Pages

July 19, 2014

[Review] Interlude #WindryRamadhina


Interlude adalah satu dari enam karya dari #WindryRamadhina, setelah Orange, Memori, Metropolis, London, dan Montase. Awalnya aku tidak berniat untuk membeli sejak aku tanpa sengaja membaca London dan Montase. Dan... dua novel itu membuatku meragu. Tetapi, karena feeling yang mengalahkan segalanya, dan cover dari novel ini yang membuatku penasaran, aku akhirnya memutuskan untuk membelinya.

Terkejut dan berpikir lama saat novel ini telah berada dalam genggamanku. Hal ini dikarenakan oleh genre yang diangkat, yaitu 'newadult'. Tidak dapat ditutupi bahwa novel ini, agak bertolak belakang dari novel #Windry sebelumnya.

'Newadult' -- genre yang diangkat dalam   Interlude, cukup membuatku kehilangan napas dengan dialog, serta deskripsi cerita yang notabene agak sedikit berbeda dengan budaya ketimuran Indonesia. Walaupun tidak dipungkiri bahwa pengaruh barat telah merasuki jiwa rakyat negeri ini. Aku tidak mempermasalahkan ini.

Selain itu, aku menyukai bagaimana penulis menceritakan karakter tokoh, suasana hati tokoh, serta keadaan lingkungan tokoh-tokoh yang serta merta membuatku mampu membayangkan apa yang terjadi dalam kisah tersebut.

Walaupun begitu, aku mengalami kebosanan pada bagian awal bab. Penulis cenderung lebih menarasikan sederet kata-kata indah--yang tentu saja aku menyukainya. Tetapi, entah mengapa, kata-kata indah tersebut justru menenggelamkanku pada kebosanan--sama seperti judulnya--aku 'jeda' beberapa jam membacanya.

Jeda setelah beberapa jam, aku memasuki bagian dimana penulis perlahan memperkenalkan konflik yang dialami tokoh.

Perlahan aku mulai merasakan peran dari masing-masing tokoh seolah menjelma menjadi situasi yang nyata di hadapanku.

Akan kuceritakan kisah mereka... Kai dan Hana.

Hanna--gadis yang sempurna di mata Kai. Ia begitu pendiam, misterius, dan aneh saat mula-mula Kai mengetahui tingkahnya.

Hanna--gadis yang begitu terluka, sejak insiden yang tak mengenakkan, membuatnya mengalami trauma berat, terutama terhadap kaum lelaki.

Tetapi, hanya waktu yang membuat perasaan takut itu perlahan memudar--terutama saat ia mengenal Kai. Walaupun demikian, Hanna tetaplah gadis yang setiap saat dihantui masa lalu, yang kadang kala mengusik kehidupannya yang mulai pulih.

Bisakah kau mempercayaiku? Aku tidak selamanya berengsek.

Kai--lelaki yang membuat hampir semua wanita tidak tahan akan pesonanya. Ia begitu dieluk-elukkan, yang membuatnya harus mengecap kata 'berengsek' karena berganti pasangan setiap saat.

Kai--gitaris andalan dalam band jazznya tanpa sengaja bertemu pandang pertama kali dengan gadis lugu di atap apartemen sahabatnya. Ia terpesona, karena hanya Hanna yang memiliki kecantikan yang berbeda dari 'wanita-wanitanya' dulu. Tetapi, bukan itu yang membuatnya menginginkan gadis itu, melainkan ada hal yang membuatnya ingin melindungi Hanna.

Kai, hidupnya sama dengan Hanna. Sama-sama terluka. Keluarganya tidak layak disebut keluarga--orangtuanya yang saling diam dan dua saudaranya meninggalkan rumah, menyebabkan ia sebagai pemberontak sejati.

Kai, ia kehilangan semuanya. Harapannnya, tujuan hidupnya.

Hanna, bisakah kau mempercayaiku?

Hanna membuat Kai begitu berbeda...

Jika aku mengatakan bahwa hanya kisah mereka yang ada? Tentu saja tidak. Jangan lupakan tentang mereka, Jun dan Gitta.

Jun dan Gitta merupakan personil dari band jazz yang mereka bentuk.

Salah satu dari mereka saling mengelak, bahwa adanya rasa yang tercipta di antara mereka. Gitta membohongi diri, karena ia begitu tak layak untuk seorang Jun yang berkepribadian bertolak belakang dari Kai.

Banyak lika liku kisah mereka. Rasa perih menahan sakit, lemah ketika setiap saat harus terluka, lagi dan lagi. Tetapi, bukankah setelah rasa sakit tentunya ada secercah kebahagiaan?

Novel ini memberikan atmosfir yang berbeda saat bagian pertengahan. Aku mengalami perubahan emosional, ketika Kai dan Hanna harus mengucapkan salam perpisahan. Tidak hanya itu, kejadian yang dialami Gitta, hingga melahirkan keberaniaan dalam diri Hanna, membuatku sungguh tidak menyangka itu akan terjadi. Tetapi, bagian yang penting bagiku adalah, saat percakapan antara Kai  dan Hanna di depan pintu apartemen Gitta, dan saat Hanna berada di kampus Kai. Senyumku merekah--turut berbahagia akan kisah mereka.

Sesungguhnya ada pesan moral yang ingin disampaikan penulis,  terkait kalimat 'Aku tidak selamanya berengsek', terlepas dari adegan-adegan  yang menampakkan dari genre novel ini.

Aku menyukai persahabatan Kai, Gitta, dan Jun. Mereka bertiga saling mengisi dan memahami.

Namun, ada adegan yang menurutku belum budaya di Indonesia. Aku menyebutnya kissing di area terbuka. Aku sungguh tidak menyukai adegan ini, karena Indonesia bukanlah budaya barat, yang bisa saja seenaknya mengumbar tindakan semacam itu.

Tetapi terlepas dari semua itu, aku sangat menikmati novel ini, dan tidak menyesal telah membelinya.

Aku juga tidak melupakan, bahwa adanya sentuhan musik jazz yang membuatku jatuh hati pada novel ini.

Kai... sungguh aku iri pada Hanna (melupakan tabiaat buruknya).

Percayalah, novel ini begitu mampu menyuguhkan kisah memilukan, yang berakhir dengan begitu manis: kebahagiaan.

Dan... tidak lupa apresiasi 4/5 bintang atas novelmu Kak Windry.


Nb: Kak Windry, aku penasaran, seperti apakah lagu bossa nova itu?

No comments:

Post a Comment