Hari itu, aku melakukan
kesalahan besar. Aku menyesal. Sungguh. Hatiku tak tenang, gelisah, dan
bertanya-tanya apa aku telah melakukan sesuatu dengan benar? Maafkan aku.
Izinkan aku, sekali lagi. Untuk membuatmu bahagia.
Siang
ini matahari begitu terik hingga terasa membakar tubuhnya. Ia tidak tahu kenapa
ibunya harus repot-repot menyuruhnya datang ke Padang. Bahkan, ia pun tak
mengetahui tujuannya. Ibu hanya melontarkan jawaban ringan. “Sudah lama Pak Agung ingin menemui. Ia
hanya ingin bersua, minum bersama denganmu. Tidak ada yang salah kan?”
“Memang tidak ada yang salah.
Ya salah itu, kenapa harus bela-belain ke Padang disaat aku baru menikmati
libur panjangku? Kenapa nggak tunggu saat kuliah lagi? Kan aku kuliah di Padang.”
Batinnya.
Walaupun
sedikit terpaksa, ia akhirnya menurut. Berangkat jam enam bertolak dari
Bukittinggi ke Padang dengan motor yang dibelikan almarhum ayahnya setahun
lalu. Ia menghentikan motornya di depan rumah sederhana, dengan cat berwarna biru
muda. Rumah itu begitu asri, halamannya begitu luas yang ditanami berbagai
bunga serta buah-buahan, seperti mangga dan saus. Ini untuk pertama kalinya ia
mengunjungi Pak Agung setelah kejadian itu.
“Assalamu’alaikum.
Mencari siapa?” Suara lembut membuyarkan lamunannya. Di belakangnya telah ada
seorang gadis yang menggunakan kursi roda. Sepertinya gadis itu baru keluar
membeli sesuatu, karena terlihat ia memangku kantong plastik hitam yang tidak
begitu besar.“Ini... mungkinkah?” Batinnya.
“Wa’alaikum
salam. Pak Agung ada? Saya Adam dari Bukittinggi, anaknya Bu Hartati.” jawabnya
sopan.
“Bapak
ada di dalam, mari!” ajaknya sambil membuka pagar.
###
“Astaga
Adam, akhirnya kau datang.” Pak Agung begitu terkejut melihat kedatangannya. Ia
memeluk Adam begitu lama, dan kehangatan itu kembali. Saat pelukan itu, ia
merasakan tubuhnya bergetar, dan napasnya tersengal-sengal. “Sudah sangat lama. Pelukan itu.” Batinnya.
Ibu
benar, Pak Agung hanya ingin bertemu dengannya. Sepanjang hari, sejak kedatangannya
ia tak henti-hentinya bercerita
kepadanya, dan sesekali Adam juga ikut menceritakan perkembangan kuliahnya. Ia
tidak mengerti, kenapa suasana begitu cepat mencair. Padahal sudah satu tahun
lebih ia tak pernah lagi bersua dengan Pak Agung. Mereka mengobrol, sambil
berjalan-jalan di sekitar halaman belakang yang tak kalah asrinya.
“Kau
menginap di sini kan?” tanya Pak Agung penuh harap.
“Saya
pulang ke kos saja, Pak.” tolaknya halus. Pak Agung menepuk pundaknya, dan
mengajaknya ke dalam rumah kembali.
“Sebelum
pulang, makan malamlah di sini dulu.” Adam mengangguk dan berjalan menuju ruang
makan.
Seorang
gadis mondar mandir membawa piring dan mangkuk berisi makanan dengan kursi
roda. Pak Agung sudah duduk di kursinya, menyusun makanan yang belum sempurna
terhidang. Adam masuk ke dapur, menghampiri gadis itu.
“Biar
aku bantu.” ucapnya.
“Apa Hanum lupa padanya? “ Batinnya. Gadis itu tak sekalipun
memperlihatkan sorot mata yang mengatakan bahwa mereka dahulunya pernah
berteman.
###
“Sering-seringlah ke sini, Adam! Kau tahu, rumah
ini sepi. Hanya aku dan Hanum, kau tahu kan?” ujar laki-laki itu. Gurat-gurat
lelah sangat terlihat di wajahnya, dan kehilangan yang masih jelas tersimpan.
Adam mengangguk.
“Soal
Hanum. Ia tidak mengingatmu. Ia kehilangan ingatan serta kakinya karena
kejadian itu. Maafkan aku.” ujarnya lagi. Adam sekali lagi mengangguk. Ia harus
cepat-cepat pergi dari sini, sebelum perasaan memilukan itu memenuhi
rongga-rongga dadanya. Ia pergi, sambil menahan sesak di dadanya. Ia sudah
menerima, tetapi kehilangan itu belum sepenuhnya hilang darinya.
“Ayah, Ahmad...”
###
“Dam, Adam....” terdengar isak
tangis di ujung telepon. Ia gusar, tidak pernah ia melihat ibunya menangis
sebegitu seraknya, hingga terbata-bata.
“Ayahmu... Ahmad, adikmu....”
Hatinya mencelos, seolah-olah ada petir yang menyambarnya begitu hebat, hingga
tubuhnya tak mampu menopang dirinya sendiri. Ia tersandar ke dinding. Ia
menengadah ke langit, menahan agar air mata itu tidak tumpah ruah. Dadanya
sesak. Ia menghirup napas sedalam-dalamnya, lalu masuk ke ruangan perkuliahan,
meminta izin ke dosen atas masalahnya, menyandang tas nya dengan sembarang, dan
segera bertolak ke Bukittinggi.
“Ayahmu.... Ahmad, adikmu
meninggal, Dam! Dia tiada, Dam!!” ucap ibunya sebelum menutup telpon.
###
“Tinggallah
beberapa hari di sana, Dam! Jangan pulang dulu.” suruh ibu saat menelepon. Ia
heran, kenapa ia harus tinggal. Ia sudah menuruti permintaan ibu untuk menemui
Pak Agung, dan sekarang ia harus tinggal di Padang untuk beberapa hari.
Bukannya ia tidak mau, tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya di Padang, dan
berarti menghabiskan waktu sia-sia. Ia benci akan hal itu.
“Kau
kan bisa ngapain gitu di Padang. Bantu-bantu Pak Agung di rumahnya, ngurus
tanamannya, atau apalah. Kunjungi ia lagi, Dam! Kasihan ibu melihatnya.” bujuk
ibunya. Ibu selalu tahu kelemahannya.
“Baik,
Bu!” ucapnya.
###
“Apa
kabar, Num?” Adam membuka percakapan. Ia sudah berada di rumah Hanum sejak pagi
tadi. Ia membantu Pak Agung membersihkan halaman belakang rumahnya yang mulai
ditumbuhi rumput-rumput liar. Kebetulan Hanum membantu mereka mencabuti
dedaunan yang menguning. Pak Agung
sedang menerima telepon di ruang tengah, sehingga Adam memberanikan diri
bertanya, karena mulutnya sudah gatal untuk berbicara dengan gadis itu.
“Kau
mengenalku?” tanya gadis itu sambil menggemburkan tanah di pot bunga. Adam
mengangguk. Jarak mereka sangat jauh, namun ia dapat mendengar suara lembut
gadis itu.
“Maaf!
Aku tidak ingat.”
Gadis
itu menunduk—lagi—kebiasaan yang selalu dilakukannya apabila merasa bersalah,
dan malu. Adam tersenyum, dan meneruskan mencambuti rumput.
“Tidak
apa. Kau tetap tak berubah.” ucapnya ringan, namun seolah-olah ada getaran
halus di hatinya. Ia berdiri, membersihkan jeansnya yang sedikit kotor karena tanah.
“Aku
ambil tanah dulu.”
Ia
melakukannya karena... tak tega jika gadis itu harus bolak balik mengambil
tanah dengan kondisinya yang sulit. Ia mengangkat satu karung tanah, dan
meletakkannya di samping gadis itu.
“Aku...
bisa melakukannya. Kau tidak perlu menolongku.” ucap Hanum tersinggung. Astaga,
ia tidak pernah melihat raut wajah itu. Hanum bukan marah pada dirinya, tetapi
merasa sedang dikasihani. Itulah sorot yang terlihat.
“Hanum... aku tidak
mengasihanimu. Tetapi, aku melakukan apa yang hatiku ingin lakukan.” Ia diam, tak menanggapi ucapan Hanum. Ia
kembali pada tempatnya semula, sambil sesekali melihat ke arah gadis itu.
Setengah
jam setelah suasana dingin yang diciptakannya, ia pamit pulang. Bukan alasan
yang mengada-ngada, tapi salah seorang temannya dirawat di rumah sakit, jadi ia
memutuskan untuk menjenguknya—sebenarnya tidak ingin berlama-lama di dekat
gadis itu. Ada sesuatu yang bergejolak di hatinya.
###
Keesokan
harinya, ia datang lagi. Kali ini hatinya bukan untuk menuruti perintah ibunya,
melainkan ia ingin bertemu dengan gadis itu—mengenal kembali. Tetapi sayangnya,
gadis itu menolak kehadirannya, karena ayahnya sedang tidak di rumah. Ia paham.
Ia memutuskan pulang dan meninggalkan secarik kertas pada gadis itu.
“Num,
aku pulang. Aku titipkan sesuatu di luar.” ucapnya setengah berteriak. Gadis
itu berada di dalam rumah, enggan membuka pintu. Bahkan saat Adam datang, ia
hanya membuka pintu sedikit, cukup untuk membuatnya mengetahui siapa yang
datang.
Aku ingin mengenalmu, Num.
Izinkan aku.
###
Sebulan
sejak ia meninggalkan secarik kertas pada Hanum, Adam tak pernah lagi
mengunjunginya. Bukan kemauannya, tetapi karena ibu menyuruhnya pulang. Hingga
libur semester hampir berakhir, ia tetap memutuskan berada di Bukittinggi,
menahan segala hasrat untuk ke Padang dengan alasan menemui Pak Agung.
“Bagaimana
kabar Hanum, Dam?” tanya ibu disela ia mengemasi barang yang dibawanya besok.
Esok usai shubuh, ia harus bergegas ke Padang karena perkuliahannya akan segera
di mulai.
“Baik,
Bu.” jawabnya singkat. Ibu mengelus pundaknya.
“Kau
baik-baik saja?” tanya wanita separuh baya itu lagi. Adam mengangguk sambil
menyibukkan diri mengemasi barangnya, seolah tak tertarik dengan percakapan itu.
Ia mengerti arah pembicaraan ibunya.
“Ibu
tinggal, Dam!” ucapnya lembut. Ibu mengerti. Sejak kejadian itu, ibu tak pernah
lagi menyinggung nama Hanum. Bahkan, saat menyuruhnya untuk bertemu Pak Agung,
ia yakin sepenuhnya bahwa ibu hanya ingin ia melihat Hanum sesekali.
“Aku mencintainya,Bu. Dulu,
hingga sekarang, Bu. Tetapi perasaan hilang tak kunjung hilang dari ingatanku,Bu!”
Ia
membatin.
###
Hari itu, hujan turun begitu
lebat. Ayah bersama Ahmad pergi bersama keluarga Pak Agung untuk menghadiri
wisuda kakak sepupu Hanum di Padang. Ibu tidak ikut hari itu, karena merasa
kurang sehat. Beberapa minggu sebelum kejadian itu, ibu sempat terkena tifus, sehingga masih
terlihat kurang sehat. Adam menunggu mereka di kosan tempat ia tinggal. Ibu kos
menyediakan beberapa kamar untuk tamu keluarga yang berkunjung. Namun sekembali
mereka dari Padang untuk bertolak ke Bukittinggi, sesuatu terjadi. Kecelakaan
beruntun tak dapat dihindari oleh mobil Pak Agung. Jalanan licin, pencahayaan
jalan juga kurang, dan bertepatan saat itu sebuah mobil melaju dengan kecepatan
tinggi. Mobil itu menambrak mobil yang berlawanan dengan mobil Pak Agung
berada. Naasnya, mobil yang ditabrak itu terpelanting dan Pak Agung tak dapat
menghindarinya. Ayah, Ahmad, serta istri Pak Agung kembali pada Sang Kuasa
malam itu juga.
“Jika kalian tidak mengajak
keluargaku ke Padang, mungkin ini takkan terjadi. Ayah dan adikku pasti masih
hidup!!” ratap Adam sebelum pemakaman. Ia kalap, tak mampu lagi berpikir
jernih. Ia marah, sedih, dan kehilangan.
“Adam....”
Ibu mengelus pundaknya,
memeluknya pilu.
“Bukan salah mereka, Dam. Allah
sayang pada mereka, Dam. Allah sayang pada mereka, Dam.” Kalimat itu berulang
kali diucapkan ibunya.
###
Adam, aku mengingatmu. Secarik
kertas yang kau tinggalkan beberapa bulan lalu, dulu, kau pernah memberikannya
dengan kalimat yang sama, dua tahun sebelum kejadian itu.
Adam, aku tidak bisa. Jangan
aku. Jangan kembali, aku mohon. Perasaan bersalahku terlalu besar, hingga aku
tak mampu menerimamu, Adam. Ini salahku. Harusnya, hari itu aku tidak mengajak
keluargamu. Ini salahku, Adam!!
Saat kau tak menemuiku
lagi—setelah itu. Perasaanku membaik, walaupun aku tidak mengingatmu
sedikitpun. Namun, hari itu. Kau berdiri di depan rumahku, ada sesuatu yang
mengusik hatiku. Aku hendak bertanya siapa kau, tapi aku takut. Aku tak ingin
mengingat lebih banyak lagi, Dam.
Maafkan aku.
Adam
melipat surat yang ia terima dari Hanum kemarin siang. Ia sengaja mengunjungi
Pak Agung, sekedar menemaninya menghabiskan sisa hari sekaligus untuk melihat
gadis itu. Dahulu, hatinya beku saat mengingat gadis itu. Ada perasaan benci,
marah, tak terima, serta sayang yang tak dapat dihindarinya. Ia mengenal gadis
itu sedari kecil, tetapi saat sekolah menengahlah ia baru satu sekolah dengan
gadis itu.
Ia
tidak tahu sejak kapan perasaan itu hadir. Ia menyimpannya dengan baik,
memendamnya dengan teramat rapi, bahkan tak menunjukkan sesuatu yang lain pada
gadis itu. Mereka berteman, menjaga jarak dengan baik. Tetapi, dua tahun
sebelum kejadian itu, ia memberanikan diri melalui secarik kertas, bahwa ia
ingin mengenal gadis itu.
Dan,
kalimat itu ia tulis kembali saat gadis itu menolak kehadirannya—memang
berharap gadis itu akan mengingatnya. Namun balasan gadis itu begitu mengoyak
hatinya. Dulu, memang ia memutuskan berhenti—berhenti menemui gadis itu. Ia
belum bisa menerima kejadian itu. Tetapi, saat ia melihat gadis itu pertama
kalinya setelah setahun berlalu, hatinya luluh. Penerimaan itu datang begitu
saja.
###
“Adam,
aku mohon jangan putriku.” jawab Pak Agung datar.
“Pak,
aku akan membahagiakannya.” ucapnya memohon.
Minggu
pagi, setelah enam bulan berlalu sejak ia menerima balasan surat dari Hanum, ia
memutuskan untuk menemui Pak Agung bermaksud menyampaikan niatnya. Ia
memikirkannya dengan baik, menyiapkan semuanya, dan ia telah membebaskan
dirinya dari belenggu masa lalu. Ia menginginkan gadis itu. Dahulu ia menyerah.
Tetapi sekarang, ia ingin menjemput kembali perasaan itu.
“Hanum
takkan mampu membuatmu bahagia, Dam. Masa lalu dengan keluargamu
menyulitkannya. Ia merasa bersalah,Dam.” ucap laki-laki berjanggut itu lagi.
“Aku
yang akan menghapus rasa bersalahnya. Izinkan aku, Pak!” pintanya penuh harap.
Sudah cukup ia kehilangan ayah dan Ahmad. Ia tak ingin lagi.
“Anakku,
cacat, Adam! Ia bisa apa?” Mata Pak Agung berkaca-kaca menahan tangis.
“Ia
lumpuh, Dam. Untuk dirinya sendiri ia tidak bisa, bagaimana ia akan
mengurusmu?” lanjutnya. Adam diam, menelan ludah. Ia mendengar sebuah benda
jatuh dari dalam kamar. Ia yakin Hanum mendengar pembicaraannya dengan Pak
Agung.
“Pak,
ia mampu mengurusku. Bukankah terlihat? Sedang ayahnya sendiri mampu diurusnya,
bagaimana mungkin aku tak mampu diurusnya? Ia memasakkanmu setiap hari,
membersihkan rumah, mencucikan bajumu, dan mengurus tanamanmu. Ia dapat
melakukannya, Pak. Percayalah,Pak. Aku akan membahagiakannya.” ucapnya lunak.
“Berikan
aku kesempatan, Pak. Izinkan aku melakukannya. Aku mencintainya, bukankah itu
cukup?” pintanya memohon sekali lagi.
Pak
Agung menghela napas. Sorot matanya teduh, ia tersenyum.
“Aku
terima niat baikmu.” jawabnya singkat. Spontan, Adam memeluk laki-laki itu,
menyiumi tangannya, dan berseru bahagia mengucap syukur di dalam hati.
###
Hari ini, aku telah melakukan
hal yang benar. Hatiku tenang, damai, dan bahagia di sisimu. Aku ingin
membahagiankanmu, Hanum.
Halo, Rissa.
ReplyDeleteBlog kamu bagus. Semangat menulis ya!
Salam,
Nonier
Terima kasih kak, sudah menyempatkan membaca blog saya ^^
ReplyDeleteAmiin, insyaAllah tetap semangat menulis kak ^^
Wah, senang rasanya di komentari oleh penulis seperti kakak :)
Dinanti novel selanjutnya kak ;)