Sepertinya
tulisan ini akan terus berlanjut. Sebenarnya, saya ingin melakukan hal lain
malam ini, tetapi entah karena apa saya menunda terlebih dahulu. Ah, bukan
karena kemalasan yang menyerang, tetapi saya butuh penjernihan pikiran terlebih
dahulu. Pagi tadi, saya telah bercerita tentang buku yang berjudul ‘Membangun
Sekolah yang Dicintai Anak. Berhubung buku yang saya pinjam akan dikembalikan
esok pagi, maka tulisan ini harus saya tuntaskan. Baiklah, mari kita kembali ke
kisah selanjutnya. Sebelumnya, saya telah bercerita tentang betapa hal-hal
sederhana lebih dihargai dan memiliki porsi yang jauh lebih baik. Cerita
selanjutnya yaitu mengenai ‘Semua Bisa Cinta Olahraga’.
Saya
ingat ketika semester tiga dahulu, salah seorang dosen pernah bercerita
bagaimana sistem pendidikan di negeri Matahari Terbit. Hal menarik dari
beberapa penuturan beliau adalah bahwa di sana, pembelajaran lebih difokuskan
pada bidang olahraga. Awalnya, saya tidak memahami tujuan dari sistem tersebut.
Umumnya siswa-siswa di sana lebih banyak menghabiskan waktu untuk olahraga
dibandingkan menyelesaikan soal-soal aljabar berderet. Beliau menjelaskan bahwa
sistem pembelajaran yang lebih menekankan kebugaran fisik bukanlah tanpa sebab,
karena sejak dini mereka dilatih untuk menjaga kesegaran. Bagaimanapun,
pernyataan ini benar bahwa ‘di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang
cerdas’. Hal serupa juga terjadi di negeri Kangguru. Ternyata siswa-siswa di
sini juga mendapatkan porsi pembelajaran olahraga yang seimbang dengan
akademik. Bahkan setelah saya membaca kisahnya, dijelaskan bahwa setiap term terdapat satu bidang olahraga yang
wajib dikuasai siswa. Misalnya, untuk semester ini siswa harus mampu berenang,
maka olahraga wajib mereka adalah berenang, dan begitu seterusnya.
“Aktivitas fisik dalam olahraga berdampak
positif terhadap perkembangan kognitif. Beberapa penelitian di San Diego State
University tahun 2007 menyimpulkan bahwa aktivitas fisik anak di sekolah tidak
menganggu prestasi akademik mereka. Sebaliknya, aktivitas fisik mampu
meningkatkan konsentrasi belajar, nilai ujian, dan prestasi akademik lainnya. Nilai
sportivitas dalam aktivitas fisik juga bisa memperbaiki prilaku anak di dalam
kelas.” –halaman 29.
“Aktivitas fisik menyehatkan anak-anak. Berlari, berenang, dan kegiatan bermain lainnya mendukung proses pertumbuhan anak. Hal ini juga didukung dengan pembiasaan makan sehat oleh sekolah. Energi anak terkuras habis melalui permainan dan gerakan motorik lainnya. Dengan demikian, ketika sampai di rumah, mereka merasa kelelahan dan tidak memiliki energi untuk melakukan kegiatan lain seperti menonton televisi atau bermain video games. Intensitas gerakan fisik di sekolah juga bisa menguras tenaga anak remaja siswa SMP/SMA sehingga meminimalisir kegiatan negatif mereka di luar sekolah.” –halaman 31.
Selain
menyeimbangkan antara kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor ternyata di
Australia ada suatu kebiasaan yang semestinya ditiru, yaitu membawa bekal ke
sekolah. Ternyata di sekolah dasar (SD) setiap siswa diwajibkan membawa bekal ke
sekolah. Slogan mereka adalah ‘Tidak ada sampah, tidak ada kantin’. Ya, memang
tidak ada satupun sampah yang berserakan serta kantin yang tidak tersedia.
Setiap siswa yang membawa bekal, bungkusan plastiknya harus dibuka terlebih
dahulu, sehingga hanya kotak makan yang mereka bawa. Bahkan ketika suatu hari
ditemukan sampah di pekarangan sekolah, pihak sekolah dengan segera mengadakan
rapat untuk memecahkan masalah yang terjadi. Bayangkan, hanya karena sampah
mereka begitu gusar. Saya kembali ingat, bahwa hal-hal sederhana itu terkadang
memang sangat berarti dalam membentuk karakter peserta didik.
Selain
mengenai bekal makan siang yang diceritakan di sini, saya juga tertarik
mengenai pembelajaran di sini. Saya berpikir ketika anak-anak duduk di bangku
TK ataupun SD, mereka telah disuguhkan dengan materi-materi yang membebani
mereka. Ternyata dugaan saya salah. Asumsi selama ini, ketika anak cepat pandai
membaca, berhitung, dsb disebut sebagai anak yang pintar. Barangkali memang anak
tersebut pintar, tetapi apabila dipaksakan mereka harus pandai membaca,
menulis, dsb, maka kapanlagi waktu bagi mereka untuk bermain? Di sini, setiap
guru mengajak anak belajar sambil bermain saat ketika TK maupun SD. Tidak ada buku
seperti buku ajar, maupun LKS, yang ada hanyalah gambar ataupun benda-benda
yang dapat mereka sentuh sebagai media pembelajaran.
“Australia tidak sendirian sebagai negara
yang mengajarkan membaca pada anak di usia relatif ‘tua’. Kabarnya di Swedia
dan Jerman, anak belajar membaca di usia 7 tahun, di Finlandia usia 8 tahun. Fakta
beberapa negara yang memilih mengajar anak didiknya membaca di usia relatif ‘tua’
tentunya memiliki dasar yang kuat. Beberapa penelitian menunjukkan, tidak ada
perbedaan berarti dari kemajuan belajar anak yang sudah bisa membaca di usia
muda dengan mereka yang belajar membaca di usia yang lebih tua pada saat mereka
sudah mencapai usia 10-12 tahun. Artinya, segera setelah anak-anak yang lebih
tua ini bisa membaca, mereka akan dapat segera menyesuaikan diri dengan anak
yang telah mahir membaca sejak dini. Di sisi lain, risiko memaksakan anak yang
sesungguhnya belum siap membaca untuk belajar membaca di usia terlalu dini
lebih berbahaya. Bahaya yang paling utama adalah kebosanan, kehilangan minat
membaca sama sekali dan kurang bergairah di saat materi-materi di tingkat
lanjut lebih banyak menggunakan bacaan sebagai sumber utama belajar.” –halaman
52.
‘My Dad
is My Hero’. Judul cerita ini sebenarnya sangat mengusik saya pribadi. Saya menyadari
kadangkala tingkat sosial mempengaruhi lingkungan, sosialisasi dan bahkan ruang
lingkup pertemanan. Rata-rata kita melihat seperti itu, bahwa mereka yang
berada harus berteman dengan yang setara. Sebenarnya prilaku semacam itu secara
perlahan membunuh karakter baik yang seharusnya ada di dalam diri anak. Kadangkala
kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak, lalu siapa yang akan disalahkan? Entahlah,
mari kita renungkan sebagai pembelajaran. Kisah ini bercerita tentang pekerjaan
setiap ayah di negeri Kangguru tersebut. Saya tidak tau kapan pastinya, tetapi
dalam satu minggu itu anak-anak diberi kesempatan untuk story telling. Kebetulan tema minggu ini adalah ‘My Dad is My Hero’.
Ketika membaca cerita ini, imajinasi saya berkeliaran dan seolah melihat
bagaimana cara anak-anak itu menceritakan pekerjaan ayahnya. Ah, tahukah betapa
bangganya mereka dengan ayahnya? Saya berpikir tadinya anak-anak tersebut akan
bercerita mengenai ayahnya yang bekerja sebagai ‘direktur perusahaan’, ‘dokter’,
atau pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dipandang menjanjikan. Saya keliru,
justru mereka menceritakan ayahnya yang bekerja sebagai ‘pengangkut sampah’, ‘tukang
cuci piring di restoran’, ‘cleaning service’ dan pekerjaan-pekerjaan yang
selama ini dipandang sebelah mata. Namun, anak-anak itu bercerita dengan binar
bangga dan menganggap pekerjaan ayahnya adalah pekerjaan yang mulia.
“...beliau menjelaskan story telling hari
itu yang dimaksudkan agar anak-anak dapat mengenal pekerjaan ayah mereka dan
kontribusinya untuk masyarakat dan lingkungan. Diharapkan, anak-anak akan
menghargai semua jenis pekerjaan bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh pasti
akan memberikan kontribusi untuk orang lain. Sehingga anak-anak akan merasa
bangga terhadap ayah mereka dan lebih menghargai orang lain.” –halaman
67.
“Yang membuat saya takjub adalah apresiasi
dari para guru dengan komentar-komentar mereka yang begitu supportif,
menyejukkan, dan menyenangkan hati terhadap semua cerita yang dibawakan
anak-anak itu, sehingga kebanggaan anak-anak terhadap ayah mereka dan
pekerjaannya semakin besar. Bahkan tidak sekali pun terdengar cemoohan atau
ejekan dari anak-anak ketika temannya bercerita” –
halaman 70.
“Saya merasa tersentil atas pandangan saya
yang terkadang memandang sebelah mata pada pekerjaan seseorang. Apa yang saya
lihat tadi membuat saya sadar bahwa apapun pekerjaan seseorang, sekecil apa pun
akan menjadi besar dan membanggakan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh,
karena pasti dapat memberikan kontribusi untuk orang lain.” –halaman
71.
Apa pembelajaran
yang menginspirasi dari kisah ini? Saya berbicara tentang kontribusi. Terkadang
kita memandang sebelah mata, padahal pertanyaan terbesar untuk kita sendiri, ‘sudahkah
melakukan hal yang lebih bermakna selama ini?’ Bayangkan tanpa adanya ‘mereka’
yang melakukan pekerjaan ‘kasar’ tidak akan bersih lingkungan di sekitar, tidak
akan bersih gedung-gedung perusahaan yang mewah, dan banyak kontribusi yang
telah mereka lakukan untuk melengkapi segala kenyamanan hidup. Ah, saya selalu
mengingat dengan baik bahwa di dunia ini manusia-saling-membutuhkan. Tidak ada
yang dapat berdiri sendiri, bahkan konglomerat sekalipun. Nah, jadi apa
pekerjaan ayah kalian? Bagaimanapun berbanggalah, semua sama di mata Tuhan,
bukankah begitu? Jujur, saya sangat menyarankan teman-teman untuk membaca pada
bagian ‘kebanggan pekerjaan ayah’. Entahlah, menurut saya membaca buku ini
perlahan dapat mengubah mind set kita
selama ini.
Apalagi
yang dapat saya ceritakan di sini? Ada kisah tentang sistem penerimaan siswa
baru yang sangat-sangat berbeda di Indonesia. Lalu juga ada cerita tentang ‘seni
dalam mengajar’ yang menurut saya cukup menjadi perenungan ke depannya.
Apalagi? Di buku ini juga bercerita tentang esensi dari belajar sesungguhnya
atas salah kaprah yang mendominasi hingga saat ini. Menariknya seperti ini:
Belajar atau Menghafal? Lalu tentang ‘Ujian Sekolah’ yang tidak pernah menjadi
beban bagi siswa-siswa, karena mereka mengetahui bahwa ujian bukanlah penilaian
dari belajar yang sebenarnya. Mereka senang belajar, dan juga tidak takut
dengan ujian. Bayangkan? Di buku ini juga membahas mengenai ‘Sekolah Favorit’, ‘Kelas
Unggul’ dan segala hal yang menyebabkan adanya pembeda antara siswa-pintar dan
siswa-kurang-pintar.
Penutup,
saya akhiri dengan sebuah kalimat yang di sampaikan oleh salah seorang guru: “Kalian
jangan merasa harus bersaing dengan siswa lain di sini untuk mendapat nilai A+
sebanyak-banyaknya. Yang harus kalian lakukan adalah bersainglah dengan diri
sendiri. Jangan merasa harus mendapat nilai yang lebih tinggi dari siswa yang
lain; akan tetapi capailah nilai yang lebih tinggi dari nilai yang pernah
kalian raih sebelumnya. Itu yang terpenting!” –halaman 134.
No comments:
Post a Comment