Sekarang
hari Minggu dan itulah liburan singkat bagiku. Aku bekerja di toko buku dekat
kampus ternama di kota ini. Aku tidak pernah berniat untuk melakukan pekerjaan
itu, tetapi sejak kehilangan yang terjadi beberapa tahun silam, mengharuskanku
melebur semua mimpi yang tadinya kususun sedimikian indahnya. Aku menghela
napas. Dua tahun silam, aku juga memutuskan untuk menarik diri dari teman-teman
yang dahulunya berada dalam lingkaranku. Kenapa aku melakukannya? Entah
perasaan malu, ataukah ingin berhenti hidup di sekitar mereka, aku tidak tahu.
Alhasil, dapat dikatakan aku tidak pernah mengetahui kabar mereka setelah itu. Dan...
aku baik-baik saja dengan hal itu.
Toko
tempat aku bekerja hanya memberikan satu hari libur dalam seminggu. Sekarang
adalah giliranku beristirahat bekerja. Hari ini aku berencana untuk mengunjungi ayah. Sudah sebulan ini aku tidak dapat bertemu dengannya secara langsung.
Setiap mengunjunginya, dia tidak pernah di kamarnya. Perawat di sana mengatakan
dia dalam masa penyembuhan, dan aku memakluminya. Aku tidak punya waktu yang
banyak, sehingga pertemuanku dengan Ayah selalu tertunda. Walaupun aku tidak
bekerja di toko, saat libur aku akan bekerja di laundry yang berjarak tiga
rumah dari rumah susun berada. Pemilik laundry mengenalku dengan baik. Dia
adalah sahabat ibuku, dan tak terduganya aku bertemu dengannya saat pindahan.
Aku ingat, betapa dia memelukku dengan erat, dan menangis ketika melihatku.
Aku
tahu, hubungan ibuku dengannya tidaklah sesederhana yang dikira. Mereka punya
sejarah hidup yang kupastikan hanya mereka yang tahu, betapa indahnya kenangan
yang mereka ciptakan. Oleh karena itu, ketika mengetahui kepergian ibuku... dia
tak kuasa menahan tangis, terlebih saat mengetahui keadaanku sekarang. Ah, kita
tidak selalu tahu misteri yang ada di depan sana. Tanpa prasyarat apapun, dia
mengizinkanku membantu usaha laundrynya setiap aku libur bekerja, dan itupun
jika aku tidak lelah. Dan aku sungguh berterima kasih padanya karena telah
membantuku... karena itu berarti banyak untukku. Aku bergegas mengunci pintu
karena takut tidak bisa bertemu dengan ayah lagi.
“Kau
mau pergi?” tanya seseorang tiba-tiba. Aku tidak terkejut, karena suara yang
begitu kukenal.
“Iya.”
balasku sekenanya. Vero menempati kamar 418 yang tepat berada di depan kamarku.
“Mau
kuantar?” ujarnya menawarkan bantuan. Aku menggeleng cepat, karena tidak ingin
menyusahkannya di hari liburnya. Aku tahu bahwa hari Minggu adalah hari yang
selalu ditunggu mahasiswa, karena mereka dapat melepaskan ketegangan pikiran
akibat tuntutan-tuntutan tugas ataupun hal lainnya.
“Dah,
aku pergi.” ucapku melambaikan tangan kepadanya.
“Mili!!!”
teriaknya. Langkahku terhenti dan menoleh ke arahnya. Aku menunjukkan ekspresi
‘ada apa lagi? Aku buru-buru’. Dia terlihat menahan tawa.
“Kau
yakin akan pergi seperti ini?” tanyanya yang membuatku tidak mengerti. Dia
menarik lenganku dan membawaku ke kamarnya. Astaga, apa yang dilakukannya?
“Nah,
lihat! Entah kau sadar atau tidak, bagaimana mungkin kau pergi dengan
penampilan seperti ini.” Aku menggertakkan gigi. Apa yang terjadi padaku?
Kenapa aku bisa lupa melepaskan handuk yang tadinya kugunakan untuk
mengeringkan rambut. Aku hendak menarik handuk tersebut, tetapi dia
mendahuluiku.
“Apa
yang kau pikirkan, Mili?” tanyanya sambil pergi menggantungkan handukku di
dekat kamar mandi. Aku terdiam. Apa yang kupikirkan? Tidak ada, tetapi ada
sedikit pikiran yang mengangguku. Apakah ketika aku nantinya datang, bertemu
dengan Ayah... apakah dia akan mengenaliku sebagai anaknya?
Dia
kembali dari dapur, dan menyerahkan sisir kepadaku.
“Aku
antar kau, Mili.”
###
Aku
tidak pernah bercerita masalahku kepadanya, tetapi luar biasanya dia mengetahui
hampir semua ceritaku. Gawatnya, kadang-kadang dia seolah dapat membaca
pikiranku (atau dia memang bisa membaca pikiranku?). Aku sering berspekulasi
yang tidak-tidak. Dia mengantarku sampai tujuan, Rumah Sakit Jiwa. Sebenarnya
ketika dia hendak mengantarku, aku berpikir bahwa dia akan menggunakan sepeda.
Aku yakin, keputusan mengayuh sepeda dengan jarak puluhan kilometer bukanlah
pilihan terbaik.
“Aku
tau apa yang kau pikirkan” ucapnya ketika melepaskan sabuk pengaman. Aku
melakukan persis seperti yang dilakukannya.
“Aku
tidak begitu bodoh harus mengantar kau dengan sepeda, Mili.” ujarnya. “Kemarin
malam, sepulang kuliah sepedaku rusak, entah apa yang rusak aku juga tidak
tahu. Aku terpaksa menghubungi sekretaris ayahku. Dan... seperti yang kau lihat
sekretaris memberikan ini padaku.” jelasnya. Aku paham sekali dia tidak
menyukai mengendarai mobil. Alasannya apa? Dia hanya mengucapkan alasan tak
masuk akal, bersepeda menjernihkan
pikiranku. Lihatlah, alasan yang begitu mudah, tetapi bermakna dalam.
Aku
keluar dari mobil sekaligus mengucapkan terimakasih padanya telah mengantarku.
Dia hanya mengangguk dan memasang sabung pengaman lagi. Tiba-tiba dia
menurunkan kaca pintu mobil, aku mendekat karena suaranya samar terdengar
olehku.
“Apa?”
tanyaku.
“Pulanglah
sebelum larut, aku tidak bisa menjemput kau ke sini. Kau tahu, kawasan di sini
agak mengerikan?” sarannya lebih seperti menakutiku.
“Baik,
Vero.” balasku terpaksa. Setelah mobil sedan hitam itu meninggalkanku, aku
mengulum senyum. Aku tidak pernah menyadari bahwa tindakan-tindakan kecilnya
perlahan menyentuh bagian terpenting di hidupku, perasaanku.
Aku
melangkahkan kaki menuju kamar 210. Aku tidak perlu bertanya kepada petugas di
sana, karena telah menjadi pengunjung rutin di sini. Aku melewati lorong rumah
sakit, dan kudengar beberapa kamar mengeluarkan suara teriakan, tangisan,
ataupun suara-suara aneh. Aku tersenyum pahit. Apakah ayah juga seperti ini?
“Mili!”
teriak seorang perawat kepadaku. Aku tersenyum sambil melambai kepadanya. Lili,
itulah nama perawat itu. Aku tanpa sengaja mendapatkan teman selama mengunjungi
ayah.
“Ayah
kau baru saja dibawa dokter untuk pemeriksaan rutin.” ujarnya. Senyumku hilang.
“Kau
mau menunggu?” tanyanya. “Dua jam lagi pemeriksaannya selesai.” sambungnya.
Untuk kesekian kalinya aku gagal menemui ayahku. Setiap kunjungan, aku selalu
mendapatkan laporan bahwa ayahku tengah diperiksa. Aku tidak begitu hafal
jadwal pemeriksaannya, terlebih jadwalku yang tidak menentu. Aku mengangguk,
tidak ada salahnya mencoba untuk menunggu. Ponselku tiba-tiba bergetar.
Bagaimana kabar Ayah kau, Mili?
Titip salam dariku. Seharusnya kau mengajakku masuk.
Pesan
itu dari Vero.
No comments:
Post a Comment