Pages

June 3, 2016

[Cerpen] Rabu Kelabu #2

Aku mendesah, karena lantai lima terasa jauh sekali. Satu hal yang kusesali dengan tidak tersedianya lift. Bayangkan, setiap hari aku harus menaiki dan menuruni tangga hingga lantai empat. Kadang-kadang sebagai penghibur hati, bahwa aku akan lebih cepat kurus seperti ini. Anggaplah olahraga ringan bagiku, dan melatih otot kakiku agar tetap kuat untuk berjalan. Walaupun kadangkala aku menggerutu jika penat menguasai tubuhku.

Hah, akhirnya sampai. Batinku. Akhirnya setelah susah payah menaiki tangga, aku sampai di lantai teratas. Aku melihat pintu setengah terbuka, dan kudapati seseorang duduk dengan posisi yang sama seperti malam-malam sebelumnya—sisi ujung. Aku berjalan mendekatinya, dan juga duduk di ujung sisi yang lain. Aku berdeham menandakan kehadiranku. Dia melihat ke arahku.

“Kau sampai. Aku nyaris membeku menunggu kau datang, Mili.” lirihnya.

“Darimana saja kau? Jangan katakan kau baru pulang.” sambungnya. Aku mengangkat bahu menunjukkan mau bagaimana lagi? Sedang banyak pengunjung. Kadangkala aku bingung, hanya melalui isyarat kami mengerti apa yang dipikirkan dan hendak dikatakan. Dia menggeleng heran.

“Untung saja bus itu masih dengan senang hati mengantarkan kau dengan selamat.” sambungnya lagi. Aku tertawa, karena dia lebih terlihat seperti ibuku. Aku mengangkat sebelah tanganku.

“Cukup Vero. Kau bukan ibuku.” ujarku masih tertawa. Dia mendengus kesal, lalu terdiam tiba-tiba. Aku tidak tahu, tetapi suasana menjadi hening. Aku berdeham sekali lagi. Aku mendengar dia menghela napas.

“Kau tahu, Mili. Meskipun kau tidak pernah cerita kepadaku apa yang terjadi pada kau, aku tahu. Aku mengetahuinya. Apakah kau ragu padaku? Terkadang yang menyebabkan kesepian itu hadir adalah diri kita sendiri. Kita terlalu sering menolak kehadiran orang-orang yang justru dengan tulus menolong, membantu, bahkan menyelamatkan. Aku tahu, kau hidup sendiri setelah kejadian pilu itu terjadi. Dan... perasaan menyedihkan itu datang tanpa ampun. Aku tahu, kau butuh teman untuk berbagi. Tetapi kau menolak keberadaan mereka, seolah-olah kau tidak butuh mereka. Alhasil, lihatlah diri kau, Mili. Penuh dengan rahasia. Kau tertawa, tetapi aku tidak tahu apakah tawa itu benar adanya, ataukah hanya topeng untuk menyembunyikan tangis yang tak pernah kau tunjukkan? Aku tidak tahu, karena kau tidak pernah berbagi. Lalu, aku harus bagaimana agar kau membuka sedikit ruang untuk berbagi?” ucapnya. Mataku tiba-tiba menerawang.

“Apa yang ingin kita bicarakan, Vero?” tanyaku. Sebenarnya, aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan yang tak pernah ingin kusinggung.

“Selama ini, tanpa kau sadari akulah yang menghadirkan pembicaraan-pembicaraan ringan setiap malam. Hampir setiap malam, di sini, aku bercerita banyak hal kepada kau, Mili. Dari hal-hal sepele hingga masalah berat yang kuhadapi. Aku selalu berbicara, dan kau adalah pendengar terbaik. Kau tak pernah menyela, tak pernah menyalahkan, justru memberi solusi terbaik. Tetapi, aku baru menyadarinya sekarang. Tak sekalipun kau berbicara tentang diri kau kepadaku, Mili. Tak pernah. Semua itu mengangguku. Kau terlalu banyak tahu, dan aku terlalu banyak tidak tahu. Mili, terkadang ketika kau mencoba untuk menolong seseorang, ada hal penting yang kau lupakan, jika kau sendiri justru butuh pertolongan. Tetapi kau menolaknya dengan gestur yang kau perlihatkan.” ucapnya lagi.

“Aku baik-baik saja.” lirihku. “Bagaimana kuliah kau, Vero?” tanyaku pura-pura tidak mengerti ucapannya. Dia terlihat kesal, dan aku justru tersenyum. Sedikit demi sedikit, dan perlahan demi perlahan aku telah mengenalnya. Pertemuan tak terduga, dan waktu yang selalu merencanakan untuk bertemu membuatku mengetahui sedikit banyak tentangnya.

Laki-laki itu bernama Vero. Meskipun wajahnya terlihat sangar dan tempramen dia bukanlah seseorang yang dengan mudah melukai tanpa alasan. Aku tahu, dia sering terlibat perkelahian semasa duduk di bangku SMP hingga SMA. Dia pernah bercerita padaku bahwa alasannya melakukan itu... karena dia melihat teman-temannya di mintai uang dengan paksa ataupun yang menjadi korban bullying. Dia tanpa aba-aba akan memukul mereka tanpa ampun. Kenapa dia melakukannya? “Mili, dalam hidup ini kita punya prinsip hidup. Aku tidak suka menyaksikan ketika seseorang ditindas. Padahal, apalah salah mereka? Mereka punya hak yang sama serta kewajiban yang sama di sekolah. Jadi, kenapa mereka harus menerima perlakuan itu? Bukankah itu sudah melanggar aturan mainnya?”  Ketika dia bercerita tentang dirinya, aku hanya termenung, karena betapa mengagumkan jalan pikirannya, terarah walaupun dengan tempramen yang mengerikan. “Seberanikah itu kau memukul mereka?” Aku penasaran dan aku menanyakan hal itu padanya. “Mili... ayah mengajarkanku untuk tidak pernah takut selain Tuhan yang menciptakan kita. Jika yang kita lakukan benar, untuk apa takut? Betapapun orang menganggap yang kita lakukan salah, tetapi jika itu tetap dalam jalur yang benar, untuk apa takut? Hayolah, kita hidup bukan untuk manusia, tetapi untuk yang menciptakan kita.”

“Kuliahku ‘baik-baik saja’.” jawabnya dengan menekankan kata ‘baik-baik saja’ yang sangat jelas menyindirku. Aku tertawa karena tingkahnya yang seperti anak-anak.

“Kenapa kau tertawa?” tanyanya kesal. Aku menggeleng.

“Bukan apa-apa. Kau hanya terlihat lucu ketika kesal.” balasku. Dia terlihat salah tingkah dan itu membuat tawaku semakin keras.

“Haha.” Dia juga tertawa...dan itu pertama kalinya aku melihat tawanya.

“Aku membuat kau tertawa.” ucapnya. “Bukankah ini pertama kalinya?” sambungnya. Seketika kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Ah sudah larut. Aku harus kembali ke kamar.” ucapku salah tingkah.

“Oke... turunlah duluan.” Aku meninggalkannya, dan langkahku terhenti ketika ucapannya samar terdengar olehku. Aku tidak tahu, apakah dia menyadari bahwa aku mendengar apa yang diucapkannya? Aku menghela napas.

“Mili, tertawalah...karena itu membuatku bahagia.” 







 


No comments:

Post a Comment