Pages

February 8, 2016

[Cerpen] Kutunggu Waktu, Maka Kan Kuceritakan




Hujan kembali membasahi kota ini untuk kesekian kalinya. Padahal, jika dirujuk berdasarkan perputaran musim, bulan ini bukanlah jadwal turunnya hujan. Aku duduk di balik kemudi taksi sambil melihat jalanan yang basah. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku mempunyai janji. Dan, janji itu harus kupenuhi setiap harinya. Dulu, mungkin aku menyebut ini sebuah janji yang harus kutepati. Tetapi, lambat laun aku mengubah persepsi itu. Ini tidak lagi tentang janji, melainkan rutinitas yang harus kujalani.

“Sudah sampai, Dik.” ucap sopir taksi itu. Aku ber-eh tidak menyangka perjalanannya akan menjadi singkat. Aku mengeluarkan dompet dan membayar ongkos taksi segera.

“Makasih, Pak.” ucapku sambil keluar dari taksi. Aku lupa membawa payung. Aku tidak berangkat dari rumah, melainkan dari kampus. Cuaca sekarang ini sungguh tidak terduga. Tadi pagi, matahari sungguh terik. Tetapi mulai pukul tiga sore, langit mulai terlihat mendung, dan sekarang turun hujan. Aku berlari-lari kecil menuju kafe tempat pertemuan kami. Kami? Ya, aku mempunyai rutinitas wajib bersama seseorang. Aku mendorong pintu kafe dan melihat semua kursi yang ada di sana. Aku kesulitan menemukannya, karena kacamataku basah karena hujan. Seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum, senyum yang sama setiap harinya. Aku berjalan ke arahnya.

“Sudah lama menunggu, David?” tanyaku. Dia menggeleng. Aku mengambil posisi dudukku. Di meja itu, telah terhidang dua mug coffee latte. Ternyata, hari ini dia mengingat sesuatu—mungkin menurutku.

“Boleh aku minum?” tanyaku sumringah. Ini bukan karena kopi yang dipesankannya untukku, terlebih ada cerita di balik kopi itu.
“Ki..ta.. ce..ri..ta..apa..ha..ri..ini, Gi..ta?” tanyanya terbata-bata. Aku meletakkan kopi itu di atas meja setelah meminumnya beberapa teguk.


“Hmm... bentar ya. Aku berpikir dulu.” jawabku. Aku menghela napas. Sebenarnya, banyak cerita yang bisa kukatakan padanya. Tetapi, perlahan aku kehabisan ide mendongeng.

Dia David. Dia bukanlah anak empat tahun yang baru belajar bicara. Tiga tahun yang lalu, dia adalah laki-laki yang begitu diperhitungkan oleh kaum hawa. Dia tampan dengan tinggi yang mendukung. Wajahnya teduh dan pribadi yang ambisius. Namun, penyakit merenggut segala yang dimilikinya. Jika berbicara mengenai penyakitnya, aku tidak begitu paham. Dia memiliki gangguan di otak dan sarafnya. Kenal dengan selebriti Gugun? Penyakit yang dialami David lebih kurang sama seperti entertainer itu. Setelah menjalani operasi di Singapura beberapa tahun lalu, sebagian memori di otaknya terhapus—termasuk lupa akan kehadiranku.

“Bagaimana kalau kita cerita tentang... kopi ini?” usulku. Dia mengangguk dan terlihat bahagia. Bagaimana mungkin dia bahagia dengan cerita dariku. Sekarang ini, aku tidak begitu menginginkan memori beberapa tahun silam kembali padanya. Aku takut, semua itu akan menjadi beban baginya. Aku menikmati sebagai pembawa cerita, dan menunggu waktu cerita lama akan bergulir di mulutku.


Kopi... aku menyukai kopi. Walaupun dari segi kesehatan terlalu sering mengonsumsi kopi tidaklah baik, namun aku tetap meminumnya. Aku tidak setiap hari meminumnya. Tetapi, selalu butuh ketika stres melandaku.

Aku telah mengenalnya lama, sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sama seperti hari ini, hujan juga turun hari itu. Kami singgah di kafe kopi ini, memesan dua mug coffee latte. Aku duduk berhadapan dengannya, sambil menyeruput kopi, sekaligus menghangatkan badan. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, karena tak seorangpun di antara kami memulai bicara. Sesekali aku tersenyum padanya, dan sebaliknya. Aku tidak tahu, namun seolah di balik kopi itu ada kalimat yang tersampaikan. Hingga menjelang senja, tak satupun kalimat yang keluar di antara kami. Hujan reda. Kami memutuskan untuk pulang. Aku berdiri bersisian dengannya. Dan... hari itu dia mengucapkan kalimat itu.

“Gita...aku rasa... aku... menyukaimu.” ucapnya pelan. Namun, aku mendengarnya dengan baik. Aku menoleh ke arahnya dan terlalu gugup untuk membalasnya. Satu hal yang bisa kulakukan adalah tersenyum, dan hanya mata yang mengerti isi hati kami.

Dan... semuanya berlangsung singkat. Seminggu setelah kalimat itu, penyakitnya mulai terlihat dan satu persatu ingatannya terganggu—hingga detik ini.

Aku menghabiskan kopi yang ada di mejaku. David termenung beberapa saat. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, karena mata kami kini tidaklah sama. Jika dulu mata dapat mengartikan sesuatu, kini hanya mataku yang menatapnya sama seperti dulunya. Ceritanya memang seperti itu dalam versiku, namun aku mengubah beberapa sudut pandang dan tidak sampai menceritakan bagian “dia menyukaiku”. Aku takut.

“Apa..kah Tio itu menyukai Elis?” tanyanya. Tenggorokanku tercekat. Ini bukan pertanyaan yang kuharapkan. Aku menghela napas lagi, dan mengangguk. Dia kembali diam, sibuk memikirkan sesuatu.

“David... sudah jam enam.” Aku mengingatkan. Setiap Selasa malam dia harus menjalani terapi di rumahnya. Dia gelagapan, dan menghabiskan kopi di tangannya. Aku membantunya berdiri, dan memapahnya. Penyakit yang dialaminya juga membuat respon tubuhnya menghilang. Tangan dan kakinya tak sempurna bisa digerakkan. Aku mengambil ponsel dan menghubungi sopir pribadi miliknya.

“Pak, kami sudah selesai.” ucapku ditelpon.

Beberapa menit setelah itu, mobil sedan hitam sudah berada di depan kafe. Bapak tua itu menjemputnya di luar kafe.

“Besok kita cerita lagi.” ucapku. Bapak tua itu menuntunnya ke mobil. Setelah itu, dia gantian menjemputku. Aku menggeleng dan mengatakan pulang dengan taksi. Dia mengangguk dan pergi menuju mobil. Aku melambaikan tangan pada David. Aku tersenyum. David tersenyum—dengan arti yang berbeda. Mobil perlahan meninggalkan lokasi kafe, dan kini tinggal aku seorang di luar kafe. Hujan masih turun deras, dan aku tidak punya pilihan selain menerobos derasnya hujan.

Tiba-tiba seseorang mengembangkan payung untukku. Aku tersentak kaget dan menoleh ke kanan.

“Mau sampai kapan seperti ini?” ucap laki-laki itu. Dia memberikan payung kepadaku dan berlari-lari kecil ke parkiran.

Aku mengatupkan payung karena tidak butuh itu sekarang. Aku berjalan, membiarkan hujan membasahi tubuhku. Mau sampai kapan seperti ini?  Pertanyaannya menghujamku, dan jawabanku tetap sama. Sampai dia mengingatku lagi—memandang dengan cara yang sama.

“Aku menyerah, Gita.”
“Aku takkan menunggumu lagi.”
“Jelas sudah. Kau tak pernah melihatku. Aku hanya bayangan untukmu.”
“Tapi, melihatmu bertingkah seperti ini membuatku frustasi. Kau seperti orang bodoh, bercerita setiap hari padanya. Kau seolah-olah pendongeng yang ulung. Kau ubah ceritanya, tidakkah itu kejam? Mau sampai kapan seperti ini? Gita, berhentilah bercerita tentang hal-hal bodoh. Namun, mulailah bercerita tentang kau dan dirinya. Kau mau menunggu sampai kapan, hah?”

Aku ingat deretan kalimat itu. Langkahku terhenti dan berbalik arah. Aku berlari menuju parkiran. Dia masih berdiri di tempat yang sama. Justru, tatapannya lurus kepadaku. Aku berdiri di hadapannya, dan menengadah. Wajahku basah oleh hujan sekaligus air mata yang telah keluar sedari tadi. Kami hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Aku... tidak bisa. Aku belum bisa, Hanif. Maafkan aku.” ucapku terisak-isak.

Selanjutnya, aku tetap menjadi pendongeng ulung. Dan... membiarkan waktu yang akan mengubah cerita tentang Aku dan Dia.
###

4 comments:

  1. Alhamdilillah nad, doakan saja nad. Dalam proses proyek rahasia :D eh tapi, masih kerenan tulisan nanad ^^ hehe

    ReplyDelete
  2. ngeliat timeline, ngeliat sharenya nadia -meski bukan postingan ini-, akhirnya sampe di postingan ini. dan cukup terkejut nama saya ada disana. ceritanya, aduh ><

    ReplyDelete
  3. Sepertinya nadia punya andil yang besar atas promosi blog ini ^^

    wah, saya justru lupa pernah menuliskan tokoh dengan nama ini >.< haha

    ReplyDelete