Pict by Pinterest |
Saya ingat sebuah kalimat: ketika kelak mereka tiada, tidak akan ada lagi yang mencintaimu seperti mereka mencintaimu.
Hingga detik ini, Allah masih memberikan kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan mereka. Pertemuan dengan mereka adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Alhamdulillah.
Hari ini, saya nyaris berumur 24 tahun. Saya menyadari bahwa telah panjang perjalanan mereka untuk membesarkan saya. Bukan waktu yang singkat karena perlahan mereka beranjak tua. Rambut yang dulunya hitam, kini berubah menjadi putih. Tubuh yang dulunya kuat, kini mulai goyah oleh lelahnya pekerjaan. Mata yang biasanya sanggup menemani hingga larut, kini memutuskan beristirahat lebih dahulu. Hingga semua pikiran itu bertemu pada satu hal: waktu saya dan waktu mereka tidak lagi banyak.
Ada banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu 24 tahun. Saya bersyukur diberikan ingatan yang baik tentang hal ini. Saya ingin belajar untuk menghargai setiap hal yang terjadi walaupun terkesan sederhana. Saya adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Meskipun begitu, saya ditempa dengan 'keras'-nya tangan seorang ayah dan 'lembut'-nya hati seorang ibu. Kehidupan yang saya jalani tidaklah mudah. Hanya saja setiap hadir kesulitan, Allah yang kuatkan dan doa mereka dalam senyap. Bagi saya, dua hal itu lebih dari cukup.
Ketika beranjak dewasa, kita akan cenderung memutar ingatan saat dulu kanak-kanak. Bukan hati ingin kembali. Tapi ingin tertawa bersama mereka, menceritakan hal-hal konyol yang tak terduga pernah dilakukan sewaktu kecil. Saya bersyukur memiliki komunikasi yang baik dengan mereka. Komunikasi yang baik bukan berarti menceritakan semua pada mereka. Ada hal yang sepatutnya dibagi, dan ada hal yang lebih baik disimpan sendiri. Bukankah mereka hingga sekarang adalah pendengar terbaik untuk setiap keluh kesah? Tahukah bahwa mendengarkan cerita mereka teramat menyenangkan.
Ketika beranjak dewasa, kita akan cenderung memutar ingatan saat dulu kanak-kanak. Bukan hati ingin kembali. Tapi ingin tertawa bersama mereka, menceritakan hal-hal konyol yang tak terduga pernah dilakukan sewaktu kecil. Saya bersyukur memiliki komunikasi yang baik dengan mereka. Komunikasi yang baik bukan berarti menceritakan semua pada mereka. Ada hal yang sepatutnya dibagi, dan ada hal yang lebih baik disimpan sendiri. Bukankah mereka hingga sekarang adalah pendengar terbaik untuk setiap keluh kesah? Tahukah bahwa mendengarkan cerita mereka teramat menyenangkan.
Ayah saya memiliki hobi membaca. Apabila membaca koran, dia tidak pernah melewatkan satu kalimat termasuk bagian iklan. Mungkin karena itu, dia memiliki wawasan yang baik. Tidak jarang saya justru tau tentang sejarah dan dunia luar darinya. Ayah juga hobi bercerita. Dia tidak hanya bercerita, namun menyelipkan pesan kehidupan yang tidak akan saya peroleh di luar sana. Pemikiran dan cara pandangnya sungguh mengajarkan saya tentang kehidupan. Alhasil, hobi membaca turun kepada saya dan cara pandang tentang hidup mengalir baik di pikiran saya. Alhamdulillah. Pengalaman mengajarkannya tentang menyikapi kerasnya hidup. Dan membaca membuatnya memilki cara pandang yang bijak dalam memahami situasi.
Ayah memiliki kecintaan terhadap olahraga. Tapi tidak satupun mengalir kepada saya. Saya hanya sebagai penonton yang baik setiap ajang kejuaraan olahraga. Ayah menyukai warna gelap. Nah, ini tidak diragukan lagi yakni mengalir hebat kepada saya. Hitam adalah warna favorit saya. Jika membeli sesuatu seperti baju atau sepatu, saya lebih senang pergi bersama ayah dibandingkan ibu. Mungkin ini masalah selera. Menjadi anak perempuan satu-satunya di rumah menjadikan saya lebih menyukai hal-hal berbau laki-laki. Misal: saya lebih suka pakai ransel ala-ala cowok ketimbang ransel yang feminim. Dulunya sewaktu SMA lebih senang dengan sneakers ketimbang pansus. Bepergian dengan ayah, maka klop sudah karena kami satu pikiran.
Bagaimana dengan ibu? Bagi saya ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berbeda. Tapi perbedaan mereka melahirkan karakter tersendiri dalam diri saya. Ibu adalah keturunan jawa yang identik dengan kelembutan. Apakah itu benar? Yap, kelembutannya terlihat jelas di wajahnya. Ibu adalah orang yang tidak banyak bicara. Setiap hal yang dikerjakannya penuh pertimbangan dan matang. Ibu adalah orang yang tenang dan kepala dingin.
Ada hal yang tidak bisa saya ceritakan. Namun yang pasti, Ibu adalah wanita yang sangat kuat. Allah yang kuatkan. Hingga melihat rumah, membayangkan rumah adalah seperti melihat wajahnya. Begitu banyak pengorbanan, rasa sakit, dan duka yang dialaminya. Saya masih ingat pesan darinya: Cukup orangtua yang seperti ini. Kalian jangan. Pendidikan yang akan mengangkat derajat. Ibu adalah orang yang tidak pernah mengeluh. Prinsipnya adalah hidup harus dijalani, suka tidak suka, mau tidak mau, kalau tidak sanggup ya mati. Namanya juga hidup, begitulah seloroh ibu.
Ibu mengajarkan saya menjadi wanita dengan baik, misal: membelikan baju yang berwarna cerah, sepatu yang feminim, dan jangan harap akan menemukan baju berwarna hitam. Meskipun begitu, ternyata ada hal yang sama-sama kami sukai yaitu bunga. Ibu sangat suka bunga. Ingat sekali ketika bepergian baik itu jalan-jalan atau ke rumah teman, pasti berpesan bawa bunga ya, Fan! Apakah saya membawanya? Tentu saja tidak. Haha. Ibu suka merawat bunga, sedang saya hanya suka melihatnya (a.k.a gambar di foto).
Berbicara tentang mereka tidak akan pernah cukup. Banyak hal yang harus saya ingat untuk mereka. Saya ingat ketika ayah membedakkan sehabis mandi. Saya selalu meringis kesakitan, karena tangannya sangat kasar :'). Namun, melalui tangan itu saya hidup dengan baik tidak kurang apa pun. Saya sering pura-pura tidur siang sewaktu kecil, sekarang justru ingin sekali tidur siang. Ayah selalu ingat hari kelahiran kami di rumah. Saya pernah kaget saat ayah menelpon ketika magrib. Waktu itu saya masih mengajar di bimbel. Saya mengira ada sesuatu yang penting, ternyata hanya ingin mengatakan bahwa saya telah lahir, ba'da magrib. Saya pernah kelupaan mencuci baju untuk dipakai esok hari. Saya pulang ba'da isya, dan sudah cukup lelah hari itu. Tengah malam saya terbangun dan kebingungan mencari baju tersebut karena tidak ditemukan dimana pun. Ketika membuka pintu melihat jemuran... saya terdiam. Ibu telah mencucikannya :')
Saya tanpa mereka bukanlah apa-apa. Berjuang sendiri bagi saya bukanlah kata yang tepat. Bukankah mereka telah mengiringi hingga titik ini? Kita tidak pernah berjuang sendirian. Ada mereka. Ada doa-doa mereka. Saya menyakini bahwa doa dan ridha mereka adalah hal yang mustajab didengar hingga ke langit. Sama halnya kecintaan mereka, ketika kelak mereka tiada, tidak akan ada lagi yang mendoakanmu seperti mereka mendoakanmu.
Mari, selipkan doa untuk mereka :')
Saya bersyukur karena Allah masih memberikan umur panjang dan kesehatan pada mereka. Semoga Allah membalas setiap kebaikan, mengangkat derajatnya, dan memuliakannya. Allahumma Aamiin.
Terimakasih telah mendidik kami dengan baik, ayah, ibu.
Kami bersyukur telah menjadi anakmu,
Peluk hangat dari anakmu,
Foto ini diambil saat Wisuda UNP September 2017 |
Semoga Allah senantiasa menjagamu dalam keadaan apapun. Aamiin.
No comments:
Post a Comment