Pages

November 29, 2017

[Review] The Orange Girl #Jostein Gaarder

Judul : The Orange Girl
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerjemah : Yuliani Liputo
Tahun terbit : Februari 2016
Penerbit : Mizan Pustaka
Jumlah halaman : 257 halaman

Sinopsis
Aku mesti mengajukan pertanyaan serius kepadamu, Georg, dan itulah sebabnya aku menulis. Akan tetapi, agar mampu mengajukan pertanyaan ini, pertama-tama aku harus menyampaikan cerita sedih. Bagaimana perasaan Anda jika mendapat surat seperti di atas dari ayah Anda yang meninggal sebelas tahun yang lalu? Bingung, tentunya.

Itulah yang dialami Georg Røed pada usianya yang ke-15 tahun. Dia tak habis pikir mengapa ayahnya, di kala menjelang wafat, memutuskan untuk menuliskan kisah cintanya dengan seorang gadis misterius. Si Gadis Jeruk, demikian ayahnya menyebut gadis tersebut. Siapa sebenarnya si Gadis Jeruk itu? Dan mengapa pula ayahnya menanyakan kabar Teleskop Ruang Angkasa Hubble? Sepanjang isi buku ini, bersama Georg, Anda akan diajak menjelajahi sebuah dunia yang di dalamnya kehidupan nyata dijalani seperti dalam dongeng. Dari sebuah kisah cinta, beralih ke perenungan tentang alam semesta, sampai pada pertanyaan filosofis tentang hidup, akhirnya mungkin Anda pun bisa menjawab pertanyaan ayah Georg: sebuah pertanyaan yang sangat penting bagi hidup kita.
***

The Orange Girl merupakan karya pertama dari Jostein Gaarder yang saya baca. Buku ini bercerita tentang seorang anak yang menerima surat dari ayahnya setelah sebelas tahun kematian sang ayah. Saya membaca buku ini sejak Juni dan baru menyelesaikannya beberapa hari yang lalu. Saya mungkin memiliki kelemahan untuk menyelesaikan buku terjemahan dengan kilat. Saya akui, buku terjemahan lebih dominan mengandung deskripsi dibandingkan percakapan. Hal inilah yang menyebabkan saya harus membacanya pelan-pelan. Karena bisa-bisa saya ketinggalan sesuatu karena melewatkan beberapa kalimat.

Awalnya saya kebingungan membaca buku ini, karena kesulitan dalam membedakan bagian si anak dengan si bapak. Lalu saya terhenti membacanya beberapa bulan, dan berusaha kembali memahaminya. Saya baru mendapatkan sensasi membacanya—sama ketika akhirnya menamatkan A Man Called Ove—setelah vakum membaca berbulan-bulan.

Georg—si anak memperoleh surat dari ayahnya yang berisi tentang seorang gadis yang diberi nama oleh ayahnya: Gadis Jeruk. Surat yang ditulis ayahnya lebih tepat dinamakan surat cinta, karena semuanya berisi tentang pertemuannya dengan gadis itu, hingga akhirnya berpisah melalui kematian. Saya tidak pernah melewatkan setiap kata yang ditulis oleh ayah Georg, karena melalui surat itu memperlihatkan betapa ayah Georg mencintai si Gadis Jeruk.

Aku teringat bagaimana, beberapa hari yang lalu, kita melewatkan beberapa jam untuk bermain game komputer. Barangkali game itu lebih mengasyikkan aku daripada kamu; aku membutuhkan sedikit jeda dari seluruh beban pikiranku. Tapi setiap kali kita ‘mati’ dalam game itu, segera muncul tampilan baru, dan kita mulai lagi. Bagaimana kita bisa tahu bahwa tidak ada ‘tampilan baru’ untuk jiwa kita juga? Kurasa tidak ada, aku sungguh yakin itu. Akan tetapi, impian tentang sesuatu yang tak mungkin, memiliki nama tersendiri. Kita menyebutnya harapan.

Saya suka perjanjian yang diberikan si Gadis Jeruk kepada Jan Olav—ayah Georg ketika bertemu di katedral saat malam natal. Perjanjian itu sederhana, namun bermakna dalam. Saya membaca beberapa review di goodreads bahwa buku ini sarat akan filsafat sehingga tidak mungkin saya harus membacanya dengan baik. Setelah membacanya memang benar banyak filosofi yang disajikan oleh penulis.

“Dalam hidup, kita kadang-kadang perlu untuk bisa sedikit merindu. Aku menulis surat kepadamu. Aku mencoba untuk memberimu kekuatan merindu sedikit lagi.” – halaman 144.

“Tidak selalu mudah untuk menemukan orang di dalam sebuah kota besar, setidaknya kalau kita berniat untuk bertemu mereka seolah-olah secara kebetulan.” –halaman 156.

Pada bagian-bagian akhir di buku ini, penulis mengakhirinya dengan manis. Walaupun dengan surat itu menyebabkan semua orang harus berduka kembali. Karena bagaimanapun Georg dan keluarganya sangat mencintai ayahnya.

Saya suka dengan buku ini dan rasanya berniat untuk membaca karya Jostein yang lain—seperti Dunia Sophie barangkali. Nah, mungkin setelah membaca buku ini kita akan terbesit untuk bertanya: Bagaimana ayah dan ibu bertemu dan akhirnya memutuskan untuk hidup bersama?

Ketika aku dan ayah melayang menembus angkasa bersama-sama, dan ayah tiba-tiba menangis, kusadari bahwa tidak ada satu apa pun di dunia ini yang bisa dijadikan sandaran. –halaman 219.

“Kita datang ke dunia ini hanya sekali.” – halaman 240.

Hidup itu singkat bagi mereka yang benar-benar bisa memahami bahwa suatu hari, seluruh dunia ini akan tiba pada titik akhir yaitu penghabisan. –halaman 241.

Saya selesai dengan buku ini. Semua pertanyaan dan teka-teki pada buku ini terjawab sudah dengan baik oleh penulis. Penulis menceritakannya dengan apik sehingga begitu sederhana bagi saya untuk memahaminya, meskipun harus membacanya dengan lambat. Saya memberikan 4/5 bintang untuk buku ini. Ah ya, saya meminjam buku ini di Ijak. Jadi, jika ada teman-teman yang ingin membacanya dapat men-download nya secara gratis di Ijak. Bulan desember sudah begitu dekat, dan target membaca saya berjalan seperti siput -__-. Saya sungguh tidak konsumtif dalam membacanya tahun ini, tapi terlalu konsumtif membeli (Haha). Baiklah, selamat membaca!

Salam.

No comments:

Post a Comment