Seseorang mengatakan jangan,
namun yang kulakukan justru sebaliknya. Jangan memperhatikan seseorang hingga
membuat kau penasaran, hingga benak kau penuh selidik dan berujung kau
kesulitan mengontrol diri sendiri. Jangan... karena yang kau lakukan adalah
kekeliruan hingga kau terbebani dengan sendirinya. Jangan memperhatikan, karena
boleh jadi tindakan kau akan mengubah segalanya, termasuk urusan perasaan kau
sendiri.
“Aaaaaaaargh!”
teriakku. Laki-laki itu dengan segera membekap mulutku. Aku hendak berteriak
sekali lagi, namun dia mengisyaratkanku untuk diam. Aku menurut, tetapi
tanganku gemetar ketakutan. Benakku sibuk bertanya-tanya, ada apa ini? Apa yang
terjadi?
Hari
ini aku pulang lebih larut dari sebelumnya. Jam di tanganku telah menunjukkan pukul
11 malam dan kondisi sekitar rumahku telah sepi. Aku membuka pagar rumah kos,
dan menaiki tangga. Kebetulan kamarku terletak di lantai dua. Belum sempat aku
menaiki satu anak tangga, aku mendengar suara seseorang dari kamar bawah. Kondisi
di sana cukup gelap, hingga aku harus menghidupkan lampu teras bawah. Samar-samar
aku melihat seseorang mengenakan baju hitam yang berdiri di dekat dinding.
Langkahku terhenti, karena ketakutanku adalah maling. Aku bergerak mundur,
sebelum dia melihatku. Sayangnya, dia melihatku dan spontan aku berteriak.
Dia
telah mendekap mulutku cukup lama, dan keringat dingin keluar dari tubuhku. Aku
lemas sekaligus lelah untuk malam ini. Aku melambaikan tangan kepadanya, entah
kenapa aku merasa dia tidak berniat buruk kepadaku. Dia melihat ke arahku, dan
matanya mengeskpresikan tanya “kenapa”. Aku terduduk lemas. Sontak dia terkejut
dan aku mendengar suaranya...
“Kau
baik-baik saja?” bisiknya khawatir. Aku menggeleng. Badanku lemas karena takut,
terkejut, dan lelah. Dia melihat ke sekeliling, memastikan sesuatu dan berbicara
melalui headset atau sejenisnya yang aku tidak mengerti arah pembicaraannya.
Dia mengalihkan pandangannya kepadaku, dan samar aku melihat wajahnya. Dia
berjongkok di depanku dan itulah yang kami lakukan beberapa menit. Lalu dia
mendekat kepadaku. Spontan aku menghindar.
“Apa
yang kau lakukan?” tanyaku dengan suara tercekat. Aku terlalu lelah, sehingga
tidak tersisa lagi kekuatan untuk melawan.
“Kau
bisa berdiri? Bisa berjalan ke kamar sendiri? Jika tidak, aku akan membantu kau
untuk ke kamar.” ujarnya. Aku menghela napas. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku melihatnya
lagi, memastikan bahwa dia orang baik.
“Boleh
aku bertanya, kau siapa?”
###
Aku
menunggu makanan terhidang di atas meja. Seperti biasa, aku menghabiskan jam
makan siang di dekat kafe tempat aku mengajar. Aku tidak tahu, ketika
rekan-rekanku makan siang bersama, aku justru sendiri di sini. Bukan mereka
tidak berteman denganku, kami akrab. Hanya saja setiap jam makan siang, mereka
mengerti. Aku suka makan sendiri. Di sinilah waktuku untuk mendamaikan diriku
sendiri. Aku bisa memikirkan apapun tanpa harus terganggu oleh kehadiran
orang-orang. Aku bisa menumpahkan kekesalanku ataupun kemarahanku sendiri tanpa
harus melibatkan orang lain. Sendiri membuatku mampu menata emosi, istilahnya
adalah rehat bagiku.
Aku
melihat ke sekeliling, dan pandanganku terhenti oleh seseorang yang duduk di
dekat kaca jendela. Kebiasaan burukku adalah memandang seseorang tanpa ampun
yang kadangkala membuat orang yang dipandang menjadi risih. Dan... itu
kulakukan sekarang. Laki-laki itu terlihat tenang sambil bersandar di kursinya,
namun jelas sekali dia terlihat lelah. Dia mengenakan topi hitam, jaket hitam,
jins hitam serta sepatu kets berwarna coklat. Entahlah, dia terlihat aneh. Untungnya
beberapa menit setelah itu, seseorang menghampirinya dengan pakaian yang lebih
cerah dan rapi. Jika tidak, aku sudah menganggap dia seorang psikopat. Pandanganku tetap tertuju kepadanya, tanpa menyadari
bahwa makananku telah terhidang di meja.
“Terimakasih.”
ucapku pelan pada pelayan.
Aku
menyuap makanan dengan mata terus tertuju padanya. Aku tidak bisa mendengar
pembicaraan mereka, karena jarak kursiku yang jauh. Dan... ketika aku masih
menatapnya... tiba-tiba dia melihat ke arahku. Pandangan kami bertemu, satu
detik, dua detik, tiga detik, deg!
###
“Haha.
Makanya, jangan kau lihat, jangan kau pandang orang-orang seperti itu. Nah,
sekarang lihat? Kau uring-uringan sendiri. Mata kau itu bahaya, Qori.” ucap Via
teman satu kamarku. Aku hanya manyun sendiri. Sejak pertemuan mata tak sengaja
itu, sesuatu terjadi. Tiga detik itu, cukup membuatku menggali lubang perasaan
yang tak jelas.
“Hati-hati,
Qori. Bisa saja, itu cuma sementara. Jangan terlalu dipikirkan, esok lusa bisa
jadi kau tak bertemu dia lagi.” ucapnya lagi memberi peringatan kepadaku. Aku
terdiam. Jika tidak bertemu lagi, apakah rasanya akan sama? ‘Dia hanyalah orang
asing’. Kalimat itu terus kuucapkan untuk mengusir segala pikiran-pikiran aneh
yang menggelayut di benakku.
“Sudahlah,
Via. Aku mau tidur.” ucapku menyudahi pembicaraan aneh malam ini.
###
Jika bisa memilih... akan
kusesali tindakanku kemarin lusa. Aku takkan melihat ataupun memandangnya...
karena semua itu bumerang untukku. Aku menaruh sesuatu di dalam cawan, yang
jelas sudah takkan ada yang mengambilnya. Cawan itu tetap terisi setiap harinya,
hingga penuh, hingga tak ada lagi tempat untuk menampungnya. Akibatnya...
isinya akan tumpah ruah tak terkendali lagi.
“Hati-hati, Qori. Bisa saja, itu
cuma sementara. Jangan terlalu dipikirkan, esok lusa bisa jadi kau tak bertemu
dia lagi.”
Doaku
kemarin malam adalah “jangan bertemu dengannya lagi”. Namun Tuhan berkehendak
lain. Mungkin, aku kurang sungguh dalam mengucapkan kata ‘jangan’ yang
menyebabkan adanya pertemuan kedua dengannya.
Aku
melihatnya lagi di hari ini. Dan... dia seolah-olah menjadi candu untukku.
Seperti biasa, dia duduk di dekat jendela. Anehnya, aku pun tidak berniat untuk
duduk dalam jarak yang lebih dekat dengannya. Aku nyaman dengan jarak jauh yang
kuciptakan saat ini. Mataku tak setajam kemarin saat menatapnya, lebih tepat
sekarang adalah memandang dari jauh. Pakaiannya tetap sama, tidak ada yang
berubah. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya atau pekerjaannya apa. Jika
kemarin yang datang menghampirinya adalah orang berpakaian rapi, hari ini
justru sebaliknya. Laki-laki yang datang menghampirinya membuatku takut. Dia berbadan tegap, dengan rambut gondrong, baju
kaus oblong, dan jins belel serta
tato yang menghiasi lengannya. Aku mengernyit dan memutuskan berhenti melihat
ke arahnya.
###
“Kau
mau menikmati pertemuan yang terus berlanjut ini, atau memutuskan menutup
lubang yang kau gali?” tanya Via. Aku menceritakan tentang ini lagi padanya.
Sudah tiga minggu ini, aku terus bertemu dengannya saat makan siang. Tidak pernah
sekalipun dia absen.
“Aku
tidak tahu.” jawabku singkat.
“Kau
punya pilihan, Qori. Tetapi, kau juga punya risiko. Jika kau terus
menikmatinya, maka hanya masalah waktu kau akan terkubur habis-habisan. Hanya
menunggu waktu tangis kau tumpah ruah. Tetapi, jika kau lakukan sebaliknya...
hanya menunggu waktu kau menetralkan perasaan kau, Qori. Jangan datangi kafe
itu untuk sementara. Carilah tempat makan siang yang lain. Pilihlah.” ujarnya. Aku
menatapnya, dia selalu punya kalimat logis dan bijak yang bisa kuterima. Aku diam,
memikirkan pilihan yang ditawarkan.
“Jika
memang takdir, mau kau makan siang ke ujung sana... kau akan tetap bertemu
dengannya. Jika memang takdir, jangankan saat makan siang, pasti ada pertemuan
tak terduga yang nantinya akan memperjelas benang merahnya.” ujarnya memberi
penguatan untukku. Aku mengangguk.
“Aku
akan berhenti menikmatinya.”
###
“Kau
siapa?” tanyaku lagi. Dia diam tak menggubris pertanyaanku.
“Di bawah aman, saya sedang
bersama gadis penghuni kos ini. Sepertinya dia shock, jadi belum bisa kembali
ke kamarnya. Baik, saya tetap di sini. Baik, 5 menit lagi.”
Aku
mendengar pembicaraan yang aneh. Satupun kalimatnya tak kumengerti. Benakku bertanya
lagi, dia siapa? Kenapa di sini? Dan apa yang terjadi? Dia menatapku lagi,
dan... sekali lagi aku melihat wajahnya. Tanpa sadar, bibirku terangkat
membentuk senyum. Tentu saja... bagaimana mungkin aku lupa parasnya, sedang selama
tiga minggu aku memperhatikannya, dan selama satu minggu setelah itu,
kuputuskan berhenti melakukannya.
“Jika memang takdir, mau kau
makan siang ke ujung sana... kau akan tetap bertemu dengannya. Jika memang
takdir, jangankan saat makan siang, pasti ada pertemuan tak terduga yang
nantinya akan memperjelas benang merahnya.” Kalimat Via terngiang-ngiang di ingatanku.
“Tunggu
di sini. Untuk sementara, jangan ke atas dulu.” perintahnya, masih dengan suara
berbisik.
“Dua
kamar di samping kamar kau, sekarang sedang pesta narkoba, kami dari
kepolisian.” ujarnya.
“Hah?”
spontanku dan dia membekap mulutku lagi. Dia memberi isyarat untuk diam, dan
aku mengangguk cepat. Tunggu... dia tahu kamarku?
“Tunggu
di sini, jangan ke atas.” ulangnya. Aku mengangguk.
Dia
meninggalkanku dan berjalan pelan ke atas. Setelah itu, semuanya terjadi begitu
cepat. Aku tidak tahu berapa jumlah aparat dari kepolisian yang datang ke
tempat ini. Aku hanya melihat dia yang siaga di depan pintu kamar, dan beberapa
menit setelah itu memaksa gadis yang ada di dalam kamar untuk membuka pintu.
Aku terkejut karena yang keluar dari kamar itu bukan dua orang. Aku tahu bahwa
yang menempati kamar itu hanya dua orang. Tetapi yang keluar justru lima orang.
Pemandangan selanjutnya adalah lima gadis itu digiring keluar dan kawasan
tempat tinggalku menjadi serbuan masyarakat. Kenapa tidak ada Via disaat-saat
seperti ini? Kenapa dia harus pulang ke kampung halamannya? Syukurnya, aku
tidak menjadi serbuan masyarakat yang bertanya tentang apa yang terjadi. Posisiku
berada di belakang rumah.
Mobil
polisi telah pergi, dan satu persatu masyarakatpun kembali ke rumah mereka. Keadaan
sudah cukup aman dan aku memutuskan untuk kembali ke kamar, terlebih tubuhku
sudah lebih baik. Aku menghela napas, sungguh hari yang berat untukku. Aku menaiki
anak tangga dengan susah payah karena kelelahan.
“Kau
baik-baik saja?” ucap seseorang di luar sana. Aku melihat ke belakang, dan
kulihat dia berdiri di balik pagar. Ternyata dia masih berada di sini. Kupikir
dia telah pergi bersama yang lain. Aku menghela napas dan mengangguk. Lalu,
menatapnya sekali lagi... dan menaiki tangga menuju kamar.
Kita hanya orang asing, bukan?
Maka, kuputuskan untuk tak melakukannya lagi.
###
Setelah
kejadian itu, aku menata segalanya lagi. Aku kembali menjalani rutinitas
senormal mungkin. Apapun yang terjadi beberapa minggu kemarin, cukup kujadikan
bagian dari alur hidupku. Karena begitulah... tidak pernah tahu seperti apa
yang akan terjadi. Dan... aku belajar untuk tidak memandang seseorang secara
berlebihan lagi. Hidup senormal mungkin, dan damai dengan diriku sendiri. Walaupun
masih ada tersisa sedikit perasaan itu, waktu akan membuatnya lupa, bukan?
Siang
ini, aku tidak menemukannya lagi. Tidak ada lagi sosok laki-laki berpakaian
serba hitam yang duduk di dekat jendela. Aku menghela napas, dan menghabiskan
makanan yang masih tersisa di mejaku. Kita
hanya orang asing, bukan?
Tiba-tiba
seseorang meletakkan nampan berisi makanannya di atas mejaku. Refleks aku
mengangkat kepala. Dia seenaknya menarik kursi dan duduk tanpa izin di depanku.
Aku menatapnya bingung. Dia mengabaikan pandanganku, dan seolah-olah sibuk
dengan makanannya. Dan... hari ini dia berbeda. Tidak ada kostum psikopat yang
kukira dahulu. Dia terlihat lebih cerah hari ini. Seolah paham dengan
pandanganku, dia menghentikan makan.
“Aku
sedang free beberapa hari.” ucapnya.
Bukan penjelasan itu yang kuharapkan. Pertanyaan terbesarku adalah, bukankah
kita orang asing?
“Makanlah,
jam makan siang kau sebentar lagi habis.” perintahnya yang menambah
kebingunganku. Pada akhirnya, aku menurutinya.
“Jika memang takdir, mau kau
makan siang ke ujung sana... kau akan tetap bertemu dengannya. Jika memang
takdir, jangankan saat makan siang, pasti ada pertemuan tak terduga yang
nantinya akan memperjelas benang merahnya.”
“Akan
kutemani kau makan di sini, Qori.”
###
Benang merahnya makin keliatan. Berharap 'seseorang tanpa nama' itu benar-benar datang mengacaukan hidup si penulis. Makin susah ditebak alur ceritanya, plus misterius. Saranku, udahan nulis blognya. Tulis novel sana! Serius, makin keren. Bangga bisa mengenalmu dan menjadi bagian dari temanmu, calon penulis masa depan, Rifani Magrissa. Semoga sukses, dan nadia yakin, Fani bisa, inshaa Allah. Selagi ada kemauan, Tuhan akan mengantarkan hingga sampai pada tujuan. Sukses!
ReplyDeletewah, "mengacaukan hidup si penulis" dalam artian positif yaa nad haha
ReplyDeleteNad, terharu hiks, belum apa-apa dibandingkan nadia sendiri :')
Siippp, inshaa Allah nad, doakan saja nad dalam proses, dan semoga mimpi kita jadi penulis terwujud nad, Amiin Ya Allah ^_^