Selamat
datang di dunia sunyi.
Saya
tidak menyebut tulisan ini adalah sebuah esai atau semacamnya, mungkin dapat
disebut sebuah reka ulang apa yang terjadi sehari lalu. Saya tidak menduga akan
bergabung di sebuah forum yang di dalamnya hadir orang-orang luar biasa,
berkecimpung dengan dunia tulis. Perasaan ini sama ketika saya menemukan
teman-teman di goodreads yang juga ‘maniak’ terhadap buku. Kurang lebih seperti
itulah rasanya. Bayangkan tiba-tiba berada di sekitar orang-orang yang
mencintai dunia tulis. Bagaimana rasanya? Ah, tentunya senang dan campur aduk,
rasa-rasanya ingin meningkatkan kemampuan lebih besar lagi. Harapan saya,
insyaAllah tempat itu akan menjadi keluarga baru bagi saya kelak.
‘Selamat
datang di dunia sunyi’. Ah, saya tidak tahu bagaimana statement sederhana itu mampu membuat saya harus mengucapkan
kalimat itu berkali-kali kala itu. Alhasil, saya memang merasa di dunia yang
sunyi. Menulis takkan bisa dilakukan saat suasana sekitar hiruk pikuk, atau
ketenangan dan kedamaian yang tidak didapatkan. Sejujurnya, seringkali saya
menulis saat semua orang di rumah telah terlelap, atau jika hasrat menulis
dalam keadaan di puncaknya, saya akan menyediakan headset untuk meredam semua
suara di sekitar. Meskipun begitu, saya cenderung menyukai suasana saat tengah
malam, karena sunyi yang hadir lebih terasa bagi saya. Kadangkala orang-orang
salah beranggapan, bahwa seseorang yang menyukai sunyi adalah orang yang
penyendiri. Menurut saya, hal itu adalah sebuah kesalahan persepsi. Kesunyian
seringkali membuat mereka dapat berpikir lebih jernih, lebih terarah, dan lebih
siap menghadapi apa yang seharusnya dilakukan. Atau kadangkala mereka yang
menyukai sunyi karena hanya ingin merefleksikan diri, sehingga dirinya lebih
tenang dari sebelumnya.
‘Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya’. Saya tidak ingat dimana pertama kali mendengar
kalimat ini, kalau tidak salah ini merupakan kalimat yang diucapkan Ali Bin Abi
Thalib ra. Saat pertama kali mendengar kalimat ini, entah di buku atau di
sebuah forum lainnya, tiba-tiba saya menemukan alasan kenapa saya menulis. Jika
orang-orang seringkali mengabadikan momen melalui kilas foto, tetapi saya
mengabadikannya melalui kata. Seorang penulis pernah mengatakan “...sebab kata lebih dalam dari keliatannya”—Dodi
Prananda. Saya senang menuliskan apapun yang terjadi dengan diri saya,
menceritakannya melalui deretan kalimat, dan selanjutnya akan saya simpan
tulisan itu bertahun-tahun lamanya. Suatu kali, tanpa disadari kalimat-kalimat
itu akan dibaca lagi, entah rindu dengan masa lalu, atau membutuhkan kekuatan
untuk terus berjuang. Termasuk ketika momen-momen penting, saya menuliskannya
agar tidak lupa, serta sebagai penanda bahwa kebersamaan itu pernah terjadi. Tidak
banyak yang bisa saya tuliskan selepas menghadiri kegiatan itu. Karena bagi
saya, apa yang terjadi kemarin, insyAllah ilmunya telah terserap dalam benak saya. Lalu,
menceritakannya lebih detail apa yang terjadi saya tidak begitu lihai, mungkin
akan tertulis ilmu-ilmu itu tanpa sengaja di tulisan selanjutnya. Saya lebih
cenderung melakukan hal itu. Setiap cerita punya hubungan tersendiri.
“Jingga
Kuning Luka”. Bagaimana rasanya ketika disuruh menulis tiba-tiba dengan
mengembangkan tiga kata tersebut? Jujur, saya panik. Saya tidak tau apa yang
mestinya ditulis, tulisan semacam apa yang harus ditulis, dan pertanyaan paling
penting apa yang akan terjadi setelah tulisan ini lahir dalam waktu 5 menit?
Kesalahan pertama yang saya lakukan, saya terlalu lama berpikir hingga waktu
yang tersisa tak lagi cukup menuliskan banyak hal. Kesalahan kedua, saya
terlalu mementingkan pandangan orang lain akan tulisan yang nantinya saya
ciptakan. Kesalahan ketiga, saya belum mampu melepaskan semua yang saya rasakan
melalui tulisan. Alhasil, saya hanya dapat menuliskan tulisan semacam ini.
Namaku Jingga,
Kau tahu, tanpa kusadari seringkali senja
seakan terlihat berwarna kuning kemerahan
Apa aku salah? Apa aku keliru? Atau matakah
yang selalu keliru mengartikan banyak hal?
Entahlah.
Apa itu benar adanya? Bahwa kuning yang
terlihat di penghujung hari adalah senja yang kan mengakhiri kisah kita?
Atau...corak klise yang kan mengingatkan
luka yang tercipta?
Saya
ingat Putu Wijaya pernah menyampaikan pesan saat saya mengikuti Jambore Sastra
kurang lebih lima tahun silam. Tulisanlah,
jangan dipikirkan. Saat kau hendak menulis, tulislah apa saja, jangan
dipikirkan. Karena ketika kau berpikir, mempertimbangkan pantas tidaknya
tulisan yang dibuat, maka tidak akan pernah jadi tulisan itu. Beliau juga
menjelaskan, ketika kau tidak ingin
menulis, maka menulislah terus. Namun jika kau sangat ingin menulis, serasa
semangat membara, maka berhentilah menulis, karena ketika semangat itu hilang,
maka kau tidak ingin menulis lagi. Memang benar, ketika menulis apa adanya
tanpa berpikir lebih lama, tulisan yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan
berpikir ‘apa yang seharusnya’. Saya pernah mencobanya, dan ketika saya
berpikir dengan baik, hanya satu paragraf yang dihasilkan. Ahmad Rifa’i Rif’an
menyebutkan bahwa setelah menulis apa
adanya, kan tulisan itu masih bisa diedit, ditata sedimikian baiknya, sehingga
enak dibaca. Putu Wijaya juga menyarankan jika telah selesai menulis sebuah karya, maka endapkanlah beberapa
hari, empat haripun cukup, lalu editlah. Karena mengedit ketika karya itu
selesai di hari itu, akan berakhir sia-sia. Nah, sama seperti hari ini,
saya menulis tanpa berpikir panjang. Tulislah dan sampaikanlah.
Apalagi
yang dapat saya tulis? Kiat-kiat menulis? Saya tertarik pada poin ‘jadikan
menulis sebagai sarana ibadah’. Pernyataan itu yang melekat di benak saya mengenai
kiat-kiat dalam menulis. Seringkali ada niat yang salah ketika menulis, ingin
dipuji, ingin terkenal, dan banyak niat yang tak seharusnya tercipta.
Astagfirullah. Sungguh, kadangkala memang terbesit perasaan semacam itu, tetapi
Sang Kuasa menghukumnya dengan ketidakmampuan saya menghasilkan apapun. Jika
perasaan itu menjalar tiba-tiba, saya hanya akan stuck di depan laptop, tanpa
menulis kata apapun. Maka, setiap kali hendak menulis... saya berusaha
meluruskan niat, meluruskan bahwa tujuan saya menulis adalah karena Rabb senang
dengan rangkaian kata yang tercipta. Di samping itu, dengan perasaan itulah
tulisan saya dapat terkontrol tentang ‘harus atau tidak harusnya’ kalimat itu
saya tulis.
Lalu,
apalagi? Bagaimana kalau membahas tentang sebab gagal dalam menulis? Vira
Safitri dalam novelnya yang berjudul “A New York After The Rain” menjelaskan
bahwa ada dua hal yang menjadikan tulisan itu diingat oleh pembaca, pertama
kisah yang ada dalam tulisan pernah terjadi dengan si pembaca atau penulis
memang pandai dalam menulis. Hal ini juga berlaku saat saya menerima pencerahan
kemarin mengenai sebab gagal dalam menulis. Saya ingat, karena saya selalu
mengalaminya yaitu ‘cepat merasa puas’. Ternyata perasaan itu dapat menjadi
bumerang bagi saya. Sama seperti perasaan ketika niat yang kadang-kadang
berubah jalur untuk menulis. Ketika saya menyelesaikan satu tulisan, saya cepat
merasa puas dan cenderung hilang dalam peredaran untuk menulis. Namun, saya
bersyukur perasaan itu hilang dengan cepat saat saya mengingat tujuan menulis,
atau melihat pengalaman penulis-penulis produktif yang luar biasa. Saya yakin,
tetap produktif menghasilkan karya tentunya karena perasaan yang tidak cepat
puas dari diri mereka. Dibandingkan dengan mereka, tentunya saya masih sangat-sangat
jauh. Bayangkan mereka dapat rendah hati meski telah sukses dengan
karya-karyanya.
Apalagi
yang harus saya ceritakan? Kalimat ini menyebabkan saya termenung cukup lama, “...karena
setiap jawaban yang terjadi berasal dari masa lalu”. Saya tidak yakin semua
orang mengingat kalimat ini kala itu. Ya memang benar. Apa yang terjadi di masa
lalu memang cerminan apa yang terjadi di masa datang. Bahkan ketika seseorang
melakukan kesalahan di masa lalu, maka cerminan yang tampak nantinya yaitu
apakah kesalahan itu akan berlanjut, atau berubah menjadi sebuah penebusan? Tergantung.
Maka dari itu, saya selalu percaya bahwa kesalahan takkan selalu menghantui
bahkan berpuluh-puluh tahun kemudian, justru kesalahan adalah pengingat untuk
tidak jatuh di lubang yang sama kedua kalinya. Bukankah begitu? Makna kalimat
itu adalah ‘bagaimana orang itu bisa sukses? bagaimana orang itu bisa seperti
itu.. dan ini?’ maka jawabannya, ‘tengoklah bagaimana masa lalu hingga mereka
seperti sekarang ini’.
Penutup,
saya masih belajar untuk menulis lebih baik lagi. Sepertinya hanya itu yang
dapat saya kilas balik, tentang apa yang terjadi dan apa yang saya rasakan
kemarin. Bagaimanapun, menulis selalu butuh proses yang panjang dan bahkan
untuk menghasilkan sebuah karya yang baik butuh nafas yang sangat panjang. Oleh karena itu, saya berharap dapat
menjalani semua proses itu, di sini, di rumah baru ini—Forum Lingkar Pena,
insyaAllah. Saya tutup dengan kalimat yang ditulis oleh Annis Mata.
“Cinta memang harus berkembang jadi kata,
sebab itu membuatnya nyata dan meyakinkan”
Selamat
menulis. Selamat datang di dunia sunyi.
Salam
Literasi!
No comments:
Post a Comment