Selamat
pagi. Saya menulis lagi, menyempatkan diri sebisa mungkin untuk bercerita
tentang hal-hal yang sederhana sekalipun. Padahal, apabila saya mengingat ‘Tugas
Akhir’ yang senantiasa menunggu manis di belakang sana, saya akan bergidik
ngeri. Ah, saya tau bahwa harus menyelesaikan ‘Proposal’ secepat mungkin.
Namun, ada sesuatu yang menganggu saya sehingga sebelum menulis tentang ini,
seolah-olah pencerahan itu belum datang.
Saya
menyadari dua bulan belakangan ini, saya cenderung membaca buku yang
berhubungan psikologi. Bagi saya, itu sebuah kemajuan karena tidak biasanya
saya dapat menghabiskan waktu berlama-lama dengan buku non-fiksi. Saya mudah
cepat bosan terhadap sesuatu yang tidak menarik, namun ketika ketertarikan itu
berada di puncaknya, bahkan ‘Tugas Akhir’ seolah tertunda sementara.
Saya
yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dalam membaca, bahkan ketika membaca novel
sekalipun. Entah kenapa, hingga detik ini saya selalu bersyukur memiliki kecintaan
terhadap buku. Padahal jika dilihat ke belakang, maka saya termasuk tidak
peduli dengan buku. Tetapi, semuanya dapat berubah, bukan? Hampir sebagian
pemahaman yang saya dapatkan tidak jarang berasal dari buku. Saya tau bahwa
buku yang dibaca ini tidak ada hubungannya dengan ‘Tugas Akhir’, kalaupun tidak
terpakai kelak setidaknya saya pernah membaca dan pengetahuan itu pernah saya
dapatkan.
Jadi,
pagi ini apa yang ingin saya ceritakan? Dua hari yang lalu saya baru saja
menyelesaikan buku non-fiksi berjudul ‘Membangun
Sekolah yang Dicintai Anak’. Saya lagi-lagi menemukannya di Perpustakaan.
Awalnya saya tidak berniat meminjamnya, namun ketika melihat pengarangnya tanpa
pikir panjang saya meminjamnya. Sebelumnya saya telah membaca buku dengan
pengarang yang sama berjudul ‘Mencari
DNA Pendidikan Karakter’. Sama
seperti buku sebelumnya yaitu bercerita tentang pengalaman bersekolah di
Australia. Beliau yang mengambil gelar ‘Doktor’ melalui beasiswa tersebut
bercerita tentang anak-anaknya yang bersekolah di negeri Kangguru tersebut.
Jujur, secara tidak langsung melalui cerita-cerita sederhana itu dapat
memberikan masukan-masukan bagaimana menjadi guru yang baik kelak. Baiklah,
mungkin tidak semuanya dapat saya ceritakan, tetapi satu persatu cerita
tersebut mewakili secara umum isi buku ini.
Deskripsi
singkat
Judul:
Membangun Sekolah yang Dicintai Anak
Penulis:
MIIS (Monash Indonesian Islamic Society)
Tahun
Terbit: Maret, 2012
Penerbit:
Lentera Ilmu Cendekia
Jumlah
Halaman: 141 halaman
Saya
akan mulai dengan cerita yang pertama ‘Setiap
Senin yang Menakjubkan’. Penulis menceritakan tentang anaknya yang selalu
membujuk agar orangtuanya hadir di hari Senin siang untuk menghadiri assembly. Saya pribadi tidak tau istilah
tersebut, termasuk penulis itu sendiri. Jadi, saya terus melanjutkan membaca
buku tersebut. Penulis beranggapan kenapa anaknya selalu memaksa agar ia dapat
hadir di acara tersebut. Padahal waktu acara adalah jam-jam tersibuk bagi
orangtua umumnya. Bahkan anaknya sempat protes kepada ibunya perihal
ketidakhadirannya pada acara itu. Ah, sungguh saya terkagum-kagum dengan
pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah ini. Saya tidak
membangga-banggakan bahwa negeri Barat lebih baik dibandingkan negeri Timur.
Tetapi bukankah setiap hal baik itu harus kita terima? Walaupun tak dipungkiri
sisi negatif juga terdapat di negeri berkulit putih ini. Ternyata assembly
merupakan kegiatan dimana
setiap Senin anak-anak dari TK hingga kelas 6 dikumpulkan di ruangan bersama
yang dinamakan multi purpose room atau ruang serbaguna yang cukup luas.
Nah, jadi di acara ini anak-anak akan dipersilahkan untuk bercerita apa-saja
tentang pengalamannya di akhir minggu. Hal yang menakjubkan terlihat yaitu,
ternyata anak-anak di sini berlomba-lomba
dalam mengangkat tangannya, berebutan ingin berbagi cerita. Bahkan setelah
saya selesai membaca buku ini, hanyalah cerita-cerita sederhana yang
ditampilkan, seperti ‘saya pergi berenang
dengan ayah dan ibu, sangat menyenangkan’ atau ‘saya pergi ke rumah nenek, dan membantunya menyiapkan makan siang’. Apa
yang menarik dari semua itu? Apresiasi. Ya,
luar biasa dari semua acara tersebut adalah ‘Apresiasi’. Saya yakin, cerita-cerita itu teramat sederhana untuk
diceritakan. Namun, poin penting di sini adalah, ‘Betapa dihargainya hal-hal sederhana itu’. Bayangkan,
tindakan-tindakan sederhana saja dapat dihargai sedimikian baiknya, bagaimana
kalau tindakan itu tidak lagi sederhana? Tentu Apresiasi
jauh-dan-jauh-lebih-besar.
Kepala
sekolah dan pendengar memberikan apresiasi seperti ‘Wow, cerita yang bagus, Alex’, atau ‘sungguh cucu hebat kamu, nenekmu pasti bangga memiliki cucu sepertimu.
Apalagi selain apresiasi? Tentu saja di akhir setiap penampilan mereka,
diberikan Applause. Saya pernah
belajar, bahwa tepuk tangan itu merupakan salah bentuk penghargaan sederhana
terhadap seseorang meskipun yang ditampilkan jauh dari kata baik. Namun,
bukankah filosofi ini benar bahwa ketika kita menghargai orang lain, maka hal
serupa akan datang.
“Inspirasi pertama dari sekolah ini adalah
mereka memahami dan tahu bagaimana sekolah sebagai tempat mengubah perilaku,
mampu mengubah sesuatu yang terdengar dan terlihat sederhana, menjadi sesuatu
yang berarti dan patut dihargai oleh manusia sejak dini.” –halaman
15.
Selain
itu, ternyata acara assembly menjadi
tanggung jawab kelas 6 sebagai leader. Saya
terkadang tidak habis pikir, bagaimana mungkin anak-anak dengan usia yang masih
terlalu dini telah ditunjuk menjadi leader.
Di sekolah ini, ada sekitar 10 atau lebih leader ditunjuk dari kelas 6. Masing-masing dari mereka, ternyata
memiliki kompetensi di bidang-bidang tertentu, seperti olahraga, kesenian, dsb.
Di acara tersebut nantinya juga diberikan penghargaan kepada siswa yang perlu
diapresiasi, misalnya pemimpin kebersihan akan mengumumkan beberapa anak yang
rajin membantu memungut sampah di sekolah dan sebagai penghargaan mereka diberi
pin dari kertas sederhana.
“Saya melihat tempat pendidikan ini mencoba
mengenalkan konsep leader atau pemimpin kepada anak-anak bukan sekedar ‘head’
atau ketua. Kata-kata Kepala Sekolah seolah-olah mengulang apa yang dikemukakan
Carter Scot (ahli leadership) tentang kepemimpinan: For All leaders I want to say, “You are a leader of the future, so be
original, brave, inspire and develop something for the future then you can see
everybody will follow your vision. You are a leader, you are not just a head. Leader
has long range perspective, while head has short range view, a leader inspires
trust whilst head relies on control, head likes status quo whilst challenges
it. Head do things right, whilst leaders do the right thing. For all the leaders....
well done” (Untuk seluruh pemimpin, saya ingin
mengatakan kalian adalah pemimpin, jadilah pemberani, jadilah inspirasi,
membangun sesuatu untuk masa depan kalian kemudian kalian akan lihat
adik-adikmu akan mengikutimu. Mereka akan melihat apa tujuanmu. Kalian adalah
pemimpin, bukan sekedar ketua. Pemimpin memiliki pandangan jauh ke depan,
sementara ketua hanya sebatas pandangannya. Pemimpin menginspirasi, dimana
ketua tergantung pada kontrol, ketua menyukai sesuatu yang tidak berubah, sementara
pemimpin melakukan perubahan ketua melakukan sesuatu dengan benar, sedangkan
pemimpin melakukan sesuatu yang benar).” –halaman 17.
“...saya melihat hal menakjubkan ketiga di
assembly. Ada satu sesi dimana para leader akan mengumumkan student of the week
setiap minggu. Saya sempat membayangkan para siswa yang mendapat penghargaan
itu adalah siswa-siswa yang bagus matematikanya atau berprestasi dalam seni. Ternyata
dugaan saya salah.” –halaman 19. Ternyata, penghargaan diberikan
terhadap hal-hal sederhana, seperti: “Untuk
jessie, karena menjadi murid yang ramah dan gemar membantu murid baru di kelas.”
atau “Untuk Albert, untuk kebiasaan
membaca buku setiap malam dan berbagi cerita kepada teman-temannya. Saya
pribadi, hanya terkaget-kaget sendiri ketika membaca cerita ini. Sungguh
menakjubkan pendidkan yang mereka terapkan. Sederhana tetapi membekas.
“... saya teringat anak-anak bangsa kita
dengan sistem pendidikan negara kita yang masih mengedepankan kognitif. Siswa diobok-obok
agar jago di matematika, bahasa asing, dan IPA. Masih banyak sekolah yang
menganggap anak-anak kita hebat jika menjadi juara kelas, atau memiliki nilai
di atas 8 atau jika masuk kelas internasional. Berapa banyak anak-anak yang
suka menolong, yang memiliki keberanian memimpin seolah terabaikan. Bahkan tidak
sedikit yang kurang memperhatikan pentingnya kreativitas dan pembentukan jati
diri.” –halaman 21.
Saya
hanya termenung, karena justru karakter-karakter itu terbentuk melalui hal-hal
sederhana. Namun umumnya dari kita mengabaikan hal-hal sederhana itu. Saya
menyakini, bahwa kadangkala mengabaikan hal yang sederhana justru menjadi
bumerang untuk menggapai hal-hal besar di luar sana. Satu lagi, pertanyaan
terbesar saya ‘Mampukah?’. Menjadi pendidik tidaklah mudah, karena tantangan
terbesarnya adalah mengubah prilaku seseorang menjadi lebih baik.
Ah,
tetapi mendidik anak-anak adalah pekerjaan mulia. Maka, tidak ada salahnya
memulai dengan ‘Menghargai hal-hal sederhana’. Ya, mari kita menghargai hal-hal
sederhana.
Kemarin sempat down nulis, tp baca tulisan ini, bikin nadia smkin tertantang utk lebih byk lagi membaca dan lebih byk lagi menulis. Mksh faan. Mari kita mulai dg 'menghargai hal-hal sederhana' :)
ReplyDeleteFani juga nad, terlebih dengan TA yang menanti di depan mata, hehe semangat Nad!! Sempatkan walau hanya satu jam nad^^
ReplyDeleteSiiip, hal-hal sederhana nad