“Assalamu’alaikum.” sahut
seseorang di luar sana. Suaranya terdengar tak asing untukku. Aku menjawab
salamnya, dan ayah mengisyaratkan kepadaku untuk membuka pintu. Aku berjalan ke
arah pintu. Langkahku ringan sekaligus jantungku berdegup kencang. Apakah dia
kembali? Itulah pertanyaan awal yang muncul di benakku. Aku menarik engsel
pintu dan seseorang yang kukenali berdiri di depanku. Dia mengenakan pakaian
seragamnya—hijau, lengkap dengan baret di kepalanya.
“Ayahmu ada, Kuntum?” tanyanya.
###
Dika.
Namanya Dika. Aku dan dia adalah orang asing yang bertemu oleh kejadian tak
terduga. Sebelumnya aku tidak mengenalnya, begitu juga dengannya. Takdir
sungguh tak terduga. Kadangkala aku menyangkal bahwa itu adalah takdir, dan
menganggap hanyalah kebetulan belaka. Namun, lambat laun aku meyakini bahwa
tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Kebetulan-kebetulan tak terduga itu
sebenarnya takdir.
Hari
itu... mungkin Tuhan punya rencana lain mempertemukanku dengannya. Aku ingat,
kejadian itu telah terjadi sekitar tujuh tahun lalu—masa ketika aku masih
menyelesaikan studi kependidikanku.
Aku
selalu pulang sendirian. Bukan karena aku tidak ingin bergaul dengan yang lain,
atau sekedar pulang beriringan bersama. Hanya saja, tidak seorangpun mempunyai
rute yang sama denganku—sejauh yang aku kenal. Oleh karena itu, seringnya aku
berjalan sendiri dan menikmati pikiran-pikiran yang lalu lalang di otakku.
Hari
itu... aku pulang terlambat. Biasanya sebelum azan magrib berkumandang, aku
sudah menanti bus di depan halte. Tetapi, hari itu aku justru pulang setelah
menunaikan sholat magrib di mesjid dekat kampus. Bukan kehendakku berlama-lama
di kampus, namun ada tugas yang harus kuselesaikan bersama dengan teman yang
lain. Aku berjalan di sekitar trotoar, lalu melangkah perlahan ke arah rel
kereta api dan melakukan kebiasaan konyolku—menghitung jumlah besi yang
terpasang di sana.
Tiba-tiba
seseorang berjalan beriringan di sampingku—tepat di sampingku. Aku menoleh ke
kanan, melihat sosoknya. Aku nyaris terjatuh sebab dia juga menoleh ke arahku.
Aku memalingkan wajah—malu, dan menunduk—sibuk menghitung kembali—walaupun sebenarnya
bukan itulah yang kulakukan.
Otakku
sibuk bertanya-tanya, siapa laki-laki di sampingku ini? Aku tidak mengenalnya,
bahkan pernah melihatnya saja tidak. Apa dia berniat buruk kepadaku? Bukan aku
hendak berprasangka buruk, tetapi sikap berhati-hati juga diperlukan ditambah
kondisi jalanan yang gelap. Aku mempercepat langkahku, memastikan laki-laki itu
berniat menguntitku atau tidak. Sayangnya, dia justru kembali mengimbangi
langkahku. Aku mulai gelisah, dan takut.
“Jalan
saja seperti biasa. Seseorang mengikutimu di belakang.” Dia angkat bicara.
Sepertinya dia tahu kegelisahanku.
“Eh?”
Aku menoleh kepadanya tak mengerti. Tetapi, ucapannya barusan membuatku lega.
“Pertama,
aku tidak berniat buruk padamu, jadi jangan curiga. Kedua, kamu sedang diikuti
dari tadi sejak keluar mesjid. Ketiga, mari kita seolah-olah saling kenal.
Setidaknya dia tidak akan macam-macam kepadamu.” Aku menggigit bibir bawahku,
takut kemungkinan yang terjadi setelah ini. Sekali lagi, seperti dia dapat
membaca pikiranku.
“Kamu
pulang naik apa? Naik bus?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Halte
sudah dekat. Kebetulan ada bus yang berhenti sekarang. Kedepankan tasmu dan
segera naik ke sana. Duduk dekat supirnya kalau bisa.” Aku mengangguk lagi
tidak tahu harus berkata apa.
Penasaran,
sebelum memasuki bus aku menoleh ke belakang. Aku melihat sosok laki-laki
mengenakan topi zebo, kaus oblong
dengan jins robek-robek ala punk.
Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena gelap. Namun,
penampilannya seperti itu sudah cukup membuatku takut. Aku memasuki bus dan
duduk di dekat supir seperti yang disarankan laki-laki tadi.
Satu
menit... dua menit... bus tetap menunggu penumpang. Lima menit setelah itu, bus
menutup pintu dan melaju dengan pelan. Aku menepuk jidatku, melupakan sesuatu.
Aku melihat ke bangku—tempat laki-laki biasanya diizinkan duduk di bus ini. Dia
tidak ada—maksudku laki-laki yang membantuku tidak ada, dia tidak menaiki bus
bersama denganku.
Aku
lupa... berterimakasih padanya.
###
Beberapa
hari belakangan ini, aku sibuk mencari keberadaan laki-laki itu. Aku hanya
tidak enak karena belum berterimakasih padanya. Entahlah, mungkin karena
terbiasa mengucapkan kalimat klise itu apabila ditolong seseorang, menyebabkan
pikiranku terganggu.
Akankah
bertemu lagi? Pertanyaan itu semakin hari semakin kuat di benakku.
Apakah
itu cuma kebetulan, sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?
“Kuntum,
buatkan tamu ayah teh.” suara ayah membuyarkan lamunanku. Aku menyahut dan
segera bergegas ke dapur.
“Siapa
tamu ayah, Bu?” tanyaku iseng.
“Itu...
anaknya Pak Hafiz.” jawab ibuku sekenanya.
“Eh?
Kok anaknya yang bertemu ayah?” tanyaku lagi, terlebih penasaran.
“Ya
ampun, Kuntum. Sejak kapan kamu banyak bertanya? Ada sesuatu yang menganggu
pikiranmu belakangan ini?” tanya ibu. Aku... kena telak. Aku menggeleng cepat
dan segera mengantarkan minuman yang disuruh ayah. Aku meletakkan minuman di atas
meja sekaligus mencuri pandang tamu ayah. Ayah selalu melarang melihat tamunya.
Kalaupun diizinkan, hanya orang-orang tertentu. Aku lupa untuk menunduk. Aku tahu
ayah akan memarahiku setelah ini. Ayah melarangku menatap tamu ayah—karena tamu
ayah tentunya laki-laki, kecuali yang diizinkannya.
Akankah bertemu lagi?
Apakah itu cuma kebetulan,
sehingga tak perlu ada perjumpaan keduakalinya?
Dia...
di sini. Sebagai tamu ayahku.
Aku
segera menunduk, karena ayah sudah melihatku dan akan menceramahiku setelah
ini. Namun, siapa sangka kebetulan itu terjadi lagi. Pertanyaan terbesarku,
apakah ini sekedar kebetulan?
###
“Dia
datang bersilaturrahmi, Kuntum.” ucap ayah tiba-tiba. Sendok yang tadinya
hendak kumasukkan ke mulut tertahan di udara. Aku tidak bertanya dan juga tidak
membicarakan hal ini dengan ayah. Walaupun selepas dia pergi, ayah memarahiku.
Sama seperti sebelumnya, kalimatnya selalu sama, “Jaga pandanganmu, Kuntum. Tak baik menatap seperti itu.”
“Kamu
mengenalnya?” Selanjutnya, aku tersedak. Ibu menepuk-nepuk punggungku pelan.
“Pak,
nanti saja ditanya. Setelah makan.” ucap ibu. Aku pikir, ayah lupa. Tidak biasanya
kami makan dengan percakapan.
Setelah
makan... aku berpikir akan terbebas dari pertanyaan ayah, nyatanya ayah justru mengajakku
duduk dengannya. Aku menghela napas.
“Kamu
mengenalnya?” tanya ayah dengan pertanyaan yang sama.
Aku
tidak punya pilihan. Aku menceritakan semuanya tanpa kurang sedikitpun. Ayah
hanya menghela napas setelah aku bercerita. Lalu, ayah tertawa. Tidakkah ini
aneh? Aku sudah takut setengah mati akan dimarahi lagi, ayah justru
menanggapiku dengan tawa.
“Ayah
keduluan dengan takdir, Kuntum. Haha.” ujar ayah ringan. Ayah menepuk pundakku
dan masuk ke kamar untuk tidur. Aku bingung, apa maksudnya?
###
Aku Dika. Ayahmu takkan mengizinkan kita bersua, berbincang hangat apalagi. Bisa-bisa ayahku justru memarahiku. Tapi, aku menyukai cara ini. Ayahmu mengizinkanku mengirim surat padamu. Entahlah, mungkin karena aku terbiasa dilatih menulis oleh ayahku sejak kecil, aku malah menyukai cara ini. Terdengar kuno memang. Terlebih, saat orang-orang sibuk bertukar kabar melalui handphone dan sejenisnya, aku justru mengirimimu surat. Aku harus mulai dari mana? Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir.
Aku
tersenyum. Itu adalah surat pertama yang kuterima darinya. Ibu memberikan surat
itu padaku sambil tersenyum penuh arti.
“Banyak-banyak
berdoa, Kuntum.” ucap ibuku setelah memberikan surat itu. Sekali lagi, aku tak
mengerti maksudnya.
###
Aku selalu percaya, bahwa gembok takkan pernah tertukar oleh kuncinya, Kuntum. Aku lulus akademi kemiliteran, Kuntum. Kurang lebih empat tahun pendidikanku di Magelang. Aku tidak tahu ini berita baik untukmu atau tidak. Aku sudah membicarakan ini pada ayahmu, dan dia setuju untuk melepaskanku. Aku tidak ingin mengikatmu, Kuntum. Kalau selama empat tahun itu, kamu bertemu dengan orang yang lebih baik, maka terimalah setelah berkonsultasi denganNya. Pilihanmu juga berada di tanganNya. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali?
Aku
menangis. Untuk pertama kalinya aku menangis karena masalah ini. Ayah
mengajarkanku dengan baik, termasuk menata hati sedimikian rupanya. Namun,
untuk sekarang ini aku tidak cukup mampu menata hatiku dengan baik. Ibu memasuki
kamarku. Dia memelukku dan aku menangis di pelukannya.
“Kuntum,
percayalah umur, jodoh, rezeki sudah diaturNya dengan baik. Jangan sedih, ambil
hikmahnya. Berdoalah dan semoga Allah memberikan jawaban terbaiknya kelak.” ucap
ibu. Dia melepaskan pelukannya dariku dan menghapus air mataku.
“Empat
tahun bukan waktu yang singkat, Kuntum. Pikirkan dengan baik, Nak.” Ibu
menguatkanku dan meninggalkanku sendiri di kamar.
“Tapi,
selama itu... membaikkan diri, adalah cara terbaik menemukan jawabannya,
Kuntum.” saran ibu sebelum menutup pintu kamarku.
###
“Ayahmu
ada, Kuntum?” tanyanya kedua kalinya. Lamunanku buyar. Aku mengangguk dan
mempersilahkannya masuk. Setelah itu, hanya ada ayah dan ibu bersamanya di
luar. Aku hanya mengintip dari balik tirai ruang tengah. Aku hanya mendengar
percakapan mereka sedikit, terlebih tentang Dika yang telah lulus akademi.
Perasaanku
campur aduk. Enam tahun, bukan empat tahun... dan dia kembali. Jika bertanya, apakah ada yang mendatangi
ayahku selama itu, jawabannya tidak ada. Apa ini kebetulan?
“Dika
titip surat, Kuntum.”
Ibu
memberikanku surat—seperti biasa selepas dia pergi. Aku tersenyum.
Apa kabar? Itulah pertanyaan pertama yang ingin kuutarakan, Kuntum. Maaf, ini sudah memasuki enam tahun, bukan empat tahun. Aku tidak perlu menjelaskannya di sini, bukan? Mari kita bicarakan nanti, ketika kita sudah dengan bebas berbincang. Jika tidak ada yang mendatangi ayahmu selama itu, maukah menungguku kembali? Aku ingat kalimat ini. Sebenarnya, aku takut mendatangi rumahmu. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, Kuntum. Lalu, aku memberanikan diri bertanya pada ayahku. Dia memelukku dan mengucapkan “Allah ridha denganmu, Dika. Temuilah ayahnya lagi.”
Pertama, aku tidak menyangka jika orang itu adalah dirimu. Pertemuan kita sebelum ini, aku tidak menyebutnya kebetulan. Tetapi, itu adalah takdir. Kedua, akankah kita bertemu lagi?Jawabannya Ya. Aku kembali, walaupun terlambat dan terimakasih telah menungguku, Kuntum. Ketiga, esok lusa InsyaAllah akan kudatangi ayahmu bersama keluargaku, Kuntum. Terakhir, apakah ini juga kebetulan? Sekali lagi, aku tidak menyebut ini kebetulan. Tetapi, takdir.
Aku
melipat surat itu dengan baik. Perlahan, hatiku menghangat.
Selalu,
pertanyaan terbesar di otakku selama ini “Akankah
bertemu lagi?”. Dan... kutemukan jawabannya dalam doaku.
Terimakasih telah kembali Kuntum.
###
No comments:
Post a Comment