Pages

January 13, 2018

[Review] Miss Peregrine's Home For Peculiar Children #Ransom Riggs


Pengarang : Ransom Riggs
Penerjemah : Tanti Lesmana
Tahun terbit : 2016
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 544 halaman

Sinopsis
Sebuah pulau misterius. Panti asuhan yang terbengkalai. Dan koleksi foto yang aneh bukan main. Semuanya menunggu ditemukan dalam kisah Miss Peregrine’s for Peculiar Children, novel unik yang menggabungkan fiksi dan fotografi menjadi pengalaman membaca yang mendebarkan.

Jacob Portman yang berumur 16 tahun baru saja kehilangan kakek kesayangannya. Dulu kakeknya suka bercerita sambil menunjukkan koleksi foto anak-anak aneh, dan Jacob mengira kakeknya hanya membual. Setelah kakeknya meninggal tidak wajar, Jacob mengikuti pesan terakhirnya dan pergi ke pulau terpencil di luar pantai Wales, untuk mencari rumah Miss Peregrine dan anak-anak aneh itu. Yang menjelajahi sisa kamar-kamar dan lorong-lorongnya, semakin jelas bahwa anak-anak ini sungguh-sungguh ada dan, ajaibnya, mereka masih hidup sampai sekarang, walaupun tampaknya mustahil. Dan ada sebabnya mereka mengasingkan diri di pulau terpencil itu.
***

Saya melihat buku ini kalau tidak salah tahun 2016 di Gramedia. Kala itu, saya ingat bahwa label belakang buku ini bertemakan psikologi. Aneh sebenarnya, kenapa buku ini dikategorikan novel psikologi (atau saya salah lihat, entahlah -_-). Saya menimbang-nimbang untuk membeli, tapi gagal karena teralihkan dengan buku lain. Lalu, beberapa bulan kemudian saya kembali dengan memandang buku itu ragu. Alhasil gagal membeli lagi. Pada awal November 2017, setelah hanya tinggal tiga buku tersisa, barulah saya memutuskan untuk membeli. Saya membeli ketika nyaris setiap orang telah membacanya.

Apakah saya menyesal telah membelinya? Karena mengingat harga novel terjemahan yang tak pernah murah. Tidak sama sekali. Ini adalah novel pertama saya bergenre dark fantasy—beberapa orang menyebutnya semacam itu. Apabila dilihat dari sampul bukunya, maka beberapa orang beranggapan bahwa buku ini bergenre horor. Kesan yang ditampilkan oleh penulis sungguh sangat kelam. Bersyukurnya, hal pertama yang ingin saya katakan adalah ‘buku ini bukan novel horor’.

“Sleep is not, death is not; who seem to die live. House you were born in, friends of your spring time, old man and young maid, day’s toil and its guerdon, they are all vanishing, fleeing to fables, cannot be moored” – Ralph Waldo Emerson.

Buku ini berkisah tentang Jacob yang memperoleh cerita-cerita aneh dari kakeknya. Kakeknya bercerita layaknya dongeng sambil memperlihatkan sederet foto-foto yang lebih aneh, seperti: seseorang yang mengangkat batu besar, anak perempuan yang berdiri tanpa menyentuh tanah, atau mereka yang memiliki dua wajah. Semua itu terlihat aneh dan ganjil. Saat Jacob kanak-kanak, dia mempercayai kakeknya hingga teman-temannya mengejeknya bahwa cerita itu hanyalah kebohongan belaka.

Saat Jacob menginjak remaja, dia menyaksikan kematian kakeknya yang ganjil. Dia melihat sosok aneh seperti monster. Setelah kejadian itu, seisi rumah menganggap bahwa dia mengalami gangguan mental dan mesti menjalani terapi dengan psikiater. Anehnya, dia menganggap bahwa yang dilihatnya adalah sesuatu yang nyata. Untuk menyenangkan hati ayah dan ibunya, maka dia berpura-pura bahwa pikirannya telah sembuh. Walaupun sebenarnya tidak demikian, dia dihantui oleh monster-monster yang pernah dilihatnya di hutan. Pada akhirnya, dia memutuskan memenuhi janji kakeknya sebelum meninggal.

Saya membaca buku ini terhenti berkali-kali, lalu tanpa disadari harus mengulang beberapa halaman untuk mengingat kembali. Pada awal-awal bab, penulis memang belum menjelaskan tentang konflik yang sebenarnya. Penulis hanya memaparkan kisah-kisah tentang kaum peculiar yang berarti aneh, ganjil. Konflik sederhana mulai muncul ketika kakek Jacob meninggal, dan cucunya dianggap sebagai orang tidak waras. Jacob melakukan perjalanan bersama ayahnya untuk mencari Miss Peregrine—pemilik panti asuhan seperti yang diceritakan dalam surat kakeknya. Alhasil, Jacob menemukan rumah itu dan melakukan perjalanan dengan melewati keluk.

Sejujurnya ini bukanlah genre yang biasa saya baca. Saya tidak begitu menyukai buku yang mengusung cerita fantasi. Anehnya saya menyukai buku ini. Kelebihan dari buku ini terletak pada foto-foto yang ditampilkan setelah penulis mendeskripsikan suatu tempat ataupun tokohnya. Hal ini membuat saya tidak semata berimajinasi terhadap deskripsi penulis. Saya mulai suka dengan buku ini ketika Jacob menemukan panti asuhan Miss Peregrine. Saya merasa ikut masuk dalam dunia para peculiar tersebut. Aturan hidup dan perputaran waktu yang mereka lakukan walaupun fantasi, tapi tidak begitu berlebihan. Saya suka pada bagian ketika Jacob pertama kali datang dan ikut makan bersama.

Seharusnya aku tidak terkejut melihat anak-anak ajaib ini mempunyai kebiasaan makan yang ajaib pula, tetapi sambil melahap makanan aku mencuri-curi pandang ke sekeliling ruangan. Olive, anak perempuan yang bisa melayang, harus diikat dengan sabuk ke kursi yang disekrup ke lantai, supaya dia tidak melayang naik ke langit-langit. Agar kami tidak terganggu serangga-serangga, Hugh, anak lelaki yang menyimpan lebah-lebah hidup di dalam perutnya, makan di bawah kelambu besar di meja untuk satu orang dipojokan…. –halaman 236.

Secara sederhana kaum peculiar adalah mereka yang ‘terbuang’ oleh keluarganya. Mereka bukan yatim piatu, melainkan karena keganjilan dalam diri mereka itulah keluarga meninggalkan mereka.

Tidak hanya keganjilan pada kekuatan yang dimiliki kaum peculiar, termasuk keanehan romansa yang dihadirkan penulis antara Jacob dan seorang gadis yang mampu menyalakan api di tangannya. Entahlah, saya masih berpikir bahwa gadis itu mencintai seseorang yang mirip dengan Jacob di masa lalu. Hubungan mereka berdua tidak mendominasi alur cerita, tapi cukup untuk menjadi pemanis cerita yang memang sangat kelam.

Terpikir olehku untuk merangkulnya, namun ada sesuatu yang menghentikanku. Gadis cantik yang lucu dan memikat ini, tanpa disangka-sangka, tampaknya benar-benar menyukaiku. Tetapi kini aku mengerti, bukan diriku yang disukainya. Hatinya merindukan orang lain….—halaman 330.

Pada buku ini ada beberapa bagian yang terkesan tiba-tiba. Bahkan saat kemunculan dr.Golan, tidak pernah terpikir hingga sejauh itu. Saya membacanya dari awal dan kehadiran sosok dr.Golan hanya sebatas penyembuhan mental Jacob. Namun, belakangan saya menyadari bahwa dia selalu menerima keluhan Jacob (saya pikir itu semata tugas seorang tugas psikiater, saya salah).

Saya selesai dengan buku pertama karya Ransom Giggs—akhirnya. Saya bersyukur bahwa ending di buku pertama ini tidak membuat saya candu untuk buku ke duanya. Jika pada buku pertama bercerita tentang dunia kaum peculiar, pada buku kedua lebih tentang kehidupan di dunia peculiar serta pencarian Miss Peregrine. Saya belum tertarik cukup banyak dengan buku kedua, terlebih versi Indonesinya belum tersedia (kalau saya tidak salah). Jadi, saya dapat melanjutkan terlebih dahulu untuk membaca buku yang lain.

Saya memberikan 4/5 bintang untuk buku ini, dan pada akhirnya review ini terselesaikan. Selamat membaca!

Salam.

No comments:

Post a Comment