(Alvar Aalto's studio in Helsinki) |
Pada akhirnya saya menulis di sini. Bagi saya, di sini terasa lebih nyaman dibandingkan tempat lainnya. Entahlah, mungkin karena terbiasa berada di sini.
Kali ini, buku yang saya bahas adalah Teach Like Finland karangan Timothy D. Walker. Kenapa saya memilih membahas daripada mereview buku ini nantinya? Saya tidak yakin dapat selesai membacanya dalam waktu dekat. Saya memiliki kelemahan ketika membaca buku non-fiksi.
Saya membeli buku ini awal November tahun lalu. Sudah hampir setengah tahun, namun progress saya dalam membacanya masih seperti siput. Waktu itu saya sudah sampai di halaman 40-an, tapi karena vakum membacanya beberapa waktu, saya membaca ulang dari awal.
Malam ini saya berhasil mencapai halaman 36. Walaupun tersendat beberapa kali, akhirnya sampai pada topik 'menyederhanakan ruang'. Hal yang saya senangi dari buku ini adalah pembahasan tentang sekolah di Finlandia dijabarkan secara terstruktur dan terdapat penelitian yang relevan. Akibatnya saya sebagai pembaca tidak sekedar memperoleh informasi mengenai sekolah di Finlandia, namun didukung oleh argumen yang kuat.
Tulisan ini bukan bermaksud membandingkan kondisi sekolah di Indonesia dengan di Finlandia. Bahkan penulis sendiri membandingkan sekolah di Finlandia dengan di Amerika. Saya membaca bukan hendak memandang sistem pendidikan di sini kurang baik, melainkan ada beberapa hal positif yang dapat kita ambil dari sistem pendidikan di Finlandia, salah satunya mengenai 'menyederhanakan ruang'.
"Saya lihat tidak ada terlalu banyak tempelan di dinding." katanya.
Guru-guru di Finlandia lebih suka meminimalkan jumlah barang yang tertempel di tembok, di kelas-kelas, dan lorong-lorong. Rupanya ini menjadi sifat alami mereka. Ini dibuktikan dengan desain orang Finlandia yang cenderung minimalis. Kunjungi rumah Finlandia, dan bisa dipastikan Anda akan menemukan ruang yang rapi dan nyaman (Halaman 31-32).
Sekolah di Finlandia cenderung tidak menyuruh siswa-siswinya untuk menempel setiap hasil pekerjaan sekolahnya. Bahkan guru-guru di Finlandia tidak menyediakan waktu bagi siswanya untuk mendekorasi kelas. Meskipun demikian, bukan berarti guru-guru di Finlandia tidak memperbolehkan siswa-siswinya menempel hasil karyanya. Guru-guru di sana ingin memajang karya terbaik dari siswa-siswinya, bukan karya asal-asalan. Bagi mereka dinding di ruang kelas memancarkan kualitas dari siswa yang ada di dalamnya. Hal ini menyebabkan semua siswa akan berlomba-lomba untuk menghasilkan karya terbaiknya. Alhasil, setiap karya yang mereka tempel memiliki arti dan kepuasan tersendiri.
Pada tahun 2014, peneliti dari Universitas Carnegie Mellon melakukan penelitian tentang perbandingan tingkat kefokusan siswa dalam belajar terhadap ruang kelas yang terlalu banyak dekorasi dengan ruang kelas tanpa dekorasi. Hasilnya adalah anak-anak lebih mudah teralihkan perhatiannya pada lingkungan visual, membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menyelesaikan tugas, dan menunjukkan hasil belajar yang kurang maksimal saat dinding penuh dengan dekorasi daripada ketika dekorasi tersebut dihilangkan (Fisher, Godwin, & Seltman, 2014: 1362).
Berdasarkan penelitian di atas, tidak lantas membuat ruang kelas benar-benar kosong. Kita tetap boleh menempelkan barang di dinding dalam jumlah yang sedikit. Hal ini dilakukan agar para siswa tetap fokus dalam belajar.
Sedikit cerita, menurut saya hal ini tidak hanya berlaku dalam menyederhanakan ruang. Kebetulan skripsi saya waktu itu adalah mengembangkan bahan ajar. Saya ingat beberapa kali pembimbing menyuruh saya untuk memperbaiki desain dari bahan ajar tersebut. Lalu beberapa kali beliau menyarankan saya menghilangkan gambar-gambar yang tidak relevan. Alasan beliau yaitu dapat menganggu kefokusan siswa dalam belajar. Hingga pada tahap akhir bahan ajar tersebut sebelum dibawa ujian akhir, saya mengakui bahwa semua yang beliau sarankan membuat bahan ajar tersebut tampak lebih sederhana.
Bagi guru dan siswa menyederhanakan ruang itu penting. Karena berkaitan dengan kefokusan dan hasil belajar siswa. Namun bagaimana jika yang melihat ruang kelas adalah orangtua atau rekan kerja? Mereka tentu akan bertanya: kenapa dinding kelas kosong?
Beberapa orang beranggapan bahwa semakin banyak barang yang ditampilkan setara dengan semakin baiknya pembelajaran. Padahal, dengan menunjukkan terlalu banyak karya dan poster yang dibuat siswa tidak langsung menunjukkan ada banyak pembelajaran bermakna terjadi di ruang kelas.
Pembelajaran adalah proses berpikir, dan itu adalah sebuah proses yang tidak tertata, tidak terlihat. Dengan kata lain tidak semua yang kita lakukan bersama para siswa dapat disampaikan sebagai bukti, yang siap untuk ditampilkan (Halaman 34-35).
Ternyata keputusan untuk membuat ruang kelas tetap rapi pada akhirnya dapat menghemat waktu, memfasilitasi pekerjaan yang lebih berkualitas, dan mengurangi gangguan luar dalam proses belajar mengajar. Seorang guru tetap memikirkan kondisi siswa-siswinya, bukan? Dan, meminimalisir jumlah pajangan setidaknya membantu siswa merasa nyaman berada di ruang kelas mereka sendiri.
Jika apa yang kita ajarkan tidak mampu menciptakan kesan yang menyenangkan, minimal berada di dalam kelas membuat mereka bertahan.
TAMAT-
No comments:
Post a Comment