Judul : The Orange Girl
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerjemah : Yuliani Liputo
Tahun terbit : Februari 2016
Penerbit : Mizan Pustaka
Jumlah halaman : 257 halaman
Sinopsis
Aku
mesti mengajukan pertanyaan serius kepadamu, Georg, dan itulah sebabnya aku menulis.
Akan tetapi, agar mampu mengajukan pertanyaan ini, pertama-tama aku harus
menyampaikan cerita sedih. Bagaimana perasaan Anda
jika mendapat surat seperti di atas dari ayah Anda yang meninggal sebelas tahun
yang lalu? Bingung, tentunya.
Itulah
yang dialami Georg Røed pada usianya yang ke-15 tahun. Dia tak habis pikir
mengapa ayahnya, di kala menjelang wafat, memutuskan untuk menuliskan kisah
cintanya dengan seorang gadis misterius. Si Gadis Jeruk, demikian ayahnya
menyebut gadis tersebut. Siapa sebenarnya si Gadis Jeruk itu? Dan mengapa pula
ayahnya menanyakan kabar Teleskop Ruang Angkasa Hubble? Sepanjang isi buku ini,
bersama Georg, Anda akan diajak menjelajahi sebuah dunia yang di dalamnya
kehidupan nyata dijalani seperti dalam dongeng. Dari sebuah kisah cinta,
beralih ke perenungan tentang alam semesta, sampai pada pertanyaan filosofis
tentang hidup, akhirnya mungkin Anda pun bisa menjawab pertanyaan ayah Georg:
sebuah pertanyaan yang sangat penting bagi hidup kita.
***
The
Orange Girl merupakan karya pertama dari Jostein Gaarder yang saya baca. Buku
ini bercerita tentang seorang anak yang menerima surat dari ayahnya setelah sebelas
tahun kematian sang ayah. Saya membaca buku ini sejak Juni dan baru menyelesaikannya
beberapa hari yang lalu. Saya mungkin memiliki kelemahan untuk menyelesaikan
buku terjemahan dengan kilat. Saya akui, buku terjemahan lebih dominan
mengandung deskripsi dibandingkan percakapan. Hal inilah yang menyebabkan saya
harus membacanya pelan-pelan. Karena bisa-bisa saya ketinggalan sesuatu karena
melewatkan beberapa kalimat.
Awalnya
saya kebingungan membaca buku ini, karena kesulitan dalam membedakan bagian si
anak dengan si bapak. Lalu saya terhenti membacanya beberapa bulan, dan
berusaha kembali memahaminya. Saya baru mendapatkan sensasi membacanya—sama ketika
akhirnya menamatkan A Man Called Ove—setelah
vakum membaca berbulan-bulan.
Georg—si
anak memperoleh surat dari ayahnya yang berisi tentang seorang gadis yang
diberi nama oleh ayahnya: Gadis Jeruk. Surat yang ditulis ayahnya lebih tepat
dinamakan surat cinta, karena semuanya berisi tentang pertemuannya dengan gadis
itu, hingga akhirnya berpisah melalui kematian. Saya tidak pernah melewatkan
setiap kata yang ditulis oleh ayah Georg, karena melalui surat itu memperlihatkan
betapa ayah Georg mencintai si Gadis Jeruk.
Aku teringat bagaimana,
beberapa hari yang lalu, kita melewatkan beberapa jam untuk bermain game
komputer. Barangkali game itu lebih mengasyikkan aku daripada kamu; aku
membutuhkan sedikit jeda dari seluruh beban pikiranku. Tapi setiap kali kita ‘mati’
dalam game itu, segera muncul tampilan baru, dan kita mulai lagi. Bagaimana kita
bisa tahu bahwa tidak ada ‘tampilan baru’ untuk jiwa kita juga? Kurasa tidak ada,
aku sungguh yakin itu. Akan tetapi, impian tentang sesuatu yang tak mungkin,
memiliki nama tersendiri. Kita menyebutnya harapan.
Saya
suka perjanjian yang diberikan si Gadis Jeruk kepada Jan Olav—ayah Georg ketika
bertemu di katedral saat malam natal. Perjanjian itu sederhana, namun bermakna
dalam. Saya membaca beberapa review di goodreads
bahwa buku ini sarat akan filsafat sehingga tidak mungkin saya harus membacanya
dengan baik. Setelah membacanya memang benar banyak filosofi yang disajikan
oleh penulis.
“Dalam hidup, kita
kadang-kadang perlu untuk bisa sedikit merindu. Aku menulis surat kepadamu. Aku
mencoba untuk memberimu kekuatan merindu sedikit lagi.”
– halaman 144.
“Tidak selalu mudah untuk
menemukan orang di dalam sebuah kota besar, setidaknya kalau kita berniat untuk
bertemu mereka seolah-olah secara kebetulan.” –halaman
156.
Pada
bagian-bagian akhir di buku ini, penulis mengakhirinya dengan manis. Walaupun dengan
surat itu menyebabkan semua orang harus berduka kembali. Karena bagaimanapun
Georg dan keluarganya sangat mencintai ayahnya.
Saya
suka dengan buku ini dan rasanya berniat untuk membaca karya Jostein yang lain—seperti
Dunia Sophie barangkali. Nah, mungkin setelah membaca buku ini kita akan
terbesit untuk bertanya: Bagaimana ayah dan ibu bertemu dan akhirnya memutuskan
untuk hidup bersama?
Ketika aku dan ayah melayang
menembus angkasa bersama-sama, dan ayah tiba-tiba menangis, kusadari bahwa
tidak ada satu apa pun di dunia ini yang bisa dijadikan sandaran. –halaman
219.
“Kita datang ke dunia
ini hanya sekali.” – halaman 240.
Hidup itu singkat bagi
mereka yang benar-benar bisa memahami bahwa suatu hari, seluruh dunia ini akan
tiba pada titik akhir yaitu penghabisan.
–halaman 241.
Saya
selesai dengan buku ini. Semua pertanyaan dan teka-teki pada buku ini terjawab
sudah dengan baik oleh penulis. Penulis menceritakannya dengan apik sehingga begitu
sederhana bagi saya untuk memahaminya, meskipun harus membacanya dengan lambat.
Saya memberikan 4/5 bintang untuk buku ini. Ah ya, saya meminjam buku ini di Ijak.
Jadi, jika ada teman-teman yang ingin membacanya dapat men-download nya secara gratis di Ijak. Bulan desember sudah begitu
dekat, dan target membaca saya berjalan seperti siput -__-. Saya sungguh tidak
konsumtif dalam membacanya tahun ini, tapi terlalu konsumtif membeli (Haha). Baiklah,
selamat membaca!
Salam.
|
No comments:
Post a Comment