Kadangkala kita terlalu sibuk
dengan persepsi diri sendiri, tanpa memberi ruang untuk orang lain berasumsi.
Kadangkala kita terlalu sibuk bagaimana
sakitnya, tanpa ada celah untuk orang lain memberi penjelasan.
Kadangkala kita juga terlalu
egois karena telah menghakimi diri sendiri, menganggap hanya diri ini yang
tersakiti, tanpa melihat bahwa di ujung sana, ada yang lebih tersakiti.
Ah, betapa mengerikannya asumsi.
Ah, betapa menakutkannya ketika
perasaan telah menjadi tiangnya, sedangkan logika telah terbawa entah kemana.
Ah, betapa menyakitkannya ketika
asumsi menjadi berbeda dengan realita sesungguhnya.
###
“Assalamu’alaikum.
Selamat malam semuanya. Wah, tidak terasa seminggu cepat berlalu dan kembali
bertemu dengan saya Kusma Melati di Night Radio. Seperti biasa edisi malam
jumat di sini adalah “curhatan” hati. Haha, bahasanya sedikit lebay. Baiklah,
selama satu jam ke depan saya akan menemani kalian untuk berbagi kisah tentang
hati. Oke, stay here....”
Take me to your heart
Take me to your soul
Give me your hand before I am
old
Show me what love is haven’t got
a clue
Show me that wonders can be true
“Baiklah
bagi yang ingin bercerita di sini, silahkan hubungi 0812xxxxxxx atau bagi yang
ingin me-request lagu, juga bisa. Caranya
mudah, kirim sms ke no 0813xxxxxxx. Nah, tapi khusus malam ini, saya hanya
menerima request lagu slow. No metal,
no rock. Haha. Jadi, para penggemar Linkin
Park dan sejenisnya mari ubah haluan hari ini...”
They say nothing lasts forever
We are only here today
Love is now or never
Bring me far away
“Halo...
halo... halo... Sepertinya belum ada penelpon. Mari kita tunggu, mungkin masih
mempersiapkan bahan untuk bercerita. We
are only here today... sepertinya lagu lawas MLTR sangat mendukung malam
ini. Halo... halo...”
“Hmm...
halo.” ucap seseorang di ujung telpon.
“Yak,
akhirnya kita dapatkan satu orang penelpon. Halo, dengan siapa? Dimana?”
tanyaku segera.
“Agi
di Belimbing.” jawabnya singkat.
“Oke.
Agi di Belimbing. Wah, sepertinya Agi sedang galau berat.”
“Yah,
begitulah.” ucapnya singkat—lagi.
“Jadi,
ada cerita apa tentangmu, Agi?” tanyaku mulai menurunkan nada suara. Sepertinya
laki-laki yang satu ini sedang patah hati.
“Aku...
punya seorang teman. Setahun lalu dia diputuskan oleh kekasihnya. Aku tidak
tahu apa yang salah dengan temanku itu.” ucapnya.
“Maaf,
aku potong. Temanmu laki-laki atau perempuan?” tanyaku.
“Laki-laki.”
jawabnya. “Aku tidak mengerti, kenapa temanku diputuskan begitu saja. Dia baik,
dan hubungan mereka sudah lama, tiga tahun. Apa yang salah? Atau perempuan itu
menemukan orang yang lebih baik dibandingkan temanku?” lanjutnya.
“Aku...
harus bagaimana?” ungkapnya.
Aku
terdiam. Aku yakin, ceritanya bukanlah tentang temannya melainkan tentangnya. Mungkin
dia terlalu malu untuk bercerita. Aku berpikir, mencari solusi samampuku.
Keputusan kru di sini memutar lagu-lagu MLTR sangat membantu. Aku membutuhkan mood yang baik jika ingin menyarankan
sesuatu kepada orang lain.
“Mungkin,
hal pertama yang kau lakukan adalah tanyakan pada temanmu, apakah dia melakukan
kesalahan atau tidak...”
“Dia
tidak melakukan kesalahan... dan sudah ditanyakannya pada perempuan itu.”
“Anggaplah
temanmu itu adalah kau, Agi. Maka, aku akan mencoba memberi saran untuk kau.” ucapku.
Agi hanya menanggapiku dengan kalimat ‘oke’ semata. Lihatlah, betapa benar
prediksiku jika masalah ini tentangnya.
“Kadangkala
kita terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu. Kau menganggap bahwa dia telah
menemukan orang yang lebih baik dibandingkan kau. Jangan terlalu terburu-buru. Mungkin
dia punya alasan yang tak dapat disampaikannya. Berilah ruang untuknya. Biarkan
dia sendiri. Tugas kau, lihatlah apa yang terjadi dengannya. Apakah dia
menemukan pengganti kau atau tidak. Jika dia telah menemukan sebelum berpisah
dengan kau, maka satu atau dua bulan ke depan telah terganti posisi kau, Agi. Tapi,
jika dia tetap sendiri... berarti bukan itu alasannya.”
“Aku
tahu, kau tersakiti olehnya. Tetapi, jangan terburu-buru untuk memutuskan siapa
yang lebih tersakiti. Semakin kau memikirkan tentang itu, maka bertambah
sakitlah rasanya. Padahal, belum tentu kau yang lebih tersakiti. Bagaimana jika
dia? Apa yang akan kau lakukan, Agi?”
“Aku
yakin, setiap orang punya alasan untuk mengambil keputusan. Kau harus
menghargainya dan jangan membencinya. Suatu saat kau akan melihat alasan dia
melakukan itu. Jangan terlalu sibuk dengan asumsi kau seorang, Agi. Asumsi juga
bisa menjadi bumerang untuk kau kelak, Agi.”
“Maka,
biarkan waktu yang menjawab semuanya. Jika sekarang terasa sakit, maka
terimalah rasa sakit itu. Karena itu... risikonya. Ketika kau bertemu dengan
seseorang, ada masanya kau akan berpisah. Percayalah, waktu adalah obat
terbaiknya. Apakah dengan waktu membuat perasaan kau semakin besar padanya,
atau sebaliknya.” ucapku.
“Jika
jawabannya tak kunjung kudapatkan?” tanyanya.
“Bersabarlah.
Jawaban itu tidak datang dengan mudah, Agi. Ada orang yang mendapatkan
jawabannnya seminggu setelah itu, atau berbulan-bulan dan bahkan
bertahun-tahun. Bersabarlah. Mungkin, perasaan kau sedang diuji.”
“Sebenarnya,
perempuan itu tengah berhijrah.” ucapnya.
Deg...Jantungku tiba-tiba berdegup
kencang.
“Hingga
detik ini... temanku masih menyimpan perasaannya dengan baik. Walaupun ke depannya
dia tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah melakukan yang kau sarankan. Dia
sedang menunggu jawabannya.” ucapnya. Deg...
sekali lagi, jantungku berdegup tak karuan.
“Dan...
sudah dia dapatkan jawabannya?” tanyaku hati-hati.
“Setengah
bagiannya sudah, namun sisanya belum. Dia sedang menunggu.” lirihnya. Desir
kata ‘menunggu’ membuatku merinding. Aku tidak dapat melihat ekspresi laki-laki
itu mengungkapkan perasaannya. Namun, hanya dengan suaranya dapat kulihat
betapa dalam harapnya.
“Awalnya,
dia membenci perempuan itu. Tetapi lambat laun, dia memperhatikan kehidupan
perempuan itu berbulan-bulan, dan didapatkannya bahwa perempuan itu masih
menyimpan perasaannya dengan baik. Hanya saja, kondisinya sekarang berbeda. Dia
menyimpannya dalam doa.”
“Bagaimana
dia tahu?” tanyaku penasaran.
“Dia
menanyakan pada sahabat perempuan itu.” ungkapnya.
“Ini
sedikit rumit. Ketika dia melihat kondisi perempuan itu sekarang, dia
tersentuh. Dan, temanku dalam proses berhijrah
sama sepertinya.” ucapnya. “Karena itu, bagian sisa yang belum terjawab itu
adalah apakah perempuan itu akan menjadi pendampingnya kelak.” Sungguh,
tanganku mulai gemetar mendengar ceritanya.
“Terimakasih
atas sarannya. Semua ini sangat membantu.” ucap Agi. Sambungan telpon terputus
dan hanya bunyi tut...tut... yang
kudengar. Lengang. Tiba-tiba pikiranku tak terkendali. Seorang kru di luar sana
memberi isyarat untuk jeda. Aku mengangguk.
“Baiklah,
sepertinya Agi sudah selesai dengan ceritanya. Astaga, tiba-tiba kita semua
terbawa suasana. Untuk itu, saya akan memutarkan sebuah lagu dari MLTR—I’m Gonna
be around.”
It’s been so long since we took
the time
To share words from deep inside
us
We’re in our own world spinning
our wheels
But you know how I feel
Aku
keluar dari ruang penyiaran. Aku mengambil air mineral yang terletak di atas
meja. Aku meminumnya sekali teguk. Cerita laki-laki itu menguras perasaanku.
Aku duduk dan mengambil napas berkali-kali.
“Kau
baik-baik saja, Mela?” tanya Tia penyiar yang lain. Aku mengangguk. Waktu
siaranku hanya tinggal 15 menit. Aku memasuki ruang siaran dan mengambil posisi
lagi.
“Yak,
ternyata hari ini cuma bisa satu penelpon. Dan... selanjutnya saya akan
mengecek sms request lagu. Wah, cukup
banyak sms yang datang.”
Aku
membaca isi request satu persatu. Dan sesuatu mengangguku. Aku mendapati
pesan terakhir yang aneh. Isinya bukan tentang permintaan lagu. Tetapi... menyangkut
tentangku. Apa ini? Jantungku kembali berdegup kencang.
“Waktunya
sudah habis. Baiklah, saya Kusma Melati pamit. Jangan lupa dengarkan edisi “curhatan”
hati setiap malam jumat jam 8-9 malam. Hanya di Night Radio. Sampai jumpa
minggu depan. Assalamu’alaikum.”
Tugasku
selesai. Namun perasaanku belum usai.
Bisakah kau menugguku sedikit
lagi? Karena aku sedang berbenah, sama seperti kau, Mela. Aku tidak membenci
kau, Mela. Bahkan aku bersalah pada kau. Jadi, maukah kau melakukannya? Sedikit
lagi, berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya. –Haryanto Damagian.
###
No comments:
Post a Comment