Judul : Surat untuk Ruth
Pengarang : Bernard Batubara
Tahun terbit : 15 April 2014
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 168 halaman
Sinopsis
Ubud, 6 Oktober 2012
Ruth,
Satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu sejak lama, bagaimana mungkin kita saling jatuh cinta namun ditakdirkan untuk tidak bersama? Aku dan kamu tidak memaksa agar kebahagiaan berlangsung selama yang kita inginkan. Jika waktunya telah usai dan perpisahan ini harus terjadi, apa yang bisa kita lakukan?
Masihkah ada waktu untuk kita bersama, Ruth?
***
Surat untuk Ruth adalah karya kedua dari Bernard Batubara yang saya baca. Sebelumnya saya telah membaca 'Luka dalam Bara' yang terkesan seperti catatan harian penulis. Setelah itu saya memiliki keinginan untuk membaca karyanya yang lain. Saya menemukan buku ini di Ijak, dan tanpa pikir panjang mencoba untuk meminjamnya. Sayangnya antusias pembaca cukup tinggi sehingga saya harus bersabar menunggu berminggu-minggu.
Buku setebal 168 halaman ini menceritakan perjalanan cinta antara Are dengan Ruth. Penulis mengambil sudut pandang Are sebagai pencerita dan bercerita melalui surat. Bagi saya, buku ini seolah terlihat roman antara Romeo dan Juliet versi penulis (Bang Benz). Saya menyaksikan kisah Are dan Ruth cukup miris untuk mereka yang saling mencintai namun tak bisa saling memiliki. Namun alasan yang disajikan penulis cukup mainstream dan lebih terlihat seperti drama.
Sebenarnya saya cukup antusias dengan buku ini. Meskipun ke-antusias-an saya hanya bertahan di bagian awal. Pada surat pertama saya masih menikmati perjalanan kisah Are: bagaimana dia mengenal Ruth, mencintai Ruth, dan pada akhirnya harus melepasnya dengan kerelaan.
Apakah arti sebuah penantian? Apakah penantian sebuah bentuk kesetiaan? Ataukah berarti sikap yang menunjukkan kebodohan? (Halaman 54)
Hingga ketika saya mulai memasuki konflik antara Are dan Ruth, perasaan datar merasuki saya. Anehnya saya tetap bertahan membacanya hingga akhir. Karakter Are dan Ruth cukup berbeda. Are yang dengan sifat aktifnya dan terbuka, sedang Ruth begitu misterius. Sifat Ruth yang begitu misterius membuatnya lebih terkesan pasif. Kadangkala ketika membaca sebuah buku, kita bisa membenci terhadap suatu karakter tokoh. Saya tidak membenci Ruth, tapi dalam pikiran saya mengatakan: tidak bisakah dia sedikit lebih berusaha? Saya percaya, ketika kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, setidaknya dahulu kita pernah berusaha. Namun, Ruth tidak melakukannya. Dia seolah pasrah dengan takdirnya, walaupun keputusan yang diambilnya baik. Tapi, bukankah kita berhak untuk bahagia?
Sebab kita tidak bisa memaksa agar kebahagiaan berlangsung selama yang kita mau. Meski hanya sementara, sebentar, kebahagiaan tetaplah kebahagiaan. Seperti sesuatu yang kamu rasakan saat menonton film dan sesuatu yang kurasakan saat memotret. Perasaan tersebut mungkin hanya sementara. Namun, tetap saja hal yang sementara itu adalah sesuatu yang nyata adanya. (Halaman 111)
Pada halaman yang mulai memasuki penyelesaian konflik, penulis menghadirkan sosok Are yang secara terpaksa harus menerima keputusan Ruth. Dia tidak menangis, namun tiba-tiba hidupnya berubah berantakan. Tapi perlahan waktu membuatnya berdamai. Dia mengirimkan surat kepada Ruth, sebagai bentuk mengenang semua hal yang terjadi di antara mereka. Bagian ini, saya ingat salah satu buku teenlit terjemahan yang menuliskan beberapa hal yang ingin dilakukan oleh si tokoh. Beruntungnya adalah beberapa keinginan dari Are cukup ingin saya baca, walaupun di antara 30 keinginan itu hanya beberapa yang benar-benar saya baca.
Akhir cerita antara Ruth dan Are sungguh tidak terduga. Tapi bagi saya, pemilihan akhir cerita oleh penulis seolah dipaksakan, tidak alami begitu saja. Entahlah, barangkali penulis ingin menghadirkan sisi dramatis, namun kurang mengena. Bahkan pada bagian Ruth datang dengan membawa surat balasan, harusnya saya merasa sedih. Namun nyatanya perasaan saya datar seperti biasa. Lalu, saya pun bertanya-tanya: apakah buku ini berakhir bahagia atau justru sebaliknya? Pada akhirnya, mereka berdua benar-benar tidak dapat memiliki satu sama lain. Nah, akhir cerita inilah yang membuat saya terpikir tentang roman Romeo dan Juliet.
Saya selesai dengan buku ini. Berharap menemukan sesuatu, dan memutuskan untuk memberi 2/5 bintang untuk buku ini.
Selamat membaca!
|
No comments:
Post a Comment