Saya menulis lagi malam ini. Alasan yang selalu
sederhana saya ucapkan yaitu, saya butuh menjernihkan pikiran. Maka dari itu,
saya memutuskan untuk menulis. Namun terlepas dari semua itu, tidak dipungkiri
alasan saya menulis karena ‘ada sesuatu yang saya pelajari lagi’. Rabu kemarin
saya meminjam buku lagi di bagian psikologi (Ah, sepertinya saya berminat
menjadi mahasiswa psikologi, eh?). Entahlah, sejak duduk di semester genting
ini, sebagian waktu saya habiskan membaca buku-buku non fiksi tentang kejiwaan
ini. Tunggu, jangan berpikir bahwa saya tengah mengalami gangguan ‘jiwa’. Bukan
karena itu, tetapi sebagian ‘Tugas Akhir’ saya kelak
sedikit-banyaknya-berhubungan-dengan-ini. Kalaupun tidak signifikan pentingnya,
setidaknya saya belajar lebih banyak lagi.
Jadi, di malam minggu ini kita akan bercerita
apa? Sebenarnya permasalahan ini cukup sensitif saya rasa. Kenapa? Mungkin
seseorang ataupun di antara kita akan menjadi ‘gelisah dengan perasaan’. Judul
ceritanya adalah ‘Sakitnya Hati yang Hancur’. Jika kita mendengar tentang hati
yang sakit, apa hal pertama yang terlintas di benak kita? Saya coba untuk
menebak: patah hati. Sebagian orang mungkin akan berpikir tentang patah hati
apabila mendengar hati yang sakit. Tetapi, kadangkala kita keliru untuk memikirkan
banyak hal termasuk memandang ‘sempit’ kata yang sebenarnya bermakna luas.
Apakah ‘hati yang sakit’ sesederhana patah hati? Tidak, karena tidak semua rasa
sakit yang kita alami berasal dari patah hati. ‘Sakitnya Hati yang Hancur’ juga
berasal dari rasa kecewa, perasaan dikhianati, perasaan diabaikan, tidak
dianggap, dan perasaan-perasaan yang sejatinya memiliki rasa sakit melebihi
sekedar patah hati.
Sejujurnya saya juga tidak mengerti kenapa
bercerita tentang ini, karena kondisi perasaan saya dalam keadaan
sangat-sangat-baik. Bahkan semua tentang ‘luka’ yang konyol itu telah
tertinggal begitu jauh. Tetapi ada sesuatu yang saya pelajari setelah membaca
buku ini. Apa judul bukunya? Ah, mungkin nanti saya perkenalkan.
“Anda tidak mungkin menghindarinya. Kehidupan memberi seseorang
saat-saat yang sulit dan menyedihkan. Apakah saat-saat itu berupa penolakan
kecil atau kumpulan duka yang mendalam, hati yang hancur mengurangi kemampuan
kita untuk berfokus...” –halaman 162.
Apa yang ingin saya sampaikan? Pernahkah merasa
mengabaikan ‘hal-hal penting’ dikarenakan perasaan tengah dirundung sakit hati,
patah hati, dan sekelumit masalah yang sama? Jawabannya saya rasa ‘ya’.
Terkadang kita cenderung menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang betapa
sakitnya, betapa menyedihkan, dan betapa terlukanya kita, tanpa memahami dan
mengingat ada banyak hal di luar sana yang sepatutnya diberikan porsi lebih
besar. Lalu, apa yang kita lakukan? Kita hanya stagnan di masalah yang sama,
menghabiskan waktu memikirkan semuanya, tanpa mencoba untuk menerima. Bahkan
tak jarang saya mendengar akibat dari permasalahan ‘hati yang sakit’ ini
berdampak pada tanggung jawab dan kewajiban yang ada, semisal nilai akademik. Bukankah
banyak di antara kita berujung pada ‘nilai yang menurun’ atau ‘konsentrasi
belajar’ yang teralihkan? Jujur, saya juga pernah berada di posisi itu. Bagaimanapun
saya juga manusia, terlalu naif saya katakan apabila saya tidak pernah berada
di situasi semacam itu. Tetapi apa yang saya lakukan? Saya berterimakasih atas
buku yang selalu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang semua ini. Awalnya
mungkin tidak bisa mengatasinya dengan baik, jadi saya memilih cara yang ‘tak
terlihat dengan jelas’ yaitu menulis. Saya menuliskan semuanya, menumpahkan
semuanya hingga tidak ada lagi yang tersisa, mengata-ngatai diri sendiri,
hingga berujung kalimat ‘betapa bodohnya’. Ya, saya mengatakan diri saya
sendiri ‘bodoh’. Bukankah itu terdengar tidak baik? Tetapi hati nurani saya
memberontak ketika lidah saya mengucapkan ‘bodoh’. Oleh karena itu, semua rasa
sakit itu perlahan menjadi penerimaan. Bagaimana caranya? Pernahkah mengucapkan
hal ini? ‘Betapa bodohnya kamu memikirkan hal ini, menghabiskan waktu yang
seharusnya bisa kamu habiskan untuk hal yang lebih baik. Hayolah, luka itu
hanya sementara... esok-esok akan lupa dan akan terlupakan, lalu untuk apa
risau? Hayolah waktu itu kejam. Ingin melihat betapa kejamnya waktu? Ya, waktu
mengajarkan tentang penyesalan, dan waktu memperlihatkan betapa sempitnya waktu
yang tersisa untuk memperjuangkan hal yang seharusnya. Lalu, masih ingin
‘gelisah dengan perasaan’ atau bahasa yang lebih familiar ‘galau’?
“Walaupun penyangkalan memang memberi rasa nyaman, seringkali tidak
ada cara lain selain langsung menghadapi kesulitan itu...rasa sakit yang
ditahan bisa berwujud hiperaktivitas, yang menjadi metode untuk menghindari
perasaan yang akan muncul bila berhenti bergerak.” –halaman 163.
Apa maksudnya? Waktu kosong adalah kondisi yang
menakutkan, karena ketika tubuh berhenti bergerak, maka tanpa izin kadangkala
‘rasa sakit’ itu muncul tiba-tiba. Apa yang seharusnya kita lakukan? Caranya
adalah dengan ‘menangani rasa sakit itu’. Mulailah menerima setiap rasa sakit
yang bersarang di hati. Tidak perlu terburu-buru, tetapi sedikit demi sedikit karena
semuanya juga butuh proses. Jangan memaksakan diri, karena pemaksaan adalah hal
yang berujung dengan kesia-siaan. Jangan lagi menyangkal apa yang terjadi,
tetapi menerima apa yang terjadi. Tiba-tiba dikecewakan? Terima kalau kita
memang kecewa, lalu tangani dengan cara yang lebih bijak atas perasaan kecewa
itu. Saya selalu belajar atas setiap masalah yaitu dengan melihat sisi yang
berbeda. Mungkin, boleh jadi perasaan dikecewakan tidak sepenuhnya salah
seseorang, karena boleh jadi diri kita juga patut disalahkan. Mungkin, berpikir
demikian setidaknya akan mengurangi rasa sakit yang ada. Apa yang terjadi jika
rasa sakit berkurang, tentu saja ‘fokus’ kita akan kembali kepada ‘apa yang
seharusnya kita lakukan’ bukan ‘berhenti di jalan karena urusan perasaan’.
Barbara Sher menyarankan untuk mengurangi hati
yang sakit yaitu dengan menggambar hati ukuran besar di selembar kertas, lalu
memotongnya. Di salah satu satu sisinya, silahkan tulis semua hal sulit, besar
dan kecil, serta hal yang menghancurkan hati. Selanjutnya robek kertas hati
tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Lalu kumpulkan potongan-potongan
tersebut dengan menyusunnya kembali dengan menggunakan selotip. Tempelkan
selotip pada sisi yang bertuliskan kata-kata. Pada bagian belakang hati, silahkan
tulis semua hal yang dapat membuat kita merasa senang, misalnya berkumpul
dengan teman, mendengarkan musik, dan sebagainya.
Apa maknanya? Mari kita berasumsi masing-masing. Namun saya pribadi
memandang seperti ini, bahwa sesakit apapun
itu, sedalam apapun luka yang ada, semuanya pasti akan terobati.
Kalaupun tidak hari ini, esok lusa, bahkan bertahun-tahun kemudian, saya yakin
semuanya akan terobati. Kuncinya adalah menerima, dan perlahan memulainya
dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Karena di balik setiap luka itu ada
bahagia yang kita sendiripun tidak tau kebahagiaan semacam apa yang datang,
boleh jadi kita tidak sadar bahwa sebenarnya kebahagiaan itu telah hadiri hari
ini. Lalu? Untuk apa lagi merasa nelangsa, jika masih ada hal-hal menyenangkan
di luar sana?
No comments:
Post a Comment