“Tidak bisakah kau menjadikanku
sebagai alasan untuk hidup?”
“Tidak. Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena... suatu hari nanti, kau
juga akan pergi dari hidupku.”
Percakapan itu masih
terngiang-ngiang di otakku. Aku tidak tahu, mantra seperti apa yang kau
ciptakan untukku. Tetapi, sejak hari itu... hatiku sakit, berkecamuk tak
menentu, dan perasaan pilu itu tak terbantahkan. Aku bertanya sekali lagi,
berharap akan mendengar jawaban yang berbeda darimu. Namun, jawaban kau tetap
sama. Karena, suatu hari aku akan pergi dari hidupmu.
“Kenapa kau menangis, Nita?”
“Karena tidak ada aku dalam
hidupmu.”
Lalu, aku melihat kau tertawa.
Apakah kalimat itu sesuatu yang patut ditertawakan? Katakan padaku, apa yang
salah dengan ucapanku. Kau terus tertawa, seolah kalimatku adalah guyonan
belaka.
“Nita, kau terlalu sering
keliru. Kenapa kau menangis? Kau sedih?”
Kau... aku tak bisa berkata-kata
padamu. Kau terlihat polos, tak mengerti apa-apa. Kepekaan kau seolah telah
hilang untuk sementara. Aku tahu, aku keliru. Menangis di hadapanmu adalah
kekeliruan untukku. Lalu, aku harus bagaimana? Hatiku terlalu hancur mendengar
kalimat-kalimat yang seolah konyol untukmu.
Aku memukul pundakmu. Kau tak menggubrisnya, membiarkanku
menyakiti tubuhmu. Lalu, yang membuat hatiku semakin perih adalah kau
tersenyum. Astaga, bagaimana mungkin pukulan membuat kau senang?
Kau menahan lenganku, menatap
mataku, lalu menyuruhku untuk berjongkok di hadapanmu. Aku melupakan satu hal.
Kau bukanlah laki-laki yang sempurna. Kekurangan kau adalah kelumpuhan yang kau
alami. Kaki kanan kau telah diamputasi akibat runtuhan bangunan saat gempa bumi
yang terjadi beberapa tahun lalu. Kau juga tidak bisa berjauhan dengan rumah
sakit, karena leukimia yang kau derita. Tidakkah mengerikan hidup yang kau
alami?
Kau menatap mataku. Satu detik,
dua detik, tiga detik. Dan... jantungku berdegup.
“Kau sering keliru, Nita.
Seringkali kita terjebak akan hal-hal mudah, membiarkan perkara mudah itu
mengekang kita, dan tidak membiarkan kita untuk hidup secara realistis.
Hayolah, aku tahu kau bukan anak-anak lagi. Lihatlah, buka mata kau
lebar-lebar, Nita. Jangan biarkan hal-hal sepele mempengaruhi jalur hidup kau.
Termasuk urusan perasaan kau ini. Aku tahu, kau menyayangiku, begitupun aku.
Lalu, aku harus bagaimana? Beginilah kondisiku. Dan... kau harus belajar untuk
realistis. Belajar untuk menerima dan memahami. Jika kau tidak ingin menerima,
maka pergilah.”
“Kau bertanya, kenapa?”
“Aku tidak bisa menjadikan kau
sebagai alasan hidupku. Kenapa? Jika aku melakukannya, maka aku menggantungkan
hidupku untuk kau, Nita. Aku hidup untuk kau. Kau jimatku. Lalu, bagaimana jika
kau tiba-tiba pergi dari hidupku? Tidakkah itu sama dengan harapan hidupku yang
lenyap? Maka, tidak ada lagi alasanku untuk hidup. Aku ingin diriku menjadi
alasan agar aku tetap hidup. Aku ingin, hanya aku yang akan menumbuhkan
harapanku lagi. Aku ingin, Nita. Sungguh, aku ingin hidup. Jadi, jika kau pergi
dari hidupku... setidaknya aku tidak kehilangan harapan... karena aku
menanamnya dalam diriku sendiri. Apakah itu salah?”
Aku tertegun.
“Nita, kau terlalu sering
menangis akhir-akhir ini. Cobalah untuk menatanya lagi. Jangan seperti ini.
Perkara tidak akan selesai hanya dengan tangisan. Aku tahu, menangis membuat
kau lebih baik, tetapi... belajarlah untuk tegar sesekali... belajarlah untuk
menakar perasaan kau mulai hari ini. Aku takut... kau tak mampu mengontrolnya.
Sebenarnya, yang membuat hati terasa sakit itu diri kita sendiri. Hati tidak
salah, hanya kita yang salah dalam menakarnya. Akibatnya, rasa perih itu tak
terelakkan. Kitalah yang membuatnya begitu sakit. Padahal jika kau tahu, ini
adalah perkara mudah. Cukup kau takar sesuai dosis yang aman, kau terima dengan
lapang, dan kau pandang dengan sisi yang berbeda. Maka, aku yakin kau akan
merasa sangat lapang, dan bahagia.”
“Nita, umurku tetap di
tanganNya. Walaupun dokter menyebut sisa hidupku hanya sekitar tiga bulan,
setidaknya aku telah menjadikan diriku untuk alasannya. Kau...menyesalkah kau
di sisiku?”
Terimakasih
telah hadir di hidupku, Alan.
“Nita, mungkin ini yang
terakhir. Aku mencintaimu. Terimakasih telah mendampingiku selama ini. Tetaplah
hidup, dan berbahagialah.”
Aku
tersenyum. Aku berdiri dan membersihkan pakaianku yang kotor oleh tanah. Cukup
lama untuk mengingat semua itu lagi. Kini, perasaanku lebih baik karena telah
menerimanya dengan lapang. Kepergiannya bukanlah masalah besar untukku. Karena
sudah hukumnya untuk pergi. Saat Tuhan memanggilnya, menyuruhnya kembali, aku
harus bagaimana?
Sejatinya,
yang membuat rasa sakit itu menjadi besar atau kecil adalah kita sendiri. Salah
menakar, maka salah pulalah untuk berekspresi. Jangan hanyut oleh perkara
perasaan. Sering-seringlah mengajak logika untuk menyelesaikannya.
Hai Alan! Tidakkah kau rindu
denganku?
Karena sekarang... tak menemukan
kau di rumah, di dapurku, dan di ruangan pribadi kita membuatku merindu.
Hahaha. Tetapi, aku tidak menangis. Karena kau mengajariku untuk hidup
realistis.
Salam dariku
No comments:
Post a Comment