February 24, 2016
[Cerpen] Sepenggal Rindu
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
February 14, 2016
[Cerpen] The Night Radio
Kadangkala kita terlalu sibuk
dengan persepsi diri sendiri, tanpa memberi ruang untuk orang lain berasumsi.
Kadangkala kita terlalu sibuk bagaimana
sakitnya, tanpa ada celah untuk orang lain memberi penjelasan.
Kadangkala kita juga terlalu
egois karena telah menghakimi diri sendiri, menganggap hanya diri ini yang
tersakiti, tanpa melihat bahwa di ujung sana, ada yang lebih tersakiti.
Ah, betapa mengerikannya asumsi.
Ah, betapa menakutkannya ketika
perasaan telah menjadi tiangnya, sedangkan logika telah terbawa entah kemana.
Ah, betapa menyakitkannya ketika
asumsi menjadi berbeda dengan realita sesungguhnya.
###
“Assalamu’alaikum.
Selamat malam semuanya. Wah, tidak terasa seminggu cepat berlalu dan kembali
bertemu dengan saya Kusma Melati di Night Radio. Seperti biasa edisi malam
jumat di sini adalah “curhatan” hati. Haha, bahasanya sedikit lebay. Baiklah,
selama satu jam ke depan saya akan menemani kalian untuk berbagi kisah tentang
hati. Oke, stay here....”
Take me to your heart
Take me to your soul
Give me your hand before I am
old
Show me what love is haven’t got
a clue
Show me that wonders can be true
“Baiklah
bagi yang ingin bercerita di sini, silahkan hubungi 0812xxxxxxx atau bagi yang
ingin me-request lagu, juga bisa. Caranya
mudah, kirim sms ke no 0813xxxxxxx. Nah, tapi khusus malam ini, saya hanya
menerima request lagu slow. No metal,
no rock. Haha. Jadi, para penggemar Linkin
Park dan sejenisnya mari ubah haluan hari ini...”
They say nothing lasts forever
We are only here today
Love is now or never
Bring me far away
“Halo...
halo... halo... Sepertinya belum ada penelpon. Mari kita tunggu, mungkin masih
mempersiapkan bahan untuk bercerita. We
are only here today... sepertinya lagu lawas MLTR sangat mendukung malam
ini. Halo... halo...”
“Hmm...
halo.” ucap seseorang di ujung telpon.
“Yak,
akhirnya kita dapatkan satu orang penelpon. Halo, dengan siapa? Dimana?”
tanyaku segera.
“Agi
di Belimbing.” jawabnya singkat.
“Oke.
Agi di Belimbing. Wah, sepertinya Agi sedang galau berat.”
“Yah,
begitulah.” ucapnya singkat—lagi.
“Jadi,
ada cerita apa tentangmu, Agi?” tanyaku mulai menurunkan nada suara. Sepertinya
laki-laki yang satu ini sedang patah hati.
“Aku...
punya seorang teman. Setahun lalu dia diputuskan oleh kekasihnya. Aku tidak
tahu apa yang salah dengan temanku itu.” ucapnya.
“Maaf,
aku potong. Temanmu laki-laki atau perempuan?” tanyaku.
“Laki-laki.”
jawabnya. “Aku tidak mengerti, kenapa temanku diputuskan begitu saja. Dia baik,
dan hubungan mereka sudah lama, tiga tahun. Apa yang salah? Atau perempuan itu
menemukan orang yang lebih baik dibandingkan temanku?” lanjutnya.
“Aku...
harus bagaimana?” ungkapnya.
Aku
terdiam. Aku yakin, ceritanya bukanlah tentang temannya melainkan tentangnya. Mungkin
dia terlalu malu untuk bercerita. Aku berpikir, mencari solusi samampuku.
Keputusan kru di sini memutar lagu-lagu MLTR sangat membantu. Aku membutuhkan mood yang baik jika ingin menyarankan
sesuatu kepada orang lain.
“Mungkin,
hal pertama yang kau lakukan adalah tanyakan pada temanmu, apakah dia melakukan
kesalahan atau tidak...”
“Dia
tidak melakukan kesalahan... dan sudah ditanyakannya pada perempuan itu.”
“Anggaplah
temanmu itu adalah kau, Agi. Maka, aku akan mencoba memberi saran untuk kau.” ucapku.
Agi hanya menanggapiku dengan kalimat ‘oke’ semata. Lihatlah, betapa benar
prediksiku jika masalah ini tentangnya.
“Kadangkala
kita terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu. Kau menganggap bahwa dia telah
menemukan orang yang lebih baik dibandingkan kau. Jangan terlalu terburu-buru. Mungkin
dia punya alasan yang tak dapat disampaikannya. Berilah ruang untuknya. Biarkan
dia sendiri. Tugas kau, lihatlah apa yang terjadi dengannya. Apakah dia
menemukan pengganti kau atau tidak. Jika dia telah menemukan sebelum berpisah
dengan kau, maka satu atau dua bulan ke depan telah terganti posisi kau, Agi. Tapi,
jika dia tetap sendiri... berarti bukan itu alasannya.”
“Aku
tahu, kau tersakiti olehnya. Tetapi, jangan terburu-buru untuk memutuskan siapa
yang lebih tersakiti. Semakin kau memikirkan tentang itu, maka bertambah
sakitlah rasanya. Padahal, belum tentu kau yang lebih tersakiti. Bagaimana jika
dia? Apa yang akan kau lakukan, Agi?”
“Aku
yakin, setiap orang punya alasan untuk mengambil keputusan. Kau harus
menghargainya dan jangan membencinya. Suatu saat kau akan melihat alasan dia
melakukan itu. Jangan terlalu sibuk dengan asumsi kau seorang, Agi. Asumsi juga
bisa menjadi bumerang untuk kau kelak, Agi.”
“Maka,
biarkan waktu yang menjawab semuanya. Jika sekarang terasa sakit, maka
terimalah rasa sakit itu. Karena itu... risikonya. Ketika kau bertemu dengan
seseorang, ada masanya kau akan berpisah. Percayalah, waktu adalah obat
terbaiknya. Apakah dengan waktu membuat perasaan kau semakin besar padanya,
atau sebaliknya.” ucapku.
“Jika
jawabannya tak kunjung kudapatkan?” tanyanya.
“Bersabarlah.
Jawaban itu tidak datang dengan mudah, Agi. Ada orang yang mendapatkan
jawabannnya seminggu setelah itu, atau berbulan-bulan dan bahkan
bertahun-tahun. Bersabarlah. Mungkin, perasaan kau sedang diuji.”
“Sebenarnya,
perempuan itu tengah berhijrah.” ucapnya.
Deg...Jantungku tiba-tiba berdegup
kencang.
“Hingga
detik ini... temanku masih menyimpan perasaannya dengan baik. Walaupun ke depannya
dia tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah melakukan yang kau sarankan. Dia
sedang menunggu jawabannya.” ucapnya. Deg...
sekali lagi, jantungku berdegup tak karuan.
“Dan...
sudah dia dapatkan jawabannya?” tanyaku hati-hati.
“Setengah
bagiannya sudah, namun sisanya belum. Dia sedang menunggu.” lirihnya. Desir
kata ‘menunggu’ membuatku merinding. Aku tidak dapat melihat ekspresi laki-laki
itu mengungkapkan perasaannya. Namun, hanya dengan suaranya dapat kulihat
betapa dalam harapnya.
“Awalnya,
dia membenci perempuan itu. Tetapi lambat laun, dia memperhatikan kehidupan
perempuan itu berbulan-bulan, dan didapatkannya bahwa perempuan itu masih
menyimpan perasaannya dengan baik. Hanya saja, kondisinya sekarang berbeda. Dia
menyimpannya dalam doa.”
“Bagaimana
dia tahu?” tanyaku penasaran.
“Dia
menanyakan pada sahabat perempuan itu.” ungkapnya.
“Ini
sedikit rumit. Ketika dia melihat kondisi perempuan itu sekarang, dia
tersentuh. Dan, temanku dalam proses berhijrah
sama sepertinya.” ucapnya. “Karena itu, bagian sisa yang belum terjawab itu
adalah apakah perempuan itu akan menjadi pendampingnya kelak.” Sungguh,
tanganku mulai gemetar mendengar ceritanya.
“Terimakasih
atas sarannya. Semua ini sangat membantu.” ucap Agi. Sambungan telpon terputus
dan hanya bunyi tut...tut... yang
kudengar. Lengang. Tiba-tiba pikiranku tak terkendali. Seorang kru di luar sana
memberi isyarat untuk jeda. Aku mengangguk.
“Baiklah,
sepertinya Agi sudah selesai dengan ceritanya. Astaga, tiba-tiba kita semua
terbawa suasana. Untuk itu, saya akan memutarkan sebuah lagu dari MLTR—I’m Gonna
be around.”
It’s been so long since we took
the time
To share words from deep inside
us
We’re in our own world spinning
our wheels
But you know how I feel
Aku
keluar dari ruang penyiaran. Aku mengambil air mineral yang terletak di atas
meja. Aku meminumnya sekali teguk. Cerita laki-laki itu menguras perasaanku.
Aku duduk dan mengambil napas berkali-kali.
“Kau
baik-baik saja, Mela?” tanya Tia penyiar yang lain. Aku mengangguk. Waktu
siaranku hanya tinggal 15 menit. Aku memasuki ruang siaran dan mengambil posisi
lagi.
“Yak,
ternyata hari ini cuma bisa satu penelpon. Dan... selanjutnya saya akan
mengecek sms request lagu. Wah, cukup
banyak sms yang datang.”
Aku
membaca isi request satu persatu. Dan sesuatu mengangguku. Aku mendapati
pesan terakhir yang aneh. Isinya bukan tentang permintaan lagu. Tetapi... menyangkut
tentangku. Apa ini? Jantungku kembali berdegup kencang.
“Waktunya
sudah habis. Baiklah, saya Kusma Melati pamit. Jangan lupa dengarkan edisi “curhatan”
hati setiap malam jumat jam 8-9 malam. Hanya di Night Radio. Sampai jumpa
minggu depan. Assalamu’alaikum.”
Tugasku
selesai. Namun perasaanku belum usai.
Bisakah kau menugguku sedikit
lagi? Karena aku sedang berbenah, sama seperti kau, Mela. Aku tidak membenci
kau, Mela. Bahkan aku bersalah pada kau. Jadi, maukah kau melakukannya? Sedikit
lagi, berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya. –Haryanto Damagian.
###
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
February 12, 2016
[Cerpen] Separuh Hati
Seorang penulis pernah
menuliskan kalimat seperti ini, ada
orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu.
Dulunya, kupikir memang seperti itu adanya. Saat rasa kehilangan itu begitu
dalam, maka seolah-olah segalanya mati rasa. Hingga tak merasakan apa-apa lagi,
karena begitu kuatnya perasaan memiliki dan kehilangan. Namun, waktu perlahan
mengobatinya. Separuh hati yang tadinya luruh seketika, perlahan menampakkan
wujudnya lagi, membentuk kembali separuhnya. Ini bukan tentang hati yang
terobati tetapi berkaitan dengan makna berdamai.
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
February 8, 2016
[Cerpen] Kutunggu Waktu, Maka Kan Kuceritakan
Hujan
kembali membasahi kota ini untuk kesekian kalinya. Padahal, jika dirujuk
berdasarkan perputaran musim, bulan ini bukanlah jadwal turunnya hujan. Aku
duduk di balik kemudi taksi sambil melihat jalanan yang basah. Sama seperti
hari-hari sebelumnya, aku mempunyai janji. Dan, janji itu harus kupenuhi setiap
harinya. Dulu, mungkin aku menyebut ini sebuah janji yang harus kutepati.
Tetapi, lambat laun aku mengubah persepsi itu. Ini tidak lagi tentang janji,
melainkan rutinitas yang harus kujalani.
“Sudah
sampai, Dik.” ucap sopir taksi itu. Aku ber-eh tidak menyangka perjalanannya
akan menjadi singkat. Aku mengeluarkan dompet dan membayar ongkos taksi segera.
“Makasih,
Pak.” ucapku sambil keluar dari taksi. Aku lupa membawa payung. Aku tidak
berangkat dari rumah, melainkan dari kampus. Cuaca sekarang ini sungguh tidak
terduga. Tadi pagi, matahari sungguh terik. Tetapi mulai pukul tiga sore,
langit mulai terlihat mendung, dan sekarang turun hujan. Aku berlari-lari kecil
menuju kafe tempat pertemuan kami. Kami? Ya, aku mempunyai rutinitas wajib
bersama seseorang. Aku mendorong pintu kafe dan melihat semua kursi yang ada di
sana. Aku kesulitan menemukannya, karena kacamataku basah karena hujan.
Seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum, senyum yang sama setiap
harinya. Aku berjalan ke arahnya.
“Sudah
lama menunggu, David?” tanyaku. Dia menggeleng. Aku mengambil posisi dudukku.
Di meja itu, telah terhidang dua mug coffee
latte. Ternyata, hari ini dia mengingat sesuatu—mungkin menurutku.
“Boleh
aku minum?” tanyaku sumringah. Ini bukan karena kopi yang dipesankannya
untukku, terlebih ada cerita di balik kopi itu.
“Ki..ta..
ce..ri..ta..apa..ha..ri..ini, Gi..ta?” tanyanya terbata-bata. Aku meletakkan
kopi itu di atas meja setelah meminumnya beberapa teguk.
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
February 7, 2016
[Cerpen] Akankah Bertemu Lagi?
“Assalamu’alaikum.” sahut
seseorang di luar sana. Suaranya terdengar tak asing untukku. Aku menjawab
salamnya, dan ayah mengisyaratkan kepadaku untuk membuka pintu. Aku berjalan ke
arah pintu. Langkahku ringan sekaligus jantungku berdegup kencang. Apakah dia
kembali? Itulah pertanyaan awal yang muncul di benakku. Aku menarik engsel
pintu dan seseorang yang kukenali berdiri di depanku. Dia mengenakan pakaian
seragamnya—hijau, lengkap dengan baret di kepalanya.
“Ayahmu ada, Kuntum?” tanyanya.
###
Dika.
Namanya Dika. Aku dan dia adalah orang asing yang bertemu oleh kejadian tak
terduga. Sebelumnya aku tidak mengenalnya, begitu juga dengannya. Takdir
sungguh tak terduga. Kadangkala aku menyangkal bahwa itu adalah takdir, dan
menganggap hanyalah kebetulan belaka. Namun, lambat laun aku meyakini bahwa
tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Kebetulan-kebetulan tak terduga itu
sebenarnya takdir.
Hari
itu... mungkin Tuhan punya rencana lain mempertemukanku dengannya. Aku ingat,
kejadian itu telah terjadi sekitar tujuh tahun lalu—masa ketika aku masih
menyelesaikan studi kependidikanku.
Aku
selalu pulang sendirian. Bukan karena aku tidak ingin bergaul dengan yang lain,
atau sekedar pulang beriringan bersama. Hanya saja, tidak seorangpun mempunyai
rute yang sama denganku—sejauh yang aku kenal. Oleh karena itu, seringnya aku
berjalan sendiri dan menikmati pikiran-pikiran yang lalu lalang di otakku.
Hari
itu... aku pulang terlambat. Biasanya sebelum azan magrib berkumandang, aku
sudah menanti bus di depan halte. Tetapi, hari itu aku justru pulang setelah
menunaikan sholat magrib di mesjid dekat kampus. Bukan kehendakku berlama-lama
di kampus, namun ada tugas yang harus kuselesaikan bersama dengan teman yang
lain. Aku berjalan di sekitar trotoar, lalu melangkah perlahan ke arah rel
kereta api dan melakukan kebiasaan konyolku—menghitung jumlah besi yang
terpasang di sana.
Tiba-tiba
seseorang berjalan beriringan di sampingku—tepat di sampingku. Aku menoleh ke
kanan, melihat sosoknya. Aku nyaris terjatuh sebab dia juga menoleh ke arahku.
Aku memalingkan wajah—malu, dan menunduk—sibuk menghitung kembali—walaupun sebenarnya
bukan itulah yang kulakukan.
Otakku
sibuk bertanya-tanya, siapa laki-laki di sampingku ini? Aku tidak mengenalnya,
bahkan pernah melihatnya saja tidak. Apa dia berniat buruk kepadaku? Bukan aku
hendak berprasangka buruk, tetapi sikap berhati-hati juga diperlukan ditambah
kondisi jalanan yang gelap. Aku mempercepat langkahku, memastikan laki-laki itu
berniat menguntitku atau tidak. Sayangnya, dia justru kembali mengimbangi
langkahku. Aku mulai gelisah, dan takut.
“Jalan
saja seperti biasa. Seseorang mengikutimu di belakang.” Dia angkat bicara.
Sepertinya dia tahu kegelisahanku.
“Eh?”
Aku menoleh kepadanya tak mengerti. Tetapi, ucapannya barusan membuatku lega.
“Pertama,
aku tidak berniat buruk padamu, jadi jangan curiga. Kedua, kamu sedang diikuti
dari tadi sejak keluar mesjid. Ketiga, mari kita seolah-olah saling kenal.
Setidaknya dia tidak akan macam-macam kepadamu.” Aku menggigit bibir bawahku,
takut kemungkinan yang terjadi setelah ini. Sekali lagi, seperti dia dapat
membaca pikiranku.
“Kamu
pulang naik apa? Naik bus?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Halte
sudah dekat. Kebetulan ada bus yang berhenti sekarang. Kedepankan tasmu dan
segera naik ke sana. Duduk dekat supirnya kalau bisa.” Aku mengangguk lagi
tidak tahu harus berkata apa.
Penasaran,
sebelum memasuki bus aku menoleh ke belakang. Aku melihat sosok laki-laki
mengenakan topi zebo, kaus oblong
dengan jins robek-robek ala punk.
Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Namun,
penampilannya seperti itu sudah cukup membuatku takut. Aku memasuki bus dan
duduk di dekat supir seperti yang disarankan laki-laki tadi.
Satu
menit... dua menit... bus tetap menunggu penumpang. Lima menit setelah itu, bus
menutup pintu dan melaju dengan pelan. Aku menepuk jidatku, melupakan sesuatu.
Aku melihat ke bangku—tempat laki-laki biasanya diizinkan duduk di bus ini. Dia
tidak ada—maksudku laki-laki yang membantuku tidak ada, dia tidak menaiki bus
bersama denganku.
Aku
lupa... berterimakasih padanya.
###
Beberapa
hari belakangan ini, aku sibuk mencari keberadaan laki-laki itu. Aku hanya
tidak enak karena belum berterimakasih padanya. Entahlah, mungkin karena
terbiasa mengucapkan kalimat klise itu apabila ditolong seseorang, menyebabkan
pikiranku terganggu.
Akankah
bertemu lagi? Pertanyaan itu semakin hari semakin kuat di benakku.
Apakah
itu cuma kebetulan, sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?
“Kuntum,
buatkan tamu ayah teh.” suara ayah membuyarkan lamunanku. Aku menyahut dan
segera bergegas ke dapur.
“Siapa
tamu ayah, Bu?” tanyaku iseng.
“Itu...
anaknya Pak Hafiz.” jawab ibuku sekenanya.
“Eh?
Kok anaknya yang bertemu ayah?” tanyaku lagi, terlebih penasaran.
“Ya
ampun, Kuntum. Sejak kapan kamu banyak bertanya? Ada sesuatu yang menganggu
pikiranmu belakangan ini?” tanya ibu. Aku... kena telak. Aku menggeleng cepat
dan segera mengantarkan minuman yang disuruh ayah. Aku meletakkan minuman di atas
meja sekaligus mencuri pandang tamu ayah. Ayah selalu melarang melihat tamunya.
Kalaupun diizinkan, hanya orang-orang tertentu. Aku lupa untuk menunduk. Aku tahu
ayah akan memarahiku setelah ini. Ayah melarangku menatap tamu ayah—karena tamu
ayah tentunya laki-laki, kecuali yang diizinkannya.
Akankah bertemu lagi?
Apakah itu cuma kebetulan,
sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?
Dia...
di sini. Sebagai tamu ayahku.
Aku
segera menunduk, karena ayah sudah melihatku dan akan menceramahiku setelah
ini. Namun, siapa sangka kebetulan itu terjadi lagi. Pertanyaan terbesarku,
apakah ini sekedar kebetulan?
###
“Dia
datang bersilaturrahmi, Kuntum.” ucap ayah tiba-tiba. Sendok yang tadinya
hendak kumasukkan ke mulut tertahan di udara. Aku tidak bertanya dan juga tidak
membicarakan hal ini dengan ayah. Walaupun selepas dia pergi, ayah memarahiku.
Sama seperti sebelumnya, kalimatnya selalu sama, “Jaga pandanganmu, Kuntum. Tak baik menatap seperti itu.”
“Kamu
mengenalnya?” Selanjutnya, aku tersedak. Ibu menepuk-nepuk punggungku pelan.
“Pak,
nanti saja ditanya. Setelah makan.” ucap ibu. Aku pikir, ayah lupa. Tidak biasanya
kami makan dengan percakapan.
Setelah
makan... aku berpikir akan terbebas dari pertanyaan ayah, nyatanya ayah justru mengajakku
duduk dengannya. Aku menghela napas.
“Kamu
mengenalnya?” tanya ayah dengan pertanyaan yang sama.
Aku
tidak punya pilihan. Aku menceritakan semuanya tanpa kurang sedikitpun. Ayah
hanya menghela napas setelah aku bercerita. Lalu, ayah tertawa. Tidakkah ini
aneh? Aku sudah takut setengah mati akan dimarahi lagi, ayah justru
menanggapiku dengan tawa.
“Ayah
keduluan dengan takdir, Kuntum. Haha.” ujar ayah ringan. Ayah menepuk pundakku
dan masuk ke kamar untuk tidur. Aku bingung, apa maksudnya?
###
Aku Dika. Ayahmu takkan mengizinkan kita bersua, berbincang hangat apalagi. Bisa-bisa ayahku justru memarahiku. Tapi, aku menyukai cara ini. Ayahmu mengizinkanku mengirim surat padamu. Entahlah, mungkin karena aku terbiasa dilatih menulis oleh ayahku sejak kecil, aku malah menyukai cara ini. Terdengar kuno memang. Terlebih, saat orang-orang sibuk bertukar kabar melalui handphone dan sejenisnya, aku justru mengirimimu surat. Aku harus mulai dari mana? Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir.
Aku
tersenyum. Itu adalah surat pertama yang kuterima darinya. Ibu memberikan surat
itu padaku sambil tersenyum penuh arti.
“Banyak-banyak
berdoa, Kuntum.” ucap ibuku setelah memberikan surat itu. Sekali lagi, aku tak
mengerti maksudnya.
###
Aku selalu percaya, bahwa gembok takkan pernah tertukar oleh kuncinya, Kuntum. Aku lulus akademi kemiliteran, Kuntum. Kurang lebih empat tahun pendidikanku di Magelang. Aku tidak tahu ini berita baik untukmu atau tidak. Aku sudah membicarakan ini pada ayahmu, dan dia setuju untuk melepaskanku. Aku tidak ingin mengikatmu, Kuntum. Kalau selama empat tahun itu, kamu bertemu dengan orang yang lebih baik, maka terimalah setelah berkonsultasi denganNya. Pilihanmu juga berada di tanganNya. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali?
Aku
menangis. Untuk pertama kalinya aku menangis karena masalah ini. Ayah
mengajarkanku dengan baik, termasuk menata hati sedimikian rupanya. Namun,
untuk sekarang ini aku tidak cukup mampu menata hatiku dengan baik. Ibu memasuki
kamarku. Dia memelukku dan aku menangis di pelukannya.
“Kuntum,
percayalah umur, jodoh, rezeki sudah diaturNya dengan baik. Jangan sedih, ambil
hikmahnya. Berdoalah dan semoga Allah memberikan jawaban terbaiknya kelak.” ucap
ibu. Dia melepaskan pelukannya dariku dan menghapus air mataku.
“Empat
tahun bukan waktu yang singkat, Kuntum. Pikirkan dengan baik, Nak.” Ibu
menguatkanku dan meninggalkanku sendiri di kamar.
“Tapi,
selama itu... membaikkan diri, adalah cara terbaik menemukan jawabannya,
Kuntum.” saran ibu sebelum menutup pintu kamarku.
###
“Ayahmu
ada, Kuntum?” tanyanya kedua kalinya. Lamunanku buyar. Aku mengangguk dan
mempersilahkannya masuk. Setelah itu, hanya ada ayah dan ibu bersamanya di
luar. Aku hanya mengintip dari balik tirai ruang tengah. Aku hanya mendengar
percakapan mereka sedikit, terlebih tentang Dika yang telah lulus akademi.
Perasaanku
campur aduk. Enam tahun, bukan empat tahun... dan dia kembali. Jika bertanya, apakah ada yang mendatangi
ayahku selama itu, jawabannya tidak ada. Apa ini kebetulan?
“Dika
titip surat, Kuntum.”
Ibu
memberikanku surat—seperti biasa selepas dia pergi. Aku tersenyum.
Apa kabar? Itulah pertanyaan pertama yang ingin kuutarakan, Kuntum. Maaf, ini sudah memasuki enam tahun, bukan empat tahun. Aku tidak perlu menjelaskannya di sini, bukan? Mari kita bicarakan nanti, ketika kita sudah dengan bebas berbincang. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali? Aku ingat kalimat ini. Sebenarnya, aku takut mendatangi rumahmu. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, Kuntum. Lalu, aku memberanikan diri bertanya pada ayahku. Dia memelukku dan mengucapkan “Allah ridha denganmu, Dika. Temuilah ayahnya lagi.”
Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir. Kedua, akankah kita bertemu lagi?Jawabannya Ya. Aku kembali, walaupun terlambat dan terimakasih telah menungguku, Kuntum. Ketiga, esok lusa InsyaAllah akan kudatangi ayahmu bersama keluargaku, Kuntum. Terakhir, apakah ini juga kebetulan? Sekali lagi, aku tidak menyebut ini kebetulan. Tetapi, takdir.
Aku
melipat surat itu dengan baik. Perlahan, hatiku menghangat.
Selalu,
pertanyaan terbesar di otakku selama ini “Akankah
bertemu lagi?”. Dan... kutemukan jawabannya dalam doaku.
Terimakasih telah kembali Kuntum.
###
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
February 2, 2016
[Cerpen] Pulanglah, Nak. Ibu Rindu
“Pulanglah, Nak. Ibu Rindu.”
Percakapan itu telah kudengarkan seminggu yang
lalu. Sebelum semuanya terjadi, aku menganggap bahwa kalimat itu bukanlah
apa-apa. Kalimat itu hanya serasa kewajiban yang seharusnya disampaikan seorang
ibu kepada anaknya. Namun, aku melakukan kekeliruan yang besar dan berujung
penyesalan tak terkira.
Aku tidak tahu, kenapa waktu begitu kejamnya
untukku. Bukan, bukan waktu yang kejam. Aku salah memahaminya. Kenyataannya,
akulah yang kejam terhadap diriku sendiri dan membiarkan waktu mempermainkanku.
Ibu kembali kepadaNya. Seminggu tepat setelah
kudengarkan kalimat “rindunya”. Aku menyesal, ketika menolak pulang karena ada
urusan studi yang harus kuselesaikan. Sungguh, aku menyesal tak membiarkan
waktu untuk ibuku sendiri—bertemu denganku sejenak. Tapi, apalah gunanya
ratapan sesal ini sekarang? Bukankah ia takkan kembali di sisiku? Ia pergi
untuk selama-lamanya.
Labels:
Cerpen
Pendidikan Kimia UNP'13 | Guru Kimia di SMAN 2 Sikakap Kab. Kep. Mentawai | Candu dengan buku | Rehat diri dengan menulis | Pencinta hitam
Subscribe to:
Posts (Atom)