Judul : Bidadari Bermata Bening
Pengarang : Habiburrahman El Shirazy
Tahun terbit : April 2017
Penerbit : Republika
Jumlah halaman : 337 halaman
“Saat
masih muda, saat masih dalam fase menuntut ilmu sebaiknya tidak memikirkan hal
lain kecuali ilmu. Ingat, ilmu tidak akan didapat kecuali dengan dikejar
sungguh-sungguh. Sedangkan jodoh sudah disediakan oleh Allah. Kalau saat kau
harus mengejar ilmu malah mengejar jodoh, kau bisa kecewa jika ternyata yang
kau kejar bukan jodohmu, dan ilmu sudah pergi jauh dari jangkauanmu.” –halaman
56.
Bidadari
Bermata Bening. Kali terakhir saya membaca karya Kang Abik adalah Ayat-ayat
Cinta 2 yang menurut saya cukup fenomenal. Novel ini cukup menarik minat saya
untuk membacanya karena judul dan desain sampulnya yang cantik. Kurang lebih
sebulan saya menimbun novel ini karena suatu hal yang harus saya selesaikan.
Dan, kemarin sore saya memulai dan menyelesaikannya hari ini.
Saya
sedikit kesulitan mendeskripsikan isi ceritanya. Novel ini mengisahkan sosok
seorang gadis bernama Ayna. Dia merupakan seorang santri yang sekaligus bekerja
sebagai khadimah. Penulis
mendeskripsikan Ayna sebagai wanita yang cantik, sholehah, anggun, dan segala
kebaikan ada di dalam dirinya. Sama sepertinya karya-karya Kang Abik
sebelumnya, tokoh-tokoh yang dihadirkan selalu memiliki karakter yang istimewa
bahkan nyaris sempurna. Sebenarnya masalah yang dihadirkan pada novel tidak
serumit permasalahan Fahri dan Aisha. Bagaimana rasanya jika suatu niat baik
justru datang terlambat? Afif dan Ayna.
“Jangan,
Bah. Kalau Abah lakukan itu, Afif akan semakin menderita. Afif tidak mau
menjadi penyebab Abah menabrak aturan Baginda Nabi. Seorang muslim tidak boleh
melamar di atas lamaran saudaranya. Apalagi merusaknya, membatalkan akad nikah
yang sudah siap disebar…” –halaman 183.
Saya
suka kisah mereka berdua. Sebenarnya masalah yang dihadirkan cukup sederhana. Hanya
saja, saya seolah menyaksikan terlalu banyak drama dalam kisah Afif dan Ayna. Bukan
saya tidak menyukai drama dalam karya fiksi, tapi ada beberapa bagian cerita
yang seolah dipaksakan. Akibatnya, saya pun merasa tidak nyaman dan merasa
'geli' sendiri. Saya belum mampu memahami sosok Ayna maupun Afif dengan baik. Bagi
saya, niat penulis adalah baik. Bagaimana menghadirkan suatu cerita dengan
sekelumit masalah dan berakhir indah. Namun, ada beberapa hal dalam pandangan
saya terkesan klise. Tapi saya paham. Penulis berniat baik untuk menyampaikan
bahwa masih banyak orang baik di dunia ini di antara seribu penjahat,
percayalah! Selain itu, ada beberapa typo
yang saya temukan berulang kali dan cukup menganggu kenyamanan saya dalam
membaca.
Meskipun
begitu, buku ini sarat akan nilai-nilai agama dan moral yang kental. Deskripsi tentang
pesantren pun dengan detail di gambarkan oleh Kang Abik. Masalah yang
dihadirkan pun adalah permasalahan kekinian tentang politik dan korupsi. Saya
suka dengan karakter Afif dan Ayna. Penulis selalu menghadirkan tokoh dengan
karakter yang 'lurus'. Harapannya, pembaca dapat mengikuti jejak yang sama
dengan si tokoh. Pelajaran yang saya peroleh adalah tentang prinsip-prinsip
agama yang dipegang dengan teguh. Tentang janji yang mesti dipenuhi walaupun
janji yang teramat sederhana.
Dan,
pada akhirnya hanya inilah yang bisa saya ceritakan tentang Afif dan Ayna. Saya
masih berada dalam zona ‘kaku’ untuk menulis, sehingga tidak dipungkiri
menyusun deretan kalimat ini membuat saya harus bekerja keras.
Rating : 2/5
|
No comments:
Post a Comment