Pages

May 15, 2018

[Review] The Storied Life of A.J Fikry #Gabrielle Zevin


Judul : The Storied Life of A.J Fikry (Kisah Hidup A.J Fikry)
Pengarang : Gabrielle Zevin
Penerjemah : Eka Budiarti
Tahun terbit : 2017
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 280 halaman
Sinopsis

“Manusia tidak bisa hidup sendiri; setiap buku membuka jendela dunia.”

Hidup A.J Fikry jauh dari yang diharapkannya. Istrinya meninggal, penjualan di toko bukunya merosot tajam, dan hartanya yang paling berharga, koleksi puisi Poe yang langka, baru saja hilang dicuri. Pelan tapi pasti, A.J. menjauhkan diri dari semua orang di Pulau Alice. Bahkan ia tak lagi menemukan kegembiraan dari buku-buku di tokonya. Ia malah menganggap buku-buku itu sekadar penanda bahwa dunia telah berubah begitu cepat.

Tetapi kemudian paket misterius muncul di tokonya. Paket itu kecil, meski bobotnya lumayan. Kemunculannya memberi A.J kesempatan untuk membuat hidupnya lebih baik dan melihat semua hal dengan perspektif berbeda. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang di sekitar A.J untuk menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tak lagi pahit, buku kembali menjadi dunianya, dan semua hal berubah menjadi sesuatu yang tak ia duga akan terjadi dalam hidupnya.
***

The Storied Life of A.J Fikry—merupakan buku pertama Gabrielle Zevin yang saya baca. Penulis mengambil latar di Pulau Alice—salah satu pulau kecil di belahan Amerika. Saya tertarik membaca buku ini karena bercerita tentang buku. Bagaimana rasanya menikmati kisah tentang seseorang yang mengenal buku dengan baik? Bagi saya, buku ini sederhana namun mengandung sisi sentimentil yang luar biasa.

Buku ini bercerita tentang kehidupan A.J Fikry. Pada bagian awal, penulis menceritakan dengan pelan kehidupan A.J. Fikry setelah ditinggal istrinya. Dia mengelola sebuah toko buku bernama Island Books. Toko buku tersebut merupakan sesuatu yang bisa membuat dia mengingat istrinya. Bisa dikatakan meninggalnya sang istri sekaligus membawa mati kehidupan A.J. Fikry. Dia hidup tapi terlihat mati. Sama halnya ketika dia didatangi Amelia—yang bertugas untuk mempromosikan buku dari penerbit tempat dia bekerja, A.J Fikry cenderung kaku, dingin, dan justru melahirkan kesan yang buruk terhadap Amelia. Namun, siapa yang menyangka hubungan mereka berakhir manis?

“Aku tidak menyukai campuran genre ala novel detektif sastra atau fantasi sastra. Sastra harus sepenuhnya sastra, dan genre harus genre, dan persilangan jarang menghasilkan karya memuaskan. Aku tidak menyukai buku anak, khususnya yang tokohnya yatim piatu, dan aku lebih tidak suka yang lebih tebal dari 400 halaman atau kurang dari 150 halaman. Aku muak dengan novel-novel karya bintang televisi realitas yang ditulis penulis bayangan, buku foto selebriti, memoar olahraga….Aku jarang menyediakan buku debut, chicklit, puisi atau terjemahan.”—halaman 18.

Hingga suatu hari hadirlah Maya dalam hidupnya. Jika pada awalnya tak satupun orang dapat menyentuh hati A.J, namun Maya melakukannya dengan baik. Kehidupan A.J berubah drastis dan bisnis toko bukunya berjalan lancar. A.J berubah menjadi sosok yang peduli dan sedikit lebih hangat.

“Yang paling mengjengkelkan tentang ini adalah setelah seseorang peduli kepada satu hal, ia harus mulai peduli tentang segala sesuatu.” –halaman 80.

Bagi saya, sosok Maya terlalu pintar dan bijak untuk anak seumuran dengannya. Pada bagian antara A.J dan Maya inilah sisi sentimentil mulai terbangun. Mereka berdua melakukan aktivitas yang lazim dilakukan ayah kepada anaknya. Namun, ketika seorang A.J yang melakukannya, terlihat menghangatkan. Pertanyaannya? Siapakah Maya hingga A.J begitu menyayanginya? Satu hal yang pasti: Maya adalah seorang gadis tanpa ikatan darah dengannya, namun rasa cintanya melebihi dari ikatan tersebut. Saya ingat kalimat dari sebuah buku: Jika seseorang membawa hatimu pergi, maka yang bisa kau lakukan adalah melanjutkan hidup dengan sisa hati yang ada, atau memutuskan mencari lagi separuh hati yang hilang. Dan, Maya seolah puzzle hatinya yang telah pergi.

“Hal-hal yang membuat kita tersentuh pada usia dua puluhan belum tentu sama dengan hal-hal yang membuat kita tersentuh pada usia empat puluhan, begitu pula sebaliknya. Hal ini benar dalam urusan buku, juga kehidupan.”—halaman 45.

“Aku punya gagasan tentang ini. Ingatlah bahwa pendidikan yang bagus bisa ditemukan di tempat-tempat yang tidak lazim.”—halaman 32.

Maya mengira A.J akan memeluknya, tapi A.J malah menjabat tangannya, seperti memberi salam kepada kolega—mungkin pengarang yang mengunjungi toko. “Hari ketika ayahku menjabat tanganku, aku tahu aku penulis.”—halaman 208.

Tidak hanya menceritakan tentang A.J, tapi juga mengenai Ismay dan Daniel—suaminya. Hanya disayangkan bagaimana akhir Ismay dengan Daniel. Bahkan saya berpikir: apakah ada sedikit saja di hati Daniel untuk mencintai Ismay tanpa menghadirkan wanita lain di hidupnya? Saya tidak tau, apakah perselingkuhan Daniel hanya semata kesenangan atau pernikahannya bersama Ismay hanya seremonial belaka? Walaupun begitu, pada akhirnya Ismay bahagia dengan caranya. Ah, saya selalu percaya tentang ini: bahwa suatu hari kita akan menemukan kebahagiaan masing-masing, tidak peduli seberapa sulitnya hidup yang dijalani sebelumnya.

Penulis menuturkan setiap paragraf dengan pelan, namun setiap kalimat itu bermakna. Setiap bab dari buku ini memiliki kisah yang berbeda. Namun setiap kisah tersebut saling berhubungan. Sepenggal kisah tentang Ismay, lalu tentang Lambiase, lalu tentang Amelia. Dan beberapa kisah tentang Amelia dengan Maya. Bahkan setiap kisah itu ada pilu tersendiri. Hanya saja, penulis dapat menceritakannya dengan rapi. Sehingga saya tidak perlu terkejut dan bertanya-tanya: kenapa menjadi seperti ini? Seolah penulis menyuruh pembaca untuk menerima semua yang diceritakan oleh penulis. Buktinya, hingga akhir halaman pun tak sedikit pun saya protes termasuk ending yang dipilih penulis.

Tidak seorang pun akan pernah mencintaiku sebesar itu lagi”—halaman 189.

Ketika membaca buku ini, saya teringat dengan buku A Man Called Ove karangan Fredrik Backman. Ada beberapa kesamaan watak dari tokoh utama. Mereka sama-sama berhati dingin yang disebabkan kehilangan istri. Padahal jauh di dalam hati mereka, tersimpan kasih sayang yang tulus. Mereka hanya merasa kesepian karena ditinggal oleh orang yang mereka cintai. Setelah membaca buku ini, saya belajar: barangkali perpisahan mengisyaratkan untuk pertemuan yang baru.

“Ketakutan tersembunyi bahwa kita tidak patut dicintailah yang menyebabkan kita terisolasi. Tapi sebenarnya, penyebab kita terisolasi adalah karena kita berpikir kita tidak patut dicintai. Dan suatu hari nanti, entah kapan, pria, atau wanita itu, akan ada di sana. Kau akan dicintai karena untuk pertama kali dalam hidupmu, kau benar-benar tidak akan sendirian. Kau akan memilih untuk tidak sendirian.”—halaman 168.

Kehidupan A.J berakhir dengan manis. Dia memiliki putri dan istri yang mencintainya dengan tulus. Bahkan ketika pikiran tak lagi sama dengan ucapan, Maya tetap mencintainya dan memanggilnya daddy. Ternyata demikian, panggilan sederhana namun memberikan energi yang luar biasa bagi A.J.

“Ya, Dad. Aku Dad. Aku menjadi Dad. Ayah Maya. Dad bagi Maya. Dad. Kata yang luar biasa. Kata singkat yang luar biasa hebat. Kata dan dunia yang luar biasa…. Aku tahu apa yang dilakukan kata-kata. Kata-kata mengurangi perasaan yang membebani kita.”—halaman 264.

Pada akhirnya, A.J menuliskan banyak hal untuk Maya. Agar kelak dia ingat bahwa dahulunya dia hidup melalui buku dan dari kasih sayang A.J.

“Pertanyaan yang sering kupikirkan adalah kenapa jauh lebih mudah menulis tentang hal-hal yang kita tidak sukai atau benci ketimbang hal-hal yang kita cintai?”—halaman 251.

“Kita adalah yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai.”—halaman 265.

Saya menyukai buku ini. Sama halnya ketika saya selesai dengan karya Fredrik Backman. Apabila dilihat dengan jelas, buku ini juga menghadirkan sisi romansa. Hanya saja, sisi romansanya terlalu manis sehingga yang terlihat bukan romansanya, namun perasaan hangat sebagai pembaca. Beberapa pertanyaan di pikiran saya juga terjawab, seperti siapa yang mengambil Tamerlane. Entah saya yang kurang menganalisa, namun ceritanya tidak tertebak oleh saya.

Ternyata seperti ini rasanya ketika membaca buku tentang ‘toko buku’. Saya memberikan 5/5 bintang untuk buku ini. Dan, kali ini saya tidak meminjamnya di Ijak 😊

Dan, selamat membaca!

“Kita membaca untuk mengetahui bahwa kita tidak sendirian. Kita membaca karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak sendirian.”—halaman 263.

2 comments:

  1. Glad you like this book Rifani!
    Ini salah satu bacaan favorit Farah di tahun 2018 juga ^^

    ReplyDelete
  2. Yap,bacaannya cukup ringan tapi sisi sentimentilnya itu yg ndak tahan, Farah 😄😄

    ReplyDelete