Pages

August 28, 2016

[Bedah Buku] 'Assembly' di Negeri Kangguru




Selamat pagi. Saya menulis lagi, menyempatkan diri sebisa mungkin untuk bercerita tentang hal-hal yang sederhana sekalipun. Padahal, apabila saya mengingat ‘Tugas Akhir’ yang senantiasa menunggu manis di belakang sana, saya akan bergidik ngeri. Ah, saya tau bahwa harus menyelesaikan ‘Proposal’ secepat mungkin. Namun, ada sesuatu yang menganggu saya sehingga sebelum menulis tentang ini, seolah-olah pencerahan itu belum datang.

Saya menyadari dua bulan belakangan ini, saya cenderung membaca buku yang berhubungan psikologi. Bagi saya, itu sebuah kemajuan karena tidak biasanya saya dapat menghabiskan waktu berlama-lama dengan buku non-fiksi. Saya mudah cepat bosan terhadap sesuatu yang tidak menarik, namun ketika ketertarikan itu berada di puncaknya, bahkan ‘Tugas Akhir’ seolah tertunda sementara.

Saya yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dalam membaca, bahkan ketika membaca novel sekalipun. Entah kenapa, hingga detik ini saya selalu bersyukur memiliki kecintaan terhadap buku. Padahal jika dilihat ke belakang, maka saya termasuk tidak peduli dengan buku. Tetapi, semuanya dapat berubah, bukan? Hampir sebagian pemahaman yang saya dapatkan tidak jarang berasal dari buku. Saya tau bahwa buku yang dibaca ini tidak ada hubungannya dengan ‘Tugas Akhir’, kalaupun tidak terpakai kelak setidaknya saya pernah membaca dan pengetahuan itu pernah saya dapatkan.

Jadi, pagi ini apa yang ingin saya ceritakan? Dua hari yang lalu saya baru saja menyelesaikan buku non-fiksi berjudul ‘Membangun Sekolah yang Dicintai Anak’. Saya lagi-lagi menemukannya di Perpustakaan. Awalnya saya tidak berniat meminjamnya, namun ketika melihat pengarangnya tanpa pikir panjang saya meminjamnya. Sebelumnya saya telah membaca buku dengan pengarang yang sama berjudul ‘Mencari DNA Pendidikan Karakter’.  Sama seperti buku sebelumnya yaitu bercerita tentang pengalaman bersekolah di Australia. Beliau yang mengambil gelar ‘Doktor’ melalui beasiswa tersebut bercerita tentang anak-anaknya yang bersekolah di negeri Kangguru tersebut. Jujur, secara tidak langsung melalui cerita-cerita sederhana itu dapat memberikan masukan-masukan bagaimana menjadi guru yang baik kelak. Baiklah, mungkin tidak semuanya dapat saya ceritakan, tetapi satu persatu cerita tersebut mewakili secara umum isi buku ini.

Deskripsi singkat
Judul: Membangun Sekolah yang Dicintai Anak
Penulis: MIIS (Monash Indonesian Islamic Society)
Tahun Terbit: Maret, 2012
Penerbit: Lentera Ilmu Cendekia
Jumlah Halaman: 141 halaman

Saya akan mulai dengan cerita yang pertama ‘Setiap Senin yang Menakjubkan’. Penulis menceritakan tentang anaknya yang selalu membujuk agar orangtuanya hadir di hari Senin siang untuk menghadiri assembly. Saya pribadi tidak tau istilah tersebut, termasuk penulis itu sendiri. Jadi, saya terus melanjutkan membaca buku tersebut. Penulis beranggapan kenapa anaknya selalu memaksa agar ia dapat hadir di acara tersebut. Padahal waktu acara adalah jam-jam tersibuk bagi orangtua umumnya. Bahkan anaknya sempat protes kepada ibunya perihal ketidakhadirannya pada acara itu. Ah, sungguh saya terkagum-kagum dengan pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah ini. Saya tidak membangga-banggakan bahwa negeri Barat lebih baik dibandingkan negeri Timur. Tetapi bukankah setiap hal baik itu harus kita terima? Walaupun tak dipungkiri sisi negatif juga terdapat di negeri berkulit putih ini. Ternyata assembly  merupakan kegiatan dimana setiap Senin anak-anak dari TK hingga kelas 6 dikumpulkan di ruangan bersama yang dinamakan multi purpose room atau ruang serbaguna yang cukup luas. Nah, jadi di acara ini anak-anak akan dipersilahkan untuk bercerita apa-saja tentang pengalamannya di akhir minggu. Hal yang menakjubkan terlihat yaitu, ternyata anak-anak di sini berlomba-lomba dalam mengangkat tangannya, berebutan ingin berbagi cerita. Bahkan setelah saya selesai membaca buku ini, hanyalah cerita-cerita sederhana yang ditampilkan, seperti ‘saya pergi berenang dengan ayah dan ibu, sangat menyenangkan’ atau ‘saya pergi ke rumah nenek, dan membantunya menyiapkan makan siang’. Apa yang menarik dari semua itu? Apresiasi. Ya, luar biasa dari semua acara tersebut adalah ‘Apresiasi’. Saya yakin, cerita-cerita itu teramat sederhana untuk diceritakan. Namun, poin penting di sini adalah, ‘Betapa dihargainya hal-hal sederhana itu’. Bayangkan, tindakan-tindakan sederhana saja dapat dihargai sedimikian baiknya, bagaimana kalau tindakan itu tidak lagi sederhana? Tentu Apresiasi jauh-dan-jauh-lebih-besar.

Kepala sekolah dan pendengar memberikan apresiasi seperti ‘Wow, cerita yang bagus, Alex’, atau ‘sungguh cucu hebat kamu, nenekmu pasti bangga memiliki cucu sepertimu. Apalagi selain apresiasi? Tentu saja di akhir setiap penampilan mereka, diberikan Applause. Saya pernah belajar, bahwa tepuk tangan itu merupakan salah bentuk penghargaan sederhana terhadap seseorang meskipun yang ditampilkan jauh dari kata baik. Namun, bukankah filosofi ini benar bahwa ketika kita menghargai orang lain, maka hal serupa akan datang.

“Inspirasi pertama dari sekolah ini adalah mereka memahami dan tahu bagaimana sekolah sebagai tempat mengubah perilaku, mampu mengubah sesuatu yang terdengar dan terlihat sederhana, menjadi sesuatu yang berarti dan patut dihargai oleh manusia sejak dini.” –halaman 15.

Selain itu, ternyata acara assembly menjadi tanggung jawab kelas 6 sebagai leader. Saya terkadang tidak habis pikir, bagaimana mungkin anak-anak dengan usia yang masih terlalu dini telah ditunjuk menjadi leader. Di sekolah ini, ada sekitar 10 atau lebih leader ditunjuk dari kelas 6. Masing-masing dari mereka, ternyata memiliki kompetensi di bidang-bidang tertentu, seperti olahraga, kesenian, dsb. Di acara tersebut nantinya juga diberikan penghargaan kepada siswa yang perlu diapresiasi, misalnya pemimpin kebersihan akan mengumumkan beberapa anak yang rajin membantu memungut sampah di sekolah dan sebagai penghargaan mereka diberi pin dari kertas sederhana.

“Saya melihat tempat pendidikan ini mencoba mengenalkan konsep leader atau pemimpin kepada anak-anak bukan sekedar ‘head’ atau ketua. Kata-kata Kepala Sekolah seolah-olah mengulang apa yang dikemukakan Carter Scot (ahli leadership) tentang kepemimpinan: For All leaders I want to say, “You are a leader of the future, so be original, brave, inspire and develop something for the future then you can see everybody will follow your vision. You are a leader, you are not just a head. Leader has long range perspective, while head has short range view, a leader inspires trust whilst head relies on control, head likes status quo whilst challenges it. Head do things right, whilst leaders do the right thing. For all the leaders.... well done”  (Untuk seluruh pemimpin, saya ingin mengatakan kalian adalah pemimpin, jadilah pemberani, jadilah inspirasi, membangun sesuatu untuk masa depan kalian kemudian kalian akan lihat adik-adikmu akan mengikutimu. Mereka akan melihat apa tujuanmu. Kalian adalah pemimpin, bukan sekedar ketua. Pemimpin memiliki pandangan jauh ke depan, sementara ketua hanya sebatas pandangannya. Pemimpin menginspirasi, dimana ketua tergantung pada kontrol, ketua menyukai sesuatu yang tidak berubah, sementara pemimpin melakukan perubahan ketua melakukan sesuatu dengan benar, sedangkan pemimpin melakukan sesuatu yang benar).” –halaman 17.  

“...saya melihat hal menakjubkan ketiga di assembly. Ada satu sesi dimana para leader akan mengumumkan student of the week setiap minggu. Saya sempat membayangkan para siswa yang mendapat penghargaan itu adalah siswa-siswa yang bagus matematikanya atau berprestasi dalam seni. Ternyata dugaan saya salah.” –halaman 19. Ternyata, penghargaan diberikan terhadap hal-hal sederhana, seperti: “Untuk jessie, karena menjadi murid yang ramah dan gemar membantu murid baru di kelas.” atau “Untuk Albert, untuk kebiasaan membaca buku setiap malam dan berbagi cerita kepada teman-temannya. Saya pribadi, hanya terkaget-kaget sendiri ketika membaca cerita ini. Sungguh menakjubkan pendidkan yang mereka terapkan. Sederhana tetapi membekas.

“... saya teringat anak-anak bangsa kita dengan sistem pendidikan negara kita yang masih mengedepankan kognitif. Siswa diobok-obok agar jago di matematika, bahasa asing, dan IPA. Masih banyak sekolah yang menganggap anak-anak kita hebat jika menjadi juara kelas, atau memiliki nilai di atas 8 atau jika masuk kelas internasional. Berapa banyak anak-anak yang suka menolong, yang memiliki keberanian memimpin seolah terabaikan. Bahkan tidak sedikit yang kurang memperhatikan pentingnya kreativitas dan pembentukan jati diri.” –halaman 21.

Saya hanya termenung, karena justru karakter-karakter itu terbentuk melalui hal-hal sederhana. Namun umumnya dari kita mengabaikan hal-hal sederhana itu. Saya menyakini, bahwa kadangkala mengabaikan hal yang sederhana justru menjadi bumerang untuk menggapai hal-hal besar di luar sana. Satu lagi, pertanyaan terbesar saya ‘Mampukah?’. Menjadi pendidik tidaklah mudah, karena tantangan terbesarnya adalah mengubah prilaku seseorang menjadi lebih baik.

Ah, tetapi mendidik anak-anak adalah pekerjaan mulia. Maka, tidak ada salahnya memulai dengan ‘Menghargai hal-hal sederhana’. Ya, mari kita menghargai hal-hal sederhana.

2 comments:

  1. Kemarin sempat down nulis, tp baca tulisan ini, bikin nadia smkin tertantang utk lebih byk lagi membaca dan lebih byk lagi menulis. Mksh faan. Mari kita mulai dg 'menghargai hal-hal sederhana' :)

    ReplyDelete
  2. Fani juga nad, terlebih dengan TA yang menanti di depan mata, hehe semangat Nad!! Sempatkan walau hanya satu jam nad^^
    Siiip, hal-hal sederhana nad

    ReplyDelete