Pages

November 12, 2017

[Review] All The Bright Places #Jennifer Niven


Judul : All The Bright Places (Tempat-tempat Terang)
Pengarang : Jennifer Niven
Penerjemah : Angelic Zaizai
Tahun terbit : 2017
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 400 halaman

Sinopsis
Theodore Finch terobsesi pada kematian, dan terus menerus memikirkan berbagai cara untuk bunuh diri. Namun, setiap kali, sesuatu yang positif, meski sepele, selalu menghentikannya.

Violet Markey selalu memikirkan masa depan, menghitung hari sampai tiba hari kelulusannya karena itu berarti ia akan bisa meninggalkan kota kecil tempat ia tinggal dan kesedihan mendalam akibat kematian kakaknya.

Ketika Finch dan Violet bertemu di tubir menara lonceng sekolah, tidak jelas siapa yang menyelamatkan siapa. Dan ketika mereka bekerja sama untuk mengerjakan tugas, Finch dan Violet malah menyadari hal-hal lain yang lebih penting: hanya bersama Violet-lah Finch bisa menjadi diri sendiri—cowok nyentrik, lucu, yang menikmati hidup dan ternyata sama sekali tidak aneh. Dan hanya bersama Finch-lah Violet bisa mulai menikmati hidup. Tetapi, seiring meluasnya dunia Violet, dunia Finch ternyata justru mulai menyusut.
***

Saya membeli buku ini awal bulan ini dengan alasan yang sederhana: karena buku ini bercerita tentang kematian. Apabila dilihat dari sinopsis, maka sudah jelas cerita seperti apa yang dihadirkan oleh penulis: suram, depresi, dan menyangkut kematian. Sama halnya ketika saya memutuskan membaca San Franscisco karya Ziggy yaitu karena berhubungan dengan kematian. Selain itu, karena tokoh-tokoh yang berencana bunuh diri ini sebenarnya tetap ingin hidup.

Saya ingat salah satu buku yang menyebutkan bahwa: terkadang kita terlalu sibuk menolong orang lain, melakukan banyak hal untuk mereka, padahal sesungguhnya kita lah yang membutuhkan pertolongan. Bagi saya kalimat itu tertuju untuk Finch. Saya tidak tau apakah pada akhirnya cerita ini berakhir bahagia atau justru sebaliknya. Karena saya memahami bahwa setiap orang memiliki pilihan untuk dirinya sendiri. Mungkin, itulah pilihan yang terbaik bagi Finch. Baiklah, mari kita bercerita tentang Finch dan Violet.

Theodore Finch atau di sekolah dia dipanggil si ‘Theodore Aneh’. Finch bukanlah siswa baik-baik. Dia nakal, suka berkelahi, dan belakangan di ketahui bahwa dia memiliki kelainan emosional istilahnya adalah bipolar. Di sekolah, Finch terancam dikeluarkan dan harus mengikuti konseling agar guru tetap dapat mengawasinya. Berbeda halnya dengan Violet Markey—Violet. Dia adalah gadis populer, cantik, suka menulis, dan tidak termasuk dalam lingkaran Finch. Namun karena kematian kakaknya—Eleanor, Violet berubah dan seolah kehidupannya telah berakhir.

“Seandainya segala-galanya binasa, dan dia masih bertahan, aku akan tetap ada; dan seandainya semua hal lain bertahan, dan dia menghilang, alam semesta akan berubah menjadi sangat asing.” –halaman 88.

Suatu hari, mereka berdua bertemu di menara lonceng. Jika ini tidak menyangkut kematian, kondisi ini akan terlihat lucu. Sebenarnya mereka berdua memiliki niat yang sama yaitu bunuh diri. Namun entah kenapa salah satu dari mereka akhirnya memutuskan untuk hidup dan menyelamatkan yang lain. Dan, karena itulah pertemanan mereka dimulai.

“… karena kau tersenyum padaku.” Alasan kenapa Finch ingin mendekati Violet karena gadis itu orang pertama yang tersenyum padanya dan tidak menganggapnya aneh. Finch memutuskan untuk menjadi partner Violet tentang tugas proyek. Disanalah mereka, berpetualang bersama, menjelajahi banyak hal dengan bermodalkan peta. Saya suka bagian ketika mereka pergi ke suatu tempat, karena melalui perjalanan itu sebenarnya mereka tengah menyembuhkan diri.

“Aku mempelajari bahwa ada kebaikan dalam dunia ini jika kita mencarinya dengan cukup gigih. Aku mempelajari bahwa tidak semua orang mengecewakan, termasuk aku, dan bahwa gundukan setinggi 383 meter di tanah bisa terasa lebih tinggi dibandingkan menara lonceng bila kita berdiri di sebelah orang yang tepat.” –halaman 112.

Lambat laun, saya menyadari bahwa Finch berusaha membantu Violet agar tetap hidup dan berhenti menyalahkan diri sendiri tentang kematian kakaknya. Finch selalu mengucapkan kata suatu hari nanti. Seolah-olah dia pun juga sedang berusaha untuk mengobati dirinya—sendiri.

“Kau selalu hadir dalam segala cara yang mampu dilakukan seseorang. Seandainya ada yang mampu menyelamatkanku, kaulah orangnya.” –halaman 114.

Buku ini merupakan novel remaja yang menurut saya ‘aman’ dibaca untuk kategori novel terjemahan. Meskipun penulis mengusung tema remaja yang erat kaitannya dengan romansa, saya justru menemukannya cukup sedikit. Penulis lebih fokus terhadap bagaimana mereka berdua mengobati diri dan pada akhirnya memilih untuk tetap hidup atau mati. Saya melihat sosok Finch sungguh luar biasa, bagaimana dia bertahan, berusaha untuk tetap hidup tanpa bantuan dari orang lain. Ketika dia mampu menyelamatkan Violet, namun pada akhirnya dia tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri.

“Kenapa aku tak mampu menyelamatkan nyawamu?” – halaman 362.

Apakah saya kecewa dengan akhir yang diberikan penulis? Hidup dan mati bagi mereka adalah pilihan. Jika mereka memilih untuk hidup dan yang lainnya mati, maka itulah pilihannya. Mungkin karena salah satu di antara mereka sudah terlalu lelah, dan pilihan terbaik adalah bunuh diri—pergi ke dunia lain. Apakah saya marah pada Violet? Awalnya iya, karena dia seolah telah lelah menghadapi Finch. Namun, saya akhirnya sadar bahwa Finch tidak butuh pertolongan siapapun.

“Ada akhir yang sudah ditetapkan untuk segala-galanya di dunia ini, kan? Maksudku, bohlam seratus watt dirancang bertahan selama 750 jam. Matahari akan mati kira-kira dalam lima miliar tahun. Kita semua punya umur simpan. Mayoritas kucing bisa hidup sampai lima belas tahun, barangkali lebih. Kebanyakan anjing sampai dua belas tahun. Rata-rata orang Amerika dirancang untuk bertahan 28 ribu hari setelah dilahirkan, yang artinya ada tahun, hari, sampai menit yang spesifik ketika hidup kita akan berakhir. Kebetulan waktu kakakmu delapan belas tahun….” –halaman 164.


Saya suka ketika Finch dan Violet berbalas pesan dengan mengutip kalimat-kalimat dari buku. Mereka punya kesamaan yaitu kecintaan terhadap buku dan menulis. Saya suka tentang perjalanan mereka, bagaimana mereka menerapkan aturan dalam setiap perjalanan. Manusia tidak mengingat hari-hari, tapi momen-momen.

“Apa yang kusadari adalah, yang penting bukan apa yang kauambil melainkan apa yang kau tinggalkan.” –halaman 385.

Saya selesai dengan buku ini. Entahlah, buku ini berhak 5/5 bintang.
Selamat membaca!

No comments:

Post a Comment