Seorang penulis pernah
menuliskan kalimat seperti ini, ada
orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu.
Dulunya, kupikir memang seperti itu adanya. Saat rasa kehilangan itu begitu
dalam, maka seolah-olah segalanya mati rasa. Hingga tak merasakan apa-apa lagi,
karena begitu kuatnya perasaan memiliki dan kehilangan. Namun, waktu perlahan
mengobatinya. Separuh hati yang tadinya luruh seketika, perlahan menampakkan
wujudnya lagi, membentuk kembali separuhnya. Ini bukan tentang hati yang
terobati tetapi berkaitan dengan makna berdamai.
“Sudah sore, Lana.” ucap
seseorang di belakangku. Aku mendengarnya dengan baik, tetapi aku belum berniat
meninggalkan tempat ini. Aku masih ingin duduk di sini, melihat nisan namanya
dengan baik, dan mengingat wajahnya lagi.
“Rembulan sudah menunggu kau di
rumah, Lana. Pulanglah! Tidak hanya kau yang bersedih. Aku, kakaknya juga
kehilangan dia.” ucap wanita itu lagi. Aku kembali menghiraukannya. Apa yang
dia tahu tentangku? Apa dia tahu betapa sulitnya perasaanku sekarang?
Tiba-tiba dia menarik lenganku.
Aku menatap wajahnya yang sendu. Aku tahu, dia juga merasa kehilangan. Tetapi,
tidak bisakah dia mengerti perasaanku sekarang?
“Pulanglah, Lana. Aku... mohon.
Jangan seperti ini, Lana.” pintanya. Suaranya bergetar pertanda dia menahan
tangis. “Aku tahu, betapa sulitnya ini untuk kau. Tapi harus bagaimana? Dia
yang punya kuasa, Lana. Kau tahu betapa bersalahnya aku pada kau. Harusnya kau
dapatkan seseorang yang dapat membuat kau bahagia, Lana. Bukan orang seperti
adikku, Lana. Bukan adikku yang seharusnya menjadi imam kau, Lana. Maafkan aku.
Pulanglah, ayo kita pulang.” pintanya sekali lagi. Aku tetap termenung.
Rentetan kalimatnya sungguh menyakitkan untukku. Menyesalkah berada di sisinya
selama dua tahun terakhir ini? Jawabannya Tidak. Sekalipun tidak. Sesalku
adalah, aku tidak punya waktu yang cukup mendampinginya. Waktuku terlalu
singkat, dan pengabdianku masih secuil jagung.
“Lana....” panggilnya.
Aku menghela napas. Aku
tersenyum. Aku melihat namanya di nisan sekali lagi, membayangkan wajahnya,
senyumnya, dan tawanya. Semuanya akan baik-baik saja, bukan? Karena hakikat
pertemuan adalah perpisahan.
“Kak, mari kita pulang!” ajakku
sambil mengamit lengannya.
###
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup
menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau
temui
Ikan dan udang menghampiri
dirimu
Aku
menghampiri seorang gadis yang duduk di atas bebatuan pantai. Dia begitu kidmat
mendengarkan lagu lawas itu. Aku telah berdiri di belakangnya, namun dia tak kunjung
menyadari kehadiranku—karena begitu serius mendengarkan lagu itu. Aku
berjongkok di belakang, dan kuulurkan tangan untuk menutup matanya. Dia
menyunggingkan senyum. Ah, lesung pipi itu. Begitu sempurnanya dia menyamai
lesung pipi itu.
“Ibuuuu.
Hayolah, aku tahu itu pasti ibu.” ucapnya manja. Aku melepaskan tanganku dan
memegangi kepalanya dengan lembut.
“Tidak
bosan kau mendengarkan lagu itu setiap hari?” tanyaku penasaran. Aku telah
duduk di sampingnya. Dia menggeleng.
“Memangnya
ibu pernah bosan dengan ayah?” tanyanya blak-blakan. Aku tertawa. Logisnya,
tidak ada hubungan antara lagu dengan ayah. Tetapi, banyak cerita yang
kuberikan padanya dulu—ketika malam adalah kewajibanku untuk
menidurkannya—tentang lagu itu.
“Ibu, apa yang ayah sukai?” tanya
Rembulan saat aku menemaninya.
“Hmm... banyak, Re. Tidak
mungkin Ibu menyebutkan semuanya kan?” jawabku.
“Tapi, pasti ada yang paling
ayah sukai kan, Bu?” tanyanya lagi.
“Ayah suka sekali dengan lagu kolam susu, Re.”
Sejak
saat itu, dia selalu mendengarkan lagu itu terlebih ketika perasaan rindu hadir
di hatinya. Tidak ada bedanya dengan Rembulan. Aku juga mendengarkan lagu itu
hingga detik ini. Walaupun sebagian orang tidak lagi ingat akan lagu itu,
bagiku aku akan mengingatnya—selalu.
Dia
mengamit lenganku, lalu menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku tak menyangka
bahwa dia akan tumbuh menjadi gadis remaja. Namanya Rembulan. Satu-satunya
permata yang ditinggalkannya untukku.
“Ibu...
aku rindu dengan ayah.” lirihnya. Entahlah, rasa kehilangan itu telah lama
berlalu. Bahkan telah lewat sepuluh tahun. Tetapi, kenapa setiap kata ‘rindu’
itu kudengarkan, hatiku selalu bergetar? Aku mengusap kepalanya. Aku tahu,
setiap dia mengatakan ‘rindu’, maka ada sesuatu yang ingin disampaikannya
kepadaku.
“Aku
tahu, ibu mengajarkanku untuk menjadi gadis yang kuat. Tetapi, ada kalanya aku
rindu dengan sosok ayah. Aku melihat teman-temanku selalu bercerita tentang
ayahnya. Bagaimana denganku? Tak satupun kenangan yang kumiliki bersamanya.”
ucapnya. Aku diam menunggu kalimat selanjutnya.
“Bagaimana
ibu mengenal ayah?” tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut, tidak biasanya dia
bertanya mengenai ini.
“Kenapa
kau menanyakan ini, Re?” tanyaku.
“Aku
hanya penasaran, bu.”
Namanya Alif. Aku mengenalnya
sejak umurku berusia lima tahun. Ibuku sering bercerita bahwa sebenarnya aku
telah berinteraksi dengannya sejak kecil, saat kami masih berumur satu tahun.
Tidak ada yang istimewa di dalam dirinya. Dia memiliki kulit putih yang pucat,
mata yang agak sipit, dan hidung yang mancung. Penampilan fisiknya normal
seperti yang lain. Ketampanannya berada dalam kategori sedang, karena saat
duduk di bangku menengah pertama, tidak seorangpun gadis ingin mendekatinya,
kecuali aku—terlebih karena kedekatanku dengannya. Dia juga tidak begitu tinggi
kurang lebih 169 cm. Sungguh, tidak ada yang istimewa dengannya. Tetapi,
seiring mengenalnya, berteman dengan baik... aku tahu bahwa dia adalah sosok
yang begitu sabar. Kesabarannya membuatku nyaman berteman dengannya.
“Lalu, ibu dijodohkan?” tanyanya lagi. Aku
mengacak-ngacak rambutnya.
“Pertanyaan
kau seolah-olah sedang menginterogasi ibu dan ayah kau, Re.” ucapku.
Aku tidak dijodohkan. Menurutku,
hubunganku dengannya cukup rumit. Sejak berseragam putih biru aku tak pernah
lagi jalan bersisian dengannya, kecuali di sekolah. Ayah dan ibunya melarang
kami, termasuk orangtuaku. Kami bertetangga, tetapi sejak saat itu aku tak
pernah berkomunikasi dengan bebas kecuali di sekolah.
Kami berteman dengan baik. Dia
selalu menungguku sepulang sekolah di ujung jalan, tempat angkot yang kunaiki
berhenti. Setelah itu, dia berjalan di depanku dan aku mengikutinya dari
belakang. Itulah yang kami lakukan selama bertahun-tahun.
“Nenek
dan kakek ternyata mengerikan yaa, Bu.” ucapnya.
“Tidak,
Re. Aturannya benar. Mungkin nanti kau akan mengerti.” balasku.
“Haha.
Iya, Bu. Terakhir, bagaimana perasaan ibu sekarang kepada ayah?” tanyanya.
“Re,
kau sedang menyukai seseorang?” tanyaku membalas blak-blakannya. Dia justru
membalasnya dengan senyuman yang mencurigakan.
Bagaimana
perasaanku?
Ada
orang yang ketika ia pergi dari hidupmu, maka ia membawa separuh hatimu. Itulah jawaban perasaanku.
Perbedaannya, separuh hatiku yang dibawa olehnya telah terganti membentuk
sepotong hati yang baru.
Setelah kejadian itu, aku menata
kehidupanku lagi. Walaupun sempat di ujung asa karena kehilangannya, namun aku
kembali padaNya—pengobat hati. Mungkin kepergiannya adalah runtuhnya tempatku
menggantungkan segala harap—bahagia bersamanya. Tetapi, obatnya adalah waktu.
Kepergiannya justru mengajarkanku arti keikhlasan. Anehnya perasaanku menjadi
lebih besar padanya. Mungkin jarak yang semakin jauh membuat perasaan menjadi
lebih besar. Dan... aku bahagia sekarang ini.
Rembulan
memelukku. Aku menepuk pundaknya. Bajuku terasa basah. Dia menangis. Setiap
kali aku bercerita tentang Alif, dia selalu menangis. Aku tahu, karena dia tak
pernah menemukan sosok ayah dalam hidupnya.
“Ibu...
sekarang aku mengerti. Aku mengerti, sungguh. Tanpa ibu ceritakan padaku, aku
tahu betapa besar perasaan ibu untuk ayah. Karena hakikatnya rasa cinta itu tak
perlu dikatakan kan, Bu? Cukup disimpan dengan baik, dan biarkan hati yang
memainkan perannya di saat yang tepat nantinya.” jelasnya.
“Kau
benar, Re. Simpanlah dengan baik, karena semakin kau menyimpannya maka semakin
besarlah rasanya. Tunggulah waktunya, jangan dipercepat karena akan terasa
hambar nantinya.”
“Ibu...”
lirihnya ragu-ragu.
“Tidak
apa-apa, Re. Ibu tahu. Kau sedang menyukai seseorang, kan? Itu wajar, Re.
Karena kita diberikan hak untuk menyukai.” ucapku.
“Aku...
harus bagaimana?” tanyanya. Aku tertawa menanggapinya.
“Astaga.
Bukankah sebentar ini kau baru mengeluarkan kalimat bijak untuk ibu?” Dia diam.
“Jika
kau menyukainya, maka simpanlah dulu. Karena belum waktunya, Nak. Nah, daripada
kau menghabiskan waktu memikirkan itu, karena juga belum waktunya, lebih baik
kau belajar dan meraih mimpi yang kau dambakan. Nanti, tanpa terasa akan tiba
waktunya perasaan itu tersampaikan. Jika tidak dengan orang yang sama,
insyaAllah dengan yang lebih baik.” Dia mendengarkanku tanpa berkedip.
“Apakah
itu yang ayah dan ibu lakukan?” Aku mengangguk.
###
Aku ingin tua bersamamu, Lana.
Jika belum waktunya, maka
tunggulah.
No comments:
Post a Comment