Judul : The Storied Life of A.J Fikry (Kisah
Hidup A.J Fikry)
Pengarang : Gabrielle Zevin
Penerjemah : Eka Budiarti
Tahun terbit : 2017
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 280 halaman
Sinopsis
“Manusia tidak bisa hidup sendiri; setiap buku membuka jendela dunia.”
Hidup A.J Fikry jauh dari yang diharapkannya. Istrinya meninggal,
penjualan di toko bukunya merosot tajam, dan hartanya yang paling berharga, koleksi
puisi Poe yang langka, baru saja hilang dicuri. Pelan tapi pasti, A.J.
menjauhkan diri dari semua orang di Pulau Alice. Bahkan ia tak lagi menemukan
kegembiraan dari buku-buku di tokonya. Ia malah menganggap buku-buku itu
sekadar penanda bahwa dunia telah berubah begitu cepat.
Tetapi kemudian paket misterius muncul di tokonya. Paket itu kecil,
meski bobotnya lumayan. Kemunculannya memberi A.J kesempatan untuk membuat hidupnya
lebih baik dan melihat semua hal dengan perspektif berbeda. Tak butuh waktu
lama bagi orang-orang di sekitar A.J untuk menyadari perubahan dalam dirinya. Ia
tak lagi pahit, buku kembali menjadi dunianya, dan semua hal berubah menjadi sesuatu
yang tak ia duga akan terjadi dalam hidupnya.
***
The Storied Life of A.J Fikry—merupakan buku
pertama Gabrielle Zevin yang saya baca. Penulis mengambil latar di Pulau Alice—salah
satu pulau kecil di belahan Amerika. Saya tertarik membaca buku ini karena
bercerita tentang buku. Bagaimana rasanya menikmati kisah tentang seseorang
yang mengenal buku dengan baik? Bagi saya, buku ini sederhana namun mengandung
sisi sentimentil yang luar biasa.
Buku ini bercerita tentang kehidupan A.J Fikry. Pada
bagian awal, penulis menceritakan dengan pelan kehidupan A.J. Fikry setelah
ditinggal istrinya. Dia mengelola sebuah toko buku bernama Island Books. Toko buku tersebut merupakan sesuatu yang bisa membuat
dia mengingat istrinya. Bisa dikatakan meninggalnya sang istri sekaligus
membawa mati kehidupan A.J. Fikry. Dia hidup tapi terlihat mati. Sama halnya
ketika dia didatangi Amelia—yang bertugas untuk mempromosikan buku dari
penerbit tempat dia bekerja, A.J Fikry cenderung kaku, dingin, dan justru
melahirkan kesan yang buruk terhadap Amelia. Namun, siapa yang menyangka
hubungan mereka berakhir manis?
“Aku tidak menyukai campuran genre ala novel detektif sastra atau
fantasi sastra. Sastra harus sepenuhnya sastra, dan genre harus genre, dan
persilangan jarang menghasilkan karya memuaskan. Aku tidak menyukai buku anak,
khususnya yang tokohnya yatim piatu, dan aku lebih tidak suka yang lebih tebal
dari 400 halaman atau kurang dari 150 halaman. Aku muak dengan novel-novel
karya bintang televisi realitas yang ditulis penulis bayangan, buku foto selebriti, memoar olahraga….Aku jarang
menyediakan buku debut, chicklit, puisi atau terjemahan.”—halaman 18.
Hingga suatu hari hadirlah Maya dalam hidupnya.
Jika pada awalnya tak satupun orang dapat menyentuh hati A.J, namun Maya
melakukannya dengan baik. Kehidupan A.J berubah drastis dan bisnis toko bukunya
berjalan lancar. A.J berubah menjadi sosok yang peduli dan sedikit lebih hangat.
“Yang paling mengjengkelkan tentang ini adalah setelah seseorang
peduli kepada satu hal, ia harus mulai peduli tentang segala sesuatu.” –halaman 80.
Bagi saya, sosok Maya terlalu pintar dan bijak
untuk anak seumuran dengannya. Pada bagian antara A.J dan Maya inilah sisi
sentimentil mulai terbangun. Mereka berdua melakukan aktivitas yang lazim
dilakukan ayah kepada anaknya. Namun, ketika seorang A.J yang melakukannya, terlihat
menghangatkan. Pertanyaannya? Siapakah Maya hingga A.J begitu menyayanginya?
Satu hal yang pasti: Maya adalah seorang gadis tanpa ikatan darah dengannya,
namun rasa cintanya melebihi dari ikatan tersebut. Saya ingat kalimat dari
sebuah buku: Jika seseorang membawa hatimu pergi, maka yang bisa kau lakukan adalah
melanjutkan hidup dengan sisa hati yang ada, atau memutuskan mencari lagi separuh
hati yang hilang. Dan, Maya seolah puzzle
hatinya yang telah pergi.
“Hal-hal yang membuat kita tersentuh pada usia dua puluhan belum tentu
sama dengan hal-hal yang membuat kita tersentuh pada usia empat puluhan, begitu
pula sebaliknya. Hal ini benar dalam urusan buku, juga kehidupan.”—halaman 45.
“Aku punya gagasan tentang ini. Ingatlah bahwa pendidikan yang bagus
bisa ditemukan di tempat-tempat yang tidak lazim.”—halaman 32.
Maya mengira A.J akan memeluknya, tapi A.J malah menjabat tangannya,
seperti memberi salam kepada kolega—mungkin pengarang yang mengunjungi toko. “Hari
ketika ayahku menjabat tanganku, aku tahu aku penulis.”—halaman 208.
Tidak hanya menceritakan tentang A.J, tapi juga mengenai
Ismay dan Daniel—suaminya. Hanya disayangkan bagaimana akhir Ismay dengan
Daniel. Bahkan saya berpikir: apakah ada sedikit saja di hati Daniel untuk
mencintai Ismay tanpa menghadirkan wanita lain di hidupnya? Saya tidak tau,
apakah perselingkuhan Daniel hanya semata kesenangan atau pernikahannya bersama
Ismay hanya seremonial belaka? Walaupun begitu, pada akhirnya Ismay bahagia
dengan caranya. Ah, saya selalu percaya tentang ini: bahwa suatu hari kita akan menemukan kebahagiaan masing-masing, tidak
peduli seberapa sulitnya hidup yang dijalani sebelumnya.
Penulis menuturkan setiap paragraf dengan pelan,
namun setiap kalimat itu bermakna. Setiap bab dari buku ini memiliki kisah yang
berbeda. Namun setiap kisah tersebut saling berhubungan. Sepenggal kisah
tentang Ismay, lalu tentang Lambiase, lalu tentang Amelia. Dan beberapa kisah
tentang Amelia dengan Maya. Bahkan setiap kisah itu ada pilu tersendiri. Hanya
saja, penulis dapat menceritakannya dengan rapi. Sehingga saya tidak perlu
terkejut dan bertanya-tanya: kenapa menjadi seperti ini? Seolah penulis
menyuruh pembaca untuk menerima semua yang diceritakan oleh penulis. Buktinya,
hingga akhir halaman pun tak sedikit pun saya protes termasuk ending yang dipilih penulis.
“Tidak
seorang pun akan pernah mencintaiku sebesar itu lagi”—halaman 189.
Ketika membaca buku ini, saya teringat dengan
buku A Man Called Ove karangan
Fredrik Backman. Ada beberapa kesamaan watak dari tokoh utama. Mereka sama-sama
berhati dingin yang disebabkan kehilangan istri. Padahal jauh di dalam hati
mereka, tersimpan kasih sayang yang tulus. Mereka hanya merasa kesepian karena
ditinggal oleh orang yang mereka cintai. Setelah membaca buku ini, saya
belajar: barangkali perpisahan mengisyaratkan untuk pertemuan yang baru.
“Ketakutan tersembunyi bahwa kita tidak patut dicintailah yang
menyebabkan kita terisolasi. Tapi sebenarnya, penyebab kita terisolasi adalah
karena kita berpikir kita tidak patut dicintai. Dan suatu hari nanti, entah
kapan, pria, atau wanita itu, akan ada di sana. Kau akan dicintai karena untuk
pertama kali dalam hidupmu, kau benar-benar tidak akan sendirian. Kau akan
memilih untuk tidak sendirian.”—halaman 168.
Kehidupan A.J berakhir dengan manis. Dia memiliki
putri dan istri yang mencintainya dengan tulus. Bahkan ketika pikiran tak lagi
sama dengan ucapan, Maya tetap mencintainya dan memanggilnya daddy. Ternyata demikian, panggilan
sederhana namun memberikan energi yang luar biasa bagi A.J.
“Ya, Dad. Aku Dad. Aku menjadi Dad. Ayah Maya. Dad bagi Maya. Dad.
Kata yang luar biasa. Kata singkat yang luar biasa hebat. Kata dan dunia yang
luar biasa…. Aku tahu apa yang dilakukan kata-kata. Kata-kata mengurangi
perasaan yang membebani kita.”—halaman 264.
Pada akhirnya, A.J menuliskan banyak hal untuk
Maya. Agar kelak dia ingat bahwa dahulunya dia hidup melalui buku dan dari
kasih sayang A.J.
“Pertanyaan yang sering kupikirkan adalah kenapa jauh lebih mudah menulis
tentang hal-hal yang kita tidak sukai atau benci ketimbang hal-hal yang kita
cintai?”—halaman 251.
“Kita adalah yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai.”—halaman 265.
Saya menyukai buku ini. Sama halnya ketika saya selesai
dengan karya Fredrik Backman. Apabila dilihat dengan jelas, buku ini juga
menghadirkan sisi romansa. Hanya saja, sisi romansanya terlalu manis sehingga yang
terlihat bukan romansanya, namun perasaan hangat sebagai pembaca. Beberapa
pertanyaan di pikiran saya juga terjawab, seperti siapa yang mengambil Tamerlane. Entah saya yang kurang
menganalisa, namun ceritanya tidak tertebak oleh saya.
Ternyata seperti ini rasanya ketika membaca buku
tentang ‘toko buku’. Saya memberikan 5/5 bintang untuk buku ini. Dan, kali ini
saya tidak meminjamnya di Ijak 😊
Dan, selamat membaca!
“Kita membaca untuk mengetahui bahwa kita tidak sendirian. Kita membaca
karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak
sendirian.”—halaman
263.
|
Glad you like this book Rifani!
ReplyDeleteIni salah satu bacaan favorit Farah di tahun 2018 juga ^^
Yap,bacaannya cukup ringan tapi sisi sentimentilnya itu yg ndak tahan, Farah 😄😄
ReplyDelete