Pages

February 12, 2016

[Cerpen] Separuh Hati

Seorang penulis pernah menuliskan kalimat seperti ini, ada orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu. Dulunya, kupikir memang seperti itu adanya. Saat rasa kehilangan itu begitu dalam, maka seolah-olah segalanya mati rasa. Hingga tak merasakan apa-apa lagi, karena begitu kuatnya perasaan memiliki dan kehilangan. Namun, waktu perlahan mengobatinya. Separuh hati yang tadinya luruh seketika, perlahan menampakkan wujudnya lagi, membentuk kembali separuhnya. Ini bukan tentang hati yang terobati tetapi berkaitan dengan makna berdamai.


“Sudah sore, Lana.” ucap seseorang di belakangku. Aku mendengarnya dengan baik, tetapi aku belum berniat meninggalkan tempat ini. Aku masih ingin duduk di sini, melihat nisan namanya dengan baik, dan mengingat wajahnya lagi.

“Rembulan sudah menunggu kau di rumah, Lana. Pulanglah! Tidak hanya kau yang bersedih. Aku, kakaknya juga kehilangan dia.” ucap wanita itu lagi. Aku kembali menghiraukannya. Apa yang dia tahu tentangku? Apa dia tahu betapa sulitnya perasaanku sekarang?

Tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku menatap wajahnya yang sendu. Aku tahu, dia juga merasa kehilangan. Tetapi, tidak bisakah dia mengerti perasaanku sekarang?

“Pulanglah, Lana. Aku... mohon. Jangan seperti ini, Lana.” pintanya. Suaranya bergetar pertanda dia menahan tangis. “Aku tahu, betapa sulitnya ini untuk kau. Tapi harus bagaimana? Dia yang punya kuasa, Lana. Kau tahu betapa bersalahnya aku pada kau. Harusnya kau dapatkan seseorang yang dapat membuat kau bahagia, Lana. Bukan orang seperti adikku, Lana. Bukan adikku yang seharusnya menjadi imam kau, Lana. Maafkan aku. Pulanglah, ayo kita pulang.” pintanya sekali lagi. Aku tetap termenung. Rentetan kalimatnya sungguh menyakitkan untukku. Menyesalkah berada di sisinya selama dua tahun terakhir ini? Jawabannya Tidak. Sekalipun tidak. Sesalku adalah, aku tidak punya waktu yang cukup mendampinginya. Waktuku terlalu singkat, dan pengabdianku masih secuil jagung.

“Lana....” panggilnya.
Aku menghela napas. Aku tersenyum. Aku melihat namanya di nisan sekali lagi, membayangkan wajahnya, senyumnya, dan tawanya. Semuanya akan baik-baik saja, bukan? Karena hakikat pertemuan adalah perpisahan.

“Kak, mari kita pulang!” ajakku sambil mengamit lengannya.
###
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Aku menghampiri seorang gadis yang duduk di atas bebatuan pantai. Dia begitu kidmat mendengarkan lagu lawas itu. Aku telah berdiri di belakangnya, namun dia tak kunjung menyadari kehadiranku—karena begitu serius mendengarkan lagu itu. Aku berjongkok di belakang, dan kuulurkan tangan untuk menutup matanya. Dia menyunggingkan senyum. Ah, lesung pipi itu. Begitu sempurnanya dia menyamai lesung pipi itu.

“Ibuuuu. Hayolah, aku tahu itu pasti ibu.” ucapnya manja. Aku melepaskan tanganku dan memegangi kepalanya dengan lembut.

“Tidak bosan kau mendengarkan lagu itu setiap hari?” tanyaku penasaran. Aku telah duduk di sampingnya. Dia menggeleng.

“Memangnya ibu pernah bosan dengan ayah?” tanyanya blak-blakan. Aku tertawa. Logisnya, tidak ada hubungan antara lagu dengan ayah. Tetapi, banyak cerita yang kuberikan padanya dulu—ketika malam adalah kewajibanku untuk menidurkannya—tentang lagu itu.

“Ibu, apa yang ayah sukai?” tanya Rembulan saat aku menemaninya.

“Hmm... banyak, Re. Tidak mungkin Ibu menyebutkan semuanya kan?” jawabku.

“Tapi, pasti ada yang paling ayah sukai kan, Bu?” tanyanya lagi.

“Ayah suka sekali dengan lagu kolam susu, Re.”

Sejak saat itu, dia selalu mendengarkan lagu itu terlebih ketika perasaan rindu hadir di hatinya. Tidak ada bedanya dengan Rembulan. Aku juga mendengarkan lagu itu hingga detik ini. Walaupun sebagian orang tidak lagi ingat akan lagu itu, bagiku aku akan mengingatnya—selalu.

Dia mengamit lenganku, lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku tak menyangka bahwa dia akan tumbuh menjadi gadis remaja. Namanya Rembulan. Satu-satunya permata yang ditinggalkannya untukku.

“Ibu... aku rindu dengan ayah.” lirihnya. Entahlah, rasa kehilangan itu telah lama berlalu. Bahkan telah lewat sepuluh tahun. Tetapi, kenapa setiap kata ‘rindu’ itu kudengarkan, hatiku selalu bergetar? Aku mengusap kepalanya. Aku tahu, setiap dia mengatakan ‘rindu’, maka ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepadaku.

“Aku tahu, ibu mengajarkanku untuk menjadi gadis yang kuat. Tetapi, ada kalanya aku rindu dengan sosok ayah. Aku melihat teman-temanku selalu bercerita tentang ayahnya. Bagaimana denganku? Tak satupun kenangan yang kumiliki bersamanya.” ucapnya. Aku diam menunggu kalimat selanjutnya.

“Bagaimana ibu mengenal ayah?” tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut, tidak biasanya dia bertanya mengenai ini.

“Kenapa kau menanyakan ini, Re?” tanyaku.

“Aku hanya penasaran, bu.”

Namanya Alif. Aku mengenalnya sejak umurku berusia lima tahun. Ibuku sering bercerita bahwa sebenarnya aku telah berinteraksi dengannya sejak kecil, saat kami masih berumur satu tahun. Tidak ada yang istimewa di dalam dirinya. Dia memiliki kulit putih yang pucat, mata yang agak sipit, dan hidung yang mancung. Penampilan fisiknya normal seperti yang lain. Ketampanannya berada dalam kategori sedang, karena saat duduk di bangku menengah pertama, tidak seorangpun gadis ingin mendekatinya, kecuali aku—terlebih karena kedekatanku dengannya. Dia juga tidak begitu tinggi kurang lebih 169 cm. Sungguh, tidak ada yang istimewa dengannya. Tetapi, seiring mengenalnya, berteman dengan baik... aku tahu bahwa dia adalah sosok yang begitu sabar. Kesabarannya membuatku nyaman berteman dengannya.

“Lalu,  ibu dijodohkan?” tanyanya lagi. Aku mengacak-ngacak rambutnya.

“Pertanyaan kau seolah-olah sedang menginterogasi ibu dan ayah kau, Re.” ucapku.

Aku tidak dijodohkan. Menurutku, hubunganku dengannya cukup rumit. Sejak berseragam putih biru aku tak pernah lagi jalan bersisian dengannya, kecuali di sekolah. Ayah dan ibunya melarang kami, termasuk orangtuaku. Kami bertetangga, tetapi sejak saat itu aku tak pernah berkomunikasi dengan bebas kecuali di sekolah.

Kami berteman dengan baik. Dia selalu menungguku sepulang sekolah di ujung jalan, tempat angkot yang kunaiki berhenti. Setelah itu, dia berjalan di depanku dan aku mengikutinya dari belakang. Itulah yang kami lakukan selama bertahun-tahun.

“Nenek dan kakek ternyata mengerikan yaa, Bu.” ucapnya.

“Tidak, Re. Aturannya benar. Mungkin nanti kau akan mengerti.” balasku.

“Haha. Iya, Bu. Terakhir, bagaimana perasaan ibu sekarang kepada ayah?” tanyanya.

“Re, kau sedang menyukai seseorang?” tanyaku membalas blak-blakannya. Dia justru membalasnya dengan senyuman yang mencurigakan.

Bagaimana perasaanku?

Ada orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu. Itulah jawaban perasaanku. Perbedaannya, separuh hatiku yang dibawa olehnya telah terganti membentuk sepotong hati yang baru.

Setelah kejadian itu, aku menata kehidupanku lagi. Walaupun sempat di ujung asa karena kehilangannya, namun aku kembali padaNya—pengobat hati. Mungkin kepergiannya adalah runtuhnya tempatku menggantungkan segala harap—bahagia bersamanya. Tetapi, obatnya adalah waktu. Kepergiannya justru mengajarkanku arti keikhlasan. Anehnya perasaanku menjadi lebih besar padanya. Mungkin jarak yang semakin jauh membuat perasaan menjadi lebih besar. Dan... aku bahagia sekarang ini.

Rembulan memelukku. Aku menepuk pundaknya. Bajuku terasa basah. Dia menangis. Setiap kali aku bercerita tentang Alif, dia selalu menangis. Aku tahu, karena dia tak pernah menemukan sosok ayah dalam hidupnya.

“Ibu... sekarang aku mengerti. Aku mengerti, sungguh. Tanpa ibu ceritakan padaku, aku tahu betapa besar perasaan ibu untuk ayah. Karena hakikatnya rasa cinta itu tak perlu dikatakan kan, Bu? Cukup disimpan dengan baik, dan biarkan hati yang memainkan perannya di saat yang tepat nantinya.” jelasnya.

“Kau benar, Re. Simpanlah dengan baik, karena semakin kau menyimpannya maka semakin besarlah rasanya. Tunggulah waktunya, jangan dipercepat karena akan terasa hambar nantinya.”

“Ibu...” lirihnya ragu-ragu.

“Tidak apa-apa, Re. Ibu tahu. Kau sedang menyukai seseorang, kan? Itu wajar, Re. Karena kita diberikan hak untuk menyukai.” ucapku.

“Aku... harus bagaimana?” tanyanya. Aku tertawa menanggapinya.

“Astaga. Bukankah sebentar ini kau baru mengeluarkan kalimat bijak untuk ibu?” Dia diam.

“Jika kau menyukainya, maka simpanlah dulu. Karena belum waktunya, Nak. Nah, daripada kau menghabiskan waktu memikirkan itu, karena juga belum waktunya, lebih baik kau belajar dan meraih mimpi yang kau dambakan. Nanti, tanpa terasa akan tiba waktunya perasaan itu tersampaikan. Jika tidak dengan orang yang sama, insyaAllah dengan yang lebih baik.” Dia mendengarkanku tanpa berkedip.

“Apakah itu yang ayah dan ibu lakukan?” Aku mengangguk.
###
Aku ingin tua bersamamu, Lana.
Jika belum waktunya, maka tunggulah.

 



No comments:

Post a Comment