Pages

July 31, 2015

[Cerpen] Dear Your Daughter



Hari itu, aku melakukan kesalahan besar. Aku menyesal. Sungguh. Hatiku tak tenang, gelisah, dan bertanya-tanya apa aku telah melakukan sesuatu dengan benar? Maafkan aku. Izinkan aku, sekali lagi. Untuk membuatmu bahagia.

Siang ini matahari begitu terik hingga terasa membakar tubuhnya. Ia tidak tahu kenapa ibunya harus repot-repot menyuruhnya datang ke Padang. Bahkan, ia pun tak mengetahui tujuannya. Ibu hanya melontarkan jawaban ringan. “Sudah lama Pak Agung ingin menemui. Ia hanya ingin bersua, minum bersama denganmu. Tidak ada yang salah kan?”  

“Memang tidak ada yang salah. Ya salah itu, kenapa harus bela-belain ke Padang disaat aku baru menikmati libur panjangku? Kenapa nggak tunggu saat kuliah lagi? Kan aku kuliah di Padang.”  Batinnya.

Walaupun sedikit terpaksa, ia akhirnya menurut. Berangkat jam enam bertolak dari Bukittinggi ke Padang dengan motor yang dibelikan almarhum ayahnya setahun lalu. Ia menghentikan motornya di depan rumah sederhana, dengan cat berwarna biru muda. Rumah itu begitu asri, halamannya begitu luas yang ditanami berbagai bunga serta buah-buahan, seperti mangga dan saus. Ini untuk pertama kalinya ia mengunjungi Pak Agung setelah kejadian itu.




“Assalamu’alaikum. Mencari siapa?” Suara lembut membuyarkan lamunannya. Di belakangnya telah ada seorang gadis yang menggunakan kursi roda. Sepertinya gadis itu baru keluar membeli sesuatu, karena terlihat ia memangku kantong plastik hitam yang tidak begitu besar.“Ini... mungkinkah?”  Batinnya.

“Wa’alaikum salam. Pak Agung ada? Saya Adam dari Bukittinggi, anaknya Bu Hartati.” jawabnya sopan.

“Bapak ada di dalam, mari!” ajaknya sambil membuka pagar.
###
“Astaga Adam, akhirnya kau datang.” Pak Agung begitu terkejut melihat kedatangannya. Ia memeluk Adam begitu lama, dan kehangatan itu kembali. Saat pelukan itu, ia merasakan tubuhnya bergetar, dan napasnya tersengal-sengal. “Sudah sangat lama. Pelukan itu.” Batinnya.

Ibu benar, Pak Agung hanya ingin bertemu dengannya. Sepanjang hari, sejak kedatangannya ia  tak henti-hentinya bercerita kepadanya, dan sesekali Adam juga ikut menceritakan perkembangan kuliahnya. Ia tidak mengerti, kenapa suasana begitu cepat mencair. Padahal sudah satu tahun lebih ia tak pernah lagi bersua dengan Pak Agung. Mereka mengobrol, sambil berjalan-jalan di sekitar halaman belakang yang tak kalah asrinya.

“Kau menginap di sini kan?” tanya Pak Agung penuh harap.
“Saya pulang ke kos saja, Pak.” tolaknya halus. Pak Agung menepuk pundaknya, dan mengajaknya ke dalam rumah kembali.

“Sebelum pulang, makan malamlah di sini dulu.” Adam mengangguk dan berjalan menuju ruang makan.

Seorang gadis mondar mandir membawa piring dan mangkuk berisi makanan dengan kursi roda. Pak Agung sudah duduk di kursinya, menyusun makanan yang belum sempurna terhidang. Adam masuk ke dapur, menghampiri gadis itu.

“Biar aku bantu.” ucapnya.

“Apa Hanum lupa padanya? “  Batinnya. Gadis itu tak sekalipun memperlihatkan sorot mata yang mengatakan bahwa mereka dahulunya pernah berteman.
###
“Sering-seringlah ke sini, Adam! Kau tahu, rumah ini sepi. Hanya aku dan Hanum, kau tahu kan?” ujar laki-laki itu. Gurat-gurat lelah sangat terlihat di wajahnya, dan kehilangan yang masih jelas tersimpan. Adam mengangguk.

“Soal Hanum. Ia tidak mengingatmu. Ia kehilangan ingatan serta kakinya karena kejadian itu. Maafkan aku.” ujarnya lagi. Adam sekali lagi mengangguk. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini, sebelum perasaan memilukan itu memenuhi rongga-rongga dadanya. Ia pergi, sambil menahan sesak di dadanya. Ia sudah menerima, tetapi kehilangan itu belum sepenuhnya hilang darinya.
“Ayah, Ahmad...”
###


“Dam, Adam....” terdengar isak tangis di ujung telepon. Ia gusar, tidak pernah ia melihat ibunya menangis sebegitu seraknya, hingga terbata-bata.
“Ayahmu... Ahmad, adikmu....” Hatinya mencelos, seolah-olah ada petir yang menyambarnya begitu hebat, hingga tubuhnya tak mampu menopang dirinya sendiri. Ia tersandar ke dinding. Ia menengadah ke langit, menahan agar air mata itu tidak tumpah ruah. Dadanya sesak. Ia menghirup napas sedalam-dalamnya, lalu masuk ke ruangan perkuliahan, meminta izin ke dosen atas masalahnya, menyandang tas nya dengan sembarang, dan segera bertolak ke Bukittinggi.

“Ayahmu.... Ahmad, adikmu meninggal, Dam! Dia tiada, Dam!!” ucap ibunya sebelum menutup telpon.
###
“Tinggallah beberapa hari di sana, Dam! Jangan pulang dulu.” suruh ibu saat menelepon. Ia heran, kenapa ia harus tinggal. Ia sudah menuruti permintaan ibu untuk menemui Pak Agung, dan sekarang ia harus tinggal di Padang untuk beberapa hari. Bukannya ia tidak mau, tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya di Padang, dan berarti menghabiskan waktu sia-sia. Ia benci akan hal itu.

“Kau kan bisa ngapain gitu di Padang. Bantu-bantu Pak Agung di rumahnya, ngurus tanamannya, atau apalah. Kunjungi ia lagi, Dam! Kasihan ibu melihatnya.” bujuk ibunya. Ibu selalu tahu kelemahannya.

“Baik, Bu!” ucapnya.
###


“Apa kabar, Num?” Adam membuka percakapan. Ia sudah berada di rumah Hanum sejak pagi tadi. Ia membantu Pak Agung membersihkan halaman belakang rumahnya yang mulai ditumbuhi rumput-rumput liar. Kebetulan Hanum membantu mereka mencabuti dedaunan yang menguning.  Pak Agung sedang menerima telepon di ruang tengah, sehingga Adam memberanikan diri bertanya, karena mulutnya sudah gatal untuk berbicara dengan gadis itu.

“Kau mengenalku?” tanya gadis itu sambil menggemburkan tanah di pot bunga. Adam mengangguk. Jarak mereka sangat jauh, namun ia dapat mendengar suara lembut gadis itu.

“Maaf! Aku tidak ingat.”

Gadis itu menunduk—lagi—kebiasaan yang selalu dilakukannya apabila merasa bersalah, dan malu. Adam tersenyum, dan meneruskan mencambuti rumput.

“Tidak apa. Kau tetap tak berubah.” ucapnya ringan, namun seolah-olah ada getaran halus di hatinya. Ia berdiri, membersihkan jeansnya yang sedikit  kotor karena tanah.

“Aku ambil tanah dulu.”

Ia melakukannya karena... tak tega jika gadis itu harus bolak balik mengambil tanah dengan kondisinya yang sulit. Ia mengangkat satu karung tanah, dan meletakkannya di samping gadis itu.

“Aku... bisa melakukannya. Kau tidak perlu menolongku.” ucap Hanum tersinggung. Astaga, ia tidak pernah melihat raut wajah itu. Hanum bukan marah pada dirinya, tetapi merasa sedang dikasihani. Itulah sorot yang terlihat.

“Hanum... aku tidak mengasihanimu. Tetapi, aku melakukan apa yang hatiku ingin lakukan.”  Ia diam, tak menanggapi ucapan Hanum. Ia kembali pada tempatnya semula, sambil sesekali melihat ke arah gadis itu.

Setengah jam setelah suasana dingin yang diciptakannya, ia pamit pulang. Bukan alasan yang mengada-ngada, tapi salah seorang temannya dirawat di rumah sakit, jadi ia memutuskan untuk menjenguknya—sebenarnya tidak ingin berlama-lama di dekat gadis itu. Ada sesuatu yang bergejolak di hatinya.
###
Keesokan harinya, ia datang lagi. Kali ini hatinya bukan untuk menuruti perintah ibunya, melainkan ia ingin bertemu dengan gadis itu—mengenal kembali. Tetapi sayangnya, gadis itu menolak kehadirannya, karena ayahnya sedang tidak di rumah. Ia paham. Ia memutuskan pulang dan meninggalkan secarik kertas pada gadis itu.

“Num, aku pulang. Aku titipkan sesuatu di luar.” ucapnya setengah berteriak. Gadis itu berada di dalam rumah, enggan membuka pintu. Bahkan saat Adam datang, ia hanya membuka pintu sedikit, cukup untuk membuatnya mengetahui siapa yang datang.

Aku ingin mengenalmu, Num. Izinkan aku.
###
Sebulan sejak ia meninggalkan secarik kertas pada Hanum, Adam tak pernah lagi mengunjunginya. Bukan kemauannya, tetapi karena ibu menyuruhnya pulang. Hingga libur semester hampir berakhir, ia tetap memutuskan berada di Bukittinggi, menahan segala hasrat untuk ke Padang dengan alasan menemui Pak Agung.

“Bagaimana kabar Hanum, Dam?” tanya ibu disela ia mengemasi barang yang dibawanya besok. Esok usai shubuh, ia harus bergegas ke Padang karena perkuliahannya akan segera di mulai.

“Baik, Bu.” jawabnya singkat. Ibu mengelus pundaknya.

“Kau baik-baik saja?” tanya wanita separuh baya itu lagi. Adam mengangguk sambil menyibukkan diri mengemasi barangnya, seolah tak tertarik dengan percakapan itu. Ia mengerti arah pembicaraan ibunya.

“Ibu tinggal, Dam!” ucapnya lembut. Ibu mengerti. Sejak kejadian itu, ibu tak pernah lagi menyinggung nama Hanum. Bahkan, saat menyuruhnya untuk bertemu Pak Agung, ia yakin sepenuhnya bahwa ibu hanya ingin ia melihat Hanum sesekali.

“Aku mencintainya,Bu. Dulu, hingga sekarang, Bu. Tetapi perasaan hilang tak kunjung hilang dari ingatanku,Bu!”  Ia membatin.
###
Hari itu, hujan turun begitu lebat. Ayah bersama Ahmad pergi bersama keluarga Pak Agung untuk menghadiri wisuda kakak sepupu Hanum di Padang. Ibu tidak ikut hari itu, karena merasa kurang sehat. Beberapa minggu sebelum kejadian itu,  ibu sempat terkena tifus, sehingga masih terlihat kurang sehat. Adam menunggu mereka di kosan tempat ia tinggal. Ibu kos menyediakan beberapa kamar untuk tamu keluarga yang berkunjung. Namun sekembali mereka dari Padang untuk bertolak ke Bukittinggi, sesuatu terjadi. Kecelakaan beruntun tak dapat dihindari oleh mobil Pak Agung. Jalanan licin, pencahayaan jalan juga kurang, dan bertepatan saat itu sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu menambrak mobil yang berlawanan dengan mobil Pak Agung berada. Naasnya, mobil yang ditabrak itu terpelanting dan Pak Agung tak dapat menghindarinya. Ayah, Ahmad, serta istri Pak Agung kembali pada Sang Kuasa malam itu juga.
“Jika kalian tidak mengajak keluargaku ke Padang, mungkin ini takkan terjadi. Ayah dan adikku pasti masih hidup!!” ratap Adam sebelum pemakaman. Ia kalap, tak mampu lagi berpikir jernih. Ia marah, sedih, dan kehilangan.

“Adam....”

Ibu mengelus pundaknya, memeluknya pilu.

“Bukan salah mereka, Dam. Allah sayang pada mereka, Dam. Allah sayang pada mereka, Dam.” Kalimat itu berulang kali diucapkan ibunya.
###


Adam, aku mengingatmu. Secarik kertas yang kau tinggalkan beberapa bulan lalu, dulu, kau pernah memberikannya dengan kalimat yang sama, dua tahun sebelum kejadian itu.

Adam, aku tidak bisa. Jangan aku. Jangan kembali, aku mohon. Perasaan bersalahku terlalu besar, hingga aku tak mampu menerimamu, Adam. Ini salahku. Harusnya, hari itu aku tidak mengajak keluargamu. Ini salahku, Adam!!
Saat kau tak menemuiku lagi—setelah itu. Perasaanku membaik, walaupun aku tidak mengingatmu sedikitpun. Namun, hari itu. Kau berdiri di depan rumahku, ada sesuatu yang mengusik hatiku. Aku hendak bertanya siapa kau, tapi aku takut. Aku tak ingin mengingat lebih banyak lagi, Dam.

Maafkan aku.

Adam melipat surat yang ia terima dari Hanum kemarin siang. Ia sengaja mengunjungi Pak Agung, sekedar menemaninya menghabiskan sisa hari sekaligus untuk melihat gadis itu. Dahulu, hatinya beku saat mengingat gadis itu. Ada perasaan benci, marah, tak terima, serta sayang yang tak dapat dihindarinya. Ia mengenal gadis itu sedari kecil, tetapi saat sekolah menengahlah ia baru satu sekolah dengan gadis itu.

Ia tidak tahu sejak kapan perasaan itu hadir. Ia menyimpannya dengan baik, memendamnya dengan teramat rapi, bahkan tak menunjukkan sesuatu yang lain pada gadis itu. Mereka berteman, menjaga jarak dengan baik. Tetapi, dua tahun sebelum kejadian itu, ia memberanikan diri melalui secarik kertas, bahwa ia ingin mengenal gadis itu.

Dan, kalimat itu ia tulis kembali saat gadis itu menolak kehadirannya—memang berharap gadis itu akan mengingatnya. Namun balasan gadis itu begitu mengoyak hatinya. Dulu, memang ia memutuskan berhenti—berhenti menemui gadis itu. Ia belum bisa menerima kejadian itu. Tetapi, saat ia melihat gadis itu pertama kalinya setelah setahun berlalu, hatinya luluh. Penerimaan itu datang begitu saja.
###


“Adam, aku mohon jangan putriku.” jawab Pak Agung datar.

“Pak, aku akan membahagiakannya.” ucapnya memohon.

Minggu pagi, setelah enam bulan berlalu sejak ia menerima balasan surat dari Hanum, ia memutuskan untuk menemui Pak Agung bermaksud menyampaikan niatnya. Ia memikirkannya dengan baik, menyiapkan semuanya, dan ia telah membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu. Ia menginginkan gadis itu. Dahulu ia menyerah. Tetapi sekarang, ia ingin menjemput kembali perasaan itu.

“Hanum takkan mampu membuatmu bahagia, Dam. Masa lalu dengan keluargamu menyulitkannya. Ia merasa bersalah,Dam.” ucap laki-laki berjanggut itu lagi.

“Aku yang akan menghapus rasa bersalahnya. Izinkan aku, Pak!” pintanya penuh harap. Sudah cukup ia kehilangan ayah dan Ahmad. Ia tak ingin lagi.

“Anakku, cacat, Adam! Ia bisa apa?” Mata Pak Agung berkaca-kaca menahan tangis.
“Ia lumpuh, Dam. Untuk dirinya sendiri ia tidak bisa, bagaimana ia akan mengurusmu?” lanjutnya. Adam diam, menelan ludah. Ia mendengar sebuah benda jatuh dari dalam kamar. Ia yakin Hanum mendengar pembicaraannya dengan Pak Agung.

“Pak, ia mampu mengurusku. Bukankah terlihat? Sedang ayahnya sendiri mampu diurusnya, bagaimana mungkin aku tak mampu diurusnya? Ia memasakkanmu setiap hari, membersihkan rumah, mencucikan bajumu, dan mengurus tanamanmu. Ia dapat melakukannya, Pak. Percayalah,Pak. Aku akan membahagiakannya.” ucapnya lunak.

“Berikan aku kesempatan, Pak. Izinkan aku melakukannya. Aku mencintainya, bukankah itu cukup?” pintanya memohon sekali lagi.

Pak Agung menghela napas. Sorot matanya teduh, ia tersenyum.

“Aku terima niat baikmu.” jawabnya singkat. Spontan, Adam memeluk laki-laki itu, menyiumi tangannya, dan berseru bahagia mengucap syukur di dalam hati.
###

Hari ini, aku telah melakukan hal yang benar. Hatiku tenang, damai, dan bahagia di sisimu. Aku ingin membahagiankanmu, Hanum. 

2 comments:

  1. Halo, Rissa.
    Blog kamu bagus. Semangat menulis ya!
    Salam,
    Nonier

    ReplyDelete
  2. Terima kasih kak, sudah menyempatkan membaca blog saya ^^
    Amiin, insyaAllah tetap semangat menulis kak ^^
    Wah, senang rasanya di komentari oleh penulis seperti kakak :)
    Dinanti novel selanjutnya kak ;)

    ReplyDelete