^^