Pages

February 14, 2016

[Cerpen] The Night Radio

Kadangkala kita terlalu sibuk dengan persepsi diri sendiri, tanpa memberi ruang untuk orang lain berasumsi.
Kadangkala kita terlalu sibuk bagaimana sakitnya, tanpa ada celah untuk orang lain memberi penjelasan.
Kadangkala kita juga terlalu egois karena telah menghakimi diri sendiri, menganggap hanya diri ini yang tersakiti, tanpa melihat bahwa di ujung sana, ada yang lebih tersakiti.
Ah, betapa mengerikannya asumsi.
Ah, betapa menakutkannya ketika perasaan telah menjadi tiangnya, sedangkan logika telah terbawa entah kemana.
Ah, betapa menyakitkannya ketika asumsi menjadi berbeda dengan realita sesungguhnya.
###
“Assalamu’alaikum. Selamat malam semuanya. Wah, tidak terasa seminggu cepat berlalu dan kembali bertemu dengan saya Kusma Melati di Night Radio. Seperti biasa edisi malam jumat di sini adalah “curhatan” hati. Haha, bahasanya sedikit lebay. Baiklah, selama satu jam ke depan saya akan menemani kalian untuk berbagi kisah tentang hati. Oke, stay here....”

Take me to your heart
Take me to your soul
Give me your hand before I am old
Show me what love is haven’t got a clue
Show me that wonders can be true

“Baiklah bagi yang ingin bercerita di sini, silahkan hubungi 0812xxxxxxx atau bagi yang ingin me-request lagu, juga bisa. Caranya mudah, kirim sms ke no 0813xxxxxxx. Nah, tapi khusus malam ini, saya hanya menerima request lagu slow. No metal, no rock. Haha. Jadi, para penggemar Linkin Park dan sejenisnya mari ubah haluan hari ini...”

They say nothing lasts forever
We are only here today
Love is now or never
Bring me far away

“Halo... halo... halo... Sepertinya belum ada penelpon. Mari kita tunggu, mungkin masih mempersiapkan bahan untuk bercerita. We are only here today... sepertinya lagu lawas MLTR sangat mendukung malam ini. Halo... halo...”

“Hmm... halo.” ucap seseorang di ujung telpon.

“Yak, akhirnya kita dapatkan satu orang penelpon. Halo, dengan siapa? Dimana?” tanyaku segera.

“Agi di Belimbing.” jawabnya singkat.

“Oke. Agi di Belimbing. Wah, sepertinya Agi sedang galau berat.”

“Yah, begitulah.” ucapnya singkat—lagi.

“Jadi, ada cerita apa tentangmu, Agi?” tanyaku mulai menurunkan nada suara. Sepertinya laki-laki yang satu ini sedang patah hati.

“Aku... punya seorang teman. Setahun lalu dia diputuskan oleh kekasihnya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan temanku itu.” ucapnya.

“Maaf, aku potong. Temanmu laki-laki atau perempuan?” tanyaku.

“Laki-laki.” jawabnya. “Aku tidak mengerti, kenapa temanku diputuskan begitu saja. Dia baik, dan hubungan mereka sudah lama, tiga tahun. Apa yang salah? Atau perempuan itu menemukan orang yang lebih baik dibandingkan temanku?” lanjutnya.

“Aku... harus bagaimana?” ungkapnya.

Aku terdiam. Aku yakin, ceritanya bukanlah tentang temannya melainkan tentangnya. Mungkin dia terlalu malu untuk bercerita. Aku berpikir, mencari solusi samampuku. Keputusan kru di sini memutar lagu-lagu MLTR sangat membantu. Aku membutuhkan mood yang baik jika ingin menyarankan sesuatu kepada orang lain.

“Mungkin, hal pertama yang kau lakukan adalah tanyakan pada temanmu, apakah dia melakukan kesalahan atau tidak...”

“Dia tidak melakukan kesalahan... dan sudah ditanyakannya pada perempuan itu.”

“Anggaplah temanmu itu adalah kau, Agi. Maka, aku akan mencoba memberi saran untuk kau.” ucapku. Agi hanya menanggapiku dengan kalimat ‘oke’ semata. Lihatlah, betapa benar prediksiku jika masalah ini tentangnya.

“Kadangkala kita terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu. Kau menganggap bahwa dia telah menemukan orang yang lebih baik dibandingkan kau. Jangan terlalu terburu-buru. Mungkin dia punya alasan yang tak dapat disampaikannya. Berilah ruang untuknya. Biarkan dia sendiri. Tugas kau, lihatlah apa yang terjadi dengannya. Apakah dia menemukan pengganti kau atau tidak. Jika dia telah menemukan sebelum berpisah dengan kau, maka satu atau dua bulan ke depan telah terganti posisi kau, Agi. Tapi, jika dia tetap sendiri... berarti bukan itu alasannya.”

“Aku tahu, kau tersakiti olehnya. Tetapi, jangan terburu-buru untuk memutuskan siapa yang lebih tersakiti. Semakin kau memikirkan tentang itu, maka bertambah sakitlah rasanya. Padahal, belum tentu kau yang lebih tersakiti. Bagaimana jika dia? Apa yang akan kau lakukan, Agi?”

“Aku yakin, setiap orang punya alasan untuk mengambil keputusan. Kau harus menghargainya dan jangan membencinya. Suatu saat kau akan melihat alasan dia melakukan itu. Jangan terlalu sibuk dengan asumsi kau seorang, Agi. Asumsi juga bisa menjadi bumerang untuk kau kelak, Agi.”

“Maka, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Jika sekarang terasa sakit, maka terimalah rasa sakit itu. Karena itu... risikonya. Ketika kau bertemu dengan seseorang, ada masanya kau akan berpisah. Percayalah, waktu adalah obat terbaiknya. Apakah dengan waktu membuat perasaan kau semakin besar padanya, atau sebaliknya.” ucapku.

“Jika jawabannya tak kunjung kudapatkan?” tanyanya.

“Bersabarlah. Jawaban itu tidak datang dengan mudah, Agi. Ada orang yang mendapatkan jawabannnya seminggu setelah itu, atau berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Bersabarlah. Mungkin, perasaan kau sedang diuji.”

“Sebenarnya, perempuan itu tengah berhijrah.” ucapnya. Deg...Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

“Hingga detik ini... temanku masih menyimpan perasaannya dengan baik. Walaupun ke depannya dia tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah melakukan yang kau sarankan. Dia sedang menunggu jawabannya.” ucapnya. Deg... sekali lagi, jantungku berdegup tak karuan.

“Dan... sudah dia dapatkan jawabannya?” tanyaku hati-hati.

“Setengah bagiannya sudah, namun sisanya belum. Dia sedang menunggu.” lirihnya. Desir kata ‘menunggu’ membuatku merinding. Aku tidak dapat melihat ekspresi laki-laki itu mengungkapkan perasaannya. Namun, hanya dengan suaranya dapat kulihat betapa dalam harapnya.

“Awalnya, dia membenci perempuan itu. Tetapi lambat laun, dia memperhatikan kehidupan perempuan itu berbulan-bulan, dan didapatkannya bahwa perempuan itu masih menyimpan perasaannya dengan baik. Hanya saja, kondisinya sekarang berbeda. Dia menyimpannya dalam doa.”

“Bagaimana dia tahu?” tanyaku penasaran.

“Dia menanyakan pada sahabat perempuan itu.” ungkapnya.

“Ini sedikit rumit. Ketika dia melihat kondisi perempuan itu sekarang, dia tersentuh. Dan, temanku dalam proses berhijrah sama sepertinya.” ucapnya. “Karena itu, bagian sisa yang belum terjawab itu adalah apakah perempuan itu akan menjadi pendampingnya kelak.” Sungguh, tanganku mulai gemetar mendengar ceritanya.

“Terimakasih atas sarannya. Semua ini sangat membantu.” ucap Agi. Sambungan telpon terputus dan hanya bunyi tut...tut... yang kudengar. Lengang. Tiba-tiba pikiranku tak terkendali. Seorang kru di luar sana memberi isyarat untuk jeda. Aku mengangguk.

“Baiklah, sepertinya Agi sudah selesai dengan ceritanya. Astaga, tiba-tiba kita semua terbawa suasana. Untuk itu, saya akan memutarkan sebuah lagu dari MLTR—I’m Gonna be around.”

It’s been so long since we took the time
To share words from deep inside us
We’re in our own world spinning our wheels
But you know how I feel

Aku keluar dari ruang penyiaran. Aku mengambil air mineral yang terletak di atas meja. Aku meminumnya sekali teguk. Cerita laki-laki itu menguras perasaanku. Aku duduk dan mengambil napas berkali-kali.

“Kau baik-baik saja, Mela?” tanya Tia penyiar yang lain. Aku mengangguk. Waktu siaranku hanya tinggal 15 menit. Aku memasuki ruang siaran dan mengambil posisi lagi.

“Yak, ternyata hari ini cuma bisa satu penelpon. Dan... selanjutnya saya akan mengecek sms request lagu. Wah, cukup banyak sms yang datang.”

Aku membaca isi request  satu persatu. Dan sesuatu mengangguku. Aku mendapati pesan terakhir yang aneh. Isinya bukan tentang permintaan lagu. Tetapi... menyangkut tentangku. Apa ini? Jantungku kembali berdegup kencang.

“Waktunya sudah habis. Baiklah, saya Kusma Melati pamit. Jangan lupa dengarkan edisi “curhatan” hati setiap malam jumat jam 8-9 malam. Hanya di Night Radio. Sampai jumpa minggu depan. Assalamu’alaikum.”

Tugasku selesai. Namun perasaanku belum usai.

Bisakah kau menugguku sedikit lagi? Karena aku sedang berbenah, sama seperti kau, Mela. Aku tidak membenci kau, Mela. Bahkan aku bersalah pada kau. Jadi, maukah kau melakukannya? Sedikit lagi, berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya. –Haryanto Damagian.
###


No comments:

Post a Comment