Pages

September 3, 2016

[Bedah Buku] Sakitnya Hati yang Hancur

Saya menulis lagi malam ini. Alasan yang selalu sederhana saya ucapkan yaitu, saya butuh menjernihkan pikiran. Maka dari itu, saya memutuskan untuk menulis. Namun terlepas dari semua itu, tidak dipungkiri alasan saya menulis karena ‘ada sesuatu yang saya pelajari lagi’. Rabu kemarin saya meminjam buku lagi di bagian psikologi (Ah, sepertinya saya berminat menjadi mahasiswa psikologi, eh?). Entahlah, sejak duduk di semester genting ini, sebagian waktu saya habiskan membaca buku-buku non fiksi tentang kejiwaan ini. Tunggu, jangan berpikir bahwa saya tengah mengalami gangguan ‘jiwa’. Bukan karena itu, tetapi sebagian ‘Tugas Akhir’ saya kelak sedikit-banyaknya-berhubungan-dengan-ini. Kalaupun tidak signifikan pentingnya, setidaknya saya belajar lebih banyak lagi.

Jadi, di malam minggu ini kita akan bercerita apa? Sebenarnya permasalahan ini cukup sensitif saya rasa. Kenapa? Mungkin seseorang ataupun di antara kita akan menjadi ‘gelisah dengan perasaan’. Judul ceritanya adalah ‘Sakitnya Hati yang Hancur’. Jika kita mendengar tentang hati yang sakit, apa hal pertama yang terlintas di benak kita? Saya coba untuk menebak: patah hati. Sebagian orang mungkin akan berpikir tentang patah hati apabila mendengar hati yang sakit. Tetapi, kadangkala kita keliru untuk memikirkan banyak hal termasuk memandang ‘sempit’ kata yang sebenarnya bermakna luas. Apakah ‘hati yang sakit’ sesederhana patah hati? Tidak, karena tidak semua rasa sakit yang kita alami berasal dari patah hati. ‘Sakitnya Hati yang Hancur’ juga berasal dari rasa kecewa, perasaan dikhianati, perasaan diabaikan, tidak dianggap, dan perasaan-perasaan yang sejatinya memiliki rasa sakit melebihi sekedar patah hati.

Sejujurnya saya juga tidak mengerti kenapa bercerita tentang ini, karena kondisi perasaan saya dalam keadaan sangat-sangat-baik. Bahkan semua tentang ‘luka’ yang konyol itu telah tertinggal begitu jauh. Tetapi ada sesuatu yang saya pelajari setelah membaca buku ini. Apa judul bukunya? Ah, mungkin nanti saya perkenalkan.

“Anda tidak mungkin menghindarinya. Kehidupan memberi seseorang saat-saat yang sulit dan menyedihkan. Apakah saat-saat itu berupa penolakan kecil atau kumpulan duka yang mendalam, hati yang hancur mengurangi kemampuan kita untuk berfokus...” –halaman 162.

Apa yang ingin saya sampaikan? Pernahkah merasa mengabaikan ‘hal-hal penting’ dikarenakan perasaan tengah dirundung sakit hati, patah hati, dan sekelumit masalah yang sama? Jawabannya saya rasa ‘ya’. Terkadang kita cenderung menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang betapa sakitnya, betapa menyedihkan, dan betapa terlukanya kita, tanpa memahami dan mengingat ada banyak hal di luar sana yang sepatutnya diberikan porsi lebih besar. Lalu, apa yang kita lakukan? Kita hanya stagnan di masalah yang sama, menghabiskan waktu memikirkan semuanya, tanpa mencoba untuk menerima. Bahkan tak jarang saya mendengar akibat dari permasalahan ‘hati yang sakit’ ini berdampak pada tanggung jawab dan kewajiban yang ada, semisal nilai akademik. Bukankah banyak di antara kita berujung pada ‘nilai yang menurun’ atau ‘konsentrasi belajar’ yang teralihkan? Jujur, saya juga pernah berada di posisi itu. Bagaimanapun saya juga manusia, terlalu naif saya katakan apabila saya tidak pernah berada di situasi semacam itu. Tetapi apa yang saya lakukan? Saya berterimakasih atas buku yang selalu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang semua ini. Awalnya mungkin tidak bisa mengatasinya dengan baik, jadi saya memilih cara yang ‘tak terlihat dengan jelas’ yaitu menulis. Saya menuliskan semuanya, menumpahkan semuanya hingga tidak ada lagi yang tersisa, mengata-ngatai diri sendiri, hingga berujung kalimat ‘betapa bodohnya’. Ya, saya mengatakan diri saya sendiri ‘bodoh’. Bukankah itu terdengar tidak baik? Tetapi hati nurani saya memberontak ketika lidah saya mengucapkan ‘bodoh’. Oleh karena itu, semua rasa sakit itu perlahan menjadi penerimaan. Bagaimana caranya? Pernahkah mengucapkan hal ini? ‘Betapa bodohnya kamu memikirkan hal ini, menghabiskan waktu yang seharusnya bisa kamu habiskan untuk hal yang lebih baik. Hayolah, luka itu hanya sementara... esok-esok akan lupa dan akan terlupakan, lalu untuk apa risau? Hayolah waktu itu kejam. Ingin melihat betapa kejamnya waktu? Ya, waktu mengajarkan tentang penyesalan, dan waktu memperlihatkan betapa sempitnya waktu yang tersisa untuk memperjuangkan hal yang seharusnya. Lalu, masih ingin ‘gelisah dengan perasaan’ atau bahasa yang lebih familiar ‘galau’?

“Walaupun penyangkalan memang memberi rasa nyaman, seringkali tidak ada cara lain selain langsung menghadapi kesulitan itu...rasa sakit yang ditahan bisa berwujud hiperaktivitas, yang menjadi metode untuk menghindari perasaan yang akan muncul bila berhenti bergerak.” –halaman 163.

Apa maksudnya? Waktu kosong adalah kondisi yang menakutkan, karena ketika tubuh berhenti bergerak, maka tanpa izin kadangkala ‘rasa sakit’ itu muncul tiba-tiba. Apa yang seharusnya kita lakukan? Caranya adalah dengan ‘menangani rasa sakit itu’. Mulailah menerima setiap rasa sakit yang bersarang di hati. Tidak perlu terburu-buru, tetapi sedikit demi sedikit karena semuanya juga butuh proses. Jangan memaksakan diri, karena pemaksaan adalah hal yang berujung dengan kesia-siaan. Jangan lagi menyangkal apa yang terjadi, tetapi menerima apa yang terjadi. Tiba-tiba dikecewakan? Terima kalau kita memang kecewa, lalu tangani dengan cara yang lebih bijak atas perasaan kecewa itu. Saya selalu belajar atas setiap masalah yaitu dengan melihat sisi yang berbeda. Mungkin, boleh jadi perasaan dikecewakan tidak sepenuhnya salah seseorang, karena boleh jadi diri kita juga patut disalahkan. Mungkin, berpikir demikian setidaknya akan mengurangi rasa sakit yang ada. Apa yang terjadi jika rasa sakit berkurang, tentu saja ‘fokus’ kita akan kembali kepada ‘apa yang seharusnya kita lakukan’ bukan ‘berhenti di jalan karena urusan perasaan’.

Barbara Sher menyarankan untuk mengurangi hati yang sakit yaitu dengan menggambar hati ukuran besar di selembar kertas, lalu memotongnya. Di salah satu satu sisinya, silahkan tulis semua hal sulit, besar dan kecil, serta hal yang menghancurkan hati. Selanjutnya robek kertas hati tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Lalu kumpulkan potongan-potongan tersebut dengan menyusunnya kembali dengan menggunakan selotip. Tempelkan selotip pada sisi yang bertuliskan kata-kata. Pada bagian belakang hati, silahkan tulis semua hal yang dapat membuat kita merasa senang, misalnya berkumpul dengan teman, mendengarkan musik, dan sebagainya.

Apa maknanya? Mari kita  berasumsi masing-masing. Namun saya pribadi memandang seperti ini, bahwa sesakit apapun  itu, sedalam apapun luka yang ada, semuanya pasti akan terobati. Kalaupun tidak hari ini, esok lusa, bahkan bertahun-tahun kemudian, saya yakin semuanya akan terobati. Kuncinya adalah menerima, dan perlahan memulainya dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Karena di balik setiap luka itu ada bahagia yang kita sendiripun tidak tau kebahagiaan semacam apa yang datang, boleh jadi kita tidak sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan itu telah hadiri hari ini. Lalu? Untuk apa lagi merasa nelangsa, jika masih ada hal-hal menyenangkan di luar sana?

No comments:

Post a Comment