“Ayah
sedang memikirkan apa?” tanyaku dengan mata berbinar-binar. Dia hanya diam.
Hari ini adalah kunjunganku yang kedua di minggu ini. Setelah menjadi pegawai
tetap di toko buku tersebut, aku menerima waktu libur yang jelas. Hal ini
menguntungkan bagiku, karena dapat menemui ayah sesering mungkin. Berbicara
tentang kehidupanku, aku masih seperti setahun, dua tahun, ataupun tiga tahun
lalu. Empat tahun berlalu begitu cepat dan aku baik-baik saja. Walaupun
kadangkala setiap malam aku akan menangis sendiri di atas atap karena kerinduan
yang tak tertahankan dengan ibu. Aku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja
karena waktu akan mengobati setiap luka. Tetapi hingga saat ini, luka itu belum
sepenuhnya sembuh. Jika mengingat kepergian ibu, serentetan memori akan kembali
di benakku. Dan... semua itu menyakitkan.
Aku
mendorong kursi roda ayah ke arah jendela. Aku telah berusaha mengajaknya
berbicara, tetapi tak satupun kata keluar di bibirnya. Dia hanya diam,
termenung dengan pikiran-pikiran yang tak kuketahui. Sejak kepergian ibu, ayah
kehilangan akal sehatnya. Dia kadangkala mengenaliku, dan seringkali lupa
denganku. Untuk hari ini, dia menerima kehadiranku pertanda dia mengingatku,
putrinya. Bertahun-tahun ayah berada di rumah sakit ini, tidak ada perubahan
yang signifikan darinya. Dia masih terlihat ketika tiga bulan kepergian ibu.
Termenung sendiri lalu tiba-tiba berteriak memanggil nama ibu. Meskipun intensitas
tindakan liarnya sudah berkurang. Ayah hanya mengamuk pada saat tertentu.
Bahkan perawat di sini mengatakan bahwa ayah sudah lebih baik. Sejujurnya
berita itu tidak membuatku lebih baik. Aku ingin ayah sembuh—benar-benar
sembuh.
Ayah
tiba-tiba mengangkat tangannya. Posisi tubuhnya maju ke depan. Sepertinya ada
sesuatu yang menarik perhatiannya di luar ruangan. Aku melihat ke arah matanya
tertuju. Di sana hanya ada seorang wanita yang tengah berbincang dengan
laki-laki—mungkin suaminya. Tidak ada yang istimewa dari pemandangan itu.
Tetapi tidak bagi ayah. Dia bangkit dari kursi roda. Spontan aku memeganginya
agar tidak jatuh. Sejak kepergian ibu, ayah jarang menggunakan kakinya dan
lebih cenderung pasif. Hal ini menyebabkan kakinya melemah dan harus dibantu
kursi roda.
“Anita.”
lirihnya. Aku menatap ayah.
“Anita.”
ujarnya sekali lagi. Tiba-tiba ayah berjalan terseok-seok ke pintu sambil terus
mengucapkan nama yang sama.
“Ayah,
kita di dalam saja.” pintaku mencegat lengannya.
“Anita.”
lirihnya tak mempedulikanku.
“Ayah
tidak boleh keluar kata perawat.” ucapku lembut.
“Anita!
Aku ingin ke sana! Aku ingin ke sana! Anita, istriku!” teriaknya kalap.
Tiba-tiba ayah mengamuk. Dia berteriak-teriak memanggil nama ibu sambil menjatuhkan
apapun benda yang berada di dekatnya. Aku berusaha meredam amukannya.
“Ayah...
itu bukan ibu...” ucapku tercekat. Air mata tiba-tiba mengalir di pipiku. Aku
tahu bahwa setiap kali ayah mengamuk, aku akan mengulang dan terus mengulang
kalimat seperti ini.
“Ayah...
ibu sudah tiada...” sambungku. “Itu bukan ibu, Ayah.” ujarku lagi. Aku melihat
ayah termenung tiba-tiba. Dia terduduk ke lantai.
“Aaaaargh!
Istriku belum meninggal, dia masih hidup! Kau siapa? Apa kau bilang, Anita
sudah meninggal? Istriku belum meninggal! DIA MASIH HIDUP!” Ayah di luar
kendali. Dia mendorongku ke dinding. Aku mengaduh. Ayah berjalan ke tempat
makanan yang kubawa untuknya. Dia melihat ke arahku dengan kilatan amarah yang
mengerikan.
“KAU
HARUS TAHU, ISTRIKU MASIH HIDUP!” teriaknya dan tiba-tiba menyerangku. Dia
mencekikku dengan kedua tangannya.
“Ayah...
ini aku. Mili, anakmu.” rintihku. “Ayah... aku Mili, Ayah.” isakku. Ayah
berhenti mencekikku. Aku terisak. Ibu...aku
mohon sadarkan ayah... begitu menyakitkankah kepergian ibu bagi ayah? Lalu,
bukankah hal tersebut serupa dengan yang kurasakan? Aku juga kehilangan. Batinku.
“Mili?
Anakku?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. Namun, dia tidak mempercayai
ucapanku, karena di tangan kirinya telah tergenggam pisau pemotong buah. Aku
mundur perlahan.
“Kau
Mili? HAHAHA. Anakku tidak akan mengatakan hal tersebut. Jelas-jelas ibunya
masih hidup. Beraninya kau mengatakan istriku sudah meninggal, HAH!” teriaknya.
Tepat setelah teriakan itu pisau yang dipeganginya mendarat di lenganku
memuncratkan darah segar. Aku melihat darah itu mengalir di lenganku. Aku tidak
pernah mengira bahwa darah segar yang kulihat ini cukup membuatku teringat atas
kejadian beberapa tahun silam. Tiba-tiba semuanya kembali, memori itu
sepenuhnya kembali. Kematian ibu. Hukuman pelaku. Meskipun telah kulalui
semuanya, aku belum menerima kenyataan itu dengan baik. Aku sama dengan ayah.
Hanya saja, akal sehatku masih berfungsi dengan baik. Aku menghela napas sambil
melihat ayah yang berteriak menyebut nama ibu berulang kali. Setelah itu, perlahan
pandanganku mengabur. Aku mendengar perawat datang memegangi ayah dan seorang
dokter memanggil namaku dengan suara yang begitu familiar menemaniku empat
tahun silam.
<<Baca Sebelumnnya Baca Selanjutnya>>
Fan, keren Fan! Nahan nafas nadia mambaconyoo.. Hei, mana essay FLP fani? ndia pengen bacoo. :D
ReplyDeleteHahaha.
ReplyDeleteAlun ditulis lai nad :D on progress lah nad hehe,tepar semalam
nad lah siap yo? haha