Judul : A Man Called Ove
Pengarang : Fredrik Backman
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Tahun terbit : Januari 2016
Penerbit : Noura Books
Jumlah halaman : 440 halaman
Sinopsis
Sebelum terlibat lebih jauh dengannya, biar kuberi tahu. Lelaki
bernama Ove ini mungkin bukan tipemu. Ove bukan laki-laki yang menuliskan puisi
atau lagu cinta saat kencan pertama. Dia juga bukan tetangga yang akan
menyambutmu di depan pagar sambil tersenyum hangat. Dia lelaki antisosial dan
tidak mudah percaya kepada siapapun.
Seumur hidup, yang dipercayainya hanya Sonja yang cantik, mencintai
buku-buku, dan menyukai kejujuran Ove. Orang melihat ove sebagai lelaki hitam
putih, sedangkan Sonja penuh warna. Tak pernah ada yang menanyakan kehidupan
Ove sebelum bertemu Sonja. Namun bila ada, dia akan menjawab bahwa dia tidak
hidup. Sebab, di duia ini yang bisa dicintainya hanya tiga hal: kebenaran,
mobil Saab, dan Sonja.
Lalu… masih inginkah kau mengenal lelaki bernama Ove ini?
***
Saya memulai membaca buku ini sekitar akhir
Juni—kurang lebih 5 bulan yang lalu. Buku ini bercerita tentang laki-laki tua
bernama Ove. Awalnya saya tidak begitu antusias membaca buku ini, karena
dibagian awal hanya bercerita tentang rutinitas dan sifat Ove yang lumayan
mengesalkan. Karena hal itulah, saya berjalan lambat menyelesaikan buku ini.
Namun, ketika saya memasuki halaman ke- 200, saya menyesal tidak membaca buku
ini sedari dulu.
Ove—laki-laki tua yang dalam imajinasi saya
adalah sosok yang tinggi, kuat, dan penulis mengatakan bahwa dia memiliki
banyak bekas luka di tubuhnya. Terlepas tentang kehidupannya bersama Sonja,
penulis tidak pernah menceritakan bagaimana kehidupan Ove sebelum bertemu
dengan Sonja. Karena bagi Ove, sebelum bertemu Sonja, dia tidak pernah merasa
hidup. Karakter Ove dalam buku ini begitu kuat, buktinya saya merasa bahwa dia
benar-benar hidup. Ove adalah orang yang lurus, memegang prinsip begitu gigih
meskipun kadangkala membuat segalanya menjadi rumit.
“Namun bagi Sonja, Ove tidak pernah masam, kikuk, dan keras kepala.
Baginya Ove adalah buket bunga merah jambu yang sedikit acak-acakan pada saat
makan malam pertama mereka. Ove adalah setelan cokelat milik ayahnya yang
sedikit terlalu ketat di bahu bidang muramnya. Ove sangat meyakini beberapa
hal: keadilan, kesetaraan, kerja keras dan dunia yang menganggap kebenaran
adalah kebenaran. Bukan karena dia ingin mendapat medali, diploma, atau tepukan
di panggung, tapi hanya karena memang begitulah seharusnya.” – halaman 199.
Sonja mencintai Ove dengan segala kekurangannya.
Bahkan ketika semua orang menyangsikan keputusannya, dia percaya bahwa Ove
adalah orang yang tepat untuknya.
“Dan ketika salah seorang teman perempuannya bertanya mengapa dia
mencintai Ove, Sonja menjawab bahwa sebagian
besar lelaki kabur dari kobaran api. Namun lelaki seperti Ove berlari
menyongsongnya.” –
halaman 201.
“Itu salah satu sifat yang paling dihargai Sonja dari Ove… dia tidak
mengenal orang lain yang bisa duduk di dalam mobil selama satu jam, menunggu,
tanpa menuntut untuk tahu apa yang sedang ditunggunya atau berapa lama dia
harus menunggu…. Dia tidak pernah bertanya apa yang dilakukan Sonja. Dan dia
selalu menunggu Sonja.” –halaman 225.
“Mencintai seseorang bisa disamakan dengan pindah ke sebuah
rumah…mulanya kau jatuh cinta dengan semua barang barunya, setiap pagi merasa
takjub karena semuanya adalah milikmu, lalu bertahun-tahun kemudian, dinding
rumahnya menjadi lapuk, kayunya pecah sana sini, dan kau mulai mencintai rumah
itu bukan karena semua kesempurnaannya, tapi lebih karena ketidaksempurnaannya.
Kau mulai mengenal semua sudut dan celahnya. Bagaimana cara menghindari kunci
tersangkut di lubangnya ketika udara di luar dingin.” –halaman 400.
Kehidupan Ove dan Sonja baik-baik saja, hingga
pada akhirnya Sonja memutuskan untuk mendahului Ove. Lalu, tibalah bagi Ove
untuk memutuskan untuk mengikuti Sonja, namun selalu gagal dilakukannya.
“Kita merasa gentar terhadap kematian, tapi sebagian besar dari kita
merasa paling takut jika kematian itu membawa pergi orang lain. Sebab yang
selalu menjadi ketakutan terbesar adalah jika kematian itu melewatkan kita. Dan
meninggalkan kita di sana sendirian.”
Penulis menceritakan dengan alur bolak balik.
Satu bab bercerita tentang kehidupan Ove di masa sekarang, dan bab selanjutnya
bercerita bagaimana kehidupannya bersama Sonja. Mungkin pada bagian awal, saya
tidak begitu ingat ceritanya (saya hanya ingat bagian Ove yang marah-marah
-_-). Meskipun Ove terkesan tempramen, sebenarnya dia memiliki hati yang sangat
tulus. Bahkan ketika orang-orang tertidur lelap, dia membantu seseorang di luar
sana.
Saya suka, ketika penulis menceritakan
persahabatan Ove dan Rune. Meskipun entah karena apa akhirnya mereka saling
membenci (tapi mereka tidak pernah benar-benar membenci). Saya tersentuh ketika
Ove membantu Anita agar Rune—suaminya tidak dibawa oleh dinas sosial.
Terkadang, di balik marahnya seseorang ada kepedulian yang tak terlihat.
“Salah seorang dari mereka adalah lelaki yang menolak melupakan masa
lalu, dan yang seorang lagi adalah lelaki yang benar-benar tidak bisa mengingat
masa lalu.” –
halaman 287.
Saya suka dengan Parvaneh—ibu hamil yang belajar
menyetir, dengan sabarnya menghadapi Ove. Parvaneh—yang ketika Ove terluka
adalah orang pertama kehilangan kendali. Cinta
adalah sesuatu yang ganjil.
Tere Liye pernah menyebutkan dalam novelnya bahwa
ketika kau mencintai seseorang begitu dalam, lalu dia pergi, maka dia membawa
separuh hatimu. Bagi saya, kematian Sonja tidak lagi membawa separuh hati Ove,
tapi seutuhnya. Saya ingat bahwa di dalam rumah Ove masih terdapat
barang-barang Sonja yang belum dikemasnya, dan masih adanya catatan kecil Sonja
di kulkas. Karena bagi Ove, dengan seperti itulah dia bisa melanjutkan hidup.
Ove mengunjungi makamnya hampir setiap hari, bercerita banyak hal, dan
menyampaikan kerinduan yang tak tertahankan.
“Kita selalu mengira masih ada cukup banyak waktu untuk melakukan
segalanya bersama orang lain. Masih ada waktu untuk mengucapkan segalanya
kepada mereka. Lalu terjadi sesuatu, dan kita berdiri di sana sambil
menggelayuti kata-kata semacam ‘seandainya saja’” – halaman 393.
“Sesuatu di dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia
harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya. Tidak ada waktu
untuk menyembuhkan luka semacam itu… dan, bukannya Ove ikut mati ketika Sonja
meninggalkannya. Dia hanya berhenti hidup.”
Saya melihat kematian Sonja dan Ove hampir sama.
Mereka sama-sama pergi dengan tenang. Jika tidak ada sosok Sonja hadir dalam
hidup Ove, mungkin selamanya kehidupan Ove akan menjadi abu-abu. Bahkan, ketika
suatu insiden yang menimpa Sonja—seolah meredupkan warna kehidupannya, namun
Sonja tetap berwarna.
“Kita bisa menyibukkan diri dengan hidup atau dengan mati, Ove. Kita
harus melanjutkan hidup.” – halaman 265.
Buku ini benar-benar bercerita tentang kehidupan.
Bagaimana membantu orang-orang tanpa pamrih, menegakkan bahwa kebenaran adalah kebenaran,
dan mencintai dengan sepenuh hati sesuatu yang dicintainya. Buku ini sangat
manis, bagaimana akhirnya Parvaneh, Patrick, Jimmy, Adrian dan semua tetangga
Ove menyayanginya. Walaupun Ove selalu marah-marah kepada mereka, ternyata ada
sesuatu yang terselip di hatinya yaitu ketulusan. Saya selesai dengan buku ini,
dan masih membekas hingga sekarang. Mungkin esok-esok saya harus membaca buku
Fredrik Backman yang lainnya.
Bagaimana akhir dari kisah Ove? Bagi saya,
kehidupan Ove berakhir sangat-sangat manis. Dia meninggalkan orang-orang yang
mencintainya dengan tersenyum lapang. Bahkan Parvaneh membisikkan sesuatu di
telinganya dengan tersenyum tanpa air mata.
Saya memberikan 5/5 bintang untuk buku ini. Ah
ya, saya meminjamnya di Ijak. Jadi, jika teman-teman tertarik membacanya, bisa
didownload di Ijak secara gratis. Selamat membaca!
Salam.
|