Aku
mendesah, karena lantai lima terasa jauh sekali. Satu hal yang kusesali dengan
tidak tersedianya lift. Bayangkan, setiap hari aku harus menaiki dan menuruni
tangga hingga lantai empat. Kadang-kadang sebagai penghibur hati, bahwa aku
akan lebih cepat kurus seperti ini. Anggaplah olahraga ringan bagiku, dan
melatih otot kakiku agar tetap kuat untuk berjalan. Walaupun kadangkala aku
menggerutu jika penat menguasai tubuhku.
Hah, akhirnya sampai.
Batinku. Akhirnya setelah susah payah menaiki tangga, aku sampai di lantai
teratas. Aku melihat pintu setengah terbuka, dan kudapati seseorang duduk
dengan posisi yang sama seperti malam-malam sebelumnya—sisi ujung. Aku berjalan
mendekatinya, dan juga duduk di ujung sisi yang lain. Aku berdeham menandakan
kehadiranku. Dia melihat ke arahku.
“Darimana
saja kau? Jangan katakan kau baru pulang.” sambungnya. Aku mengangkat bahu
menunjukkan mau bagaimana lagi? Sedang
banyak pengunjung. Kadangkala aku bingung, hanya melalui isyarat kami
mengerti apa yang dipikirkan dan hendak dikatakan. Dia menggeleng heran.
“Untung
saja bus itu masih dengan senang hati mengantarkan kau dengan selamat.”
sambungnya lagi. Aku tertawa, karena dia lebih terlihat seperti ibuku. Aku
mengangkat sebelah tanganku.
“Cukup
Vero. Kau bukan ibuku.” ujarku masih tertawa. Dia mendengus kesal, lalu terdiam
tiba-tiba. Aku tidak tahu, tetapi suasana menjadi hening. Aku berdeham sekali
lagi. Aku mendengar dia menghela napas.
“Kau
tahu, Mili. Meskipun kau tidak pernah cerita kepadaku apa yang terjadi pada
kau, aku tahu. Aku mengetahuinya. Apakah kau ragu padaku? Terkadang yang
menyebabkan kesepian itu hadir adalah diri kita sendiri. Kita terlalu sering
menolak kehadiran orang-orang yang justru dengan tulus menolong, membantu,
bahkan menyelamatkan. Aku tahu, kau hidup sendiri setelah kejadian pilu itu
terjadi. Dan... perasaan menyedihkan itu datang tanpa ampun. Aku tahu, kau
butuh teman untuk berbagi. Tetapi kau menolak keberadaan mereka, seolah-olah
kau tidak butuh mereka. Alhasil, lihatlah diri kau, Mili. Penuh dengan rahasia.
Kau tertawa, tetapi aku tidak tahu apakah tawa itu benar adanya, ataukah hanya
topeng untuk menyembunyikan tangis yang tak pernah kau tunjukkan? Aku tidak
tahu, karena kau tidak pernah berbagi. Lalu, aku harus bagaimana agar kau
membuka sedikit ruang untuk berbagi?” ucapnya. Mataku tiba-tiba menerawang.
“Apa
yang ingin kita bicarakan, Vero?” tanyaku. Sebenarnya, aku hanya ingin
mengalihkan pembicaraan yang tak pernah ingin kusinggung.
“Selama
ini, tanpa kau sadari akulah yang menghadirkan pembicaraan-pembicaraan ringan
setiap malam. Hampir setiap malam, di sini, aku bercerita banyak hal kepada
kau, Mili. Dari hal-hal sepele hingga masalah berat yang kuhadapi. Aku selalu
berbicara, dan kau adalah pendengar terbaik. Kau tak pernah menyela, tak pernah
menyalahkan, justru memberi solusi terbaik. Tetapi, aku baru menyadarinya
sekarang. Tak sekalipun kau berbicara tentang diri kau kepadaku, Mili. Tak
pernah. Semua itu mengangguku. Kau terlalu banyak tahu, dan aku terlalu banyak
tidak tahu. Mili, terkadang ketika kau mencoba untuk menolong seseorang, ada
hal penting yang kau lupakan, jika kau sendiri justru butuh pertolongan. Tetapi
kau menolaknya dengan gestur yang kau perlihatkan.” ucapnya lagi.
“Aku
baik-baik saja.” lirihku. “Bagaimana kuliah kau, Vero?” tanyaku pura-pura tidak
mengerti ucapannya. Dia terlihat kesal, dan aku justru tersenyum. Sedikit demi
sedikit, dan perlahan demi perlahan aku telah mengenalnya. Pertemuan tak
terduga, dan waktu yang selalu merencanakan untuk bertemu membuatku mengetahui
sedikit banyak tentangnya.
Laki-laki
itu bernama Vero. Meskipun wajahnya terlihat sangar dan tempramen dia bukanlah
seseorang yang dengan mudah melukai tanpa alasan. Aku tahu, dia sering terlibat
perkelahian semasa duduk di bangku SMP hingga SMA. Dia pernah bercerita padaku
bahwa alasannya melakukan itu... karena dia melihat teman-temannya di mintai
uang dengan paksa ataupun yang menjadi korban bullying. Dia tanpa aba-aba akan memukul mereka tanpa ampun. Kenapa
dia melakukannya? “Mili, dalam hidup ini
kita punya prinsip hidup. Aku tidak suka menyaksikan ketika seseorang ditindas.
Padahal, apalah salah mereka? Mereka punya hak yang sama serta kewajiban yang
sama di sekolah. Jadi, kenapa mereka harus menerima perlakuan itu? Bukankah itu
sudah melanggar aturan mainnya?” Ketika dia bercerita tentang dirinya, aku
hanya termenung, karena betapa mengagumkan jalan pikirannya, terarah walaupun
dengan tempramen yang mengerikan. “Seberanikah
itu kau memukul mereka?” Aku penasaran dan aku menanyakan hal itu padanya. “Mili... ayah mengajarkanku untuk tidak
pernah takut selain Tuhan yang menciptakan kita. Jika yang kita lakukan benar,
untuk apa takut? Betapapun orang menganggap yang kita lakukan salah, tetapi
jika itu tetap dalam jalur yang benar, untuk apa takut? Hayolah, kita hidup
bukan untuk manusia, tetapi untuk yang menciptakan kita.”
“Kuliahku
‘baik-baik saja’.” jawabnya dengan menekankan kata ‘baik-baik saja’ yang sangat
jelas menyindirku. Aku tertawa karena tingkahnya yang seperti anak-anak.
“Kenapa
kau tertawa?” tanyanya kesal. Aku menggeleng.
“Bukan
apa-apa. Kau hanya terlihat lucu ketika kesal.” balasku. Dia terlihat salah
tingkah dan itu membuat tawaku semakin keras.
“Haha.”
Dia juga tertawa...dan itu pertama kalinya aku melihat tawanya.
“Aku
membuat kau tertawa.” ucapnya. “Bukankah ini pertama kalinya?” sambungnya.
Seketika kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ah
sudah larut. Aku harus kembali ke kamar.” ucapku salah tingkah.
“Oke...
turunlah duluan.” Aku meninggalkannya, dan langkahku terhenti ketika ucapannya
samar terdengar olehku. Aku tidak tahu, apakah dia menyadari bahwa aku
mendengar apa yang diucapkannya? Aku menghela napas.
“Mili, tertawalah...karena itu
membuatku bahagia.”
No comments:
Post a Comment