Judul : Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta
Pengarang : Alvi Syahrin
Tahun Terbit : Desember 2018
Penerbit : Gagasmedia
Jumlah Halaman : 223 halaman
Sinopsis:
Pengarang : Alvi Syahrin
Tahun Terbit : Desember 2018
Penerbit : Gagasmedia
Jumlah Halaman : 223 halaman
Sinopsis:
Jika kita tak pernah jatuh cinta, mungkinkah kita bisa lebih menghargai diri sendiri dengan melepaskan dia yang selalu menyakiti?
Terkadang, cinta memang sakit dan rumit. Namun, bisa pula membuat bahagia dan senyum. Tidak ada habisnya. Keduanya bersimpangan, tetapi pasti kita rasakan.
Jika kita tak pernah jatuh cinta dituliskan untukmu yang pernah merasa terpuruk karena cinta, lalu bangkit lagi disebabkan hal yang sama.
###
Yang lalu, biarlah berlalu, Jika kita tak pernah jatuh cinta, kita tidak akan pernah sadar; bahwa sebetulnya, ada sesuatu yang lebih penting daripada cinta dunia ini. Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?
Perubahan yang terjadi pada penulis membuat saya sedikit takjub. Semoga Allah senantiasa memberikan ke-istiqomah-an padanya. Ini bukan kali pertama saya membaca karyanya. Saat duduk di bangku sekolah menengah, saya sudah membaca 'Swiss' dan beberapa karyanya yang lain. Lalu, entah kenapa pada tahun 2018 muncullah buku ini dengan genre yang amat beda dari buku-buku penulis sebelumnya.
Judulnya sangat feminim, bahkan ketika saya memutuskan untuk membelinya...saya ditertawakan oleh beberapa orang. Bukan apa-apa, tapi jika dilihat dari judulnya, buku ini bukanlah sesuatu yang biasa saya baca. Lalu, kenapa saya memutuskan untuk membelinya? Karena isinya bukan seperti judul yang tertera. Seperti karya Tere Liye yang judul bukunya seringkali tak serupa dengan isinya.
Merasa teduh membayangkan menjadi istri yang taat untuk laki-laki yang taat. Sayangnya, pada orangtuanya, dia bahkan tak pernah belajar menjadi anak yang taat.
Ketika membaca bagian awal dari buku ini saya menyadari satu hal: Menginginkan hal yang baik itu harus. Tetapi, hal baik tidak akan datang dengan sendirinya tanpa kita mengubah diri menjadi lebih baik.
Gadis itu tak butuh menulis kriteria jodoh. Dia telah menjadi kriteria jodoh yang baik bagi orang lain. Dan, orang lain ini adalah seorang laki-laki, yang mudah-mudahan baik agamanya, lebih baik daripada laki-laki yang gadis pertama idolakan di instagram. (Halaman 9)
Saya membeli buku ini akhir tahun lalu dan baru menyelesaikannya pertengahan tahun ini. Pada bagian awalnya lebih menceritakan tentang 'kesalahan dalam jatuh cinta' dan apa yang harus diperbuat ketika terjebak dalam situasi yang beragam tersebut. Kisah-kisah ini lebih saya jumpai saat duduk di bangku SMA.
Perjalananmu masih sangat panjang, dan hatimu masih sangat murni. Jangan biarkan seorang pun menyakitinya. (Halaman 16)
Buku ini bercerita dengan realistis tanpa bersifat menggurui. Setiap akhir dari kisah, penulis selalu mengajak pembaca untuk berpikir, dan pilihannya berada di tangan pembaca (meski berharap pembaca akan lebih bijaksana dalam memaknai jatuh cinta itu sendiri).
Jatuh cinta diam-diam telah mengajarkanmu untuk menjaga hati dari hal yang tak pasti. Jatuh cinta diam-diam adalah bukti bahwa kau bertahan, meski perih hatimu melihat dia bersama seseorang lain. Setelah semua rasa sakit ini, jatuh cinta diam-diam akan kembali ke asalnya: bersembunyi di lubuk hati paling dalam. Lalu menciut, semakin kecil, lama-lama memudar, lama-lama terlupakan. (Halaman 30)
Pada bagian pertengahan buku ini, konflik yang disajikan lebih terasa berat. Tentang pernikahan beda agama, tentang hubungan yang berada di jalur yang salah, ataupun tentang kekerasan yang ditimbulkan dalam suatu hubungan. Konflik yang disajikan oleh penulis membuka mata, bahwa jatuh cinta tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan, saya menyadari bahwa cinta itu memiliki jarak yang tipis dengan nafsu.
Mari letakkan cinta di tempat yang tepat, karena selama ini, cinta terlalu diagung-agungkan. (Halaman 40)
Mencintai, menghargai mulai dari dirimu, untuk dirimu sendiri. Jika kamu saja tidak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana orang lain bisa jatuh cinta kepada dirimu? Hidup terlalu singkat untuk meratapi kekurangan. Fokuslah pada kelebihanmu dan rangkul dirimu secara utuh. (Halaman 34)
Buku ini mengajarkan tentang bagaimana menakar perasaan dengan tepat. Bagaimana mencintai seseorang, tanpa lupa ada hal yang patut lebih dicintai. Sang Pencipta. Orangtua. Cinta membutakan, hingga tidak ada lagi kelogisan dalam berpikir. Sebelum semuanya ditempatkan kepada-Nya, maka cinta akan selalu diistimewakan sekaligus membutakan.
Cinta memang kadang membuaimu hingga kau lupa. Hingga kau terbang tinggi sekali, tetapi kakimu harus tetap menapak di bumi. Ingatlah siapa yang dengan tanpa syarat menyayangimu meski kau sudah kecewakan mereka berkali-kali, pernahkah mereka pergi? (Halaman 108)
Saya suka bagaimana penulis menuturkan kisah demi kisah. Kisah-kisah tersebut tersusun dengan rapih. Berawal dari kisah yang biasa terjadi di sekolah, hingga kisah yang lebih berat. Klimaksnya adalah bagaimana kita kembali pada-Nya. Penulis ingin mengatakan kepada pembaca, bahwa mencintai-Nya tidak akan pernah terluka. Mencintai-Nya takkan pernah membuat lelah. Dan, Dia akan selalu menerima, setelah berkali-kali terlupakan. Dia akan selalu menerima permintaan maaf setelah berkali-kali terjebak dalam hal yang tak baik. Bukankah ini cukup?
Mengapa menanti bunga darinya bila kau bisa menanam bungamu sendiri?
Di antara kisah dalam buku ini, saya menemukan diri ini yang seolah sedang diceritakan oleh penulis. Lalu, tanpa sadar itulah yang saya lakukan selama ini. Dan, perbuatan itu tidaklah salah. Justru itulah cara saya untuk mencintai diri sendiri.
Kesendirian membuka mataku bahwa, pada dasarnya, kita akan selalu sendiri; lahir sendiri, berjuang menyelesaikan masalah sendiri, mati sendiri, dibangkitkan sendiri dengan amalan masing-masing.
Bertemanlah dengan kesendirianmu. Berdamailah dengannya. Belajarlah darinya. Sesungguhnya, ia tak seburuk yang kau kira. (Halaman 219)
Istirahatlah. Bagian terakhir yang menjadi kisah paling menyenangkan bagi saya. Entahlah, membaca bagian ini seolah melihat bagian 'rehat' pada buku 'La Tahzan'.
Hari ini, kau masih punya hak istimewa: kesempatan hidup. Kesempatan bernapas. Kesempatan melihat. Kesempatan merasa. Kesempatan memperbaiki.
Pesan saya adalah: Terima kasih telah menulis buku ini.
Dan saya memberikan 4/5 bintang untuk buku ini.
Perubahan yang terjadi pada penulis membuat saya sedikit takjub. Semoga Allah senantiasa memberikan ke-istiqomah-an padanya. Ini bukan kali pertama saya membaca karyanya. Saat duduk di bangku sekolah menengah, saya sudah membaca 'Swiss' dan beberapa karyanya yang lain. Lalu, entah kenapa pada tahun 2018 muncullah buku ini dengan genre yang amat beda dari buku-buku penulis sebelumnya.
Judulnya sangat feminim, bahkan ketika saya memutuskan untuk membelinya...saya ditertawakan oleh beberapa orang. Bukan apa-apa, tapi jika dilihat dari judulnya, buku ini bukanlah sesuatu yang biasa saya baca. Lalu, kenapa saya memutuskan untuk membelinya? Karena isinya bukan seperti judul yang tertera. Seperti karya Tere Liye yang judul bukunya seringkali tak serupa dengan isinya.
Merasa teduh membayangkan menjadi istri yang taat untuk laki-laki yang taat. Sayangnya, pada orangtuanya, dia bahkan tak pernah belajar menjadi anak yang taat.
Ketika membaca bagian awal dari buku ini saya menyadari satu hal: Menginginkan hal yang baik itu harus. Tetapi, hal baik tidak akan datang dengan sendirinya tanpa kita mengubah diri menjadi lebih baik.
Gadis itu tak butuh menulis kriteria jodoh. Dia telah menjadi kriteria jodoh yang baik bagi orang lain. Dan, orang lain ini adalah seorang laki-laki, yang mudah-mudahan baik agamanya, lebih baik daripada laki-laki yang gadis pertama idolakan di instagram. (Halaman 9)
Saya membeli buku ini akhir tahun lalu dan baru menyelesaikannya pertengahan tahun ini. Pada bagian awalnya lebih menceritakan tentang 'kesalahan dalam jatuh cinta' dan apa yang harus diperbuat ketika terjebak dalam situasi yang beragam tersebut. Kisah-kisah ini lebih saya jumpai saat duduk di bangku SMA.
Perjalananmu masih sangat panjang, dan hatimu masih sangat murni. Jangan biarkan seorang pun menyakitinya. (Halaman 16)
Buku ini bercerita dengan realistis tanpa bersifat menggurui. Setiap akhir dari kisah, penulis selalu mengajak pembaca untuk berpikir, dan pilihannya berada di tangan pembaca (meski berharap pembaca akan lebih bijaksana dalam memaknai jatuh cinta itu sendiri).
Jatuh cinta diam-diam telah mengajarkanmu untuk menjaga hati dari hal yang tak pasti. Jatuh cinta diam-diam adalah bukti bahwa kau bertahan, meski perih hatimu melihat dia bersama seseorang lain. Setelah semua rasa sakit ini, jatuh cinta diam-diam akan kembali ke asalnya: bersembunyi di lubuk hati paling dalam. Lalu menciut, semakin kecil, lama-lama memudar, lama-lama terlupakan. (Halaman 30)
Pada bagian pertengahan buku ini, konflik yang disajikan lebih terasa berat. Tentang pernikahan beda agama, tentang hubungan yang berada di jalur yang salah, ataupun tentang kekerasan yang ditimbulkan dalam suatu hubungan. Konflik yang disajikan oleh penulis membuka mata, bahwa jatuh cinta tidak sesederhana yang dibayangkan. Dan, saya menyadari bahwa cinta itu memiliki jarak yang tipis dengan nafsu.
Mari letakkan cinta di tempat yang tepat, karena selama ini, cinta terlalu diagung-agungkan. (Halaman 40)
Mencintai, menghargai mulai dari dirimu, untuk dirimu sendiri. Jika kamu saja tidak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana orang lain bisa jatuh cinta kepada dirimu? Hidup terlalu singkat untuk meratapi kekurangan. Fokuslah pada kelebihanmu dan rangkul dirimu secara utuh. (Halaman 34)
Buku ini mengajarkan tentang bagaimana menakar perasaan dengan tepat. Bagaimana mencintai seseorang, tanpa lupa ada hal yang patut lebih dicintai. Sang Pencipta. Orangtua. Cinta membutakan, hingga tidak ada lagi kelogisan dalam berpikir. Sebelum semuanya ditempatkan kepada-Nya, maka cinta akan selalu diistimewakan sekaligus membutakan.
Cinta memang kadang membuaimu hingga kau lupa. Hingga kau terbang tinggi sekali, tetapi kakimu harus tetap menapak di bumi. Ingatlah siapa yang dengan tanpa syarat menyayangimu meski kau sudah kecewakan mereka berkali-kali, pernahkah mereka pergi? (Halaman 108)
Saya suka bagaimana penulis menuturkan kisah demi kisah. Kisah-kisah tersebut tersusun dengan rapih. Berawal dari kisah yang biasa terjadi di sekolah, hingga kisah yang lebih berat. Klimaksnya adalah bagaimana kita kembali pada-Nya. Penulis ingin mengatakan kepada pembaca, bahwa mencintai-Nya tidak akan pernah terluka. Mencintai-Nya takkan pernah membuat lelah. Dan, Dia akan selalu menerima, setelah berkali-kali terlupakan. Dia akan selalu menerima permintaan maaf setelah berkali-kali terjebak dalam hal yang tak baik. Bukankah ini cukup?
Mengapa menanti bunga darinya bila kau bisa menanam bungamu sendiri?
Di antara kisah dalam buku ini, saya menemukan diri ini yang seolah sedang diceritakan oleh penulis. Lalu, tanpa sadar itulah yang saya lakukan selama ini. Dan, perbuatan itu tidaklah salah. Justru itulah cara saya untuk mencintai diri sendiri.
Kesendirian membuka mataku bahwa, pada dasarnya, kita akan selalu sendiri; lahir sendiri, berjuang menyelesaikan masalah sendiri, mati sendiri, dibangkitkan sendiri dengan amalan masing-masing.
Bertemanlah dengan kesendirianmu. Berdamailah dengannya. Belajarlah darinya. Sesungguhnya, ia tak seburuk yang kau kira. (Halaman 219)
Istirahatlah. Bagian terakhir yang menjadi kisah paling menyenangkan bagi saya. Entahlah, membaca bagian ini seolah melihat bagian 'rehat' pada buku 'La Tahzan'.
Hari ini, kau masih punya hak istimewa: kesempatan hidup. Kesempatan bernapas. Kesempatan melihat. Kesempatan merasa. Kesempatan memperbaiki.
Pesan saya adalah: Terima kasih telah menulis buku ini.
Dan saya memberikan 4/5 bintang untuk buku ini.
No comments:
Post a Comment