Aku mengawali tulisanku di bulan ini dengan
sungguh-sungguh. Aku tau, belakangan ini tidak pernah sekalipun menulis sepenuh
hati, hanya untuk melampiaskan apa yang kurasa tanpa memikirkan apa yang
terlihat, dan apa yang terasa. Aku berusaha untuk mengetikkan sederet kalimat
dengan istilah ‘menulislah dengan apa yang kau pikirkan’. Sebelum menulis
tulisan ini, aku telah menyetel petikan gitar dari Depapepe yang berjudul ‘Time’.
Ada apa dengan melodi itu? Sederhana, karena malam ini aku ingin menceritakan
tentang waktu.
Untukmu waktu, yang takkan pernah kugenggam
dengan erat. Bagaimanapun kau adalah senjata paling mematikan bagi hidupku.
Sekali aku lengah, maka kau akan menjadi bom bagiku. Haruskah aku meminta maaf
atas kelalaian yang tanpa henti kulakukan? Ada banyak hal yang telah terjadi,
termasuk perasaan lelah yang menggelayut mesra saat ini. Sungguh, namun apalah
dayaku karena bagaimanapun, perasaan itu terlarang untukku. Lelah? Coba
bayangkan mana yang lebih lelah ketimbang mereka? Coba pikirkan sekali lagi,
mana yang lebih panjang perasaan lelah mereka dibandingkan diriku? Maka, perlahan
aku butuh rehat agar kelelahan itu tidak menjadi bumerang untukku.
Untukmu waktu, aku tau bahwa semuanya harus
kujalani karena ada pengorbanan yang harus dibayar tuntas. Aku terlalu sibuk
belakangan ini, mengejar tanpa henti sesuatu yang menjadi tujuanku. Tetapi...
aku melupakan banyak hal. Aku lupa, bahwa aku masih dibutuhkan hadir di sekitar
mereka, menemani mereka untuk berbagi cerita, serta tertawa hangat setiap malam
bersama mereka. Aku melupakan itu, masa-masa yang saat ini terdengar tak
berarti, namun lambat laun akan menjadi kerinduan untukku—suatu masa nanti. Sesibuk apapun, tetap luangkan
waktumu, Fani!
Aku sadar, berkutik diperkara yang sama setiap
saat benar-benar menjenuhkan. Oleh karena itu, aku butuh rehat untuk
meregangkan saraf-saraf otakku. Terkadang mengejar sesuatu tanpa dilandasi
kekuatan padaNya, sungguh membuat lelah. Ah, dunia sungguh kejam, bukankah
begitu? Kembalilah, itulah kalimat yang selalu kudengung-dengungkan ketika
lelah hadir, karena sesulit apapun perkara, hanya Dia tempat kembali yang terbaik.
Untukmu waktu, aku tidak pernah menyesal juga
tidak pernah berkeinginan memutar waktu. Bagiku, semuanya adalah hari ini,
bukan esok hari dan bukan pula hari kemarin. Tidakkah itu terlihat sederhana?
Untukmu waktu, biarkan aku berhenti sejenak.
Jangankan untuk mereka, kadangkala untuk diriku sendiri tidak pernah terpikir
olehku. Aku terlalu sibuk hingga untuk menyenangkan diriku sendiri telah
kuabaikan. Jangan terlalu kencang untuk berlari, hingga tidak mempedulikan
kondisi fisik yang kapan saja dapat terjatuh. Berlarilah, jika lelah maka
berhentilah. Untuk apa? Berlari juga butuh tenaga, maka isilah kembali dengan
hal-hal yang membuatmu senang, yang membuatmu berpikir hidupmu sungguh berarti,
bukankah begitu? Rehat itu istirahat yang menyangkut perkara-perkara batiniah.
Maka, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan kelelahan batin, bukan?
Untukmu waktu, aku diperdaya olehmu dan kau telah
berhasil mempermainkanku. Namun, aku takkan termakan oleh hasutanmu lagi. Aku tau,
kau mengancamku dengan pergantian hari, pergantian tahun, tapi semua itu
tidaklah cukup bagiku. Bagaimanapun, akulah yang akan melakukannya, mengancanmu
dengan apa yang kulakukan.
Untukmu waktu, kau membiarkanku untuk gelisah
sepanjang waktu, memikirkan perkara-perkara yang belum terjadi, sehingga
perasaan takut itu hadir. Haruskah aku tetap termakan oleh kehendakmu, wahai
waktu? Aku telah berusaha semampuku, jadi kenapa harus takut? Aku telah
berupaya semampuku, mempergunakan waktu yang kubisa. Lalu, aku harus bagaimana?
Aku hanya butuh kesabaran hingga semuanya berlalu dengan perlahan. Jangan takut,
jangan takut, dan jangan takut karena semuanya akan selesai pada waktunya.
Percayalah.
Untukmu waktu, aku ingin kembali... menulis 500
kata setiap hari, membaca buku, melakukan hal-hal sunnah dariNya, dan melakukan
hal-hal yang menentramkan pikiranku. Permintaanku sederhana, maka biarkanlah
aku melakukannya. Apakah ini berat bagimu, wahai waktu? Tentu saja tidak. Kau
hanya perlu ‘meregangkan saraf-saraf otakku’ agar tak lagi kulihat kau seolah
mengejarku. Berhentilah mengejarku, namun biarkan aku mengejarmu dengan ritme
yang membuatku tidak lagi gelisah, takut, ataupun frustasi kadangkala. Inginkah
kau melakukannya untukku? Aku harus melakukan apa padamu?
Untukmu waktu, terimakasih karena tanpa kau
sadari permintaanku telah kau kabulkan: menulis 500 kata di hari ini. Sekali
kau kabulkan, maka pengabulan selanjutnya akan terjadi, bukankah begitu?
Untukmu waktu, sampai jumpa esok hari dan esok
hari lagi. Tunggulah, akan kukejar waktu terbaik untuk hidupku, tentu saja!
Sampai jumpa.
No comments:
Post a Comment