Pages

February 24, 2016

[Cerpen] Sepenggal Rindu

“Tidak bisakah kau menjadikanku sebagai alasan untuk hidup?”

“Tidak. Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena... suatu hari nanti, kau juga akan pergi dari hidupku.”


Percakapan itu masih terngiang-ngiang di otakku. Aku tidak tahu, mantra seperti apa yang kau ciptakan untukku. Tetapi, sejak hari itu... hatiku sakit, berkecamuk tak menentu, dan perasaan pilu itu tak terbantahkan. Aku bertanya sekali lagi, berharap akan mendengar jawaban yang berbeda darimu. Namun, jawaban kau tetap sama. Karena, suatu hari aku akan pergi dari hidupmu.

“Kenapa kau menangis, Nita?”

“Karena tidak ada aku dalam hidupmu.”

Lalu, aku melihat kau tertawa. Apakah kalimat itu sesuatu yang patut ditertawakan? Katakan padaku, apa yang salah dengan ucapanku. Kau terus tertawa, seolah kalimatku adalah guyonan belaka.

“Nita, kau terlalu sering keliru. Kenapa kau menangis? Kau sedih?”

Kau... aku tak bisa berkata-kata padamu. Kau terlihat polos, tak mengerti apa-apa. Kepekaan kau seolah telah hilang untuk sementara. Aku tahu, aku keliru. Menangis di hadapanmu adalah kekeliruan untukku. Lalu, aku harus bagaimana? Hatiku terlalu hancur mendengar kalimat-kalimat yang seolah konyol untukmu.

Aku memukul  pundakmu. Kau tak menggubrisnya, membiarkanku menyakiti tubuhmu. Lalu, yang membuat hatiku semakin perih adalah kau tersenyum. Astaga, bagaimana mungkin pukulan membuat kau senang?

Kau menahan lenganku, menatap mataku, lalu menyuruhku untuk berjongkok di hadapanmu. Aku melupakan satu hal. Kau bukanlah laki-laki yang sempurna. Kekurangan kau adalah kelumpuhan yang kau alami. Kaki kanan kau telah diamputasi akibat runtuhan bangunan saat gempa bumi yang terjadi beberapa tahun lalu. Kau juga tidak bisa berjauhan dengan rumah sakit, karena leukimia yang kau derita. Tidakkah mengerikan hidup yang kau alami?

Kau menatap mataku. Satu detik, dua detik, tiga detik. Dan... jantungku berdegup.

“Kau sering keliru, Nita. Seringkali kita terjebak akan hal-hal mudah, membiarkan perkara mudah itu mengekang kita, dan tidak membiarkan kita untuk hidup secara realistis. Hayolah, aku tahu kau bukan anak-anak lagi. Lihatlah, buka mata kau lebar-lebar, Nita. Jangan biarkan hal-hal sepele mempengaruhi jalur hidup kau. Termasuk urusan perasaan kau ini. Aku tahu, kau menyayangiku, begitupun aku. Lalu, aku harus bagaimana? Beginilah kondisiku. Dan... kau harus belajar untuk realistis. Belajar untuk menerima dan memahami. Jika kau tidak ingin menerima, maka pergilah.”

“Kau bertanya, kenapa?”

“Aku tidak bisa menjadikan kau sebagai alasan hidupku. Kenapa? Jika aku melakukannya, maka aku menggantungkan hidupku untuk kau, Nita. Aku hidup untuk kau. Kau jimatku. Lalu, bagaimana jika kau tiba-tiba pergi dari hidupku? Tidakkah itu sama dengan harapan hidupku yang lenyap? Maka, tidak ada lagi alasanku untuk hidup. Aku ingin diriku menjadi alasan agar aku tetap hidup. Aku ingin, hanya aku yang akan menumbuhkan harapanku lagi. Aku ingin, Nita. Sungguh, aku ingin hidup. Jadi, jika kau pergi dari hidupku... setidaknya aku tidak kehilangan harapan... karena aku menanamnya dalam diriku sendiri. Apakah itu salah?”

Aku tertegun.

“Nita, kau terlalu sering menangis akhir-akhir ini. Cobalah untuk menatanya lagi. Jangan seperti ini. Perkara tidak akan selesai hanya dengan tangisan. Aku tahu, menangis membuat kau lebih baik, tetapi... belajarlah untuk tegar sesekali... belajarlah untuk menakar perasaan kau mulai hari ini. Aku takut... kau tak mampu mengontrolnya. Sebenarnya, yang membuat hati terasa sakit itu diri kita sendiri. Hati tidak salah, hanya kita yang salah dalam menakarnya. Akibatnya, rasa perih itu tak terelakkan. Kitalah yang membuatnya begitu sakit. Padahal jika kau tahu, ini adalah perkara mudah. Cukup kau takar sesuai dosis yang aman, kau terima dengan lapang, dan kau pandang dengan sisi yang berbeda. Maka, aku yakin kau akan merasa sangat lapang, dan bahagia.”

“Nita, umurku tetap di tanganNya. Walaupun dokter menyebut sisa hidupku hanya sekitar tiga bulan, setidaknya aku telah menjadikan diriku untuk alasannya. Kau...menyesalkah kau di sisiku?”

Terimakasih telah hadir di hidupku, Alan.

“Nita, mungkin ini yang terakhir. Aku mencintaimu. Terimakasih telah mendampingiku selama ini. Tetaplah hidup, dan berbahagialah.”

Aku tersenyum. Aku berdiri dan membersihkan pakaianku yang kotor oleh tanah. Cukup lama untuk mengingat semua itu lagi. Kini, perasaanku lebih baik karena telah menerimanya dengan lapang. Kepergiannya bukanlah masalah besar untukku. Karena sudah hukumnya untuk pergi. Saat Tuhan memanggilnya, menyuruhnya kembali, aku harus bagaimana?

Sejatinya, yang membuat rasa sakit itu menjadi besar atau kecil adalah kita sendiri. Salah menakar, maka salah pulalah untuk berekspresi. Jangan hanyut oleh perkara perasaan. Sering-seringlah mengajak logika untuk menyelesaikannya.

Hai Alan! Tidakkah kau rindu denganku?
Karena sekarang... tak menemukan kau di rumah, di dapurku, dan di ruangan pribadi kita membuatku merindu. Hahaha. Tetapi, aku tidak menangis. Karena kau mengajariku untuk hidup realistis.

Salam dariku

No comments:

Post a Comment