Pages

December 12, 2016

[Jurnal] Surat Untukmu, Wahai Waktu!



Aku mengawali tulisanku di bulan ini dengan sungguh-sungguh. Aku tau, belakangan ini tidak pernah sekalipun menulis sepenuh hati, hanya untuk melampiaskan apa yang kurasa tanpa memikirkan apa yang terlihat, dan apa yang terasa. Aku berusaha untuk mengetikkan sederet kalimat dengan istilah ‘menulislah dengan apa yang kau pikirkan’. Sebelum menulis tulisan ini, aku telah menyetel petikan gitar dari Depapepe yang berjudul ‘Time’. Ada apa dengan melodi itu? Sederhana, karena malam ini aku ingin menceritakan tentang waktu.

Untukmu waktu, yang takkan pernah kugenggam dengan erat. Bagaimanapun kau adalah senjata paling mematikan bagi hidupku. Sekali aku lengah, maka kau akan menjadi bom bagiku. Haruskah aku meminta maaf atas kelalaian yang tanpa henti kulakukan? Ada banyak hal yang telah terjadi, termasuk perasaan lelah yang menggelayut mesra saat ini. Sungguh, namun apalah dayaku karena bagaimanapun, perasaan itu terlarang untukku. Lelah? Coba bayangkan mana yang lebih lelah ketimbang mereka? Coba pikirkan sekali lagi, mana yang lebih panjang perasaan lelah mereka dibandingkan diriku? Maka, perlahan aku butuh rehat agar kelelahan itu tidak menjadi bumerang untukku.

Untukmu waktu, aku tau bahwa semuanya harus kujalani karena ada pengorbanan yang harus dibayar tuntas. Aku terlalu sibuk belakangan ini, mengejar tanpa henti sesuatu yang menjadi tujuanku. Tetapi... aku melupakan banyak hal. Aku lupa, bahwa aku masih dibutuhkan hadir di sekitar mereka, menemani mereka untuk berbagi cerita, serta tertawa hangat setiap malam bersama mereka. Aku melupakan itu, masa-masa yang saat ini terdengar tak berarti, namun lambat laun akan menjadi kerinduan untukku—suatu masa  nanti. Sesibuk apapun, tetap luangkan waktumu, Fani!

Aku sadar, berkutik diperkara yang sama setiap saat benar-benar menjenuhkan. Oleh karena itu, aku butuh rehat untuk meregangkan saraf-saraf otakku. Terkadang mengejar sesuatu tanpa dilandasi kekuatan padaNya, sungguh membuat lelah. Ah, dunia sungguh kejam, bukankah begitu? Kembalilah, itulah kalimat yang selalu kudengung-dengungkan ketika lelah hadir, karena sesulit apapun perkara, hanya Dia tempat kembali yang terbaik.

Untukmu waktu, aku tidak pernah menyesal juga tidak pernah berkeinginan memutar waktu. Bagiku, semuanya adalah hari ini, bukan esok hari dan bukan pula hari kemarin. Tidakkah itu terlihat sederhana?

Untukmu waktu, biarkan aku berhenti sejenak. Jangankan untuk mereka, kadangkala untuk diriku sendiri tidak pernah terpikir olehku. Aku terlalu sibuk hingga untuk menyenangkan diriku sendiri telah kuabaikan. Jangan terlalu kencang untuk berlari, hingga tidak mempedulikan kondisi fisik yang kapan saja dapat terjatuh. Berlarilah, jika lelah maka berhentilah. Untuk apa? Berlari juga butuh tenaga, maka isilah kembali dengan hal-hal yang membuatmu senang, yang membuatmu berpikir hidupmu sungguh berarti, bukankah begitu? Rehat itu istirahat yang menyangkut perkara-perkara batiniah. Maka, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan kelelahan batin, bukan?

Untukmu waktu, aku diperdaya olehmu dan kau telah berhasil mempermainkanku. Namun, aku takkan termakan oleh hasutanmu lagi. Aku tau, kau mengancamku dengan pergantian hari, pergantian tahun, tapi semua itu tidaklah cukup bagiku. Bagaimanapun, akulah yang akan melakukannya, mengancanmu dengan apa yang kulakukan.

Untukmu waktu, kau membiarkanku untuk gelisah sepanjang waktu, memikirkan perkara-perkara yang belum terjadi, sehingga perasaan takut itu hadir. Haruskah aku tetap termakan oleh kehendakmu, wahai waktu? Aku telah berusaha semampuku, jadi kenapa harus takut? Aku telah berupaya semampuku, mempergunakan waktu yang kubisa. Lalu, aku harus bagaimana? Aku hanya butuh kesabaran hingga semuanya berlalu dengan perlahan. Jangan takut, jangan takut, dan jangan takut karena semuanya akan selesai pada waktunya. Percayalah.

Untukmu waktu, aku ingin kembali... menulis 500 kata setiap hari, membaca buku, melakukan hal-hal sunnah dariNya, dan melakukan hal-hal yang menentramkan pikiranku. Permintaanku sederhana, maka biarkanlah aku melakukannya. Apakah ini berat bagimu, wahai waktu? Tentu saja tidak. Kau hanya perlu ‘meregangkan saraf-saraf otakku’ agar tak lagi kulihat kau seolah mengejarku. Berhentilah mengejarku, namun biarkan aku mengejarmu dengan ritme yang membuatku tidak lagi gelisah, takut, ataupun frustasi kadangkala. Inginkah kau melakukannya untukku? Aku harus melakukan apa padamu?

Untukmu waktu, terimakasih karena tanpa kau sadari permintaanku telah kau kabulkan: menulis 500 kata di hari ini. Sekali kau kabulkan, maka pengabulan selanjutnya akan terjadi, bukankah begitu?

Untukmu waktu, sampai jumpa esok hari dan esok hari lagi. Tunggulah, akan kukejar waktu terbaik untuk hidupku, tentu saja!

Sampai jumpa.

No comments:

Post a Comment