Hallo!
Selamat Siang!
Untuk
membunuh setiap waktu senggang, maka kuputuskan untuk menulis apa saja. Asalkan
tidak membuang waktu begitu saja. Meskipun, tulisanku kali ini hanya kembali
lagi mengenai seputar novel. Yak, aku bahkan kehabisan cerita di malam ini. Aku
tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin menulis tentang ini. Tanpa sengaja, aku
mengintip—lagi lemari buku yang memang khusus menyimpan buku-buku fiksi dan non
fiksi kepunyaanku. Lalu, mataku terarah pada tumpukan novel yang begitu menarik
perhatianku. Aku ingat, saat stock bacaanku mulai menipis, maka yang kulakukan
adalah membaca ulang buku-buku tersebut—terlebih untuk menghemat biaya atau
dengan senang hati membaca ebook novel yang telah kudownload.
Tanpa
aku sadari selama ini, ada beberapa buku yang selalu—hampir jarang tidak
kubaca—dan menjadi pilihan apabila aku tidak mempunyai buku untuk dibaca lagi.
Tetapi, ini masih bukan dalam jangkauan buku kuliah. Hahaha.
Baiklah,
aku akan memperkenalkan beberapa buku yang selalu menjadi pilihan saat aku
kebingungan untuk membaca apa.
Pertama.
Smash—Nonier
Sebenarnya
lucu aku masih menyukai novel ini. Mengingat sejak duduk di bangku SMA aku tak
pernah lagi membeli novel yang bergenre teenlit. Selain kurang greget dan
isinya mudah ditebak, justeru aku merasa aneh dengan cerita romansa cinta
belaka—membenci lalu menyukai, atau hal-hal umum yang terjadi seperti kisah-kisah
film pendek di televisi. Namun, memberikan pengecualian terhadap novel ini.
Entahlah, aku tidak tahu kenapa. Sejak aku membeli novel ini tahun 2009, entah
sudah berapa kali aku membacanya ulang. Tak bosan, bahkan mendapatkan emosi yang sama setelah
membacanya lagi dan lagi. Tidak heran, jika novel ini kadang kuletakkan di atas
meja dan tidak kumasukkan dalam lemari. Hal ini agar aku dapat mudah
menjangkaunya apabila ingin membacanya lagi.
Kedua.
Dia—Nonier.
Lagi-lagi
dengan penulis yang sama. Aku merasa seolah telah dirasuki syndrome apa karena
menyukai tulisannya, dan bahkan menjadi bacaan yang sering kubaca. Aku membeli
buku ini saat duduk di bangku SMA—tahun 2011. Awalnya aku tidak berniat membeli
buku ini, karena kedatanganku ke Gramedia adalah untuk membeli novel Ranah 3
Warna. Namun entah bagaimana, keinginan itu terkalahkan dengan hanya melihat
nama ‘nonier’. Sempat ragu, tetapi ada yang membuatku penasaran dengan sebuah
kalimat: Kadang, kita mencintai
seseorang begitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat
kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah sebenarnya cinta? Hingga sekarang
aku mengingat kalimat itu dengan baik. Apabila menyebut judul novel itu, yang
teringat olehku adalah kalimat itu.
Kenapa
aku membaca berulang-ulang dan tak pernah bosan? Aku tidak menemukan jawabannya
hingga sekarang. Aku menikmati. Sama seperti novel smash, aku juga mendapatkan
emosi yang sama saat membaca novel ini berulang-ulang kali, dan tidak pernah
bosan.
Lucunya,
dua novel nonier inilah yang paling hancur kondisinya dibandingkan novel yang
lainnya. Selama ini, aku hanya mengganti sampul novel tersebut apabila telah
rusak dan terlihat usang. Novel-novel yang lainnya terlihat baik-baik saja,
bahkan setelah aku menyampulnya bertahun-tahun yang lalu. Tetapi pengecualian
untuk dua novel tersebut. Awal tahun lalu, aku harus mengganti sampulnya lagi,
karena telah rusak parah. Haha, memang benar. Buku yang terlihat rusak adalah
pertanda bahwa buku itu digunakan dengan baik.
Ketiga.
Grey
Sunflower—Ruth Priscilia Angelina
Novel
ini adalah saran dari teman baikku—Tifa. Di tahun 2010, ia menyuruhku untuk
membeli novel ini. Ia begitu tertarik, dan mengatakan bahwa ia telah membaca
setengah jalan dan ucapan yang tetap kuingat: ‘ceritanya bagus,tak’ (aku rindu
dengan panggilan ini :’)). Singkat cerita, aku membeli novel ini. Perkataannya
benar, novel ini sangat bagus, bahkan aku cukup menahan sesak saat membacanya.
Tidak
sesering smash atau dia aku membacanya, tetapi cukup sering kubaca ulang apabila
aku membuka lemari buku. Sekedar melihat lalu membolak balik halaman, terduduk
di lantai, dan hanyut membacanya tanpa di sadari.
Keempat.
Paris—Prisca
Primasari.
Alasan
membeli novel ini cuma satu: Paris. Aku bahkan tidak melihat penulisnya saat hendak
membelinya. Aku memperhatikan penulisnya saat membaca sinopsis novel tersebut.
Prisca Primasari. Tadinya aku tidak ingat, tetapi nama itu begitu familiar di
ingatanku. Familiar berarti aku pernah membaca atau membeli novel miliknya.
Dan, ingatan itu mengingatkanku pada novelnya yang berjudul Eclair: Pagi
Terakhir di Rusia—novel yang dengan singkatnya membuatku jatuh hati pada negeri
Rusia. Aku mempunyai novel itu.
Apabila
menyebutkan nama kota itu, Paris. Tentunya yang terbayang adalah romantisme
belaka. Cerita-cerita yang melankolis, yang membuat kadang harus menyiapkan
tisu karena terharu atau terlalu sedih. Haha. Tetapi, novel ini berbeda. Aku
tidak menemukan romansa yang kental. Bahkan, setting tempatpun tidak di menara
eiffel melainkan tempat-tempat yang jarang terdengar namanya sekilas. Tidak
terduga, itulah kesanku setelah membacanya. Romansa yang tidak kental, tapi
cukup manis untuk mengingatnya. Makanya, aku sering mengulang-ulang membaca
novel ini.
Kelima.
La
Tahzan—Aidh al-Qarni.
Lucu
mungkin, karena buku kira-kira setebal al-qur’an ini harus menyusup di antara
buku yang jauh dari nuansa islami. Tetapi tidak dapat kupungkiri, bahwa buku
ini sangat sering kubaca terutama sebelum tidur. Aku tidak pernah menamatkan
buku ini, dan lebih sering kubaca dengan halaman yang sama. Mungkin karena ini
buku islami, jadi dibutuhkan pemahaman yang kuat, hingga harus dibaca
berulang-ulang untuk melekatkannya di ingatan dan hati.
Aku
selalu membaca buku ini saat begitu lelah dengan urusan duniawi. Istilahnya ini
adalah penawar saat asa di ujung jalan. Buku ini begitu menenangkan, hingga aku
dapat melihat kedamaian hati setelah itu. Tidak heran, aku tidak pernah
meletakkan buku ini di lemari, dan hanya bertengger di atas lemari bukuku.
Keenam.
Our
Story—Orizuka.
Tadaaa!!
Inilah novel terbanyak yang kumiliki dengan penulis yang sama. Diantara novel
orizuka yang kumiliki, mungkin novel inilah yang paling sering kubaca. Aku juga
tidak menemukan alasannya kenapa. Bahkan seperti The Truth About Forever yang
membuat kebanyakan orang harus menangis darah saat membacanya. Aku tidak
menemukan emosi itu saat membacanya—datar. Justeru, novel inilah yang membuat
emosiku bercampur aduk. Aneh memang. Aku lebih menyukai cerita yang tidak
biasa—cerita yang tidak ingin orang dengar tetapi jelas terlihat. Itulah kenapa
aku menyukai novel ini dan cukup sering membacanya.
Ketujuh.
You
are My Sunshine—Clara Canceriana. Ryouta!!
Karya
pertamanya yang kubaca adalah If You Were Mine—dan aku lupa bagaimana
ceritanya. Dulu, aku meminjam novel itu bersamaan dengan Infinitely Yours karya
Orizuka. Aku cuma ingat, kalau novel itu sangat-sangat cukup mengaduk
perasaanku. Dan novel You are My Sunshine adalah novel keduanya yang kubaca.
Bagaimana kondisiku setelah membacanya? Aku tersenyum. Tetapi saat-saat
klimaks, perasaanku dibuat campur aduk dan terasa sesak. Entahlah, bagaimana
bisa penulis melakukan itu. Oleh karena itulah, aku sering membaca novel ini.
Namun, ada hal yang aneh. Saat teman-temanku membaca novel ini, ia malah
mengatakan novel ini biasa aja. Haha. Aku memang aneh, saat SMP itu juga
terjadi. Saat teman-teman SMP ku menangis membaca novel yang kupinjamkan, aku
justeru dengan tampang datar membacanya, dan sebaliknya.
Dan,
percaya atau tidak. Sekarang, aku ingin mencari novel If You Were Mine dan Rain
Affair. Aku jatuh hati pada karya Clara Canceriana.
Kedelapan.
Oppa
and I: Love Missions—Orizuka dan Lia Indra Andriana.
Again!!
Tidak sesering novel-novel di atas, tetapi intensitas membaca ulangnya lebih
banyak di bandingkan novel yang tak masuk daftar di sini. Ini adalah novel
Trilogi—dan novel ini adalah seri kedua. Aneh memang, aku justeru lebih menyukai
novel seri kedua ini dibandingkan dua seri yang lainnya.
Kesembilan.
Eclair:
Pagi Terakhir di Rusia—Prisca Primasari.
Unique.
Elegan. Klasik.
Aku
membeli novel ini disaat aku kebingungan hendak membeli apa. Dan, aku menemukan
novel ini. Aku tertarik pada covernya, simpel tetapi elegan, Selain itu, aku
memutuskan untuk membelinya saat membaca Pagi
Terakhir di Rusia. Kata itu terlihat sangat menusuk dan menyedihkan.
Tadinya kupikir ini adalah novel terjemahan. Karena aku merasa tampilannya
begitu klasik, dan jarang kutemukan pada novel-novel lain yang kubaca.
Kesepuluh.
Summer
in Seoul—Ilana Tan.
Aku
tidak mempunyai novel ini. Tetapi aku keseringan membaca ebooknya, dan tidak
pernah bosan walaupun harus menahan perih harus stay di depan layar monitor. Diantara
novel empat musim yang ditulis Ilana Tan, inilah novel yang paling kusukai.
Selain ceritanya lebih rapi dan manis (menurutku), aku mengalami gejolak emosi
yang aneh saat membaca novel ini.
###
Nah,
sekian cerita singkat mengenai bacaan pengisi senggang.
Lalu,
bagaimana dengan kalian?
Mari,
habiskan waktu dengan lebih banyak lagi membaca ^^
No comments:
Post a Comment