Pages

January 2, 2019

[Review] Rumah Lebah #Dodi Prananda

Judul : Rumah Lebah
Pengarang : Dodi Prananda
Tahun Terbit : 11 Agustus 2014
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Jumlah Halaman : 276 halaman

Sinopsis:
Kehidupan di rumah lebah adalah harmoni. Didiami pasangan suami-istri yang saling mencinta, Rama dan Shinta. Para boneka yang menghuni toko mungil mereka memiliki harmoni kehidupan mereka sendiri. Pesta, persaingan, perselisihan, dan semuanya sangat mewakili dua kehidupan yang berbeda. 

Ketika Shinta memutuskan untuk mengangkat anak, mulailah terjadi riak-riak dalam kehidupan dua dunia itu. Akankah rumah lebah mampu melanjutkan harmoni itu?
###
Ini bukan kali pertama saya membaca karya Dodi Prananda. Sejak duduk di bangku SMP, beberapa kali saya membaca cerpen-cerpen beliau di surat kabar, termasuk majalah story yang pada waktu itu sedang hangat-hangatnya. Tapi membaca karyanya dalam bentuk novel, ini pertama kali bagi saya.

Saya memutuskan membawa buku ini pulang pertengahan tahun 2017. Lalu, kebiasaan buruk saya muncul yaitu menimbunnya hingga beberapa waktu. Akhir tahun 2018, barulah saya membuka segel buku tersebut.

Saya tidak melewatkan kalimat-kalimat yang ditulis penulis, termasuk kata pengantar dari buku ini. Alasan yang sederhana yaitu saya suka bagaimana penulis menyusun rapi setiap kalimat demi kalimatnya. Entahlah, bagi saya itu adalah ciri khasnya. "...Rumah yang memberikan rasa 'nyaman', dan meyakinkan kami bahwa kasih sayang tidak seperti minuman di kafe yang bisa dipesan kapan saja..."

Rama dan Shinta, sepasang suami-istri yang tidak memperoleh keturunan karena suatu alasan. Untuk membesarkan hati istrinya, Rama melahirkan anak-anak mereka melalui boneka. Mereka mendirikan toko boneka yang dinamai 'Rumah Lebah'. Dia melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan. Hingga suatu hari, dia memberikan boneka porselen yang tampan kepada istrinya. Mereka menamainya-Peru. Anak laki-laki pertama mereka. 

"Bukankah sejak kita lahir, kita tahu bahwa kita sama-sama memiliki kekurangan, dan ketika kita bersama, kita merasa sempurna." --Halaman 6.

Karakter Rama benar-benar konsisten dalam buku ini. Begitu besarkah rasa cinta Rama kepada Shinta, hingga segala keinginan Shinta akan dipenuhinya? Kadangkala saya juga merasa Shinta kurang memahami kondisi Rama. Ada suatu keadaan dimana saya merasa Rama benar-benar lelah, namun perasaan bersalah tidak dapat dielakkannya. 

Shinta menginginkan anak laki-laki yang nyata. Dia dapat menyentuhnya dan memperlakukannya selayaknya anak. Mereka akhirnya mengadopsi anak yang bernama Seno. Kehidupan mereka tiba-tiba berubah. Lebih hidup dan tidak ada lagi keinginan berarti dari Shinta.

Buku ini tidak sekedar memperkenalkan tentang kehidupan anak-anak. Tapi mengajarkan tentang banyak hal. Ketika Rama melahirkan anak-anaknya, lalu mereka disusun berjejer di rak. Mereka berteman, saling menyapa, dan peduli satu sama lain. Sungguh kehidupan ini amat singkat. Pada waktu yang tidak mereka ketahui, satu persatu dari mereka akan menjemput takdir. Pergi jauh dari ayah yang melahirkan mereka. Bagi saya, istilah itu sama dengan 'meninggal'. 

Belakangan saya sering membaca buku dengan tema keluarga. Rasanya menghangatkan ketika berbicara mengenai keluarga. Sebuah keluarga tidak boleh saling membenci. Saya paham bagaimana Rama berusaha membujuk Seno untuk berpikir dengan baik. Pada akhirnya, manusia akan tetaplah menjadi manusia. Tidak ada yang mampu mengubah takdir tersebut. Namun sungguh, cinta membutakan segalanya. Kita mengenal orangtua nyaris seumur hidup, jangan sampai kecintaan kita kepada seseorang mengalahkan rasa cinta kepada mereka. Hingga kita lupa bagaimana membalas semua kebaikan mereka. 

"...cinta bukan bicara siapa yang duluan untuk mencari pemenangnya. Tidak juga soal kalah dan menang, siapa yang paling awal merebut simpati. Tapi, soal kenyamanan hati. Sudah duluan kalau ternyata si pemilik hati tak merasa nyaman, ya akan nihil hasilnya."--Halaman 165.

Cinta bicara tentang kenyamanan hati. Cinta pasti akan menentukan pilihan ketika waktunya tiba. Cinta pasti akan memilih siapa yang mampu membuat hatinya tenang, damai, dan nyaman.

Saya suka bagaimana penulis bercerita. Runtut, tidak tergesa-gesa dan terkesan sangat sabar dalam menulis buku ini. Saya menikmati setiap kejadian yang terjadi di buku ini, hingga klimaksnya terjadi ketika Seno tiba-tiba kehilangan arah. Setiap manusia melakukan kesalahan, lalu mereka tersadar, dan berubah. Sungguh hidup amat sederhana dalam buku ini. Seharusnya demikian, tapi kerumitan justru menjadi kesenangan nyatanya. 

Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang tidak saya pahami. Interaksi antara boneka dan manusia. Pada bagian awal, kehidupan manusia dengan boneka sangat berbeda. Seolah mereka memiliki dinding pembatas. Bahkan di awal-awal saya merasa menonton film toy story. Interaksi hanya terjadi antar boneka, dan manusia tidak dapat memahaminya. Tapi, beberapa bab terakhir, penulis dengan jelas bahwa boneka dapat berinteraksi dengan manusia. Tanpa ada halangan apapun. Mereka dapat bergandengan tangan, dan mengutarakan perasaan masing-masing. Bagi saya itu aneh, kecuali sedari awal penulis memperlihatkan kehidupan manusia dan boneka adalah sama.

Walaupun begitu, secara keseluruhan saya menyukainya. Penulis cukup berani mengangkat tema yang tidak mainstream seperti buku-buku umumnya. 

"Apabila seseorang pernah melalui kepahitan dalam hidup, mengkin dia tahu betapa kegetiran itu sebenarnya akan pergi sendiri tanpa perlu diusir. Sebab, dalam cerita manapun, Tuhan akan mempersiapkan akhir yang manis bagi mereka yang memperjuangkannya, sepahit apa pun kenyataannya." --Halaman 256.

Apakah cerita di Rumah Lebah berakhir manis? Ya, tentu Saja.

"Kalau cerita dari karangan Tuhan itu tidak berakhir happy ending, berarti cerita itu belum selesai." --Halaman 258.

Saya memberikan 3/5 bintang untuk buku ini.

No comments:

Post a Comment