Hujan
kembali membasahi kota ini untuk kesekian kalinya. Padahal, jika dirujuk
berdasarkan perputaran musim, bulan ini bukanlah jadwal turunnya hujan. Aku
duduk di balik kemudi taksi sambil melihat jalanan yang basah. Sama seperti
hari-hari sebelumnya, aku mempunyai janji. Dan, janji itu harus kupenuhi setiap
harinya. Dulu, mungkin aku menyebut ini sebuah janji yang harus kutepati.
Tetapi, lambat laun aku mengubah persepsi itu. Ini tidak lagi tentang janji,
melainkan rutinitas yang harus kujalani.
“Sudah
sampai, Dik.” ucap sopir taksi itu. Aku ber-eh tidak menyangka perjalanannya
akan menjadi singkat. Aku mengeluarkan dompet dan membayar ongkos taksi segera.
“Makasih,
Pak.” ucapku sambil keluar dari taksi. Aku lupa membawa payung. Aku tidak
berangkat dari rumah, melainkan dari kampus. Cuaca sekarang ini sungguh tidak
terduga. Tadi pagi, matahari sungguh terik. Tetapi mulai pukul tiga sore,
langit mulai terlihat mendung, dan sekarang turun hujan. Aku berlari-lari kecil
menuju kafe tempat pertemuan kami. Kami? Ya, aku mempunyai rutinitas wajib
bersama seseorang. Aku mendorong pintu kafe dan melihat semua kursi yang ada di
sana. Aku kesulitan menemukannya, karena kacamataku basah karena hujan.
Seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum, senyum yang sama setiap
harinya. Aku berjalan ke arahnya.
“Sudah
lama menunggu, David?” tanyaku. Dia menggeleng. Aku mengambil posisi dudukku.
Di meja itu, telah terhidang dua mug coffee
latte. Ternyata, hari ini dia mengingat sesuatu—mungkin menurutku.
“Boleh
aku minum?” tanyaku sumringah. Ini bukan karena kopi yang dipesankannya
untukku, terlebih ada cerita di balik kopi itu.
“Ki..ta..
ce..ri..ta..apa..ha..ri..ini, Gi..ta?” tanyanya terbata-bata. Aku meletakkan
kopi itu di atas meja setelah meminumnya beberapa teguk.
“Hmm...
bentar ya. Aku berpikir dulu.” jawabku. Aku menghela napas. Sebenarnya, banyak
cerita yang bisa kukatakan padanya. Tetapi, perlahan aku kehabisan ide
mendongeng.
Dia
David. Dia bukanlah anak empat tahun yang baru belajar bicara. Tiga tahun yang
lalu, dia adalah laki-laki yang begitu diperhitungkan oleh kaum hawa. Dia
tampan dengan tinggi yang mendukung. Wajahnya teduh dan pribadi yang ambisius.
Namun, penyakit merenggut segala yang dimilikinya. Jika berbicara mengenai
penyakitnya, aku tidak begitu paham. Dia memiliki gangguan di otak dan
sarafnya. Kenal dengan selebriti Gugun?
Penyakit yang dialami David lebih kurang sama seperti entertainer itu. Setelah menjalani operasi di Singapura beberapa
tahun lalu, sebagian memori di otaknya terhapus—termasuk lupa akan kehadiranku.
“Bagaimana
kalau kita cerita tentang... kopi ini?” usulku. Dia mengangguk dan terlihat
bahagia. Bagaimana mungkin dia bahagia dengan cerita dariku. Sekarang ini, aku
tidak begitu menginginkan memori beberapa tahun silam kembali padanya. Aku
takut, semua itu akan menjadi beban baginya. Aku menikmati sebagai pembawa
cerita, dan menunggu waktu cerita lama akan bergulir di mulutku.
Kopi... aku menyukai kopi.
Walaupun dari segi kesehatan terlalu sering mengonsumsi kopi tidaklah baik,
namun aku tetap meminumnya. Aku tidak setiap hari meminumnya. Tetapi, selalu
butuh ketika stres melandaku.
Aku telah mengenalnya lama,
sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sama seperti hari ini, hujan
juga turun hari itu. Kami singgah di kafe kopi ini, memesan dua mug coffee
latte. Aku duduk berhadapan dengannya, sambil menyeruput kopi, sekaligus
menghangatkan badan. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, karena tak
seorangpun di antara kami memulai bicara. Sesekali aku tersenyum padanya, dan
sebaliknya. Aku tidak tahu, namun seolah di balik kopi itu ada kalimat yang
tersampaikan. Hingga menjelang senja, tak satupun kalimat yang keluar di antara
kami. Hujan reda. Kami memutuskan untuk pulang. Aku berdiri bersisian
dengannya. Dan... hari itu dia mengucapkan kalimat itu.
“Gita...aku rasa... aku...
menyukaimu.” ucapnya pelan. Namun, aku mendengarnya dengan baik. Aku menoleh ke
arahnya dan terlalu gugup untuk membalasnya. Satu hal yang bisa kulakukan
adalah tersenyum, dan hanya mata yang mengerti isi hati kami.
Dan... semuanya berlangsung
singkat. Seminggu setelah kalimat itu, penyakitnya mulai terlihat dan satu
persatu ingatannya terganggu—hingga detik ini.
Aku
menghabiskan kopi yang ada di mejaku. David termenung beberapa saat. Aku tidak
tahu apa yang dipikirkannya, karena mata kami kini tidaklah sama. Jika dulu
mata dapat mengartikan sesuatu, kini hanya mataku yang menatapnya sama seperti
dulunya. Ceritanya memang seperti itu dalam versiku, namun aku mengubah
beberapa sudut pandang dan tidak sampai menceritakan bagian “dia menyukaiku”.
Aku takut.
“Apa..kah
Tio itu menyukai Elis?” tanyanya. Tenggorokanku tercekat. Ini bukan pertanyaan
yang kuharapkan. Aku menghela napas lagi, dan mengangguk. Dia kembali diam,
sibuk memikirkan sesuatu.
“David...
sudah jam enam.” Aku mengingatkan. Setiap Selasa malam dia harus menjalani
terapi di rumahnya. Dia gelagapan, dan menghabiskan kopi di tangannya. Aku membantunya
berdiri, dan memapahnya. Penyakit yang dialaminya juga membuat respon tubuhnya
menghilang. Tangan dan kakinya tak sempurna bisa digerakkan. Aku mengambil
ponsel dan menghubungi sopir pribadi miliknya.
“Pak,
kami sudah selesai.” ucapku ditelpon.
Beberapa
menit setelah itu, mobil sedan hitam sudah berada di depan kafe. Bapak tua itu
menjemputnya di luar kafe.
“Besok
kita cerita lagi.” ucapku. Bapak tua itu menuntunnya ke mobil. Setelah itu, dia
gantian menjemputku. Aku menggeleng dan mengatakan pulang dengan taksi. Dia
mengangguk dan pergi menuju mobil. Aku melambaikan tangan pada David. Aku
tersenyum. David tersenyum—dengan arti yang berbeda. Mobil perlahan
meninggalkan lokasi kafe, dan kini tinggal aku seorang di luar kafe. Hujan
masih turun deras, dan aku tidak punya pilihan selain menerobos derasnya hujan.
Tiba-tiba
seseorang mengembangkan payung untukku. Aku tersentak kaget dan menoleh ke
kanan.
“Mau
sampai kapan seperti ini?” ucap laki-laki itu. Dia memberikan payung kepadaku
dan berlari-lari kecil ke parkiran.
Aku
mengatupkan payung karena tidak butuh itu sekarang. Aku berjalan, membiarkan
hujan membasahi tubuhku. Mau sampai kapan
seperti ini? Pertanyaannya
menghujamku, dan jawabanku tetap sama. Sampai dia mengingatku lagi—memandang dengan
cara yang sama.
“Aku menyerah, Gita.”
“Aku takkan menunggumu lagi.”
“Jelas sudah. Kau tak pernah
melihatku. Aku hanya bayangan untukmu.”
“Tapi, melihatmu bertingkah
seperti ini membuatku frustasi. Kau seperti orang bodoh, bercerita setiap hari
padanya. Kau seolah-olah pendongeng yang ulung. Kau ubah ceritanya, tidakkah
itu kejam? Mau sampai kapan seperti ini? Gita, berhentilah bercerita tentang
hal-hal bodoh. Namun, mulailah bercerita tentang kau dan dirinya. Kau mau menunggu
sampai kapan, hah?”
Aku
ingat deretan kalimat itu. Langkahku terhenti dan berbalik arah. Aku berlari
menuju parkiran. Dia masih berdiri di tempat yang sama. Justru, tatapannya
lurus kepadaku. Aku berdiri di hadapannya, dan menengadah. Wajahku basah oleh
hujan sekaligus air mata yang telah keluar sedari tadi. Kami hanya diam, sibuk
dengan pikiran masing-masing.
“Aku...
tidak bisa. Aku belum bisa, Hanif. Maafkan aku.” ucapku terisak-isak.
Selanjutnya,
aku tetap menjadi pendongeng ulung. Dan... membiarkan waktu yang akan mengubah
cerita tentang Aku dan Dia.
###
Kereen! (Y)
ReplyDeleteAlhamdilillah nad, doakan saja nad. Dalam proses proyek rahasia :D eh tapi, masih kerenan tulisan nanad ^^ hehe
ReplyDeletengeliat timeline, ngeliat sharenya nadia -meski bukan postingan ini-, akhirnya sampe di postingan ini. dan cukup terkejut nama saya ada disana. ceritanya, aduh ><
ReplyDeleteSepertinya nadia punya andil yang besar atas promosi blog ini ^^
ReplyDeletewah, saya justru lupa pernah menuliskan tokoh dengan nama ini >.< haha