Pages

August 12, 2016

[Cerpen] Rabu Kelabu #5



“Ayah sedang memikirkan apa?” tanyaku dengan mata berbinar-binar. Dia hanya diam. Hari ini adalah kunjunganku yang kedua di minggu ini. Setelah menjadi pegawai tetap di toko buku tersebut, aku menerima waktu libur yang jelas. Hal ini menguntungkan bagiku, karena dapat menemui ayah sesering mungkin. Berbicara tentang kehidupanku, aku masih seperti setahun, dua tahun, ataupun tiga tahun lalu. Empat tahun berlalu begitu cepat dan aku baik-baik saja. Walaupun kadangkala setiap malam aku akan menangis sendiri di atas atap karena kerinduan yang tak tertahankan dengan ibu. Aku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja karena waktu akan mengobati setiap luka. Tetapi hingga saat ini, luka itu belum sepenuhnya sembuh. Jika mengingat kepergian ibu, serentetan memori akan kembali di benakku. Dan... semua itu menyakitkan.


Aku mendorong kursi roda ayah ke arah jendela. Aku telah berusaha mengajaknya berbicara, tetapi tak satupun kata keluar di bibirnya. Dia hanya diam, termenung dengan pikiran-pikiran yang tak kuketahui. Sejak kepergian ibu, ayah kehilangan akal sehatnya. Dia kadangkala mengenaliku, dan seringkali lupa denganku. Untuk hari ini, dia menerima kehadiranku pertanda dia mengingatku, putrinya. Bertahun-tahun ayah berada di rumah sakit ini, tidak ada perubahan yang signifikan darinya. Dia masih terlihat ketika tiga bulan kepergian ibu. Termenung sendiri lalu tiba-tiba berteriak memanggil nama ibu. Meskipun intensitas tindakan liarnya sudah berkurang. Ayah hanya mengamuk pada saat tertentu. Bahkan perawat di sini mengatakan bahwa ayah sudah lebih baik. Sejujurnya berita itu tidak membuatku lebih baik. Aku ingin ayah sembuh—benar-benar sembuh.

Ayah tiba-tiba mengangkat tangannya. Posisi tubuhnya maju ke depan. Sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya di luar ruangan. Aku melihat ke arah matanya tertuju. Di sana hanya ada seorang wanita yang tengah berbincang dengan laki-laki—mungkin suaminya. Tidak ada yang istimewa dari pemandangan itu. Tetapi tidak bagi ayah. Dia bangkit dari kursi roda. Spontan aku memeganginya agar tidak jatuh. Sejak kepergian ibu, ayah jarang menggunakan kakinya dan lebih cenderung pasif. Hal ini menyebabkan kakinya melemah dan harus dibantu kursi roda.

“Anita.” lirihnya. Aku menatap ayah.

“Anita.” ujarnya sekali lagi. Tiba-tiba ayah berjalan terseok-seok ke pintu sambil terus mengucapkan nama yang sama.

“Ayah, kita di dalam saja.” pintaku mencegat lengannya.

“Anita.” lirihnya tak mempedulikanku.

“Ayah tidak boleh keluar kata perawat.” ucapku lembut.

“Anita! Aku ingin ke sana! Aku ingin ke sana! Anita, istriku!” teriaknya kalap. Tiba-tiba ayah mengamuk. Dia berteriak-teriak memanggil nama ibu sambil menjatuhkan apapun benda yang berada di dekatnya. Aku berusaha meredam amukannya.

“Ayah... itu bukan ibu...” ucapku tercekat. Air mata tiba-tiba mengalir di pipiku. Aku tahu bahwa setiap kali ayah mengamuk, aku akan mengulang dan terus mengulang kalimat seperti ini.

“Ayah... ibu sudah tiada...” sambungku. “Itu bukan ibu, Ayah.” ujarku lagi. Aku melihat ayah termenung tiba-tiba. Dia terduduk ke lantai.

“Aaaaargh! Istriku belum meninggal, dia masih hidup! Kau siapa? Apa kau bilang, Anita sudah meninggal? Istriku belum meninggal! DIA MASIH HIDUP!” Ayah di luar kendali. Dia mendorongku ke dinding. Aku mengaduh. Ayah berjalan ke tempat makanan yang kubawa untuknya. Dia melihat ke arahku dengan kilatan amarah yang mengerikan.

“KAU HARUS TAHU, ISTRIKU MASIH HIDUP!” teriaknya dan tiba-tiba menyerangku. Dia mencekikku dengan kedua tangannya.

“Ayah... ini aku. Mili, anakmu.” rintihku. “Ayah... aku Mili, Ayah.” isakku. Ayah berhenti mencekikku. Aku terisak. Ibu...aku mohon sadarkan ayah... begitu menyakitkankah kepergian ibu bagi ayah? Lalu, bukankah hal tersebut serupa dengan yang kurasakan? Aku juga kehilangan. Batinku.

“Mili? Anakku?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. Namun, dia tidak mempercayai ucapanku, karena di tangan kirinya telah tergenggam pisau pemotong buah. Aku mundur perlahan.

“Kau Mili? HAHAHA. Anakku tidak akan mengatakan hal tersebut. Jelas-jelas ibunya masih hidup. Beraninya kau mengatakan istriku sudah meninggal, HAH!” teriaknya. Tepat setelah teriakan itu pisau yang dipeganginya mendarat di lenganku memuncratkan darah segar. Aku melihat darah itu mengalir di lenganku. Aku tidak pernah mengira bahwa darah segar yang kulihat ini cukup membuatku teringat atas kejadian beberapa tahun silam. Tiba-tiba semuanya kembali, memori itu sepenuhnya kembali. Kematian ibu. Hukuman pelaku. Meskipun telah kulalui semuanya, aku belum menerima kenyataan itu dengan baik. Aku sama dengan ayah. Hanya saja, akal sehatku masih berfungsi dengan baik. Aku menghela napas sambil melihat ayah yang berteriak menyebut nama ibu berulang kali. Setelah itu, perlahan pandanganku mengabur. Aku mendengar perawat datang memegangi ayah dan seorang dokter memanggil namaku dengan suara yang begitu familiar menemaniku empat tahun silam.

 

<<Baca Sebelumnnya Baca Selanjutnya>>

2 comments:

  1. Fan, keren Fan! Nahan nafas nadia mambaconyoo.. Hei, mana essay FLP fani? ndia pengen bacoo. :D

    ReplyDelete
  2. Hahaha.
    Alun ditulis lai nad :D on progress lah nad hehe,tepar semalam
    nad lah siap yo? haha

    ReplyDelete