Pages

July 31, 2015

[Jurnal] 10 Bacaan Pengisi Senggang

Hallo! Selamat Siang!
Untuk membunuh setiap waktu senggang, maka kuputuskan untuk menulis apa saja. Asalkan tidak membuang waktu begitu saja. Meskipun, tulisanku kali ini hanya kembali lagi mengenai seputar novel. Yak, aku bahkan kehabisan cerita di malam ini. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin menulis tentang ini. Tanpa sengaja, aku mengintip—lagi lemari buku yang memang khusus menyimpan buku-buku fiksi dan non fiksi kepunyaanku. Lalu, mataku terarah pada tumpukan novel yang begitu menarik perhatianku. Aku ingat, saat stock bacaanku mulai menipis, maka yang kulakukan adalah membaca ulang buku-buku tersebut—terlebih untuk menghemat biaya atau dengan senang hati membaca ebook novel yang telah kudownload.

Tanpa aku sadari selama ini, ada beberapa buku yang selalu—hampir jarang tidak kubaca—dan menjadi pilihan apabila aku tidak mempunyai buku untuk dibaca lagi. Tetapi, ini masih bukan dalam jangkauan buku kuliah. Hahaha.



Baiklah, aku akan memperkenalkan beberapa buku yang selalu menjadi pilihan saat aku kebingungan untuk membaca apa.


Pertama.



Smash—Nonier
Sebenarnya lucu aku masih menyukai novel ini. Mengingat sejak duduk di bangku SMA aku tak pernah lagi membeli novel yang bergenre teenlit. Selain kurang greget dan isinya mudah ditebak, justeru aku merasa aneh dengan cerita romansa cinta belaka—membenci lalu menyukai, atau hal-hal umum yang terjadi seperti kisah-kisah film pendek di televisi. Namun, memberikan pengecualian terhadap novel ini. Entahlah, aku tidak tahu kenapa. Sejak aku membeli novel ini tahun 2009, entah sudah berapa kali aku membacanya ulang. Tak bosan, bahkan  mendapatkan emosi yang sama setelah membacanya lagi dan lagi. Tidak heran, jika novel ini kadang kuletakkan di atas meja dan tidak kumasukkan dalam lemari. Hal ini agar aku dapat mudah menjangkaunya apabila ingin membacanya lagi.

Kedua.



Dia—Nonier.
Lagi-lagi dengan penulis yang sama. Aku merasa seolah telah dirasuki syndrome apa karena menyukai tulisannya, dan bahkan menjadi bacaan yang sering kubaca. Aku membeli buku ini saat duduk di bangku SMA—tahun 2011. Awalnya aku tidak berniat membeli buku ini, karena kedatanganku ke Gramedia adalah untuk membeli novel Ranah 3 Warna. Namun entah bagaimana, keinginan itu terkalahkan dengan hanya melihat nama ‘nonier’. Sempat ragu, tetapi ada yang membuatku penasaran dengan sebuah kalimat: Kadang, kita mencintai seseorang begitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah sebenarnya cinta? Hingga sekarang aku mengingat kalimat itu dengan baik. Apabila menyebut judul novel itu, yang teringat olehku adalah kalimat itu.

Kenapa aku membaca berulang-ulang dan tak pernah bosan? Aku tidak menemukan jawabannya hingga sekarang. Aku menikmati. Sama seperti novel smash, aku juga mendapatkan emosi yang sama saat membaca novel ini berulang-ulang kali, dan tidak pernah bosan.

Lucunya, dua novel nonier inilah yang paling hancur kondisinya dibandingkan novel yang lainnya. Selama ini, aku hanya mengganti sampul novel tersebut apabila telah rusak dan terlihat usang. Novel-novel yang lainnya terlihat baik-baik saja, bahkan setelah aku menyampulnya bertahun-tahun yang lalu. Tetapi pengecualian untuk dua novel tersebut. Awal tahun lalu, aku harus mengganti sampulnya lagi, karena telah rusak parah. Haha, memang benar. Buku yang terlihat rusak adalah pertanda bahwa buku itu digunakan dengan baik.

Ketiga.



Grey Sunflower—Ruth Priscilia Angelina
Novel ini adalah saran dari teman baikku—Tifa. Di tahun 2010, ia menyuruhku untuk membeli novel ini. Ia begitu tertarik, dan mengatakan bahwa ia telah membaca setengah jalan dan ucapan yang tetap kuingat: ‘ceritanya bagus,tak’ (aku rindu dengan panggilan ini :’)). Singkat cerita, aku membeli novel ini. Perkataannya benar, novel ini sangat bagus, bahkan aku cukup menahan sesak saat membacanya.

Tidak sesering smash atau dia aku membacanya, tetapi cukup sering kubaca ulang apabila aku membuka lemari buku. Sekedar melihat lalu membolak balik halaman, terduduk di lantai, dan hanyut membacanya tanpa di sadari.

Keempat.


Paris—Prisca Primasari.
Alasan membeli novel ini cuma satu: Paris. Aku bahkan tidak melihat penulisnya saat hendak membelinya. Aku memperhatikan penulisnya saat membaca sinopsis novel tersebut. Prisca Primasari. Tadinya aku tidak ingat, tetapi nama itu begitu familiar di ingatanku. Familiar berarti aku pernah membaca atau membeli novel miliknya. Dan, ingatan itu mengingatkanku pada novelnya yang berjudul Eclair: Pagi Terakhir di Rusia—novel yang dengan singkatnya membuatku jatuh hati pada negeri Rusia. Aku mempunyai novel itu.

Apabila menyebutkan nama kota itu, Paris. Tentunya yang terbayang adalah romantisme belaka. Cerita-cerita yang melankolis, yang membuat kadang harus menyiapkan tisu karena terharu atau terlalu sedih. Haha. Tetapi, novel ini berbeda. Aku tidak menemukan romansa yang kental. Bahkan, setting tempatpun tidak di menara eiffel melainkan tempat-tempat yang jarang terdengar namanya sekilas. Tidak terduga, itulah kesanku setelah membacanya. Romansa yang tidak kental, tapi cukup manis untuk mengingatnya. Makanya, aku sering mengulang-ulang membaca novel ini.

Kelima.



La Tahzan—Aidh al-Qarni.
Lucu mungkin, karena buku kira-kira setebal al-qur’an ini harus menyusup di antara buku yang jauh dari nuansa islami. Tetapi tidak dapat kupungkiri, bahwa buku ini sangat sering kubaca terutama sebelum tidur. Aku tidak pernah menamatkan buku ini, dan lebih sering kubaca dengan halaman yang sama. Mungkin karena ini buku islami, jadi dibutuhkan pemahaman yang kuat, hingga harus dibaca berulang-ulang untuk melekatkannya di ingatan dan hati.

Aku selalu membaca buku ini saat begitu lelah dengan urusan duniawi. Istilahnya ini adalah penawar saat asa di ujung jalan. Buku ini begitu menenangkan, hingga aku dapat melihat kedamaian hati setelah itu. Tidak heran, aku tidak pernah meletakkan buku ini di lemari, dan hanya bertengger di atas lemari bukuku.

Keenam.



Our Story—Orizuka.
Tadaaa!! Inilah novel terbanyak yang kumiliki dengan penulis yang sama. Diantara novel orizuka yang kumiliki, mungkin novel inilah yang paling sering kubaca. Aku juga tidak menemukan alasannya kenapa. Bahkan seperti The Truth About Forever yang membuat kebanyakan orang harus menangis darah saat membacanya. Aku tidak menemukan emosi itu saat membacanya—datar. Justeru, novel inilah yang membuat emosiku bercampur aduk. Aneh memang. Aku lebih menyukai cerita yang tidak biasa—cerita yang tidak ingin orang dengar tetapi jelas terlihat. Itulah kenapa aku menyukai novel ini dan cukup sering membacanya.

Ketujuh.



You are My Sunshine—Clara Canceriana. Ryouta!!
Karya pertamanya yang kubaca adalah If You Were Mine—dan aku lupa bagaimana ceritanya. Dulu, aku meminjam novel itu bersamaan dengan Infinitely Yours karya Orizuka. Aku cuma ingat, kalau novel itu sangat-sangat cukup mengaduk perasaanku. Dan novel You are My Sunshine adalah novel keduanya yang kubaca. Bagaimana kondisiku setelah membacanya? Aku tersenyum. Tetapi saat-saat klimaks, perasaanku dibuat campur aduk dan terasa sesak. Entahlah, bagaimana bisa penulis melakukan itu. Oleh karena itulah, aku sering membaca novel ini. Namun, ada hal yang aneh. Saat teman-temanku membaca novel ini, ia malah mengatakan novel ini biasa aja. Haha. Aku memang aneh, saat SMP itu juga terjadi. Saat teman-teman SMP ku menangis membaca novel yang kupinjamkan, aku justeru dengan tampang datar membacanya, dan sebaliknya.

Dan, percaya atau tidak. Sekarang, aku ingin mencari novel If You Were Mine dan Rain Affair. Aku jatuh hati pada karya Clara Canceriana.

Kedelapan.



Oppa and I: Love Missions—Orizuka dan Lia Indra Andriana.
Again!! Tidak sesering novel-novel di atas, tetapi intensitas membaca ulangnya lebih banyak di bandingkan novel yang tak masuk daftar di sini. Ini adalah novel Trilogi—dan novel ini adalah seri kedua. Aneh memang, aku justeru lebih menyukai novel seri kedua ini dibandingkan dua seri yang lainnya.

Kesembilan.



Eclair: Pagi Terakhir di Rusia—Prisca Primasari.
Unique. Elegan. Klasik.
Aku membeli novel ini disaat aku kebingungan hendak membeli apa. Dan, aku menemukan novel ini. Aku tertarik pada covernya, simpel tetapi elegan, Selain itu, aku memutuskan untuk membelinya saat membaca Pagi Terakhir di Rusia. Kata itu terlihat sangat menusuk dan menyedihkan. Tadinya kupikir ini adalah novel terjemahan. Karena aku merasa tampilannya begitu klasik, dan jarang kutemukan pada novel-novel lain yang kubaca.

Kesepuluh.




Summer in Seoul—Ilana Tan.
Aku tidak mempunyai novel ini. Tetapi aku keseringan membaca ebooknya, dan tidak pernah bosan walaupun harus menahan perih harus stay di depan layar monitor. Diantara novel empat musim yang ditulis Ilana Tan, inilah novel yang paling kusukai. Selain ceritanya lebih rapi dan manis (menurutku), aku mengalami gejolak emosi yang aneh saat membaca novel ini.

###

Nah, sekian cerita singkat mengenai bacaan pengisi senggang.
Lalu, bagaimana dengan kalian?
Mari, habiskan waktu dengan lebih banyak lagi membaca ^^


No comments:

Post a Comment