“Pulanglah, Nak. Ibu Rindu.”
Percakapan itu telah kudengarkan seminggu yang
lalu. Sebelum semuanya terjadi, aku menganggap bahwa kalimat itu bukanlah
apa-apa. Kalimat itu hanya serasa kewajiban yang seharusnya disampaikan seorang
ibu kepada anaknya. Namun, aku melakukan kekeliruan yang besar dan berujung
penyesalan tak terkira.
Aku tidak tahu, kenapa waktu begitu kejamnya
untukku. Bukan, bukan waktu yang kejam. Aku salah memahaminya. Kenyataannya,
akulah yang kejam terhadap diriku sendiri dan membiarkan waktu mempermainkanku.
Ibu kembali kepadaNya. Seminggu tepat setelah
kudengarkan kalimat “rindunya”. Aku menyesal, ketika menolak pulang karena ada
urusan studi yang harus kuselesaikan. Sungguh, aku menyesal tak membiarkan
waktu untuk ibuku sendiri—bertemu denganku sejenak. Tapi, apalah gunanya
ratapan sesal ini sekarang? Bukankah ia takkan kembali di sisiku? Ia pergi
untuk selama-lamanya.
“Maryam. Mari kita pulang, Nak!” ajak ayahku. Ia
menarik lenganku, tak membiarkanku meratap lebih lama lagi di makamnya. Aku melihat
wajahnya yang sendu. Dibandingkan denganku, ia lebih merasa kehilangan. Ibu adalah
cinta sejatinya, yang berpisah hanya dikarenakan maut bukan karena roman
picisan belaka. Dibandingkan denganku, ia tentu lebih mencintai ibu, karena 30
tahun bersama bukanlah waktu yang singkat.
“Ayo, Nak.” Ia mengusap kepalaku lembut.
Perlahan, ia mengangkat tubuhku dan menuntunku kembali ke rumah. Ia menghapus
air mataku dan tersenyum tegar untukku. Ya Tuhan, bagaimana mungkin ia tidak
menangis? Bagaimana mungkin ia sedimikian tegarnya untukku dan kakak-kakakku?
Ya Tuhan, aku tidak sanggup. Sungguh.
Aku memeluknya—menangis kembali untuk kesekian
kalinya sejak ibu pergi. Aku...menyesal tidak mengabulkan keinginan
terakhirnya. Aku ingin memutar waktu lagi walaupun itu mustahil.
“Maryam. Ikhlas lah, agar ibupun tenang di
sana. Doakanlah, karena itulah yang bisa kita lakukan. Jika kau menangis karena
tak ikhlas ia pergi, maka sama saja kau menolak kuasaNya.” Ayah mengusap
punggungku. Aku masih dalam pelukannya dan mengangguk, mencoba menghentikan
tangis.
“Kau tahu, Maryam. Ayah sangat mencintainya,
tapi Ayah percaya di masa yang lebih abadi nantinya, ayah akan bertemu dengan
ibu. Maka berdoalah agar kita dipertemukan lagi di surga. Bukankah kau ingin
kembali bertemu dengannya?”
Ia melepaskan pelukannya dariku.
“Jangan menangis lagi. Kau gadis yang kuat,
Maryam. Lihat, kakak-kakakmu bahkan hanya menangis dalam diam. Kenapa? Karena
sebagian hatinya telah ikhlas. Mereka menangis, tetapi hanya mereka yang tahu
kapan mereka menangis. Menangislah tapi biarkan hanya Rabbmu yang tahu kapan
kau menangis. Dengan begitu, ayah yakin kau akan jadi gadis yang kuat, Maryam.”
“Ayah tahu, kau menyesal karena suatu hal. Makanya,
kau menangis hingga detik ini. Jika kau telah siap mendengarkan cerita ayah,
maka ingatkan ayah. Ada hal yang harus ayah jelaskan untuk kau, Maryam.”
“Tentang apa, Ayah?” tanyaku tak mengerti.
“Jangan sekarang. Tatalah hati kau dulu,
Maryam. Jika sudah lebih baik, akan ayah ceritakan.” ucapnya sambil mengusap
kepalaku.
###
Ibu...
aku ingin membahagiankanmu, aku ingin membuatmu bangga suatu hari nanti.
Aku menerawang ketika melihat tulisan tangan
yang begitu rapih menghiasi dinding kamarku. Ibu... aku ingin membahagiankanmu, aku ingin membuatmu bangga suatu
hari nanti. Kalimat itu kubaca berulang kali dan itu membuatku kembali
menangis.
“Kenapa
kau tak pulang, Maryam? Bukankah sekarang kau libur?”
“Aku
tak bisa, bu. Aku ikut kepanitian sekarang. Jadi belum bisa pulang, bu.”
“Sehari
saja tidak bisa? Ibu rindu sekali”
Percakapan itu terngiang-ngiang di otakku. Aku
menghela napas. Kenapa aku tidak pernah menyadarinya dengan baik bahwa kalimat
rindu menandakan ia begitu ingin bertemu denganku? Aku mengabaikan
keinginannya. Padahal, bukan baju baru yang dikehendakinya atau keinginan lain
berupa materi. Bukan itu. Hanya aku. Hanya kehadiranku yang diinginkannya.
Sebegitu mudah pintanya. Dan, aku mengabaikan hal yang begitu menjadi bumerang
untukku sekarang.
“Maryam.
Ibu kirimkan rendang untuk kau. Karena kau sebut tak bisa pulang lebaran haji
ini, ibu kirimkan rendang. Jangan lupa dimakan. Jangan terlalu keras dengan
urusan studi kau, Maryam. Jaga kesehatan, Maryam. Kalau sempat, pulanglah. Ibu
rindu..”
Memori itu berdatangan tiada henti di otakku.
Dan... semua itu membuatku menyesal lebih dalam lagi. Kenapa? Kenapa aku
terlambat menyadarinya?
“Maryam,
Sabtu minggu ini kau pulang tidak?”
“Belum
tahu, bu. Memangnya ada apa?”
“Pulanglah,
kau tidak ingat jika hari Minggu kau ulang tahun?”
“Maryam
ragu, bu. Soalnya ada kegiatan di kampus, bu.”
“Begitu...mungkin
kapan-kapan kita rayakan. Hati-hati di sana. Ibu sayang padamu.”
Kapan-kapan? Ibu takkan pernah merayakan apapun
denganku lagi. Aku menyesal. Harusnya, hanya dengan mendengar suaranya, aku
mengerti jika ia kecewa kepadaku. Sayangnya, kepekaanku seolah dirampas kala
itu. Aku menjadi tak peka dengan ibuku sendiri—orang yang begitu berjasa dalam
hidupku.
“Maryam,
ibu kirimkan hadiah untukmu—hadiah ulang tahun untukmu. Kau berkendara setiap
hari. Ibu takut kulit kau menjadi gelap, jadi jelek kau nanti.”
“Yah
ibu, anak ibu sudah cantik. Gelappun kulitku akan tetap cantik di mata ibu.”
“Haha,
kau bisa saja. Jangan lupa dipakai.”
Sepasang sarung tangan hasil rajutannya telah
berada di pangkuanku. Aku membelai pemberian darinya yang begitu istimewa. Aku tahu,
di setiap rajutnya ada cinta kasih di dalamnya.
“Maryam.
Tidak bisakah kau pulang hari ini? Ibu sakit, Nak. Ibu rindu.”
“Maryam
usahakan, bu. Kenapa bisa sakit, bu?”
“Ibu
rindu kau, Maryam. Pulanglah.”
Percakapan terakhirku dengan ibu. Aku memang
memutuskan untuk pulang. Sayangnya, aku terlambat. Dua jam setelah komunikasi
itu terputus, kakak sulungku mengabarkan ibu telah tiada. Semua kakakku di
sana, kecuali aku. Ya, hanya aku yang tak berada di sisinya untuk terakhir
kali.
###
“Karena
waktu memberikan pelajaran berharga untuk kau, Maryam. Kenapa? Akan ayah
jelaskan pada kau, Maryam.”
Aku duduk di teras bersama ayah, menikmati
suasana sore di kampung yang begitu nikmat. Aku tak bicara, begitu juga dengan
ayah. Kami hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sudah lebih baik, Nak?” tanya ayah. Aku mengangguk.
Walaupun hanya separo, tapi waktu adalah obat terbaik untuk setiap luka. Perlahan,
karena waktu aku menerima semuanya dengan baik.
“Kau tahu, Maryam? Setiap hari ibu mengatakan
kalau ia rindu padamu. Sampai-sampai ayah cemburu jadinya. Haha.” ucapnya. Aku tidak
tertawa dan menyimak ceritanya.
“Kau keliru satu hal, Maryam. Kau bilang, kau
ingin membahagiakan ibumu, bukan? Ayah tahu, membuatnya bahagia adalah belajar
dengan baik, sukses dengan baik sehingga ia bangga denganmu kelak. Tapi, kau
lupa satu hal itu, Maryam. Satu persen dari cara kau membuatnya bahagia adalah
mengabulkan permintaannya. Dan...keinginannya tidak sulit, hanya ingin kau
datang menemuinya. Ia hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu—satu hari juga
sudah cukup, sama seperti ketika kau masih bersamanya setiap saat. Ia takut,
kau akan melupakannya. Ia takut kau lupa bahwa masih ada sosok yang mulai menua
ini menunggu kau pulang—kembali ke rumah kita—satu-satunya tempat kita
berkumpul bersama, sebagai keluarga.” ucap ayah. Aku berusaha menahan tangis.
“Kau terlalu sibuk dengan urusan di sana,
Maryam. Hingga kau lupa membagi waktu untuk ayah dan ibu kau, Maryam. Ayah
tahu, kau menyesal telah melakukannya. Tapi, ini bukan tentang menyesal atau
tidak. Tapi tentang waktu yang memberi pelajaran untuk kau. Setelah ini, ayah
yakin kau akan berubah. Kau akan lebih menghargai waktu setelah ini.”
“Bagaimanapun sibuknya kau saat ini, tetap
luangkan waktu untuk keluargamu, Maryam. Terutama sekarang untuk ayahmu. Haha. Ayah
sekarang sendiri, jadi kalau kau tidak sibuk suatu hari nanti, tengoklah ayah
dan mari ke sawah bersama-sama.”
Ayah telah meminta.
Ayah menangis. Itulah tangis pertama yang
kulihat. Sekarang, giliranku memeluknya, menepuk pundaknya dengan lembut. Jika dahulu
aku tidak bisa memenuhi permintaan ibu, setidaknya aku dapat menebusnya melalui
ayah, bukan?
“Ayah... maafkan aku. InsyaAllah, akan kutulis
waktu untukmu, Ayah. Aku janji.”
###
Nb: Saya kehabisan ide melanjutkan kisah si Hana, Thariq dan Kirana. Mungkin saya butuh waktu memikirkan kelanjutannya^^. Nah, di balik kebuntuan bersama si Kirana (seseorang menyebut nama ini sering ketika berjumpa dengan saya-__-) saya berhasil menulis ini. Saya sedang menerapkan "kiat" dari seorang penulis yang menyebutkan "menulislah setiap hari, minimal 500 kata perhari". Oleh karena itu, insyaAllah akan saya terapkan.
Selamat membaca^^
No comments:
Post a Comment